MESTIKA BURUNG HONG KEMALA


Mestika Burung Hong Kemala adalah Lambang kekuasaan Kaisar, bagi siapapun yang mempunyai mestika berarti dia ada orang yang mempunyai lambang kekuasaan tertinggi dan siapakah yang berhasil mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala ini?
MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 01

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 02

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 03

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 04

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 05

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 06

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 07

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 08

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 09

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 10

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 11

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 12

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 13

MESTIKA BURUNG HONG KEMALA JILID 14

JILID 01

   Gadis itu duduk di seberang barat Sungai Kuning yang merupakan lembah yang subur dan datar, ia duduk seperti arca, mungkin sedang dibuai lamunan sendiri, atau mungkin juga terpesona oleh keindahan alam di pagi hari itu.

   Memang indah, keindahan yang tumbuh dari kewajaran, keindahan yang jarang dirasakan orang karena hati akal pikiran ini selalu disibukkan oleh urusan bermacam-macam yang menimbulkan banyak masalah. Matahari masih rendah di ufuk timur, nampak kemerahan seperti bola api yang belum membakar mata.

   Matahari itu membentuk garis emas permukaan air sungai yang pagi hari itupun nampak tenang. Arus air hanya menurut keadaan tanahnya. Di bagian pegunungan, Sungai Kuning dapat meluncur deras bukan main sehingga tidak ada perahu berani menyeberanginya, akan tetapi di bagian yang landai seperti tempat itu, tanahnya datar dan airnya tidak deras. Namun di musim hujan, airnya meluap sampai jauh kedua tepinya, menimbulkan banjir yang merupakan bencana bagi kaum petani.

   Namun pagi itu, semua nampak demikian indah, tenang dan tenteram penuh damai. Burung-burung. telah selesai bercengkerama sebelum berangkat ke tugas kerja, kini sudah beterbangan, berkelom pok-kelompok, menuju ke tempat mereka dapat memperoleh makan untuk sehari itu. Ayam jantan tidak berkeruyuk lagi, dan jeng kerik belalang tidak mengerik lagi.

   Di kejauhan terdengar domba mengembik, babi menguik dan teriakan kanak-kanak. Namun, semua suara itu tidak mendatangkan kebisingan, bahkan nampak akrab dengan keheningan yang mengha nyutkan batin gadis itu. Keheningan yang begitu lembut, begitu mesra menghanyutkan perasaan, membuat seseorang ingin menang is bukan karena sedih, bukan pu la karena ge mbira, melainkan karena merasa bahwa dia merupakan bagian tak terpisahkan dari a la m se mentara itu, dia lah kehen ingan itu.

   Gadis itu sendiri merupakan pemandangan yang amat indah, setidaknya bagi mata manusia, terutama mata manusia pria. Karena mahluk lain belum tentu akan menganggap gadis itu cantik dan menye nangkan untuk dilihat, bahkan mungkin menakutkan.

   Seperti ikan-ikan yang berenang di tepi sungai, tak jauh dari tempat ia duduk, seperti burung burung yang tadi berloncatan di pohon dekat situ, mereka terkejut ketakutan dan menjauhkan diri setelah tahu akan kehadiran gadis itu dekat mereka.

   Bagi kita, baik wanita maupun terutama pria pasti akan memuji dan mengagumi gadis itu. ia masih amat muda, paling banyak tujuh belas tahun usianya, dan duduk termenung seorang diri pada pagi hari itu di tepi sungai, di tengah alam yang indah, ia seperti setangkai bunga yang sedang mulai mekar, segar dan jelita, seolah tiada cacat"celanya.

   Tubuhnya ramping padat, belum sempurna benar lekuk-lengkungnya karena memang sedang mekar menjelang dewasa, namun wajahnya sudah memiliki daya tarik yang amat kuat karena wajah itu cantikjelita, manis melebihi madu.

   Rambutnya hitam tebal, agak keriting berombak, panjang sekali yang dapat dilihat dari sepasang kuncir yang digelung. Kalau dibiarkan rambut itu terurai, kiranya akan sampai ke belakang pinggulnya. Anak rambut seperti hiasan lembut di dahinya yang halus, anak rambut yang melingkar dan halus sekali, dan rambut yang melingkar di pelipis, di depan sepasang telinganya, seperti menantang.

   Alisnya hitam kecil dan melengkung panjang, menjadi pelindung sepasang mata yang aduhai! Sukar menggambarkan keindahan sepasang mata itu. Tidak sipit seperti kebanyakan wan ita, melainkan agak lebar dengan kedua ujung di tepi mencuat ke atas, seperti sepasang mata seekor burung Hong.

   Bulu matanya panjang lentik, putih matanya putih sekali dan hitam matanya hitam sekali. Akan tetapi bukan itu yang mempesonakan, melainkan sesuatu pada mata itu, sinarnya, atau yang tersembunyi dalam kerlingnya. Pendeknya, mempesona!.

   Hidungnya kecil mancung namun ada sesuatu yang menggemaskan pada hidung itu, entah karena ada tonjolan sedikit di punggung bukit hidung itu, atau karena ujungnya nampak seperti berdongak ke atas itu, atau mungkin karena cuping hidung yang tipis itu kadang dapat kembang kempis.

   Lalu mulutnya! Sukar dikatakan mana yang lebih menarik antara matanya dan mulutnya! Memang na mpaknya wajar dan normal saja, nampaknya biasa saja mulut itu, akan tetapi sungguh sebuah mulut biasa yang luar biasa! Bibir itu! Lesung pipit di sebelah kiri mulut itu!

   Deretan gigi itu. Sukar mencari sesuatu yang dapat disebut kurang atau buruk pada mulut itu. Wajah itu bentuknya bulat telur, dengan dagu yang bentuknya meruncing, menambah kemanisan wajah itu. Kulit muka dan leher yang nampak demikian putih. mulus dan halus.

   Demikian kira-kira penggambaran seseorang, terutama pria, yang sedang jatuh cinta kepada seorang wanita, bahkan mungkin lebih dari gambaran tadi. Memang, kalau orang sedang jatuh cinta apapun yang ada pada wanita yang dicintanya, selalu nampak hebat, tiada tara, bahkan kalau sedang cemberut nampak semakin man is, kalau marah-marah nampak semakin menggemaskan.

   Kalau kita mengamati gadis itu lebih teliti, akan nampak jelas bahwa ia bukanlah gadis pribumi, bu kan gadis bangsa Han. Memang kulitnya putih mulus, akan tetapi tidak kekun ingan seperti kulit gadis pribumi, dan terutama seka li matanya jelas menunjukkan bahwa mata itu bukan mata pribumi.

   Juga rambutnya yang berombak, ia tentulah seorang gadis berdarah campuran, seperti yang banyak terdapat di perbatasan utara dan barat, hasil pernikahan antara orang pribumi dan suku bangsa lain. Biarpun ia mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang gadis Han, namun cara ia menguncir rambutnya merupakan pertanda bahwa ia sebetulnya masih berdarah suku Khitan, suku yang berada di sekitar perbatasan utara, suku yang merupakan golongan nomad, yaitu golongan yang hidup dari peternakan dan yang berpindah-pindah mencari tanah subur yang penuh dengan rumput dan daun hijau untuk ternak mereka.

   "Hong-moi......!"

   Panggilan itu mengejutkan dan menyadarkannya dari lamunan, ia menoleh dan seperti sudah diduganya, yang menegurnya adalah seorang pemuda yang tinggi besar dan tampar. Pemuda itu tampan dan gagah, dengan pakaian suku Khitan dan wajahnya juga wajah seorang Khitan aseli, dengan tulang pipi menonjol dan kumis melintang. Usianya sekitar dua puluh lima tahun dan sepasang matanya tajam seperti mata seekor burung rajawali.

   Gadis yang disebut Hong-moi (adik Hong) itu bangkit dan setelah ia berdiri, baru nampak betapa ramping tubuhnya, dengan sepasang kaki yang panjang, pinggang yang ramping, dada dan pinggul yang padat, berdirinya tegak dengan dada terbuka dan kedua pundak lurus, tidak menurun seperti pundak kebanyakan wanita Han. Dan setelah ia berdiri tegak seperti itu, makin jelas bahwa ia bukan seorang gadis pribumi. Alisnya berkerut dan matanya memandang tak senang kepada pemuda itu.

   "Suheng, mau apa kau mengganggu ketenanganku dan sudah berapa kali kukatakan bahwa tidak sepatutnya engkau menyebut aku Hong-moi? Aku adalah sumoimu (adik seperguruanmu),"

   Gadis itu memang merasa terganggu dan tidak senang. Hal ini adalah karena selama beberapa bulan ini, pemuda yang menjadi suhengnya ini mulai berubah sikapnya terhadap dirinya.

   Pandang mata itu pun berubah penuh gairah, senyumnya juga membujuk dan memikat, dan beberapa kali ucapannya menyinggung masalah hubungan kasih sayang yang tidak semestinya. Biasanya ia sayang kepada suhengnya ini, yang dikenalnya sejak ia kecil, sejak ia menjadi murid suhunya (Gurunya) yaitu ayah kandung pemuda itu. Akan tetapi sejak pemuda itu berubah sikap, iapun merasa tidak senang dan perubahan itu pula yang me mbuat ia tadi melamun sedih.

   "Sumoi, kenapa engkau ribut soal panggilan itu?"

   Pemuda itu tertawa dan nampak deretan giginya yang kuat dan terpelihara.

   "Apa bedanya antara sebut an adik Hong dan adik seperguruan? Kurasa sebutan Hong-moi lebih mesra dan aku memang menghendaki agar hubungan kita lebih mesra dari pada hubungan kakak beradik seperguruan. Nanti dulu, Hong-moi...."

   Dia mengangkat tangan mencegah gadis itu mengeluarkan ucapan membantah.

   "kebetulan sekali kita bertemu di sini, di tempat sunyi di mana tidak akan ada orang lain yang mengganggu dan mendengarkan percakapan kita. Hong-moi, sudah berulang kali aku memperlihatkan sikapku, akan tetapi agaknya engkau belum mengerti benar. Sekarang, aku sudah mengambil keputusan untuk berterus terang saja kepadamu. Hong-moi, aku cinta padamu dan aku ingin engkau untuk menjadi isteriku."

   Sepasang pipi yang putih mu lus tanpa bedak itu mendadak berubah kemerahan, dan sepasang mata yang indah seperti mata burung Hong itu mendadak kini mencorong seperti harimau betina di usik.

   "Suheng! Tidak sepantasnya engkau bicara seperti itu! Memang aku sudah merasa akan perubahan sikapmu dan terus terang saja, aku tidak suka dengan perubahan itu. Sekarang engkau berterus te rang, akupun ingin berterus terang padamu sebagai jawabannya. Aku tidak mungkin dapat menerima cintamu seperti itu. Ingat, suheng, aku adalah murid yang sudah diaku sebagai anak angkat oleh su hu, sehingga kita ini dapat dibilang masih kakak beradik sendiri. Jangan sekali lagi kau ulangi ucapan mu yang tidak pantas itu."

   "Sumoi, kau sendiri mengatakan bahwa engkau diaku sebagai anak angkat oleh ayah. Anak angkat, berarti orang lain, bukan kakak beradik dan tidak ada hubungan darah di antara kita. Karena itu, tidak ada halangan apapun bagi kita untuk menjadi suami isteri."

   "Tidak, aku tidak sudi!"

   Kini gadis itu membusungkan dada menegakkan kepala dan pandang matanya penuh tantangan.

   "Su moi, kenapa eng kau menola ki Ingat, sejak kecil engkau menerima budi berlimpah dari ayah, dari keluarga kami. Kami semua menyayangmu seperti keluarga sendiri, dan sekarang, setelah aku dengan sungguh hati menyatakan cintaku kepadamu, engkau menolak dengan kasar. Apakah engkau tidak mengenal budi?"

   "Suheng, aku tidak pernah minta dipungut oleh suhu dan dijadikan murid atau diaku anak. Ketika itu aku masih kecil dan aku menurut saja. Memang keluargamu baik kepadaku, akan tetapi akupun bu kan seorang yang duduk diam saja. Aku bekerja di sana, melakukan segala pekerjaan, membantu para pelayan, akupun menaati semua perintah suhu. Akan tetapi soal perjodohan, itu adalah urusanu pribadi, tidak boleh dicampuri oleh siapapun, bahkan keluarga mupun tidak boleh memaksaku berjo doh dengan siapa saja tanpa persetujuanku. Dan terus terang saja, aku tidak ingin menjadi isterimu."

   "Kau.... kau.... anak sombong! Kau banyak lagak!"

   Pemuda itu nampak marah dan tersinggung.

   "Kau yang sombong, suheng! Kaukira, setelah aku diambil murid oleh ayahmu, lalu aku harus menurut apa saja yang kalian kehendaki terhadap diriku? Pula, suheng, bagaimana mungkin perasa an cinta dapat dipaksakan? Pernikahan tanpa cinta hanya akan mendatangkan derita sengsara. Tidak, aku tidak mau menjadi isterimu."

   Perasaan kecewa, penasaran, dan marah membuat pemuda itu melotot dan sikapnya seolah hendak menyerang. Akan tetapi dia melihat betapa sumoinya itu pun marah dan siap untuk melawannya.

   Dia tahu benar bahwa kalau mereka sampai bertanding, dia tidak akan menang melawan sumoinya. Menurut keterangan ayahnya sendiri, bakat yang dimiliki sumoinya dalam ilmu silat amatlah besarnya dan di dalam latihan bersamapun dia sudah merasa bahwa dia tidak akan mampu menandingi sumoinya.

   "Aku akan memberitahu ayah tentang sikapmu yang sombong ini!"

   Katanya dan diapun membalikkan tubuh lalu pergi dengan cepat meninggalkan gadis itu.

   Gadis itu termangu, lalu menghela napas panjang dan duduk kembali seperti tadi, mela mun. Akan tetapi sekali ini keadaan batinnya berbeda jauh dari pada tadi. Kalau tadi batinnya tenteram dan hening karena hati akal pikiran tidak bekerja, sekarang hati akal pikirannya bekerja keras. Kenangan lama terbayang dan teringat akan keadaan dirinya, kedukaannya timbul.

   Gadis jelita ini bernama Can Kim Hong. ia tidak pernah mengenal ayahnya. Bahkan wajah ibunyapun hanya na mpak samar dalam kenangannya, karena ibunya meninggal dunia ketika ia berusia lima tahun.

   Ibunya seorang wanita suku Khitan, puteri seorang kepala suku. Menurut cerita Ibunya, seperti yang masih diingatnya? dengan baik, yaitu cerita yang didengar dari ibunya ketika ia berusia lima tahun, sebelum ibunya meninggal dunia, ia hanya mengetahui bahwa ayahnya seorang bangsa Han yang bernama Can Bu.

   "Dia seorang di antara para panglima perang dari pasukan Han,"

   Demikian kata ibunya.

   Kemudian ibunya menceritakan bahwa Can Bu tertawan oleh suku Khitan ketika bersama para panglima lain, memimpin pasukan menyerbu daerah utara. Karena sikapnya yang baik dan gagah, Can Bu tidak dibunuh, bahkan diperlakukan sebagai seorang tamu agung. Ke mudian, terjalin cinta asmara antara Can Bu dan Khitan, mendiang ibunya. Atas persetujuan kepala suku, merekapun menikah. Akan tetapi, ketika ibunya mengandung tua dan ayahnya itu memperoleh kesempatan, ayahnya meloloskan diri.

   "Ayahmu seorang pahlawan, tentu saja tidak mau tinggal untuk selamanya di sini,"

   Demikian ibunya bercerita.

   "Tadinya dia hendak mengajakku ikut melarikan diri, akan tetapi karena aku dalam keadaan mengandung tua, aku menolak. Dia pergi sendiri dan sampai sekarang tidak ada berita darinya."

   Hanya itu yang ia ketahui dari mendiang ibunya. Ayahnya seorang bangsa Han, bernama Can Bu dari meninggalkan nama pribumi untuk anak yang akan dilahirkan ibunya, nama pria dan nama wanita. Ketika terlahir wanita, ia diberi nama Can Kim Hong karena menurut ibunya, ketika ibunya mengandung, ia pernah bermimpi melihat seekor burung Hong e mas (Kim Hong).

   Can Kim Hong melanjutkan lamunan dan kenangannya.

   Setelah ibunya meninggal dunia, kakeknya, kepala suku itu, menjadi sedih dan mengundurkan diri. Jabatan kepala suku dipegang oleh seorang Khitan yang gagah perkasa dan terkenal sebagai seorang yang kuat dan pandai ilmu silat berbagai aliran. Kakeknya menitipkan ia kepada kepala suku baru itu dan sejak itu, iapun menjadi murid bahkan menjadi anak angkat dari kepala suku baru yang bernama Bouw Hun, yaitu ayah kandung suhengnya tadi yang bernama Bouw Ki.

   Dan sekarang, Bouw Ki.yang sejak beberapa bulan terakhir ini memperlihatkan sikap yang berlainan sekali, telah menyatakan cintanya dan ingin mengambilnya sebagai isteri. ia menolak, dan ia tahu bahwa penolakannya tentu akan menimbulkan perubahan besar dalam sikap keluarga Bouw itu. Bouw Ki tentu akan mengadu, dan gurunya tentu akan merasa tidak senang pula, demikian ibu guru nya dan para paman. ia akan menghadapi keadaan yang sama sekali tidak menyenangkan.

   "Lebih baik aku meninggalkan semua itu,"

   Akhirnya ia mengambil keputusan dan merenung ke arah selatan.

   "Aku harus mencari ayah seperti yang pernah dipesankan mendiang ibu!"

   Ketika tenggelam dalam pikiran, Kim Hong memiringkan kepalanya, meraba raba dan menjiwir-jiwir ujung telinga kirinya dengan ibu jari dan telunjuk tangan kiri, seperti kebiasaannya sejak kecil kalau ia sedang berpikir.

   Kini ia bangkit berdiri, sudah mengambil keputusan dan teringat akan sikap Bouw Ki dan memba yangkan sikap keluarga Bouw kepadanya, ia merasa penasaran dan gemas. Aku akan menghadapi mereka dan menghadapi apapun yang akan terjadi! Berpikir demikian, Kim Hong menghentakkan kaki kanannya beberapa kali ke atas tanah. Kebiasaan tanpa disadari ini menandakan bahwa ia sedang marah.

   Kemudian ia melangkah dengan tegap meninggalkan tempat itu, menuju sebuah tebing yang tinggi cli mana tinggal keluarga gurunya.

   "Tidak, kami tidak setuju kalau engkau hendak memperisteri Kim Hong!"

   Kata Bouw Hun yang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok clan berkulit hitam itu.

   Kepala suku Khitan yang berusia lima puluh tahun ini duduk didampingi isterinya yang berkulit putih dan masih cantik dalam usianya yang empat puluh lima tahun, menghadapi puteranya, Bouw Ki yang baru saja menyatakan keinginan hatinya untuk memperisteri Kim Hong.

   "Akan tetapi kenapa ayah?"

   Bouw Ki membantah.

   "Bukankah sumoi seorang gaclis yang baik, bahkan muricl ayah clan juga anak angkat ayah yang bertubuh sehat, berwajah cantik dan berotak cerdas?"

   Kemudian dia menyambung sambil memanclang kepada ibunya.

   "Dan aku amat mencintanya, ayah."

   "Tidak, sekali lagi aku tidak setuju kalau ia menjacli isterimu! Memang ia cantik dan cerclik, akan tetapi ingat, ia seorang keturunan Han! Dan engkau tahu betapa liciknya orang-orang Han yang selalu menjadi musuh kita."

   "Tapi mendiang ibunya adalah wanita Khitan, ayah."

   "Hemm, engkau tentu ingat apa yang telah terjadi? Karena wanita Khitan itu mau menjadi isteri seorang bangsa Han, maka kehidupannya menjadi celaka. Dalam keadaan mengandung tua, ia ditinggalkan suaminya! Huh, dan engkau ingin memperisteri puteri seorang Han yang macam itu? Tidak, aku tidak setuju!"

   "Anakku, ayahmu berkata benar. Ingat, engkau putera seorang kepala suku yang dihormati. Kalau engkau ingin menikah, carilah seorang gaclis Khitan. Gadis yang terbaik sekalipun akan dengan senang menjadi isterimu. Kim Hong seorang gadis keturunan Han, tidak aseli, tentu kelak tidak dapat menjacli isteri yang baik,"

   Kata pula ibu pemuda itu.

   Bouw Ki mengerutkan alisnya. Dia akan berani membantah ibunya, akan tetapi dia takut kepada ayahnya yang juga menjad i guru nya itu. Ayahnya berwatak keras.

   "Akan tetapi, ayah dan ibu. Aku sungguh amat mencinta sumoi, aku tergila-gila padanya dan kalau ia tidak menjadi milikku, aku akan merasa sengsara sekali."

   "Hemm, berulang kali engkau mengatakan cinta padanya. Apakah anak itu berani mengaku cinta kepada mu, suhengnya sendiri?"

   Tanya Bouw Hun dengan suara bernada marah.

   Bouw Ki mengenal watak ayahnya. Orang tua itu selalu memandang tinggi derajat keluarganya seba gai kepala suku Khitan. Diapun tahu bahwa kalau dia ingin mencapai ida man hatinya, dia harus mem bakar hati ayahnya. Bujukan tidak akan ada hasilnya.

   "Itulah yang merisaukan hatiku dan yang membuat aku penasaran dan bertekad untuk memilikinya. Sumoi secara kurang ajar dan memandang rendah telah berani menolak cintaku! ia menganggap dirinya terlalu tinggi untuk menjadi isteriku!.Justeru penolakannya ini yang membulatkan tekadku untuk mendapatkannya, ayah!"

   Wajah yang berkulit hitam itu menjadi semakin gelap.

   "Apa? Anak itu berani........ berani menola kmu? Huh, sombong sekali! Itulah kesombongan seorang peranakan Han! Akan kita buktikan bahwa bukan engkau yang tidak pantas menjadi suaminya, akan tetapi ia yang tidak pantas menjadi mantuku!"

   "Akan tetapi aku menginginkannya ayah!"

   "Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!"

   Kata kepala suku itu dengan hati geram karena merasa diremehkan oleh gadis yang sejak kecil dipelihara dan dididiknya itu.

   Siapa sih anak itu berani memandang rendah puteranya dan berani menolak cintanya? Justeru karena penolakan itu, ia harus menjadi milik puteranya, bukan sebagai isteri melainkan sebagai selir, isteri yang tidak sah agar kelak kalau mempunyai anak tidak berhak untuk menjadi kepala suku!

   Ayah, ibu dan anak itu sama sekali tidak tahu bahwa selagi mereka berunding membicarakan Kim Hong, gadis yang mereka bicarakan itu berada di luar ruangan, di balik daun pintu dan sempat mendengarkan bagian terakhir dari percakapan mereka. Wajah gadis itu menjadi pucat, lalu merah sekali ketika ia mendengar kalimat terakhir yang diucapkan gurunya tadi.

   "Baik, aku akan memaksanya untuk menjadi milikmu, bukan sebagai isteri, melainkan sebagai seorang selir saja!"

   Kim Hong dengan hati-hati menyelinap pergi. Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan kemara han. Gurunya sendiri yang berniat memaksanya menjadi selir Bouw Ki. Menjadi selir! Sedangkan

   menjadi isteri yang sah saja ia tidak sudi, apa lagi menjadi selir!

   Maklum bahwa tidak mungkin ia dapat menentang gurunya yang hendak memaksanya, Kim Hong sudah mengambil keputusan bulat, ia harus pergi dari situ, sekarang juga sebelum terlambat, ia me mang sudah agak lama me mpunyai niat untuk merantau ke selatan, mencari ayah kandungnya.

   Dan peristiwa dengan suhengnya itu membuat ia bertekad untuk pergi sekarang juga.Tergesa-gesa Kim Hong mengumpulkan pakaian, memasukkan dalam buntalan kain kuning, tidak lupa membawa pedangnya dan perhiasan untuk biaya dalam perjalanan, kemudian melalui pintu belakang, ia mening galkan rumah itu. Ia bertemu dengan orang-orang Khitan yang membuat pondok-pondok darurat di sekitar tebing itu, akan tetapi tidak seorang di antara mereka yang bertanya, hanya menegur dan memberi salam saja kepada murid dan juga anak angkat kepala suku.

   Kelompok orang Khitan yang di pimpin Bouw Hun ini baru tiga bulan tiba di situ dan tinggal di lembah Sungai Kuning, memilih tempat yang tinggi agar tidak diserang banjir.

   Setelah meninggalkan perkampungan suku Khitan, Kim Hong lalu mempercepat perjalanannya dengan berlari menuju ke bawah untuk mencapai tepi sungai yang landai di mana ia akan dapat membeli atau menyewa sebuah perahu untuk melanjutkan perjalanannya ke selatan. Kini ia sudah tiba di bawah tebing karang yang menjadi perkampungan suku Khitan. Hatinya merasa lega karena ia tidak melihat adanya pengejaran yang amat dikhawatirkan, dan begitu tiba di tanah datar, iapun cepat berlari menuju ke tepi Sungai Kuning. Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan yang amat mengejutkan hatinya.

   "Su moi..........!"

   "Kim Hong, berhenti dulu....!"

   Suhengnya dan suhunya! Celaka, pikirnya. Pasti mereka itu melakukan pengejaran dan sudah tahu akan rencananya untuk minggat.

   Biasanya, ia bebas untuk bermain di mana saja, tanpa pengawasan. Kalau sekali ini mereka mengejarnya, tentu mereka sudah menduga akan niatnya dan mungkin tadi ada seorang Khitan yang melaporkan kepada kepala suku itu bahwa ia pergi meninggalkan perkampungan.

   Dilihatnya sebuah perahu kecil meluncur tenang di dekat pantai, sebuah perahu kecil didayung oleh seorang pria berusia enam puluhan tahun yang mengenakan sebuah camping lebar dan pakaiannya yang serba hitam itu amat sederhana. Melihat perahu itu, timbul harap an di hati Kim Hong.

   "Heiiiii! Tukang perahu, ke sinilah, aku ingin bicara!"

   Teriaknya ke arah tukang perahu yang mendayung perahunya lambat-lambat.

   Tukang perahu menoleh dan Kim Hong melihat bahwa wajah pria itu terang dan penuh senyum, wajah yang membayangkan kesabaran dan kelembutan hati

   "Paman yang baik, pinggirkan perahumu. Aku ingin menyewanya, atau membelinya, atau menumpang saja. Cepatlah, aku membutuhkan pertolonganmu !"

   Kim Hong menoleh ke belakang dan kini sudah nampak bayangan ayah dan anak itu yang berlari cepat dan kembali terdengar teriakan-teriakan mereka.

   "Kim Hong, aku perintahkan engkau untuk berhenti!"

   Terdengar jelas teriakan gurunya.

   "Paman tukang perahu, tolonglah!"

   Kim Hong berseru kembali melihat tukang perahu itu masih belum mendayung perahunya ke tepi. Untuk meloncat ke perahu itu, jaraknya masih terlalu jauh.

   "Ke sinilah, aku ingin menumpang perahumu, berapapun sewanya akan kubayar!"

   Akan tetapi, orang bercamping itu hanya menahan lajunya perahu dengan dayungnya, dan hanya memandang seperti orang yang tidak mengerti apa yang dimaksudkan gadis itu.

   Kim Hong yang tadinya berteriak dalam bahasa Khitan, kini berseru lagi, menggunakan bahasa Han yang dikuasainya dengan baik karena mendiang ibunya yang mengajarkannya Namun, tetap saja tukang perahu itu diam seperti patung. Sementara itu, Bouw Hun dan Bouw Ki tiba di situ!

   "Kim Hong, apa yang kaulakukan ini? Engkau hendak pergi ke mana?"

   Terdengar suara Bouw Hun yang dala m dan parau, dengan nada yang marah penuh teguran.

   Terpaksa Kim Hong memutar tubuh menghadapi ayah dan anak itu. Karena sejak kecil ia menganggap Bouw Hun sebagai guru dan juga pengganti orang tuanya, maka ia bersikap lembut walaupun dalam hati ia masih marah mengingat akan ucapan guru ini tadi yang hendak memaksanya menjadi selir Bouw Ki.

   "Suhu, aku sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan tempat ini, hendak mencari ayah sampai dapat bertemu. Harap suhu sudi memberi ijin dan tidak menghalangiku."

   "Apa? Engkau ini anak tak mengenal budi! Sejak kecil engkau kami rawat, kami pelihara, kami didik, dan sekarang setelah menjelang dewasa, engkau akan minggat begitu saja tanpa pamit?"

   Bentak kepala suku Khitan itu.

   Kim Hong yang tadinya menundukkan muka, kini mengangkat mukanya dan menentang pandang mata gurunya dengan berani. Memang kalau menurut ucapan gurunya tadi, seolah ia yang tidak mengenal budi. Ma ka, iapun menjawab dengan lantang,

   "Suhu, sesungguhnya suhu sendiri yang memaksa aku pergi tanpa pamit. Kalau saja suhu tidak mengeluarkan ucapan itu, tentu aku akan minta ijin dan restu. Suhu yang memaksaku untuk pergi minggat seperti ini."

   Bouw Hun mengerutkan alisnya.

   "

   Ucapanku yang mana? Jangan mencoba mencari alasan yang bukan-bukan!"

   "Aku mendengar dengan kedua telingaku sendiri bahwa suhu akan memaksaku untuk menjadi selir suheng. Aku tidak sudi dan aku mengambil keputusan untuk minggat."

   Ayah dan anak itu saling pandang, terkejut karena sama sekali tidak menduga bahwa gadis itu telah mendengarkan percakapan mereka tadi. Mereka tadi memang mendapat laporan dari seorang Khitan yang melihat Kim Hong meninggalkan perkampungan membawa buntalan pakaian maka mereka cepat melakukan pengejaran. Karena gadis itu sudah mengetahui, Bouw Hun tidak mau berpura-pura lagi.

   "Memang benar, dan engkau tidak boleh menolak kehendak kami. Sejak dahulu engkau sudah seper ti anggauta keluarga kami sendiri, kalau sekarang engkau menjadi selir suhengmu, apa salahnya?"

   "Tidak, suhu. Aku tidak mau menjadi isteri suheng, apa lagi menjadi selirnya! Harap suhu membiar kan aku pergi mencari ayah. Aku tidak akan melupakan semua budi sekeluarga dan semoga kelak aku akan dapat membalas budi itu,"

   Kata gadis itu dengan suara yang tegas, akan tetapi pandang matanya penuh permohonan.

   "Hemm, tidak perlu kelak, sekarangpun engkau dapat membalas budi itu dengan menaati perintahku. Jangan pergi dan engkau menjadi selir Bouw Ki."

   "Maaf, suhu. Kalau aku harus membalas budi dengan itu, aku tetap menolak."

   "Kim Hong, berani engkau membantah perintah gurumu dan juga ayah angkatmu!"

   Bouw Hun membentak, kini matanya mendelik dan mukanya yang penuh berewok dan kul itnya meng hita m itu ke lihatan beng is seka li.

   "Sumoi, jangan membuat ayah menjadi marah. Taatilah perintah ayah, dan engkau akan hidup berbahagia. Aku amat mencintamu, sumoi,"

   Kata Bouw Ki membujuk.

   Kim Hong memandang kepada Bouw Ki dengan mata bersinar-sinar, lalu ia menudingkan telunjuknya ke arah muka pemuda gagah ta mpan itu.

   "Suheng, ini semua gara-gara engkau! Kalau engkau tidak mempunyai niat kotor terhadap diriku, tidak akan terjadi keributan ini dan aku tentu akan pergi dengan baik-baik, dibekali ijin dan restu dari suhu. Pendeknya, aku tidak mau. menjadi isterimu atau selirmu......."

   "Kim Hong! Engkau harus menaati perintahku!"

   Bentak pula Bouw Hun yang suclah marah sekali.

   "Maaf, aku ticlak clapat menaati perintah yang ini, suhu."

   "Engkau berani menentangku? Kau tahu apa hukuman orang yang berani menentangku?"

   Kim Hong melepaskan buntalan pakaiannya ke atas tanah clan bercliri tegak.

   "Aku tidak menentang, suhu, akan tetapi kalau aku dipaksa, aku akan membela diri, dan aku lebih baik mati dari pada harus melakukan hal yang berlawanan dengan suara hatiku."

   "Anak jahanam! Anak clurhaka, murid murtad!"

   Bouw Hun marah bukan main dan dia sudah menerjang ke depan, menyerang Kim Hong.

   "Ayah, jangan bunuh ia.......!!"

   Bouw Ki berseru, khawatir kalau-kalau ayahnya yang marah itu membunuh gacl is yang membuatnya tergila-gila itu.

   "Teriakan puteranya ini menyadarkan Bouw Hun clan ketika Kim Hong mengelak ke kiri, tangannya cepat bergerak menyambar dan karena Kim Hong memang tidak berniat melawan orang yang selama ini menjadi guru dan pengganti orang tuanya, maka tanpa dapat dihindarkan lagi, jari tangan Bouw Hun yang lihai itu telah menotoknya dan membuatnya roboh terkulai lemas.

   "Nah, bawalah dan kau tundukkan gadis liar itu!"

   Kata Bouw Hun kepada puteranya.

   Sambil menyeringai puas Bouw Ki menghampiri tubuh Kim Hong yang rebah miring dengan lemas. Akan tetapi pada saat dia membungkuk untuk memonclong tubuh itu, tiba-tiba ada angin berdesing menyambar, seperti angin berpusing dan Bouw Ki merasa dirinya terdorong oleh tenaga yang amat kuat sehingga dia terhuyung ke belakang dan hampir jatuh terjengkang.

   Ayah dan anak itu memandang dengan kaget dan heran.

   Seorang pria telah berdiri di situ, menghadang dan melindungi tubuh Kim Hong. Dia berusia enam puluh tahun, berpakaian serba hitam sederhana, kepalanya tertutup sebuah camping hitam yang lebar pula. Wajah orang itu ramah dan penuh senyum, akan tetapi matanya mencorong seperti mata seekor naga dalam dongeng! Ketika ayah dan anak itu memandang kepadanya, dia balas memandang dengan senyum lembut dan mata mencorong.

   Bouw Hun terkejut.Dia sendiri adalah seorang yang sudah banyak pengalaman dan sudah mendalam pengetahuanya tentang ilmu silat dan dia tahu bahwa di daerah selatan terdapat banyak sekali pendekar silat yang amat lihai.

   Melihat betapa munculnya orang yang serba hitam pakaiannya ini membuat puteranya terhuyung, diapun dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, maka kepala suku ini tidak berani bersikap lancang.

   Sebaliknya, dia bahkan melangkah maju dan memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada. Karena pakaian orang itu berpotongan pakaian orang Han, Bouw Hun lalu bicara dalam bahasa Han yang juga dikuasainya baik-baik.

   "Maafkan kami, sobat. Aku adalah Bouw Hun, kepala suku Khitan yang hidup mencari makan di daerah ini, dan dia adalah Bouw Ki, puteraku. Gadis ini adalah muridku sendiri yang hendak minggat sehingga terpaksa aku menangkapnya dan hendak membawanya pulang. Harap engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami."

   Akan tetapi, orang bercamping dan berpakaian hitam itu kini membuat gerak-gerakan dengan tangan nya. Dia menuding ayah dan anak itu, lalu menuding ke arah tubuh Kim Hong, dan mengangkat tangan ke atas depan dan menggoyang-goyangnya, kemudian menuding kembali kepada tubuh Kim Hong, lalu ke dadanya sendiri, kemudian menuding ke perahu yang berada di tepi sungai.

   Mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun seperti biasanya orang gagu,akan tetapi melihat gerakan-gerakan itu dia seperti orang gagu yang hendak menerangkan maksudnya. Biarpun ayah dan anak itu tidak mengerti benar apa yang dia maksudkan dengan gerakan-gerakan itu, setidaknya mereka dapat menangkap bahwa si gagu itu melarang mereka menangkap Kim Hong, dan bahwa si gagu hendak membawa Kim Hong ke perahunya.

   Tentu saja Bouw Hun dan Bouw Ki menjadi marah.

   "Singgg......!!"

   Bouw Hun mencabut sebatang pedang bengkok yang amat tajam.

   "Singg!"

   Bouw Ki juga mencabut pedang berbentuk golok panjang.

   "Sobat, sudah kukatakan bahwa lebih baik kalau engkau tidak mencampuri urusan keluarga kami, atau terpaksa kami tidak akan menganggapmu sebagai sobat, melainkan sebagai musuh,"

   Kata Bouw Hun yang masih ragu-ragu untuk memusuhi orang yang tidak diketahui siapa itu.

   Akan tetapi si gagu menggoyang tangan kirinya seperti menyatakan bahwa mereka tidak boleh membawa Kim Hong.

   "Kalau begitu, engkau memang sengaja hendak memusuhi kami! Lihat senjataku!"

   Bentak Bouw Hun dan diapun sudah menyerang dengan pedangnya, disusul oleh puteranya yang juga menyerang dari sa mping dengan dahsyat.

   Si gagu menggerakkan tubuhnya tanpa mengeluarkan suara dan tubuh itu lenyap, yang nampak hanyalah bayangan hitam saja berkelebatan ke sana sini, menyelinap di antara dua gulungan sinar pedang, gerakannya ringan sekali dan cepat bukan main sehingga ayah dan anak itu menjadi bingung karena mereka merasa seperti melawan bayangan atau melawan setan.

   Ke manapun golok mereka menyambar, selalu mengenai tempat kosong. Kecepatan gerakan orang itu membuat mereka berdua bergidik. Mereka, seperti orang"orang Khitan yang masih sederhana, masih amat percaya akan tahyul, maka kini melawan seorang yang seolah-olah dapat terbang atau menghilang itu, mereka merasa ngeri dan mengira bahwa mungkin yang mereka lawan bukan manusia biasa, melainkan sebangsa siluman!

   Tiba-tiba si gagu menggerakkan kedua tangannya, menangkis atau menoleh ke arah dua lengan yang memegang pedang.

   "Plak! Tuk!!"

   Ayah dan anak itu berteriak dan pedang mereka terlepas dari pegangan. Ketika

   mereka me ma ndang, lawan mereka telah berdiri tegak dan kedua batang pedang itu telah berada di

   tangannya.

   Kemudian, bagaikan orang mematahkan ranting kering saja, Si gagu itu menekuk kedua batang pedang dengan kedua tangannya, terdengar suara nyaring dan dua batang pedang itu telah patah di bagian tengahnya.

   Si gagu melemparkan patahan pedang itu ke atas tanah dan memandang kepada ayah dan anak itu dengan wajah tetap tersenyum akan tetapi matanya mencorong.

   Bouw Hun dan Bouw Ki terbelalak. Maklum bahwa mereka tidak akan mampu menandingi si gagu, Bouw Hun lalu berkata kepada puteranya,

   "Mari kita pergi. Biar murid murtad itu menjadi mangsa siluman hitam ini!"

   Ayah dan anak itu lalu melompat dan melarikan diri pergi walaupun dua kali Bouw Ki menoleh ke belakang karena bagaimanapun juga hatinya masih merasa sayang bahwa dia tidak jadi dapat memiliki gadis yang amat diinginkannya itu.

   Kim Hong dapat menyaksikan semua, walaupun ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya tertotok lemas. Dia m"dia m ia kagu m bukan main. Si pakaian dan camping hitam itu adalah tukang perahu yang tadi di panggilnya.

   Sama sekali ia tidak pernah menyangka bahwa tukang perahu yang tadi dipanggil-panggil adalah seorang yang memiliki kesaktian sehebat itu sehingga dengan kedua tangan kosong ma mpu menga lahkan suhu dan suhengnya dalam wa ktu singkat!

   Akan tetapi karena tidak mampu bergerak ia hanya memandang saja, dan timbu l juga perasaan ngerinya. ia sama sekali tidak mengenal orang ini, tidak mengenal dia orang macam apa. Seorang pendekar sakti yang budimankah? Atau seorang manusia iblis? Kalau penolongnya itu seorang manusia iblis, tentu dia akan mengalami malapetaka yang lebih mengerikan lagi!

   Si gagu itu sejenak mengamati Kim Hong, kemudian tangannya bergerak cepat. Tak dapat Kim Hong melihat jelas bagaimana tangan itu bergerak. ia hanya merasa ada sesuatu yang menotok kedua pundaknya dan iapun sudah dapat bergerak kembali. Cepat Kim Hong bangkit duduk, kemudian ia berlutut di depan orang itu.

   "Aku Can Kim Hong menghaturkan terima kasih kepada locianpwe (orang tua gagah) yang telah menyela matkan aku dari malapetaka,"

   Katanya.

   Orang Itu diam saja, hanya memandang dengan wajah cerah karena mulutnya selalu tersenyum, akan tetapi tidak ada sepatahpun kata ke luar dari mulutnya, bahkan tidak ada suara yang keluar. Lalu ia teringat akan sikap si gagu hitam itu tadi terhadap suhu dan suhengnya. orang itu sama sekali tidak pernah mengeluarkan suara, dan membuat gerakan-gerakan seperti orang gagu! Orang ini tidak dapat bicara alias gagu!

   "Maafkan aku, locianpwe,"

   Katanya hati-hati sambil menatap wajah yang cerah itu,

   "apakah.... apakah locianpwe......?"

   Ia tidak mampu melanjutkan karena merasa sungkan sekali untuk menegaskan apakah orang itu benar "benar gagu, takut kalau-kalau menyingung perasaan penolongnya.

   Agaknya si gagu mengerti akan apa yang diinginkannya. Dia mengangguk-angguk, kemudian menudingkan telunjuknya ke arah mulutnya, lalu menggeleng-geleng kepala seolah mengatakan bahwa dia tidak dapat mempergunakan mulutnya untuk bicara.

   "Ah, jadi benar dugaanku bahwa locianpwe tidak dapat bicara?"

   Si gagu mengangguk-angguk dan Kim Hong berpikir. Biasanya, orang gagu itu tuli, akan tetapi orang ini jelas tidak tuli, bukan hanya tidak itu, bahkan dapat mendengar dan mengerti kata-kata orang.

   Kemudian si gagu menjulurkan kedua tangan menyentuh kedua pundak Kim Hong. Gadis itu terkejut, menyangka buruk, akan tetapi ternyata kedua tangan itu dengan lembut menyentuh pundaknya, akan tetapi ada kekuatan dahsyat yang memaksanya untuk bangkit berdiri!

   Setelah ia bangkit berdiri, si gagu mengangguk-angguk dan nampak gembira.

   Kim Hong mulai mengerti. Orang ini luar biasa sekali. Selain sakti, juga berhati sederhana, tidak mau menerima penghormatan berlebihan.

   "Locianpwe, harap jangan kepalang menolongku. Aku harus pergi dari tempat ini karena mereka ingin memaksaku untuk menjadi selir suhengku Bouw Ki itu. Aku mohon kepada locianpwe agar menerima aku menumpang perahumu pergi ke selatan. Sudikah locianpwe menolongku?"

   Si gagu mengangguk-angguk, kemudian menghampiri perahunya, diikuti oleh Kim Hong yang sudah mengambil kembali buntalan pakaiannya.

   Mereka lalu menurunkan perahu kecil itu kembali ke sungai. Kim Hong menggunakan pedang bengkoknya untuk membuat sebatang dayung dan kini ia membantu kakek gagu itu mendayung perahu kecil yang meluncur cepat mengikuti arus air menuju ke selatan.

   Pada waktu itu, Kerajaan Tang di pimpin oleh Kaisar Hsuan Tsung atau terkenal pula dengan sebutan Kaisar Beng Ong (712 - 755). Akan tetapi, sejak Kaisar Beng Ong tergila-gila kepada seorang wanita yang bernama Yang Kui Hui, maka timbullah banyak kekacauan.

   Para menteri yang setia merasa gelisah melihat betapa kaisar yang tua itu dipermainkan oleh selirnya yang tersayang itu. Baru peristiwa ditariknya Yang kui Hui ke dala m istana sebagai selir kaisar saja sudah merupakan peristiwa yang membuat para menteri setia mengerutkan kening dan merasa tidak setuju sa ma sekali.

   Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, yaitu sekitar tahun 1175 Pada waktu itu, Kaisar Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih dan Kerajaan Tang mengalami kemajuan pesat, terutama di bidang kebudayaan dan Agama Buddha yang terbukti dari perkembangan kesenian dan kesusas teraan yang pada masa itu tidak lepas dari agama.

   Kaisar Beng Ong sebetulnya bukan seorang yang mata keranjang, bukan seorang pria yang selalu diperbuda k oleh nafsu berahinya. Akan tetapi, ketika pada suatu hari kebetulan dia melihat isteri dari seorang di antara puteranya, yaitu Pangeran Shouw, dia terpesona dan terpikat oleh kecantikan mantunya sendiri.

   Isteri Pangeran Shouw itu, bernama Yang Kui Hui, memang merupakan seorang wanita yang amat cantik jelita, memiliki daya tarik yang amat kuat, bukan saja karena kecantikannya, akan tetapi juga oleh pembawaan dirinya yang pandai menga mbil hati. lapun seorang wanita yang bukan aseli Han, melainkan seorang berdarah campuran.

   Memang suku atau bangsa yang berdarah campuran, selalu memiliki gadis-gadis yang cantik mena rik. Bahkan dikabarkan orang bahwa selain cantik jelita, juga dari tubuh wanita ini keluar keringat yang berbau harum!

   Dala m tahun 745 itu, setelah Kaisar Beng Ong terpesona oleh kecantikan Yang Kui Hui, terjadilah ketidakwajaran yang pertama, yaitu sang kaisar memaksa puteranya untuk menceraikan isterinya dan memberikan seorang gadis lain sebagai pengganti isteri Pangeran Shouw. Kemudian, kaisar menarikYang Kui Hui yang dicerai secara paksa oleh suaminya itu ke dalam istana dan menjadilah ia selir terkasih dari Kaisar Beng Ong! Mantu sendiri dipaksa menjadi selirnya. Hal ini, biarpun tidak ada yang berani menentang, sudah menimbulkan perasaan tidak senang di hati para menteri setia, kecuali tentu saja, para menteri penjilat yang membenarkan tindakan kaisar untuk menyenangkan hati kaisar!

   Kemudian, apa yang dikhawatirkan oleh para menteri setiapun terjadilah. Kaisar Beng Ong benar-benar mabok dalam pelukan selir baru Yang Kui Hui. Dan sang selir yang cantik inipun seorang yang haus akan kekuasaan dan amat cerdik. Mulailah ia mempengaruhi kaisar dan mulailah pula ia men campuri urusan pemerintahan sehingga banyak keputusan yang diambil kaisar sesuai dengan yang dikehendaki Yang Kui Hui!

   Tidaklah mengherankan apa bila seorang kakak laki-laki dari selir itu, yang bernama Yang Kok Tiong, berkat bujukan Yang Kui Hui, diangkat sebagai seorang pejabat tinggi oleh Kaisar Beng Ong. Dan berkat kekuasaan Yang Kui Hui, sebentar saja Yang Kok Tiong me mpunyai pengaruh yang besar di antara para menteri, dan para menteri segan terhadap dia hanya karena dia adalah kakak Yang Kui Hui dan disayang oleh kaisar!

   Biarpun usia Yang Kui Hui sudah tidak begitu muda lagi, sudah empat puluh tahun, namun ia masih cantik jelita dan nampak muda, bukan hanya muda di tubuh, akan tetapi juga muda di hati. Maka, setelah ia mendapat kekuasaan yang besar dan memperma inkan kaisar seperti anak-anak memper mainkan tanah liat, mulailah selir yang cantik ini merasa tidak puas dengan suaminya yang jauh lebih tua, kini sudah hampir tujuh puluh tahun! Mulailah matanya mengerling ke sana sini dan iapun tertarik kepada seorang perwira yang muda dan gagah perkasa.

   Perwira itu bernama An Lu Shan yang sebetulnya bukan seorang Han. An Lu Shan adalah keturunan Turki dari suku Khitan yang dilahirkan di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung atau Mancuria Selatan. Ketika remaja, dia bahkan menjadi budak belian, dan akhirnya sebagai budak belian dia jatuh ke tangan seorang perwira Han. Karena dia seorang yang cerdik dan berambisi, maka dia bekerja dengan rajin dan belajar segala macam ilmu, terutama ilmu silat dan ilmu perang.

   Akhirnya, dia mendapat kesempatan untuk memperlihatkan keberanian dalam pertempuran di ma na dia menjadi perajurit sehingga sebentar saja dia mendapat kepercayaan dan menjadi perwira. Karena jasa-jasanya membasmi atau memadamkan api pemberontakan yang terjadi di perbatasan utara, akhirnya dia dihadapkan kepada kaisar.

   Ketika Yang Kui Hui melihat perwira muda ini, ia me mbisikkan rayuannya kepada kaisar agar An Lu Shan diangkat menjadi seorang perwira istana. Kaisar menurut saja dan de mikianlah, An Lu Shan menjadi seorang kepercayaan di istana, dekat dengan ka isar!

   Dengan sendirinya, perwira muda inipun dekat dengan Yang Kui Hui dan segera tersiar desas-desus bahwa terjadi hubungan tidak senonoh antara An Lu Shan dan selir kaisar itu. Namun, dengan amat cerdiknya Yang Kui Hui dapat mengatur siasat untuk menghadapi desas-desus itu.

   Berkat rayuannya, ia berhasil membujuk kaisar untuk mengangkat An Lu Shan sebagai seorang panglima besar yang memimpin pasukan besar di darah utara, yaitu daerah Liao-tung tempat kelahirannya. Dengan menyingkirkan panglima itu ke luar istana, dengan sendirinya desas-desus itupun lenyap. Dan sebagai seorang panglima besar, apa lagi dia telah diangkat anak oleh Yang Kui Hui dan diberi gelar Pangeran bebaslah bagi panglima ini untuk sewaktu-waktu berkunjung ke kota raja, memasuki istana dan mengaclakan hubungan clengan Yang Ku i Hui setiap terbuka kesempatan bagi mereka.

   Demikianlah sekelumit tentang keadaan Kerajaan Tang pada waktu kisah ini terjadi. Pada suatu malam, Yang Kok Tiong, kakak dari selir kaisar yang berkuasa itu, duduk termenung di dalam ka marnya seperti orang yang bersedih. Isterinya datang menghampirinya dan dengan khawatir isterinya bertanya mengapa suaminya nampak demikian muram.

   "Suamiku, kenapa engkau nampak murung? Bukankah kini engkau telah memperoleh kecluclukan tertinggi sebagai Menteri Utama? Semestinya kita bersyukur clan bergembira, bukan termenung dengan wajah murung."

   Menteri Yang Kok Tiong, pria berusia lima puluh tahun itu, menghela napas panjang.

   "Acla clua hal yang membuat hatiku risau dan tidak pernah merasa puas. Yang pertama adalah anakmu, putera kita."

   "Ehh? Kenapa clengan anak kita?"

   Tanya isterinya, mengerutkan alisnya.

   "Dia anak tunggal yang amat baik, tampan, panclai clan cerclik, apa lagi kecurangannya?"

   "Hemm, apa gunanya semua ketampanan, kepanclaian bun (sastra) dan bu (silat) dan kecerdikannya itu kalau dia tidak pernah mau memegang jabatan? Sampai lelah dan jengkel aku membujuknya untuk suka kuberi kedudukan agar clapat menanjak dan kelak menjadi orang penting akan tetapi dia selalu menolak. Dia lebih senang berkeliaran. Huh semua ini karena engkau terlalu memanjakannya !"

   "Suamiku, kenapa engkau marah-marah? Cin Han terlalu muda, baru sembilan belas tahun usianya, tentu clia masih suka bermain-main clengan kawan-kawan sebayanya dan......"

   "Itulah, engkau selalu membelanya dan memanjakannya! Sudahi ah, jangan bicara tentang dia, menjengkelkan saja. Ada hal lain lagi yang membuat hatiku risau bukan main dan semua ini gara-gara adikku Yang Kui Hui yang tidak tahu malu itu!"

   Kembali isteri menteri itu terbelalak heran.

   "Aih, aih.... suamiku, bagaimana engkau dapat berkata seperti itu? Untung di ka mar ini hanya ada kita berdua. Kalau sampa i terdengar orang lain! Bagaimana engkau dapat memaki adikmu? Pada hal, engkau mendapatkan kedudukan sampai sekarang menjadi Menteri Utama, semua berkat jasa adikmu itu yang membujuk Kaisar, bukan?"

   "Semua itu benar, akan tetapi sekarang dia membuat aku merasa malu, juga khawatir sekali akan kesela matan Sribaginda Kaisar dan Kerajaan Tang."

   "Ehhh......?"

   Isterinya memandang dengan muda berubah pucat.

   "Apa.. apa yang telah terjadi......?"

   "An Lu Shan itu! Karena kegantengannya, dia berhasil me mpengaruhi Yang Kui Hui!"

   "Akan tetapi, itu hanya desas-desus dan fitnah, bukan? Panglima An Lu Shan itu bahkan telah diangkat menjadi anak oleh adikmu, dan bukankah hal itu pantas mengingat jasa-jasa panglima itu dan mengingat pula bahwa diapun masih mempunyai darah Khitan seperti juga engkau dan adikmu?"

   "Kalau itu saja aku masih dapat menerima. Aku mengenal adikku, dan desas-desus itu bukan kosong. Akupun tidak mau mencampuri. Yang membuat hati ku kesal adalah melihat betapa An Lu Shan kini mendapatkan kedudukan yang amat penting. Dia diangkat menjadi panglima besar yang memimpin pasukan besar di Liao-tung, juga dia mendapat kekuasaan untuk ke luar masu k istana seenak perutnya sendiri!"

   "Akan tetapi, suamiku. Apa salahnya dengan itu? Dia mendapatkan kekuasaan di bidang ketentaraan, sedangkan engkau juga mendapatkan kekuasaan besar di bidang pemerintahan, semua ini jasa adikmu. Apakah engkau..... iri seperti terhadap An Lu Shan?"

   Disentuh kelemahannya, wajah menteri utama itu menjadi merah.

   "Engkau tahu apa? Dengan kedudukan itu, aku khawatir suatu saat An Lu Shan akan memberontak. Bahkan aku sudah menyebar para penyelidik dan ada gejala-gejala bahwa dia mempersiapkan kekuatan untuk melakukan pemberontakan."

   "Ahhh.....?"

   Isterinya menjadi pucat dan tidak berani membantah lagi. pada keesokan harinya, Menteri Utara Yang Kok Tiong segera mengutarakan kecurigaannya terhadap An Lu Shan kepada Sribaginda Kaisar.

   "Hamba mohon agar paduka berhati-hati. Menghadapi An Lu Shan yang menguasai pasukan besar sekali di utara, seyogianya kalau paduka mengadakan pengawasan yang ketat. Hamba mendengar bahwa An Lu Shan menyusun kekuatan besar di utara, bahkan menerima perajuit-perajurit baru dari kalangan ra kyat. Hamba khawatir kalau-kalau dia mempunyai itikad buruk terhadap Kerajaan paduka."

   Menerima nasihat menteri utamanya itu, Kaisar Beng Ong merasa curiga juga.

   "Akan kami panggil dia, dan kalau benar dia hendak melakukan pemberontakan tentu akan kami hukum berat.Kalau dia tidak datang memenuhi panggilan kami, berarti memang dia hendak memberontak dan kita serbu dan hancurkan pasukannya."

   Biarpun di dala m ka marnya kaisar dihibur dan dibuju k Yang Kui Hui agar jangan mencurigai An Lu Shan, namun kaisar tetap memanggil datang An Lu Shan dari markasnya di perbatasan utara.

   Kecurigaan Yang Kok Tiong me mang tidak tanpa dasar. Di utara, An Lu Shan menyusun kekuatan dan memperbesar pasukannya dengan menerima pasukan bayaran dari rakyat berbagai suku di utara.

   Ketika dia menerima panggilan Kaisar dan dari mata-matanya dia mendengar bahwa dia dicurigai, dia menjadi bimbang. Akan tetapi, pada saat itu, dia merasa belu m kuat benar untuk memulai pembe rontakan, maka dia bertekad untuk memenuhi panggilan karena hal inipun merupakan bukti akan kesetiaannya terhadap kaisar.

   Demikianlah, ketika An Lu Shan menghadap kaisar, para menteri, termasuk menteri utama Yang Kok Tiong, terengang dan merekapun merasa bimbang.

   "An Lu Shan, kami mendengar bahwa engkau hendak melakukan pemberontakan terhadap kami. Benarkah itu?"

   An Lu Shan memperlihatkan sikap kaget, mukanya berubah kemerahan dan dia cepat memberi hormat sambil berlutut dan membentur-benturkan dahinya di lantai.

   "Ampun, Sribaginda, ampun beri bu ampun. Hamba sungguh terkejut mendengar sabda paduka tadi. Hamba.... memberontaki Hamba yang telah menerima anugerah yang berlimpah-limpah dari paduka, hamba yang bersumpah setia sampai mati, rela. mengorban kan nyawa hamba in i untuk me mbela paduka, hamba dituduh merencanakan pemberontakan? Sungguh hamba dapat mati penasaran, Sribaginda, dan hamba mohon penjelasan, mohon bukti dan saksi."

"An Lu Shan, kalau engkau tidak hendak memberontak, kenapa engkau menyusun kekuatan di utara, menambah besarnya pasukan dengan menerima perajurit-perajurit baru dari rakyat berbagai suku di perbatasan? Hayo jawab!"

   "Ampunkan hamba, Sri baginda. Bu ktinya hamba datang menghadap paduka memenuhi panggilan saja sudah menyatakan bahwa hamba adalah seorang hamba yang setia kepada paduka. Dan tentang penyusunan kekuatan di utara itupun hamba lakukan demi kesetiaan hamba kepada paduka dan kerajaan paduka. Ancaman musuh yang terutama datang.dari utara! Kalau hamba tidak menghimpun tenaga sampai hamba dapat memperoleh pasukan yang amat kuat,bagaimana kerajaan paduka dapat membendung datangnya ancaman musuh dari utara? Pula, hamba sengaja menerima para pemuda berbagai suku di utara, hal itu untuk menjinakkan para suku liar itu agar mereka tidak ikut-ikutan menentang kerajaan paduka, melainkan membantu. Ahh, Sribaginda, kalau paduka masih mengang gap hamba bersalah dan hendak memberontak, hamba hanya dapat menyerahkan jiwa raga hamba kepada padu ka. Hamba siap dihukum mati walaupun arwah hamba akan menjadi arwah penasaran yang kelak a kan sela lu mengejar mere ka yang mela kukan fitnah atas diri hamba."

   Setelah kata demikian, sambil membenturkan bahu di lantai, panglima itu mencucurkan air mata.

   Bukan hanya Kaisar, juga para menteri terkesan dan terharu oleh pembantahan diri An Lu Shan. Dan Sribaginda kaisar juga menghapus semua tuduhan kecurigaan, bahkan menjadi semakin percaya kepada An Lu Shan. Panglima kembali ke utara dengan wajah berseri karena kemenangan itu, membawa pula hadiah dari kaisar yang merasa menyesal telah mencurigai An Lu Shan. Serta selirnya tersayang kembali telah buktikan kebenarannya!

   Sepulangnya dari menghadap kaisar dan melihat gagalnya rencananya menjatuhkan An Lu Shan, Menteri Yang Tiong pulang dengan wajah murung, aku sendiri merasa bimbang apakah benar An Lu Shan hendak memberontak seperti yang dikhawatirkannya berdasarkan laporan para mata-matanya. Alasan An Lu Shan demikian kuatnya.

   Setibanya di ru mah, dia disa mbut oleh isterinya dan oleh puteranya. Begitu melihat puteranya, hati menteri yang sedang risau dan kecewa itu, menjadi terbakar oleh kemarahan.

   "Cin Han, ke sini kau, aku ingin bicara!"

   Bentaknya sambil memasuki ruangan sebelah dalam.

   Cin Han memandang kepada ibunya yang mengangguk dan dia pun mengikuti ayahnya, maklum apa yang akan dibicarakan ayahnya dan maklum pula bahwa ayahnya sedang marah kepadanya. Ibunya sudah me mberi tahu kepadanya tentang semua itu. Nyonya Yang tidak tega melihat puteranya akan dimarahi suaminya, maka iapun ikut pula masuk dengan sikapnya yang tenang.

   Yang Cin Han berusia sembilan belas tahun, bertubuh sedang dengan dada bidang dan tubuh yang tegak, sikapnya jantan namun lembut seperti ibunya. Wajahnya tampan, berbentuk bulat dan bersih, alisnya hitam tebal, hidungnya mancung diapit sepasang mata yang bersinar-sinar. Mulutnya yang selalu tersenyum itu amat menyenangkan orang lain yang berhadapan dengannya. Dahinya yang lebar menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang suka berpikir.

   

JILID 02

Biarpun usianya baru sembilan belas tahun, akan tetapi Cin Han sudah menguasai ilmu kesusasteraan yang cukup menda la m, sudah menghafal se mua kitab Agama Buddha, banyak pula pengetahuan nya tentang filsafat Agama To, dan pandai pula bermain yang-kim (siter) dan meniup suling. Selain ilmu kesusasteraan dan agama, juga pemuda ini sejak kecil oleh ayahnya dipanggilkan guru-guru silat yang pandai.

   Kedudukan ayahnya memungkin kan pemuda ini untuk memperoleh guru-guru yang menjadi jagoan-jagoan istana sehingga setelah berusia sembilan belas tahun, Cin Han memiliki ilmu silat yang tangguh. Namun, sikap dan pakaiannya tidak pernah menonjolkan kepandaian silatnya itu, dan dia lebih na mpak sebagai seorang pelajar.

   Kini mereka duduk berhadapan, ayah dan anak itu. Cin Han duduk di pinggir, hanya menyaksikan saja, tidak ingin mencampuri kalau saja suaminya tidak memarahi anaknya secara keterlaluan. Ruangan itu besar dan sunyi. Tidak akan ada seorangpun pelayan berani memasuki ruangan itu tanpa dipanggil.

   Setelah mereka saling berhadapan, duduk di kursi dan saling tatap pandang beberapa lamanya, akhirnya Cin Han merasa tidak enak karena agaknya ayahnya yang sedang marah itu menunggu dia bicara lebih dahulu.

   "Ayah, keperluan apakah yang hendak ayah bicarakan denganku?"

   "Cin Han, tahukah engkau berapa usia mu sekarang?"

   "Kalau tidak keliru, bulan dua tahun depan usiaku sudah duapuluh tahun, jadi sekarang sembilan belas tahun lebih, ayah,"

   Jawab pemuda itu dengan sikap tenang dan wajah cerah, bibir terhias senyum.

   "

   Jelas engkau bukan anak kecil lagi. Lalu kalau tidak sekarang, kapan lagi engkau akan bertindak dewasa? Engkau adalah anakku., anak seorang Menteri Utama dari Kerajaan besar! Apakah engkau hendak menjadi seorang pemuda pengangguran saja? Lihat, siapa itu An Lu Shan! Dahulu dia se orang budak belian, sekarang? Dia menjadi panglima besar yang mengepalai pasukan besar di per batasan, dan dia mendapat kepercayaan penuh oleh Sribaginda! Kalau engkau tidak cepat dari se karang mencari kedudukan, kelak engkau akan menjadi apa? Apakah engkau tidak akan menjunjung tinggi nama keluarga Yang? Ingat, ayahmu ini hanya mempunyai seorang anaksaja, yaitu engkau!"

   "Aih, harap jangan main-main! Bukankah ada kedua adik Yang kui an dan Yang Kui Bi ?"

   Cin Han berkelakar, pura-pura tidak tahu apa yang dima ksudkan ayahnya. Memang ayahnya mempunyai tiga orang anak. Dia adalah anak tunggal Isteri pertama, sedangkan Kui Lan dan Kui Bi anak dari dua orang ibu tirinya atau selir-selir ayahnya, dua orang adiknya itu. yang kini sudah berusia tujuh belas dan enam belas tahun.

   "Siapa main-main? Maksudku, engkau adalah putera tunggalku yang kelak melanjutkan keturunan Yang! Mulai besok, engkau harus mengikuti ujian negara dan aku akan mengatur agar engkau memperoleh kedudukan yang sepadan dengan ke mampuan mu!"

   Kini Cin Han bersikap sungguh-sungguh.

   "Maaf, ayah. Terpaksa aku berani menolak apa yang ayah kehendaki. Ayah, biarpun aku sudah mempelajari banyak ilmu, akan tetapi semua kepandaian itu hanya merupakan teori belaka. Aku ingin menghayatinya, melaksanakan dalam kehidupan yang sesungguhnya. Aku ingin memperoleh pengalaman karena tanpa pengalaman, bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pejabat yang baiki Apakah ayah menghendaki kelak anak ayah ini menjadi seorang pejabat yang hanya mampu menulis di belakang meja saja, hanya mampu menunjuk sana menunjuk sini, hanya mampu memerintah tanpa mampu melakukan apapun? Bagaimana aku akan dapat menjadi seorang pemimpin yang baik kalau aku tidak mampu melakukan sendiri apa yang kuperintahkan?"

   Yang Kok Tiong mengerutkan alisnya. Ucapan puteranya itu seolah merupakan kritik kepada dirinya sendiri!

   "Lalu apa maumu?"

   Bentaknya.

   "Ayah, berilah waktu kepadaku barang dua tiga tahun. Aku ingin merantau, meluaskan pengalaman dulu sebelum aku menerima usul ayah untuk menjadi seorang pejabat."

   "Merantau? Engkau ingin menjadi petualang yang berkeliaran ke sana sini, bergaul dengan segala maca m orang kang-ouw, hidup sebagai rakyat jembel ?"

   "Ayah, justeru bergaul dengan orang kang-ouw itulah yang akan membuat aku mengerti akan segala keadaan di luar kota raja, dan bergaul dengan rakyat jelata dapat membuka mataku sehingga aku tahu apa saja yang diderita oleh rakyat, apa yang harus diperbaiki dan apa yang harus diubah demi kemakmuran rakyat. Tanpa terjun ke sana, bagaimana aku dapat merasakannya?"

   "Sombong! Kau anak durhaka ! Engkau tidak boleh berkeliaran, engkau harus mau menerima jabatan atau...."

   Melihat suaminya marah-marah dan bangkit berdiri, Nyonya Yang segera bangkit dan menghampirinya, memegang lengannya dan menyabarkannya.

   "Sudahlah, tidak ada gunanya marah-marah didengar oleh para pelayan menjadi kurang baik. Engkau lelah dan perlu istirahat, marilah, nanti Cin Han biar aku yang membujuknya,"

   Kata isteri bijaksana itu dan ia menggandeng tangan suaminya, diajak masuk kekamar mereka.

   Cin Han duduk termenung, alisnya yang tebal berkerut. Dia sudah cukup dewasa, dia sudah banyak mendengar tentang keadaan dalam istana, tentang kaisar, tentang bibinya yang menjadi selir terkasih Sribag inda, tentang desas-desus mengenai bibinya dan Panglima An Lu Shan.

   Dia melihat kenyataan betapa banyaknya penjilat kaisar, betapa banyaknya pembesar-pembesar yang sesungguhnya tidak becus apa-apa, akan tetapi memperoleh kedudukan tinggi karena ada main dengan para pejabat la innya.

   Bahkan dia melihat kenyataan tentang ayahnya. Dia tahu bahwa ayahnya sebenarnya tidak tepat menjadi Menteri Utama. Ayahnya tidak memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Akan tetapi karena ayahnya kakak dari Yang Kui Hui, maka Sribaginda Kaisar mengang kat ayahnya menjadi Menteri Uta ma. Jabatan yang didapat bukan karena keahlian, melainkan karena bujukan dan rayuan bibinya.

   Jabatan anugerah! Dia muak melihat semua itu. Dia akan lebih senang kalau andaikata ayahnya itu menda patkan kedudukan yang sesuai dengan keahlian dan kemampuannya. Menjadi lurah dusun misalnya, atau camat paling tinggi! Bu kan Menteri Utama! Dia malu kepada diri sendiri karena pengetahuannya ini.

   Karena bagaimana juga, yang memarahinya adalah ayahnya, dan dia tahu betapa ibunya amat mencinta ayahnya dan ibunya akan ikut bersedih kalau ayahnya marah-marah, Cin Han akhirnya bangkit dari tempat duduknya dengan lesu. Dia lalu menuju ke belakang gedung yang besar itu, memasuki taman keluarga yang indah dan cukup luas. Di tengah taman itu terdapat sebuah pondok tempat istirahat dan dia sela lu ke sana kalau hatinya sedang gundah. Juga di dekat pondok terdapat lapangan rumput yang luas di mana dia sering berlatih silat.

   Dari jauh dia sudah melihat dua orang adiknya sedang berlatih silat. Wajah tampan yang tadinya agak muram karena memikirkan perselisihannya dengan ayahnya itu tiba-tiba menjadi cerah, berseri-seri dan Cin Han mempercepat langkahnya. Dia amat menyayang dua orang adik tirinya, teman bermainnya sejak kecil. Juga mereka berdua amat sayang kepadanya.

   Karena tidak ingin mengganggu dua orang gadis yang sedang berlatih, diapun menyelinap dan mengint ai di balik pondok, menonton kedua orang gadis remaja yang sedang berlatih silat pedang di lapangan rumput itu. Dan diapun tertegun. Dua orang adiknya itu sedang me latih ilmu pedang yang aneh,yang sama sekali tidak dikenalnya dan baru sekali ini dia melihat ilmu pedang itu.

   Bahkan baru kemarin dia berlatih pedang dengan kedua adiknya, akan tetapi mereka sama sekali tidak bicara tentang ilmu pedang baru itu, apa lagi memainkannya. Dan melihat gerakan mereka, dia yakin bahwa

   ilmu itu bukan ilmu yang baru dilatih sekarang.

   Tentu sudah lama mereka melatih ilmu pedang itu, dengan diam-diam dan di luar tahunya. Dia menonton sambil memperhatikan. Dia kagum bukan main. Ilmu pedang itu memang hebat. Dasar kuda-kuda dan perubahan geseran kaki mereka begitu kokoh kuat, menopang ilmu pedang yang tangguh.

   Gerakan pedang itupun mantap dan selain cepat juga memiliki perubahan yang luar biasa dan tidak terduga-duga. Aneh sekali ilmu pedang itu. Akan tetapi lebih aneh lagi adalah kenyataan betapa mereka menyembunyikan ilmu itu darinya. Tentu ada apa"apanya ini karena kedua orang adiknya itu selamanya belum pernah menyembunyikan sesuatu darinya. Diapun tidak ingin membuat mereka terkejut dan menanti sampai mereka selesai berlatih, barulah dia muncul dari balikpondok.

   "Aih, Han-toako!"

   Seru gadis yang lebih besar.

   "Han-toako, kenapa engkau baru muncul? Ke mana saja engkau sejak tadi? Aku dengar ayah marah-marah kepada mu. ya? Ayah ingin engkau segera menjadi seorang pembesar, ya? "kata yang lebih kecil.

   Cin Han tersenyum lebar dan menghampiri kedua orang gadis itu. Mereka adalah gadis-gadis yang sehat dan jelita, membuat dia bangga memandang mereka. Yang lebih besar, Yang Kui Lan , memiliki wajah yang menurut ibunya, mirip dengan wajahnya, atau lebih tepat, wajah mereka mirip dengan wajah bibi mereka, Yang Kui Hui yang cantik jelita.

   Karena itu, Kui Lan amat cantik jelita, seperti bibi mereka. Tubuhnya tinggi ramping, wajahnya cantik dengan dagu meruncing dan mata yang memiliki kerling tajam, dan tahi lalat kecil di dagu kiri menambah kemanisannya.

   Mulut yang indah, hidungnya mancung. Seraut wajah yang jelita, dan wataknya pendiam, anggun dan agung, seperti seorang puteri istana. Sungguh pantas ia menjadi puteri Menteri Utama, karena setiap gerak-geriknya, pembawaannnya, begitu agung seperti seorang puteri bangsawan tinggi.

   Sungguh jauh bedanya dengan Kui Bi, adiknya yang berusia enam belas tahun itu. Adiknya ini mirip ibu kandung gadis itu. tubuhnya kecil mungil Dengan wajah manis dan rambut hita m subur, matanya seperti sepasang bintang yang selalu tersenyum. Mata itu lebih nampak senyumnya dibanding bibirnya yang merah basah, sepasang mata yang Jenaka, pembawaannya lincah dan manja, pandai bicara, dan sa ma seka li tidak pendia m seperti enci tirinya. Gadis ini memang amat cerdik dan lincah, pandai? bergaul sehingga disayang oleh semua keluarga.

   Cin Han tidak merasa heran mendengar Kui Bi mengetahui persoalannya dengan ayahnya. Memang sudah lama ayahnya selalu membujuknya agar dia mau menjadi pejabat. Akan tetapi tentu kedua orang adiknya itu tidak tahu apa yang baru saja terjadi antara dia dan ayahnya. Dia membelokkan arah percakapan dan sambil mengamati kedua orang gadis yang kini menggunakan saputangan untuk menyusut keringat yang membasahi leher dan muka mereka, dia bertanya.

   "Lan-moi (adik Lan) dan Bi-moi (adik Bi), ilmu pedang apakah yang kalian latih tadi ?"

   Dua orang gadis itu nampak terkejut, saling pandang dan Kui Lan tidak mampu menjawab, diam saja. Ku i Bi tersenyum dan berpura-pura heran.

   "Aih, kenapa masih bertanya, Han"ko. Kami berlatih ilmu pedang biasa, Thian-te Kiam-hwat (Ilmu Pedang Langit Bumi) yang sudah kita kenal bersama, bahkan engkau sering me mberi petunjuk kepada kami."

   Cin Han mengerutkan alisnya dan memandang kepada adiknya dengan alis berkerut.

   "Bi-moi, sejak kapan engkau belajar berbohong? Kau kira begitu mudah engkau membohongi aku? Sudah sejak tadi aku menonton kalian berlatih ilmu pedang itu dan aku tahu bahwa itu adalah ilmu pedang aneh dan hebat yang sama sekali tidak kukenal. Nah, masihkah kalian tidak mau berterus terang kepada kakak kalian sendiri?"

   "Maafkan ka mi, koko......."

   Kata Kui Lan.

   "Tidak perlu minta maaf, ceritakan saja dari mana kalian mempelajari ilmu pedang itu dan apa namanya,"

   Kata Cin Han dengan suara tegas dan menuntut.

   "Hi-hik, Lan-ci (kakak Lan), aku berani bertaruh bahwa Han-ko baru saja mendapat marah besar dari ayah!"

   Kata Kui Bi sambil tertawa-tawa sehingga nampak deretan giginya yang mengkilap rapi.

   "Hemm, dari mana kau tahu?"

   "Itu mudah saja, koko. Engkau di marahi ayah, tidak berani membalas dan untuk melampiaskan kedong kolanmu, engkau memarahi kami. Belum pernah kita melihat Han-ko marah"marah kepada kita, bukan, Lan-ci ?"

   Cin Han memandang dengan sungguh sungguh.

   "Lepas dari soal marah atau tidak, aku sungguh ingin tahu sekali. Ilmu pedang kalian tadi memang hebat. Dari siapa kalian mempelajarinya?"

   Kembali kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Lan menghela napas dan berkata kepada adiknya,

   "Bi-moi, tiada salahnya kalau kita berterus terang saja kepada Han-ko. Kau ceritakanlah kepadanya apa adanya, Bi-moi."

   Mendengar ucapan encinya, Kui Bi tidak bimbang lagi.

   "Begini, Han-ko, bukan kami tidak mau berterus terang kepadamu, akan tetapi sesungguhnya, orang yang mengajarkan ilmu pedang ini kepada kami memesan agar kami tidak menceritakan kepada orang lain...."

   "Akan tetapi aku bukan orang lain, Bi-moi! Kalau tidak kauceritakan padaku, akan kuberi tahu ayah bahwa kalian menyembunyikan rahasia dan kalian tentu akan dipaksa mengaku dan mendapat kemarahan besar."

   Cin Han mengancam.

   "Baiklah, Han-ko, kami ceritakan akan tetapi engkau harus berjanji tidak akan menceritakannya kepada orang lain,"

   Kini Kui Lan berkata.

   Cin Han mengangkat kedua tangan ke atas.

   "Baik, aku berjanji. Nah, sekarang ceritakan kepadaku."

   "Peristiwanya terjadi tiga bulan yang lalu, koko,"

   Kui Bi mulai bercerita.

   "Kami berdua sedang melakukan perjalanan pulang dari kuil di mana kami bersembahyang. Di depan kuil,sebelum kami naik joli, kami melihat seorang kakek pengemis duduk melenggut. Kami merasa kasihan sekali kepada kakek jembel itu, maka kami lalu mengambil dua keping uang emas dan kami berikan kepadanya."

   "Kalian memberi sedekah dua keping uang emas kepada seorang pengemis? Luar biasa sekali! Kalian terlalu royal!"

   Cin Han berseru heran. Mana ada orang memberi sedekah dengan kepingan emas kepada seorang pengemis?

   "Memang luar biasa, koko, dan kami berduapun merasa heran mengapa mendadak kami merasa iba kepadanya. Akan tetapi akibat perbuatan. kami itupun luar biasa, koko!"

   Kata Kui Bi.

   "Eh, Bi-moi, apa hubungannya urusan pengemis itu dengan ilmu pedang kalian?Jangan mencoba mengibuli aku!"

   "Aih, engkau sungguh tidak sabar, koko. Jelas ada hubungannya! Dengarkan saja,"

   Sela Kui Bi.

   "Tiga hari kemudian, ketika pada suatu pagi kami berdua sedang berlatih ilmu pedang, tiba-tiba terdengar suara orang yang mencela gerakan kami dan memberi petunjuk. Tentu saja kami terkejut dan penasaran, akan tetapi petunjuknya itu memang tepat sekali. Anehnya, suara itu tidak ada orangnya. Baru ketika kami minta kepada suara itu agar kalau dia seorang manusia suka memperlihatkan diri, tiba-tiba saja muncul seorang kakek dan bukan lain adalah kakek jembel depan Kui Bi itu!"

   Kisah itu mulai menarik dan Cin Han terbelalak.

   "Lalu bagaimana, Bi? Lanjutkan, lanjutkan.....!"

   Bibir yang merah basah itu merekah dalam senyum yang menggoda.

   "Akan kulanjutkan, akan tetapi janji dulu bahwa lain kali engkau tidak akan galak kepadaku, dan akan selalu bersikap manis sebagai seorang kakak yang baik. Berjanjilah!"

   Gadis ini memang nakal dan suka menggo da , lagi manja.

   "Baiklah, baiklah..... aku berjanji. Tapi cepat lanjutkan, lalu bagaimana? Apakah pengemis itu muncul di sini, di taman ini ? "

   "Benar, dia muncul, bukan seperti engkau tadi yang bersembunyi di balik pondok. Dia melayang turun dari atas pondok seperti burung saja. Kami terkejut dan bertanya apa maunya dan bagaimana dia dapat memasuki taman. Dia hanya tertawa dan mengatakan bahwa dia datang.untuk membalas budi kami. Dan diapun segera mengajarkan ilmu pedang itu kepada kami dengan janji bahwa kami tidak akan menceritakan kepada orang lain......"

   "Tapi aku bukan orang lain, aku adalah kakak kalian yang baik dan tersayang. Nah, lanjutkan!"

   Kata Cin Hari tak sabar.

   "Siapa nama orang itu, apa nama ilmu pedang itu dan berapa lama dia mengajarkan kepada kalian, apakah! dia masih suka datang ke sini dan....!"

   "Aihh, repot juga aku menghadapi! serangan pertanyaanmu yang seribu satu macam banyaknya itu, koko! Dia tidak memperkenalkan namanya, dan tidak suka kami sebut sebagai guru. Dia hanya ingin membalas budi. Ilmu pedang itu dia sebut Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang katanya amat cocok untuk kami. Tadinya dia datang setiap hari sampai kurang lebih sebulan, kemudian dia mengatakan bahwa kami sudah mempelajari semua teorinya hanya tinggal berlatih berdua saja dan dia tidak pernah datang lagi.

   "

   "Dan selama sebulan itu, dia datang ke sini dan pergi tanpa dilihat orang lain?"

   "Agaknya tidak ada yang melihatnya kecuali kami berdua, Han-ko,"

   Kata Kui Lan.

   "Memang dia mempunyai gerakan yang luar biasa, datang dan pergi hanya na mpak bayangannya berkelebat."

   "Luar biasa! Sungguh luar biasa!"

   Seru Cin Han.

   "Bagaimana orangnya, sikapnya, bentuk badannya, wajahnya, kepandaiannya?"

   Kembali dia menghujankan pertanyaan, me mbuat Kui Bi terke keh.

   "Wah-wah, engkau murka sekali, koko. Engkau hanya berjanji satu, akan tetapi minta banyak sekali. Nah, aku akan menceritakan bagaimana keadaan orang itu, akan tetapi engkau harus berjanji bahwa engkau nanti akan menceritakan tentang ayah, apakah engkau tadi di marahi ayah dan mengapa dimarahi? Maukah engkau berjanji?"

   "Baiklah, baiklah, engkau rewel sekali, Bi-moi. Hayo katakan bagaimana keadaan orang itu!"

   "Orangnya berusia kurang lebih ena m puluh tahun, kurus kering dan bong kok, seperti ebi....."

   "Ebi?"

   "Ya, udang kering itu lho! Rambutnya dibiarkan riap-riapan, sudah banyak ubannya, pakaiannya tambal-tambalan akan tetapi bersih, dan mukanya seperti seperti...... monyet."

   "Bi-moi!"

   Kui Lan menegur adiknya "Bagaimana juga, dia itu guru kita, bagaimana engkau dapat mengatainya seperti itu?"

   "Aih, enci. Aku bukan bermaksud menghinanya, akan tetapi bagaimana pula harus menerangkan kepada Han-koko Kita harus jujur, enci. Bukankah memang mukanya mirip muka seekor monyet Coba kau yang menggambarkan, bagaimana bentuk wajahnya agar Han-koko mengerti, enci Lan."

   "Sudahlah, aku tidak tahu. Keteranganmu sudah cukup, hanya yang kutahu, dia selalu membawa sebatang tongkat."

   "Ah, benar! Han-ko, orang itu selalu membawa sebatang tongkat hitam panjangnya sedepa, kadang dia selipkan di pinggang. Nah, sekarang kau ceritakan tentang ayah dan engkau, Han-ko."

   Ditanya demikian, kegembiran dan ketegangan mendengar tentang pengemis itu, seperti tersapu dari wajah Cin Han. Wajahnya berubah agak muram dan diapun duduk di atas bangku yang terdapat di situ, lalu termenung dan menghela napas berulang kali.

   "Ihh! Bagaimana, ini, Han-ko? Kalau ceritamu hanya helaan napas panjang saja, tidak perlu aku mendengar nya. Aku sendiri pun mampu dan pandai kalau hanya menghela napas!"

   Kui Bi bersungut-sungut.

   Sikap adiknya ini sedikit banyak mengurangi tekanan batin yang di derita Cin Han dan diapun tersenyum.

   "Ayah memang marah-marah kepadaku. Seperti biasa, ayah hendak memaksa aku untuk menjadi pejabat, akan tetapi aku menolak dan aku mengatakan bahwa aku ingin pergi merantau selama dua tiga tahun dulu mencari pengalaman."

   "Wah, bagus! Menyenangkan sekali! Aku ikut, Han-ko!"

   Teriak Kui Bi dengan gembira sehingga suaranya seperti orang bersorak.

   "Hushh, Bi-moi, lupakah engkau bahwa engkau seorang wanita?"

   Kui Lan menegurnya.

   Kui Bi membalikkan tubuh menghadapi encinya.

   "Kalau aku wanita, habis mengapa, enci? Wanitapun manusia seperti Han-koko, bukan? Dan akupun ingin mencari pengalaman, merantau bersama Han-ko. Akupun sudah mampu menjaga dan membela diri, bukankah begitu, koko?"

   Dengan manja Kui Bi memegang tangan kakaknya.

   "Han-ko, aku boleh ikut denganmu pergi merantau, bukan? ,Boleh kan, koko yang baiki"

   Cin Han tersenyum akan tetapi menggeleng kepalanya.

   "Aih, BI-moi, engkau ini seperti anak kecil saja. Sedangkan aku sendiri begitu memberi tahu ayah bahwa aku akan pergi merantau, ayah sudah marah bukan main dan melarangku, apa lagi kalau dia mendengar engkau akan ikut pergi. Tentu kemarahannya akan memuncak."

   "Jadi.... kalau begitu, engkau tidak jadi pergi merantau?"
Tanya Kui Bi kecewa. Kakaknya menggeleng kepala dan menghela napas panjang.

   "Entah, Bi-moi. Aku masih bingung, belum dapat mengambil keputusan. Kalau aku pergi, tentu ibu akan berduka karena ayah marah. Dan engkau, jangan harap engkau dapat pergi, tentu ayah akan melarang keras."

   Kui Bi menjatuhkan diri duduk di atas bangku dan bertopang dagu, alisnya berkerut dan nampak giginya yang rapi putih Itu menggigit-gigit bibir bawah, tanda bahwa hatinya kesal dan jengkel.

   "Sudahlah, Bi-moi, jangan macam-macam. Kita ini wanita, tidak mungkin ayah memperbolehkan kita pergi merantau. Sedangkan Han-ko yang laki- laki pun tidak diperkenankan, apa lagi kita."

   "Wah, aku sudah tahu! Ya, hanya itulah jalan satu"satunya!"

   Tiba-tiba Kui Bi meloncat bangun, mengejutkan kedua orang kakaknya, dan Kui Bi ke mba li me megang tangan Cin Han, mengguncang-guncangnya sambil berkata,

   "Han-ko, engkau harus meno long ka mi sekali ini! Engkau harus menolong kami agar kami diperkenankan ayah untuk keluar dari rumah, dari kota raja!"

   "Ehh? Bagaimana pula ini? Yang akan merantau adalah aku, bukan kalian!"

   Kata Cin Han.

   "Tentu saja. Engkau pergilah merantau, koko. Engkau pergi tanpa pamit alias minggat. Nah, tentu ayah dan para ibu bingung, lalu aku dan enci Lan akan menghadap ayah, dan mengusulkan agar kami diperkenankan pergi mengejar dan mencarimu sampai dapat, memaksamu untuk pulang! Dengan demikian, ayah tentu akan mengijinkan dan berarti kita bertiga semua pergi merantau! Asyiiik!"

   Mau tidak mau Cin Han tertawa melihat adiknya yang manis itu menari-nari gembira. Juga Kui Lan yang amat mencinta adiknya ikut tersenyum.

   "Ihh, engkau menganggap segala hal dapat dilaksanakan dengan mudah saja, Bi-moi."

   "Apa sih sukarnya? Kalau Han-ko minggat malam-malam,siapa yang akan menghalanginya. Dan pada keesokkan harinya, kita menghadap ayah dan menyatakan akan mengejar Han-ko sampai dapat. Serahkan saja kepadaku untuk membujuk ayah, pasti berhasil!"

   "Terserah kepada Han-ko, kita tidak bisa memaksanya,"

   Kata pula Kui Lan sambil memandang kepada pemuda itu. Kui Bi juga memandang dan pemuda itu kembali menghela napas panjang.

   "Hal ini akan kupertimbangkan dulu,"

   Katanya dan diapun meninggalkan taman itu bersama dua orang adiknya yang akan pergi mandi.

   Cin Han berjalan santai di jalan raya depan kuil itu. Banyak memang di depan kuil, di kanan kiri, terdapat para pengemis yang menanti para tamu keluar dari kuil untuk minta sedekah. Biasanya, orang yang memasuki kuil tentu untuk bersembahyang dan memohon sesuatu dan orang-orang seperti itulah yang biasanya suka memberi sedekah kepada para pengemis.

   Suatu kekeliruan besar telah kita perbuat, sejak sejarah kehidupan manusia dimulai sampai sekarang, yaitu menjadi peminta-minta. Mungkin caranya yang berubah dan berbeda"beda, namun pada hakekatnya, tetap saja kita meminta-minta, mengemis. Kepada Tuhan, kepada para dewa, kepada arwah leluhur, bahkan kepada setan dan iblis kita selalu menadahkan tangan untuk minta-minta, untuk memohon sesuatu! Yang kita lakukan dalam sembahyang, selalu berisi penuh permintaan, permohonan!

   Dan dalam keadaan memohon sesuatu, masih kita sogok lagi dengan perbuatan yang dianggap baik, seperti beramal, memberi sedekah, menolong orang, semua itu untuk memperkuat doa kita agar permohonan kita terkabul! Kalau permintaan dengan segala macam bentuk sogokan itu ditujukan kepada para dewa, kepada arwah atau kepada segala macam setan dan iblis, masih dapat dimengerti, karena mereka memang mungkin masih membutuhkan sogokan. Akan tetapi kalau segala macam permintaan itu ditujukan kepada Tuhan Maha Pencipta, sungguh hal ini patut kita renungkan bersama.

   Tuhan Maha Kuasa, Maha Adil, Maha Kasih! Tuhan telah menciptakan Segala sesuatu dalam keadaan sempurna! Kitapun diciptakan ke dunia ini dalam keadaan yang sempurna, disertai segala macam alat yang paling lengkap untuk dapat hidup.

   Setiap helai rambut, Setiap lubang pori"pori, kuku, gigi, setiap lekukan jari, bulu mata, alis, Panca indera, hati akal pikiran, lengkap dengan segala macam yang ada pada diri kita luar da la m, semua itu me mpunyai daya guna untuk dapat kita pergunakan demi kepentingan kehidupan di dunia ini. Sudah diberi sejak lahir secara lengkap.

   Berkah Tuhan juga, berlimpahan. Kita diberi tanah, udara, panas matahari, air, semua yang diperlukan untuk kehidupan tanam-tana man yang akan menjadi makanan kita, sampai ke benih segala macam tumbuh-tumbuhan, jutaan macam banyaknya. Ada pula jutaan macam binatang yang dagingnya dapat pula menjadi ma kanan kita. Segala sudah tersedia, TINGGAL MENGERJAKAN saja.

   Namun, kita masih saja minta-minta! Sepatutnya, dalam sembahyang, kita berbakti, kita memuja, kita bersyukur, berterima kasih, karena segalanya telah disediakan Tuhan untuk kita. Kita hanya tinggal mengerjakan segala yang ada pada kita, mengerjakan anggauta badan kita, hati akal pikiran kita, demi mencukupi kebutuhan hidup kita.

   Demikian Maha Kasih Tuhan sehingga dalam segala macam tumbuh-tumbuhan itu telah terdapat yang bisa mengenyangkan, yang bisa menguatkan, bahkan ada pula yang dapat menyembuhkan kita kalau kita terserang penyakit.

   Hidup ini berarti gerak. Siapa tidak menggerakkan dirinya untuk bekerja, tentu akan terjadi gangguan pada dirinya.Bekerja, mempergunakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan untuk kita, berarti kita tidak menyia-nyiakan pemberian Tuhan, berarti bahwa kita telah berdosa. Mengerjakan segala sarana yang telah diberikan Tuhan kepada kita berarti berbakti dan memuja ke pada Sang Maha Pencipta. Karena itu, tidak ada gunanya memohon tanpa bekerja. Kalau kita lapar, kita harus mencari makanan sendiri, bukan minta makanan kepada Tuhan!

   Demikianlah pula kalau kita sakit, kita harus berusaha mencari obatnya. Segala apapun yang kita butuhkan, harus kita cari sendiri. Itulah kewajiban manusia dalam kehidupan di dunia ini. Berikhtiar agar hidup ini terpenuhi semua kebutuhannya, kemudian berikhtiar agar hidup ini terisi oleh manfaat bagi manusia lain. Ikhtiar adalah wajib, dan tanpa mau berikhtiar, hanya memohon dan mengandalkan kepada Tuhan saja, sama dengan mempersekutukan Tuhan, membebani Tuhan dengan segala pekerjaan demi keenakan kita! Betapa besar dosanya kalau sikap ini kita pertahankan!

   Sembahyang kepada Tuhan merupakan wajib, yaitu kewajiban kita untuk berbakti, bersyukur dan berterima kasih. Tuhan Maha Tahu Tidak usah kita minta, Tuhan sudah Tahu apa yang kita butuhkan, dan sudah disediakan segalanya, pasti akan kita dapatkan dengan jalan berikhtiar, dengan landasan iman dan kepasrahan kepada Tuhan yang menentukan segalanya.

   Puji syukur kepada Tuhan. Dan kalaupun ada suatu permohonan suatu permintaan, maka sepatutnya kalau satu-satunya permohonan kita adalah mohon ampun atas segala kesalahan kita yang lalu. Dengan penyera han kepadaNya, pasrah, tawakal, ikhlas, sabar, maka kita akan mendapatkan bimbinganNya.Bukan dengan cara minta-minta, apa lagi menyogok. Perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan balas jasa, bukan perbuatan baik lagi namanya, melainkan kepalsuan. Sama seperti kalau kita berbuat baik terhadap seorang pembesar dengan harapan agar kelak pembesar itu akan memberi suatu kemudahan bagi kita! Perbuatan baik seperti itu bukan lain hanyalah perbuatan menyogok, menyuap.

   Cin Han akhirnya menemukan apa yang dicarinya di pagi hari itu. Kakek itu duduk melenggut di sudut pekarangan kuil. Dia tidak meratap meminta-minta kepada orang-orang yang berlalu-lalang di depannya seperti para pengemis lain. Dia bahkan melenggut dan mengantuk, kedua matanya terpejam, rambutnya yang riap-riapan kelabu itu bagian atasnya, menutupi ubun-ubun kepalanya, dilindungi sebuah topi butut yang bentuknya seperti tempurung kelapa.

   Tubuhnya yang kurus memang seperti ebi, seperti udang kering ketika dia melingkar di sudut itu. Yang membedakan dia dari para pengemis lain bukan hanya karena dia tidak merengek dan mengemis, akan tetapi kebersihan pada dirinya, baik pada rambutnya, pakaian dan mukanya. Bajunya memang butut dan tambal-ta mbalan, akan tetapi bersih! Dan sebatang tongkat hita m terletak di atas ke dua pahanya.

   Jelas, inilah orangnya, pikir Cin Han, terheran-heran. Orang seperti ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi? Sungguh amat sukar dipercaya. Melihat tubuh yang kerempeng itu, agaknya tertiup angin agak keraspun dia akan terpelanting! Berbeda dengan guru-gurunya, para jagoan istana, hampir semua bertubuh kokoh kuat. Akan tetapi, dari para gurunya itu dia sudah mendengar pula bahwa di dunia kang-ouw terdapat banyak orang aneh, orang-orang yang kelihatannya amat lemah, akan tetapi justeru memiliki kesaktian. Karena itu, dia tidak berani memandang rendah, apa lagi teringat akan cerita Kui Bi.

   Cin Han mengambil sepotong emas dari sakunya. Emas itu sedikitnya setail beratnya, puluhan kali lebih banyak dari pada keping emas yang pernah diberikan Kui Lan dan Kui Bi kepada kakek ini. Setelah meli hat ke kanan kiri dan tidak ada seorangpun yang melihat apa yang diperbuatnya, Cin Han menghampiri kakek itu dan meletakkan sepotong emas itu kedalam tangan kakek itu, menekankan emas itu di telapak tangannya sambil berkata,

   "Kakek yang baik, terimalah sedekahku ini!"

   Kakek Itu membuka mata dan setelah Cin Han melihat bahwa kakek itu memandang kepadanya, dia mengangguk sambil tersenyum, lalu melangkah pergi. Tanpa menoleh Cin Han pergi menuju ketimur dan keluar dari pintu gerbang kota raja. Dia lalu memilih tempat yang sunyi, yaitu di tepi Sungai Wei, sungai yang mengalir di tepi kota raja dan yang mengalir ke timur dan menjadi anak Sungai Kuning.

   Di tepi sungai itu dia duduk termenung. Dia merasa yakin bahwa kakek sakti itu pasti terpikat dan akan menemuinya di tempat itu, seperti dia menemui kedua orang adiknya yang telah memberinya hanya dua keping uang emas.

   Apa yang diduga dan diharapkannya kemudian terbukti benar. Belum setengah jam dia duduk di tepi sungai yang lebar dan airnya tenang itu, terdengar suara orang batuk-"batuk di belakangnya. Dia menoleh dan melihat kakek tadi telah berdiri di situ, tubuhnya bungkuk dan dia berdiri bertopang pada tongkat hitamnya, matanya yang sipit itu menga matinya, mulutnya menyeringai seperti orang mengejek.

   Cin han segera menjatuhkan diri berlutut di depan kakek jembel itu. Melihat ini, kakek itu nampak terheran-heran dan mencoba untuk membelalakkan matanya yang sipit. Akan tetapi sia-sia, karena mata itu terlalu sipit, coba dibelalakkan malah menjadi semakin terpejam!

   "Ah, kongcu, apa yang kaulakukan ini?"

   Katanya.

   "locianpwe, aku Yang Cin Han menghaturkan hormat kepada locianpwe,"

   Kata Cin Han dengan sikap hormat.

   Kakek itu mengeluarkan suara tawa aneh dan mulutnya menyeringai.

   "Heh-heh-heh, apa engkau sudah gila? Tadi engkau lewat dan sepotong emasmu terjatuh ke tanganku, sekarang engkau memberi hormat secara berlebihan kepadaku. Nah, kau terima ke mbali e mas mu ini, kongcu."

   "locianpwe, emas itu memang sengaja ku berikan kepadamu sebagai sedekah,"

   Kata Cin Han tegas.

   "Ehh? Memberi sedekah sebanyak ini? Apa maksudmu memberi sedekah emas sebesar ini?"

   "locianpwe, aku memberikan emas itu kepadamu dengan maksud agar locianpwe suka mengajarkan ilmu kepadaku. Aku tahu bahwa locianpwe adalah seorang ahli silat yang pandai., maka aku mohon agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat yang tinggi kepadaku."

   "Hemm, orang muda. Kaukira ilmu dapat dibeli dengan emas? Biar kau sediakan emas yang banyaknya seribu kali ini, engkau tidak akan dapat memaksa aku mengajarkan ilmu kepadamu!"

   Suara kakek itu mengandung teguran.

   "Biarpun engkau putera menteri, kaya raya, namun tidak akan dapat memaksaku mengajarkan ilmu kepadamu."

   Mendengar ini, Cin Han mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi,locianpwe telah menerima dua keping emas dari dua orang adikku dan locianpwe telah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada mereka! Kalau aku sekarang memberi sepotong emas kepada locianpwe dan minta agar locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepadaku seperti yang locianpwe lakukan

   kepada dua orang adikku, salahkah itu?"

   Kakek itu tertawa.

   "Heh-heh-heh, orang.muda. Kaukira aku mengajarkan silat kepada dua orang nona itu karena mereka telah memberi uang emas kepadaku? Sama sekali tidak! Aku mengajarkan silat kepada mereka bukan karena emas itu, melainkan karena budi mereka."

   "Hem, emasnya memang sama, akan tetapi dasar yang mendorong pemberian itu yang sama sekali berbe da. Mereka memberikan emas kepadaku terdorong oleh perasaan iba sehingga mereka memberi tanpa pamrih karena merasa kasihan. Sebaliknya, engkau memberi emas kepada ku karena terdorong keinginan mu untuk dapat mempelajari ilmu silat dari ku. Berarti, kau hendak menyogokku, hendak membeli ilmuku. Tak mungkin aku mau mengajarimu!"

   Berkata demikian, kakek itu menjatuhkan sepotong emas tadi ke depan Cin Han yang masih berlutut.

   "Kalau begitu, locianpwe tidak adil! Sama sekali tidak adil!"

   Kata Cin Han yang melihat betapa kedua kaki orang itu sudah diputar dan agaknya hendak meninggalkan dia yang masih berlutut terasa matanya seperti menjuling dan mendelik, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat melihat kakek itu.

   Celaka, dia benar-benar pergi! Kakek yang keras hati, pikirnya. Akan tetapi, diapun kalau perlu dapat berkeras hati, pikirnya. Dia sudah berjanji akan berlutut terus. Biarlah dia berlutut terus sampai kakek itu kembali, atau sampai jatuh pingsan, biar orang lain yang mengangkat dan membangunkannya. Yang jelas, dia tidak akan bangun. Malu rasanya kalau melanggar janji sendiri.

   Biarpun dia tidak diajar silat, yang jelas sudah mendapatkan satu pelajaran dari kakek itu, yaitu harga diri! Kakek itu, biar diberi emas satu ton, tidak mau menjual ilmunya. Diapun, sesudah berjanji, takkan melanggarnya. Ini namanya harga diri!

   Dapat dibayangkan betapa lelahnya tubuh, terutama kedua kaki dan terutama sekali di bagian lutut, kalau orang berlutut terus sejak pagi sampai sore, bahkan sampai ma la m gelap tiba. Dan kakek itu sama sekali tidak nampak Kembali! Dan juga tempat itu sunyi, tidak ada seorangpun lewat! Untung jauh lari hutan, pikirnya. Kalau di dalam hutan lalu ada binatang buas datang, bagaimana? Dia sudah hampir tidak kuat bertahan lagi. Ingin sekali dia meloncat bangun dan lari pulang.

   Akan tetapi, Cin Han menggigit bibir dan bertahan terus! Malam itu hawa udara dingin bukan main.

   Bagaimana kalau sungai itu banjir dan airnya menyambar tempat dia berlutut, pikirnya. Malam itu gelap dan suara angin bertiup pada pohon-pohon membuat daun bergoyang dan menimbulkan suara seperti ada seribu setan saling berbisik dan menertawankannya! Bermacam penglihatan khayal menggoda Cin Han. Bulu kuduknya meremang ketika terdengar suara burung hantu di atas pohon.

   Setelah lewat tengah malam dan kakek itu belum ada tanda-tandanya akan kembali, hati Cin Han mulai mengomel dan memaki-maki.

   "Kakek kejam! Kakek sadis! Tentu dia bukan orang baik-baik. Tentu dia seorang datuk sesat. Kalau dia manusia baik-baik tentu tidak sekejam ini, kakek berhati iblis"

   Demikian dia me maki-maki dalam hatinya, akan tetapi tetap saja dia tidak bangkit berdiri. Pertama karena dia masih ada sedikit sisa kenekatannya, dan kedua karena memang kedua kakinya sudah terasa kaku dan tidak dapat digerakkan sehingga kalau dia bangkit berdiri, tentu dia akan jatuh, dan ke tiga, malam begitu gelap, andaikata dapat berdiripun, dia tidak berani melanjutkan, salah-salah dia bisa tercebur ke dalam sungai!

   Menjelang pagi, rasa lelah dan kantuk tak tertahankan lagi. Cin Han masih berlutut dan kini kepalanya semakin menunduk sampai a khirnya menyentuh tanah di depannya, kedua matanya terpejam dan rasanya dalam mimpi. Dalam mimpi itu, matanya melirik ke atas dan dia melihat dua buah tiang mencuat depan hidungnya dan tercium bau ya tidak enak. Dia mengingat-ingat karena walaupun bau itu tidak enak, akan tetapi seperti tidak asing bagi hidungnya, diapun teringat. Itu bau kaki! Biasa, kalau dia berganti kaus kaki, seperti itu baunya! Matanya melirik terus makin ke atas, dan dia bantu dengan mukanya yang dia angkat dan..... kakek itu telah berdiri di depannya, kedua buah tiang itu adalah kaki pengemis tua itu dan yang bau adalah kakinya, kaki yang berdiri dekat hidungnya!

   "locianpwe.!"

   Kata Cin Han dengan girang.

   "Heh-heh, agaknya keluarga Yang memang mempunyai darah keturunan orang yang bandel, keras hati dan tahan uji. Pantas Yang Kok Tiong menjadi Menteri utama dan Yang Kui Hui menjadi selir terkasih. Engkau cukup berkemauan keras dan tahan uji. Bangkitlah, Cin Han."

   Makin kagumlah hati Cin Han terhadap kakek itu. Bukan orang sembarangan, pikirnya, buktinya sudah mengetahui nama ayah dan bibinya.

   "Terima kasih, locianpwe,"

   Katanya dan dia menggerakkan tubuh untuk bangkit berdiri.

   Akan tetapi, kedua kakinya terasa kaku dan nyeri ketika dia bangkit berdiri sehingga dia jatuh berlutut kembali, menyeringai kesakitan.

   Kakek itu kembali terkekeh dan tiba-tiba tongkat bergerak, bagaikan seekor capung bermain di atas air, ujung tongkatnya menyentuh kedua kaki Cin Han di beberapa bagian dan tiba"tiba pemuda itu merasa betapa kedua kakinya sudah pulih kembali!

   Dia bangkit berdiri, lalu menjatuhkan diri berlutut memberi hormat lagi.

   "Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati suhu,"

   Katanya, langsung saja menyebut suhu dan memberi hormat delapan kali seperti sudah menjadi lajimnya seorang murid baru memberi hormat kepada gurunya.

   Kakek itu membiarkannya saja memberi hormat. Dari keteguhan hati pemuda itu, dan ketika dia menggu nakan tongkat menotoknya, dia dapat mengetahui bahwa pemuda ini memiliki bakat dan kemampuan yang tidak akan mengecewakan kalau menjadi muridnya.

   "Bangkitlah sekarang, dan ketahuilah bahwa tidak mudah menjadi murid Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti)! Engkau harus berani berkorban."

   Berdebar jantung dalam dada Cin Han ketika dia mengetahui bahwa kakek itu adalah Sin-tung Kai-ong. Jarang ada orang mengenalnya, akan tetapi namanya dikenal oleh semua jagoan istana yang pernah mengajarkan silat kepadanya. Nama itu adalah nama seorang datuk persilatan yang aneh, tidak pernah memihak, akan tetapi jelas tidak termasuk datuk sesat! Bahkan condong berwatak pendekar walaupun wataknya angin-anginan dan aneh.

   "Teecu siap untuk melaksanakan segala perintah suhu, walaupun harus berkorban apa saja!"

   Kata Cin Han dengan suara tegas dan wajah gembira. Lenyaplah semua perasaan lelah dan kantuknya karena luapan rasa gembira.

   "Kalau engkau memang ingin menjadi muridku, sekarang juga engkau harus pergi ikut denganku, tidak boleh pulang dulu untuk berpamit atau mengambil bekal apapun. Sanggupkah engkau?"

   Diam-diam Cin Han terkejut. Pergi, begitu saja? Soal bekal tidak merupakan hal penting baginya, akan tetapi tidak pamit kepada ayahnya dan terutama kepada ibunya? Kemudian dia teringat akan siasat yang diusulkan oleh Kui Bi dan diam-diam dia tersenyum.

   Keadaan ini cocok sekali dengan apa yang diinginkan Kui Bi. Kui Bi tentu akan menghadap ayah mereka dan menyatakan ingin mencarinya bersama Kui Lan sehingga mereka berdua mendapat kese mpatan untuk pergi merantau.

   "Bagaimana? Benar-benarkah engkau rela berkorban?"

   "Tentu saja, suhu. Teecu siap melaksanakan perintah suhu!"

   "Kalau begitu, mari kita pergi dari sini."

   Kakek itu lalu melangkah pergi, menuju ke selatan, langkahnya nampak biasa saja akan tetapi tubuhnya seperti terbang cepatnya meluncur ke depan. Cin Han terkejut dan terpaksa dia harus berloncatan dan mengerahkan tenaganya untuk mengejar agar jangan sampa i tertinggal oleh suhunya.

   Tepat seperti diduga oleh Cin Han dan sudah diperhitungkan oleh Kui Bi yang cerdik, setelah dua hari Cin Han tidak pulang, keluarga Yang menjadi panik. Yang Kok Tiong menjadi marah dan bingung, dan hatinya yang keras membuat dia memaki-maki puteranya dan memarahi isterinya yang dianggap terlalu meman jakan Cin Han. Sudah dikerahkan pasukan mencari Cin Han, namun tidak berhasil dan dalam keadaan seperti itu, Kui Bi mengajak Kui Lan menghadap ayah mereka.

   "Ayah, aku dan enci Lan akan pergi mengejar dan mencari Han-koko sampai dapat. Kami berdua mengenal baik koko, dan kalau kami yang membujuknya, tentu dia akan suka pulang. Andaikata ada petugas yang berhasil menemukannya, kalau dia berkeras tidak mau pulang, petugas itu tentu tidak dapat memaksanya. Hanya kami berdua yang akan dapat mengajaknya pulang, ayah."

   Andaikata Yang Kok Tiong tidak sedang pusing dan marah kepada puteranya, tentu dia akan mempertim bangkan permintaan kedua orang puterinya itu. Akan tetapi dia menghendaki agar puteranya pulang, putera tunggalnya, maka diapun tidak begitu memperhatikan atau memiliki ilmu kepandaian silat yang tangguh, maka diapun mengangguk dan menyetujuinya.

   Mendapat ijin dari ayahnya, Kui Bi menarik tangan Kui Lan dan mereka berdua segera berkemas, memba wa buntalan berisi pakaian dan perhiasan yang cukup banyak untuk bekal, tidak lupa membawa pedang mereka. Ibu-ibu mereka merasa cemas, akan tetapi kedua orang gadis itu dapat menghibur ibu masing-masing, mengatakan bahwa mereka pasti akan dapat menyusul dan mengajak pulang kakak mereka.

   Kemudian, mereka memilih kuda terbaik dan pada hari itu, pagi-pagi sekali, mereka berangkat, melalui pintu gerbang sebelah utara. Setelah mereka tiba di tepi sungai Wei, mereka menyusuri tepi sungai terus menuju ke timur.

   "Bi-moi, ke mana kita harus mencari Han-ko?"

   Dalam perjalanan itu, sambil menjalankan kuda perlahan dan berdampingan dengan kuda adiknya, Kui Lan bertanya.

   Dua orang gadis yang sejak kecil mempelajari ilmu silat ini, sudah biasa pula menunggang kuda.

   "Lan-ci, Han-koko tidak memberitahu kepada kita ke mana dia pergi, bagaimana mungkin dapat mencarinya. Sekarangpun, ketika kita menuju ke timur, mungkin saja dia sedang menuju ke jurusan lain atau bahkan berlawanan dengan arah yang kita tuju."

   Kui Lan mengerutkan alisnya.

   "Lalu, kalau begitu kenapa kita pergi mencarinya? Kita tidakakan mungkin berhasil."

   "Memang kita tidak mengharapkan berhasil, enci. Bukankah kita pergi mencari Han-ko hanya untuk alasan agar kita diperbolehkan pergi merantau? Dan sekarang kita sudah berhasil meninggalkan kota raja memulai petualangan dan perantauan kira."

   "Tapi..... tadinya aku bermaksud untuk ikut Han-ko merantau. Kalau hanya kita berdua.... ah, aku merasa khawatir juga, Bi-moi. Kemana kita akan pergi dan apa yang akan kita laku kan?"

   "Aihh, Lan-ci, kenapa hatimu begitu kecil? Apa yang perlu kita khawatirkan? Kita mampu membela diri! Dan kita pergi ke mana saja untuk mencari pengala man dan meluaskan pengetahuan, kalau mungkin menambah ilmu kita, mempelajari ilmu silat yang lebih tinggi. Selain itu, untuk apa kita bersusah-payah mempelajari ilmu silat sejak kecil, enci? Kita harus mempergunakan ilmu kita untuk membantu pemerintah menenteramkan negara!"

   "Wah, kalau ayah mendengar ucapanmu itu, tentu engkau akan ditertawakan dan dimarahi. Kita ini hanya wanita, apa yang dapat kita lakukan untuk membantu pemerintah?"

   "Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Lan-ci, kita melihat betapa kacaunya di istana. Mata melihat betapa kaum pria yang menduduki jabatan tinggi hanya bersaing dan saling bermusuhan memperebutkan kedudukan. Kita melihat pula betapa Sri baginda Kaisar dipermainkan oleh bibi Yang Kui Hui. Seperti juga Han-ko, aku muak melihat semua itu dan sekarang, selagi kita mendapat kesempatan, sebaiknya kalau kita bergembira, dapat melepaskan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan di kota raja dan dapat beterbangan seperti burung bebas di udara. Senang, bukan?"

   Kui Lan menghela napas panjang, ia selalu kalah kalau berbantahan dengan adik tirinya yang amat disayangnya ini.

   "Baiklah, akan tetapi semua ada batasnya, adikku. Setelah kita puas berpesiar, kita harus kembali ke rumah orang tua kita."

   "Tentu saja, enci. Akupun tidak ingin selamanya berkeliaran di luar. Kita hanya mencari pengala man, seperti juga Han-ko. Dan siapa tahu, kita kebetulan akan dapat bertemu dengan dia."

   "Tapi kenapa engkau memilih jurusan ini?"

   Tanya Kui Lan.

   "Enci Lan, sekarang ini keadaan.tidak aman dan banyak orang jahat suka mengganggu orang yang melaku kan perjalanan. Jalan menyusuri sungai ini merupakan jalan yang paling ramai dan paling aman karena ter dapat banyak dusun nelayan dan petani, selain itu, tidak akan mudah tersesat. Sungai Wei ini akan berga bung dan masuk kedalam Sungai Kuning di depan sana, enci, dan setelah tiba di Sungai Kuning, kita dapat melanjutkan perjalanan dengan kuda atau dengan perahu, kita lihat saja nanti bagaimana enaknya. Lihat, bu kankah pemandangan alam di tepi sungai ini amat indahnya?"

   Kui Lan melayangkan penglihatannya ke sekitarnya dan harus ia akui bahwa adiknya memang benar. Di dalam kota tidak ada pemandangan seindah dan sesegar ini. Serba hijau segar menyedapkan mata meng amankan hati. Tumbuh"tumbuhan dengan suburnya memenuhi sungai. Sawah ladang yang subur, dan biar pun tidak terlalu sering, na mun mereka bertemu juga dengan pejalan kaki atau penunggang kuda, bahkan kereta yang berpapasan dengan mereka.

   Lewat tengah hari, udara amat panasnya dan ketika kakak beradik itu melihat sebuah kedai minuman di tepi jalan, mereka merasa gembira. Mereka juga membawa tempat minum, akan tetapi mereka ingin minum air teh yang harum dan melepas lelah, juga memberi kesempatan kepada dua ekor kuda mereka untuk mengaso dan makan rumput yang tumbuh di belakang kedai.

   Kedai itu agaknya didirikan orang sengaja untuk memberi kesempatan kepada mereka yang melakukan perjalanan dan lewat di situ untuk mengaso dan minum-minum. Selain rak dan teh, juga di situ dijual makanan ringan.

   Setelah menambatkan kuda mereka di belakang kedai dan membiarkan dua ekor itu melepas lelah dan makam rumput segar, kakak beradik itu lalu memasuki kedai sederhana namun cukup bersih dengan belasan buah meja dan bangku"bangku. Ketika mereka masuk, ternyata di situ telah duduk tujuh orang menghadapi dua meja, dibagi dua kelompok dari tiga dan empat orang.

   Mereka semua yang tadinya bercakap"cakap, bersendau-gurau, segera menghenti percakapan mereka dan mereka semua memandang kepada enci dan adik yang memasuki kedai dengan sikap tenang.

   Kain buntalan mereka terisi pakaian dan hiasan, juga pedang, maka Kui Lan Kui Bi membawa buntalan mereka masuk kedai. Mereka berdua maklum betapa pandang mata tujuh orang itu menga mati mereka dengan sinar mata mengandung keheranan, kekaguman, akan tetapi rata-rata mengandung kenakalan yang membuat kakak beradik ini maklum bahwa mereka bertujuh itu adalah orang-orang kasar yang kurang ajar. Tujuh orang itu ia tertawa-tawa dan pandang mata mereka semakin kurang ajar.

   Kui Lan dan Kui Bi tidak mempedulikan mereka, dan memilih meja di sudut agar agak jauh dari tujuh orang yang agaknya mabok-mabokan itu. Kepada pelayan tua kurus yang menghampiri, meminta disedia kan empat buah bak dan air teh secukupnya. Karena tidak mau memperdulikan tujuh orang itu, maka ia sengaja duduk membelakangi mereka, Kui Lan dan Kui Bi tidak melihat betapa tujuh orang itu berkasak"kusuk, berbisik dan mata mereka kadang dituju kepada enci adik itu dan kadang arah belakang kedai. Ke mudian, tanpa di ketahui Kui Lan dan Kui Bi, dua orang di antara mereka menyelinap keluar dari kedai melalui pintu samping sehingga tidak kelihatan oleh dua orang disitu.

   Kui Lan dan Kui Bi sudah makan bakpauw mereka dan sedang minum teh kemudian terdengar derap kaki kuda dari belakang kedai. Mereka terkejut dan cepat menoleh, masih sempat melihat betapa ada dua orang menunggangi kuda mereka yang berlari congklang meninggalkan pekarangan kedai minuman itu.

   "Heii, itu kuda kami........ !"

   Teriak Kui Bi yang cepat meloncat berdiri, lalu berlari keluar, diikuti pula oleh encinya. Akan tetapi, setelah tiba di luar kedai, mereka hanya melihat bayangan dua ekor kuda mereka sudah berlari jauh sehingga akan sia-sia saja mengejar.

   Keduanya menjadi marah sekali, akan tetapi kalau Kui Lan hanya memandang dengan mata bersinar marah, Kui Bi mengepal tinju dan mengacung"ngacungkan ke arah bayangan dua orang pencuri kuda sambil memaki-maki.

   "Jahanam keparat, maling busuk pencuri laknat!"

Tiba-tiba terdengar suara laki laki di belakang mereka.

   "Nona-nona kalau ingin mendapatkan kembali kuda kalian, serahkan saja kepada kami."

   Dua orang gadis itu cepat membalikkan tubuh mereka dan mereka melihat bahwa lima orang laki-laki telah berdiri di depan mereka sambil menyeringai dengan sikap kurang ajar. Mereka berusia antara tiga puluh sampai empat puluh tahun dan karena mereka hanya lima orang, maka tahulah kakak beradik itu, bahwa yang mencuri kuda adalah dua orang di antara mereka!

   "Heii, itu buntalan kami. Kembalikan!"

   Bentak Kui Lan yang melihat betapa buntalan pakaian mereka berdua kini telah berada di punggung dua orang di antara lima laki-laki itu.

   Akan tetapi lima orang itu hanya tertawa-tawa saja dan seorang di antara mereka, yang bertubuh jangkung dengan muka kekuning-kuningan, berkata dengan suaranya yang kecil tinggi searti suara wanita.

   "Nona-nona manis, apakah kalian berdua menginginkan agar kuda dan buntalan pakaian kalian kami kembalikan?"

   Kui Bi memandang dengan mata seperti bernyala.

   "Tentu saja! Kembalikan kuda dan buntalan kami!"

   "Boleh, boleh!"

   Kata si muka kuning.

   "Akan tetapi kalian berdua ikutlah dengan kami. Kami akan menjadi pegawai dan pelindung kalian, dan kuda serta buntalan pakaian pasti tidak akan ada yang berani menyentuhnya!"

   Lima orang itu tertawa"tawa, dan Kui Bi mengepal tinju.

   Pada saat itu, pemilik kedai minuman, seorang kakek yang kurus, tergopoh keluar dan berkata kepada si muka kuning.

   "Kalian sudah mengambil kuda dan pakaian ji-wi siocia (dua nona) ini, harap lepaskan dan jangan ganggu mereka lagi. Ji"wi siocia, relakanlah kuda dan buntalan itu, mari masuk saja ke dalam,"

   Jelas bahwa pemilik kedai minuman itu merasa iba kepada kakak beradik itu dan hendak mencegah agar dua orang gadis itu tidak diganggu lagi setelah barang-barangnya dira mpas.

   Akan tetapi, dengan galak Kui Bi membentaknya.

   "Engkau agaknya menjadi kaki tangan para perampok ini, ya? Awas, akan kuhancurkan kedaimu nanti!"

   Laki-laki tua itu menggeleng-geIeng tangan dan kepalanya.

   "Tidak, tidak.... aku tidak ikut-ikut "

   "Lo-sa m, pergi atau kau ingin kami bunuh?"

   Bentak si muka kuning dengan bengis dan pemilik kedai yang tua itu terbongkok-bongkok lagi memasuki ke mbali kedainya.

   Yang Kui Bi sudah saling pandang dengan encinya.

   "Enci, mereka ini perampok jahat! Ini tugas pertama kita"

   Kui Lan tidak menjawab hanya mengaguk dan siap untuk berkelahi. Kui Bi ini melangkah maju menghampiri si muka kuning, mulutnya tersenyum akan tetapi matanya bersinar-sinar.

   "Heh, muka kuning! Agaknya engkau yang menjadi kepala gerombolan perampok ini. Cepat kau perintahkan anak buahmu mengembalikan buntalan pakaian kami dan dua ekor kuda ka mi atau terpaksa ka mi a kan menghajar kalian!"

   Si muka kuning sengaja membelalakkan matanya.

   "Kalian Menghajar kami? Ha-ha-ha-ha, dengar, kawan-kawan. Mereka ini hendak menghajar kita, ha-ha!"

   Mereka semua tertawa dan seorang di antara mereka yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar dan tubuhnya tinggi besar kokoh kuat, melangkah maju sambil tertawa paling keras di antara mereka.

   "Ha-ha-ha-ha, anak kucing bisa mengaum seperti harimau! Toako, biar kutangkapkan anak kucing cantik ini untukmu, heh-heh!"

   Dan diapun sudah menubruk ke depan, seperti seorang yang benar-benar hendak menangkap seekor kucing saja, kedua tangannya menyambar dan hendak menangkap kedua pundak Kui Bi.

   Akan tetapi, Kui Bi sudah siap siaga. Si bopeng itu hanya memiliki tenaga kasar yang besar saja, hanya mengandalkan keberanian dan kenekatan maka dengan mudah Kui Bi yang marah dapat menghindarkan diri dari tubrukannya. Dengan lincah Kui Bi mengelak miring lalu kakinya melangkah maju sehingga ia tiba di sisi kiri agak ke belakang tubuh lawan dan ketika tubuh tinggi besar itu luput tubrukannya dan mendo rong ke depan, secepat kilat kaki Kui Bi menendang ke belakang lutut kaki kanan si bopeng yang meno pang tubuhnya.

JILID 03

"Dukk!"

   Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh tinggi besar itu terdorong dan tersungkur ke depan, hidungnya mencium tanah.

   "Desss...., Brukkk....... !

   Untung semalam turun hujan dan tanah di pekarangan itu basah clan tidak keras sehingga ketika tubuhnya jatuh tersungkur mencium tanah, bukit hidungnya tidak, remuk melainkan hanya kotor berlepotan tanah basah saja.

   Akan tetapi, melihat segebrakan saja si bopeng roboh oleh gadis kecil mungil itu, empat orang perampok lainnya terkejut bukan main dan hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Terutama sekali si bopeng sendiri, dia bukan saja terkejut dan heran, akan tetapi lebih dari itu dia marah sekali Dia merangkak bangkit dan mukanya yang bopeng itu kini menjadi semakin buruk karena berlepotan tanah dan warnanya menghita m karena darah sudah naik ke kepala dan mukanya.

   Si muka kuning yang menjadi pemimpin mereka, dan yang tentu saja paling tangguh di antara mereka, kini melangkah maju.

   "Eh, kiranya engkau memiliki juga sedikit kepandaian, nona manis? Bagus, kami menjadi semakin kagum dan akan bangga kalau kalian ikut dengan kami !"

   "Enci Lan, kau hadapi anjing muka kuning ini, aku yang merampas kembali buntalan kita,"

   Kata Kui Bi dan Kui Lan mengangguk. Tanpa banyak cakap lagi, Kui Lan yang pendiam akan tetapi yang juga sudah marah sekali itu menggerakkan kakinya dan tubuhnya dengan cepat seperti gerakan seekor burung lewat, sudah menerjang ke depan, jari-jari tangannya meluncur dan menyerang si muka kuning dengan totokan.

   Si muka kuning memang tidak seperti anak buahnya yang hanya mengandalkan tenaga kasar.

   Ternyata dia pandai ilmu silat dan melihat gadis cantik dan lembut itu menyerang dengan totokan yang mendatangkan angin bersiutan, dia tidak berani memandang ringan dan cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri.

   Betapapun, dia tidak gentar dan tidak percaya bahwa gadis cantik lembut itu akan mampu menadinginya, maka begitu serangan pertama Kui Lan luput, dia sudah menerjang sambil mengeluarkan bentakan nyaring, tangan kirinya mencengkera m ke arah kepala Kui Lan sebagai gertakan, dan yang benar-benar menyerang adalah tangan kanan yang mencengkera m ke arah pinggang!

   Gerakannya kasar dan bertenaga, seperti gerakan serangan seekor biruang saja. Namun, dengan mudah dan cepat Kui Lan berkelebat dan tubuhnya sudah lenyap dan berada di sebelah kiri lawan, dan serangan itupun hanya mengenai tempat kosong.

   Akan tetapi, si muka kuning sudah cepat memutar tubuh kekiri dan kini dia menyerang lagi, bukan hanya serangan untuk meringkus gadis cantik itu, melainkan serangan pukulan dengan kedua tangan secara bertubi. Kembali Kui Lan dapat mengelak dengan amat mudahnya. Gadis yang pendiam dan le mbut in i telah me mi li ki il mu s ilat yang lu mayan tingkatnya, memiliki kecepatan gerakan dan telah menghimpun tenaga sakti, akan tetapi selama ini, ia tidak pernah berkelahi!

   Biarpun ia sudah mempelajari banyak jenis serangan, banyak macam pukulan dan tendangan yang lihai, namun belum pernah ia memukul atau menendang orang!

   Karena itu maka iapun masih berpikir-pikir dan memilih-milih, apa yang harus ia pergunakan untuk memukul lawan ini! Dan tiba-tiba seorang yang bertubuh pendek dan berkepala besar, yang melihat betapa pemimpinnya tidak dapat menundukkan gadis cantik itu, sudah maju dan mengeroyok

   Kui Lan menghadapi pengeroyokan itu dengan tenang saja karena ia dapat, mengikuti gerak-gerik mereka dengan mudah, dan dapat menghindarkan diri tanpa banyak mengeluarkan tenaga.

   Berbeda dengan encinya, walaupun Kui Bi juga belum pernah mempergunakan ilmu silat untuk memukul orang, namun ia adalah seorang gadis lincah yang mudah menyesuaikan diri dengan segala macam keadaan.

   Karena ia maklum bahwa lima orang itu amat jahat, maka iapun sudah mengambil keputusan untuk mem beri hajaran keras kepada mereka, kalau perlu membunuh mereka. Ini merupakan kewajiban, karena para penjahat seperti itu hanya akan membahayakan kehidupan orang lain, dan mengacaukan keamanan. Begitu ia menyuruh encinya untuk menghadapi si muka kuning, tubuhnya sudah berkelebat ke depan dan pertama-tama yang di serangnya adalah orang yang menggendong buntalan pakaiannya, buntalan kain merah!

   Orang itu bertubuh tinggi kurus dan wajahnya bengis. Melihat dirinya diserang dengan tamparan, orang ini tersenyum mengejek. Dia memandang rendah gadis yang masih belum dewasa benar itu dan inilah kesalahannya!

   Dia memandang rendah lawan yang jauh lebih kuat dan lebih lihai daripada dirinya sendiri dan melihat Kui Bi menggerakkan tangan kiri menampar.dari samping; dia menyambut dengan tangan kanan, bukan hanya untuk menangkis, melainkan untuk menangkap lengan yang kecil dan berkulit putih mulus itu!

   Melihat ini, Kui Bi yang tidak sudi membiarkan lengannya dipegang apa lagi ditangkap, cepat menarik kembali tangan kirinya dan secepat kilat kakinya sudah masuk dan mencium perut lawan.

   "Ngekk!"

   Ujung sepatu yang mencium perut itu kuat sekali,rasanya seperti tertusuk tombak tumpul, membuat orang tinggi besar itu merasa seperti napasnya terhenti dan otomatis ia membungkuk dan tangan kirinya memegang perut yang baru saja dicium sepatu. Ketika dia membungkuk inilah, tengkuknya disambar tangan kanan Kui Bi yang amat cepat dan kuat.

   "Kekk..... !!"

   Tubuh itu tersungkur dan pada saat itu, tangan kiri Kui Bi sudah berhasil merenggut lepas buntalan pakaiannya dari punggung orang itu.

   Dua orang anggauta gerombolan itu terkejut dan marah. Orang yang mengendong buntalan pakaian kain kuning milik Kui Lan , selain marah juga khawatir kalau-kalau buntalan di punggungnya itu akan terampas pula, maka sudah mencabut golok dari pinggang nya.

   Juga kawannya yang mukanya brewokan sudah mencabut golok dan mereka berdua menerjang Kui Bi dengan serangan golok yang dilakukan dengan sengit untuk membunuh. Lenyap sudah dari pandangan mereka semua kecantikan yang menggairahkan dari gadis itu, yang nampak kini hanyalah seorang gadis yang merupakan lawan berbahaya dan harus dibunuh segera!

   "Singggg......!"

   Nampak sinar menyilaukan mata dan tahu-"tahu Kui Bi sudah memegang sebatang pedang. pedangnya yang diambilnya dari dari buntalan pakaiannya.

   Begitu pedang gerakkan, lenyaplah ujud pedang, berubah menjadi gulungan sinar yang seperti seekor naga melayang-layang dan menyambar ke arah dua orang lawannya yang memutar golok. Terdengar suara berkerontangan dan tiba-tiba ujung pedangnya sudah melukai pundak kiri orang yang menggendong buntalan pakaian kain kuning. Ketika orang itu terhuyung memegangi pundak yang berdarah, Kui Bi sudah meloncat, menyambar dan buntalan milik encinya sudah pula dapat dirampasnya!

   Ketika menengok untuk melihat keadaan encinya, Kui Bi mengerutkan alisnya. Encinya dikeroyok dua, si muka kuning dan seorang bertubuh pendek. Kedua orang itu juga menggunakan golok sedangkan encinya bertangan kosong. Sebetulnya, biar dikeroyok dua oleh mereka yang memegang senjata, encinya tidak kalah.

   Hanya sayang, agaknya encinya itu merasa ragu-ragu untuk menjatuhkan lawan, maka hanya mengelak dan berloncatan ke sana sini saja menghindarkan diri dari sambaran golok dua orang lawannya, ia juga melihat betapa kini tiga orang lawannya sendiri sudah mengepungnya, dengan golok di tangan. Si bopeng, si tinggi besar dan si brewok sudah siap untuk mengeroyoknya dan wajah mereka bengis sekali.

   "Enci, kaupergunakan pedangmu ini!"

   Seru Kui Bi kepada encinya.

   Mendengar ini, Kui Lan meloncat ke belakang menjauhi dua orang pengeroyoknya dan Kui Bi melem parkan buntalan kuning milik encinya. Kui Lan girang menyambut buntalan itu, mengeluarkan pedangnya dan dengan sikap tenang menggendong buntalan itu di punggungnya. Semua ini ia lakukan dengan tenang sekali walaupun dua orang lawannya kini sudah siap untuk menyerangnya dengan golok.

   Begitu dua orang itu, si muka kuning dan si pendek menerjang dengan sengit, Kui Lan menggerakkan pedangnya. Terdengar bunyi berdencing nyaring dan dua orang pengeroyok itu terhuyung ke belakang.

   Demikian hebat gerakan pedang Kui Lan yang kini merasa lebih tabah karena ia tidak harus menggunakan tangan kosong merobohkan lawan, berarti jari-jari tangannya akan menyentuh tubuh lawan! Dan begitu ia memainkan Sian-li Kiam-sut (ilmu Pedang Dewi) yang gerakannya amat indah juga aneh, dua orang lawannya menjadi bingung dan terdesak hebat, hanya mampu mundur-mundur dan memutar golok melindungi tubuh saja.

   Demikian pula dengan tiga orang pengeroyok yang melawan Kui Bi. Tadinya mereka dengan dahsyat dan bengis menerjang, akan tetapi begitu Kui Bi memainkan Ilmu Pedang Dewi, mereka bertiga juga menjadi bingung, pandang mata mereka silau oleh gerakan pedang yang cepat dan aneh, dan hanya ma mpu mundur saja..

   Kui Bi berbeda dengan Kui Lan, hatinya lebih tabah dan lebih keras, maka begitu ia memegang pedang dan menyerang ia tidak mau memberi hati lagi kepada tiga orang lawannya. Juga karena tiga orang lawannya itu hanya memiliki ilmu silat biasa saja, berbeda dengan Si muka kuning lawan Kui Lan yang jauh lebih lihai dari pada anak buahnya, maka belum sampai sepuluh jurus, pedang Kui Bi telah menyambar"nyambar dan tiga orang lawannya terjungkal roboh.

   Si bopeng mengaduh-aduh dengan paha kanan robek dan tidak ma mpu bangkit kembali, si tinggi besar terbacok pundaknya sehingga menembus tulang pundakyang menjadi putus, dan si brewok hampir putus pangkal lengan kirinya !

   Kui Bi tersenyum dan memandang kepada tiga orang lawan yang sudah roboh itu. Kemudian ia memutar tubuhnya untuk melihat keadaan encinya. ia tidak merasa khawatir dan memang kini encinya sudah membuat dua orang lawan itu terdesak terus, akan tetapi encinya nampak masih ragu-ragu untuk melukai dua orang lawan itu.

   "Lan-ci, kalau mereka mendapat kesempatan mereka yang akan membunuhmu! Cepat robohkan mereka!"

   Katanya sambil menggeleng-geleng kepalanya. Encinya itu selalu tidak tega, pada hal ia tahu bahwa encinya lebih berbakat dari pada ia sendiri dalam hal ilmu silat.

   Kalau mereka berlatihpun, ia merasa berat menandingi encinya. akan tetapi encinya selalu khawatir kalau-kalau melukainya dan sengaja mengalah.

   Mendengar ini, Kui Lan menoleh dan melihat adiknya telah meroboh kan tiga orang pengeroyoknya, iapun menekan perasaannya, menggigit bibirnya dan begitu pedangnya berdesing-desing, si muka kuning berteriak, pedang di tangan Kui Lan menembus bahu kanannya membuat goloknya terlepas, dan si pendek juga roboh dengan pundak terluka parah!

   Pemilik kedai minuman dan para pembantunya yang tadi mengintai dengan ketakutan, kini berdiri di depan pintu, bengong memandang bagaimana dua orang gadis itu merobohkan lima orang perampok yang ganas itu dengan mudahnya! Kui Bi meloncat dan kini pedangnya menempel di leher si muka kuning.

   "Kalau engkau tidak cepat menyuruh orang-orangmu mengembalikan kuda kami, aku akan menyayat-nyayat kalian berlima sampai tidak berbentuk manusia lagi!"

   Si muka kuning dan kawan-kawannya merasa kecelik. Dia kini tahu bahwa mereka berhadapan dengan dua orang gadis yang hebat, yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Biarpun mereka merasa penasaran, namun sekali ini. benar benar merasa tidak berdaya. Mendengar ancaman gadis yang kecil mungil kelihatan masih remaja itu, yang menempelkan pedang di lehernya, diapun mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan rasa penasaran dan dendamnya.

   "Baik, lihiap (pendekar wanita), bebaskan kami dan kami akar cepat menyuruh dua orang kami mengemba likan kuda ji"wi lihiap (pende kar wanita berdua)."

   "Huh, kaukira kami bodoh? Suruh saja seorang dari temanmu yang masih dapat berlari, engkau dan tiga yang lain tinggal di sini. Kalau dalam waktu satu jam kuda kami belum kembali, kalian berempat akan kusayat-sayat!"

   Si muka kuning melihat betapa empat orang kawannya semua terluka parah. Si bopeng jelas tidak dapat berlari karena paha kanannya terluka, si brewok juga hampir putus pangkal lengan kirinya, temannya si pendek terluka parah pundaknya, hanya dapat mengaduh dan merintih, dan biarpun si tinggi besar juga terbacok pundaknya sampai menembus tulang pundak yang putus, dia seoranglah yang agaknya masih dapat berlari cepat.

   "Akhun, cepat engkau yang pergi melapor dan bawa kembali dua ekor kuda itu!"

   Katanya.

   Si tinggi besar bangkit berdiri dengan wajah menyeringai kesakitan, akan tetapi dia memaksa diri untuk berlari sambil memegangi lengan yang pundaknya terbacok.

   Kui Bi mengajak encinya untuk kembali memasuki kedai, duduk dan memesan teh.

   Arak di kedai itu terla mpau keras untuk mereka yang biasanya hanya dapat minum teh dan anggur yang tidak begitu keras. Kini mereka menanti sambil duduk minum teh, menghadap ke luar agar mereka dapat mengamati empat orang yang masih merintih-rintih itu.

   Kini empat orang itu saling bantu untuk mengobati lu ka mereka dengan obat luka yang selalu terdapat di kantung baju mereka. Kui Bi menggapai kepada kakek pemilik kedai minuman. Dengan terbongkok-bongkok kakek itu mendekat "Paman, siapakah sebetulnya mereka?"

   "Wah, celaka, lihiap...... ji-wi (kalian berdua) telah bermusuhan dengan anak buah Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan). Karena ji-wi berada di sini dan keributan terjadi di sini kalau mereka datang bukan hanya ji-wi yang akan ditangkap, bahkan kedai kami inipun akan dihancurkan dan mungkin kami akan dibunuh!"

   Kakek itu menang tanpa suara.

   "Hemm, jangan khawatir, kami dua akan membasmi mereka!"

   Kata Kui Bi dengan gagah.

   "Takkan ada gunanya andaikata ji-wi menang juga, karena setelah ji-wi pergi, kami tentu akan menjadi penumpahan dendam mereka. Kalau ji-wi lihiap kasihan kepada kami, harap ji-wi segera pergi dari sini dan mengambil sendiri kuda ji-wi. Sarang mereka berada di bukit depan Itu, bukit kecil di tepi sungai yang na mpak dari sini."

   Kui Lan bangkit berdiri.

   "Bi-moi tidak baik kalau mengakibatkan paman tertimpa malapetaka. Mari kita tinggalkan tempat ini dan mengambil sendiri kuda kita."

   Kui Bi mengangguk.

   "Baik, marilah, enci."

   Mereka keluar dari keclai menggenclong buntalan mereka. Ketika tiba cli pekarangan cli mana empat orang itu masih duduk di atas tanah, Kui Bi berkata,

   "Nanti dulu, Lan-ci. Aku akan membereskan mereka!"

   "Adik Bi, jangan bunuh orang..!"

   Kui Lan berseru, alisnya berkerut ia khawatir adiknya akan membunuh empat orang yang sudah terluka itu, Kui Bi tersenyum.

   "Lan-ci, para guru kita mengatakan bahwa seorang pendekar ticlak akan membunuh lawan yang sudah tidak dapat melawan lagi. Tidak, aku tidak akan pembunuh mereka, hanya memberi hajaran agar mereka jera dan lain kali tidak berani mengganggu wanita!"

   Melihat Kui Bi menghampiri mereka, empat orang itu menjacli ketakutan. Kui Bi tersenyum mengejek melihat mereka berempat berhimpitan dengan sikap ketakutan seperti empat ekor kelinci melihat harimau.

   Begitulah watak orang"orang jahat, ganas menindas kalau sedang menang, takut dan pengecut kala berhadapan dengan yang lebih kuat.

   "Kau, monyet muka kuning, engkau harus antar kami menyusul orang mu yang mengambil kuda, agar lebih cepat!"

   Kata Kui Bi.

   Nampak sinar mata si muka kuning berkilat dan wajahnya membayangkan kegembiraan sekilas mendengar perintah ini. Tergopoh dia bangkit berdiri.

   "Baik, lihiap. Mari saya antar "

   Kui Bi menggerakkan kakinya tiga kali dan tiga orang yang lain itu mengeluh dan roboh terjengkang, pingsan disambar ujung sepatu gadis itu.

   "Mari kita berangkat"

   Kata Kui Bi dan si muka kuning tanpa dapat bicara segera melangkah ke arah timur, menyusuri sungai, menahan rasa nyeri pada bahu kanannya yang terluka, dan di belakangnya kakak beradik itu berjalan lengan sikap tenang namun waspada.

   Setelah mereka pergi, pemilik kedai dan anak buahnya cepat menolong tiga orang anggauta perampok itu dan membawa mereka masuk ke dalam kedai untuk merawat mereka. Hal ini terpaksa mereka lakukan agar mereka tidak dilanda amukan para penjahat.

   Diam-diam si muka kuning bergembira karena dua orang gadis ini dianggapnya sebagai dua ekor domba yang dia tuntun masuk ke dalam rumah jagal! Kalau dua orang gadis ini tiba di lereng bukit karang di depan, yang menjadi sarang dari mereka, pasti mereka akan mampu melawan.

   Dan sudah saatnya dia dan kawan-kawannya membalas dendam! Kalau saja pemimpin besar mereka, Kwi-jiauw Lo-mo, tidak memborong dua orang gadis yang amat cantik jelita ini. Iblis Tua itu terkenal haus akan wanita! Akan tetapi setidaknya, seperti menjadi kebiasaannya, dia mudah bosan dan sebentar saja dua orang gadis ini tentu akan dilemparkan kepada anak buahnya. Nah, pada saat itulah dia akan membalas dendam ini!

   Akan tetapi belum ada setengah jam mereka berjalan, dan mereka tiba di tepi sungai yang berada di kaki bukit karang itu, terdengar derap kaki kuda dari depan. Si muka kuning mengangkat mukanya yang nampak bergembira dan suaranya juga terdengar lantang.

   "Itu mereka sudah datang!"

   Dua orang gadis itu sudah siap siaga. Merekapun tahu bahwa suara itu bukan hanya derap kaki dua ekor kuda, melainkan banyak! Mereka dapat menduga mengapa si muka kuning ini nampak gembira dan setelah rombongan penunggang kuda itu tiba di situ, baru mereka melihat bahwa dugaan mereka benar Dua orang pencuri kuda yang menjadi anak buah si muka kuning itu, bersama si tinggi besar yang tadi disuruh mengambil kuda mereka, datang bersama serombongan orang yang terdiri dari belasan orang banyaknya!

   Tentu si tinggi besar melapor kepada para pimpinan gerombolan tentang kekalahan lima orang perampok itu dan kini kawan-kawannya datang, bukan untuk mengembalikan kuda melainkan untuk mengeroyok!

   Kui Lan dan Kui Bi Sudah siap. Mereka sudah mencabut pedang mereka dan dengan marah Kui Bi meng gerakkan pedangnya ke arah si muka kuning yang berteriak dan roboh. Pahanya disabet pedang sampai terluka parah dan diapun merintih dan mengaduh-aduh.

   Belasan orang itupun sudah berloncatan dari atas kuda dan dengan golok di tangan, mereka mengepung dan mengeroyok enci dan adik itu. Kui Lan dan Kui Bi memutar pedang mereka dan memainkan Ilmu Pedang Dewi. Nampak dua gulungan sinar pedang yang menyambar-nyambar, membuat para pengeroyok terpaksa mundur dan melebarkan kepungan karena pedang di tangan dua orang gadis itu a mpuh bukan main.

   Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja, dua orang pengeroyok sudah roboh, pada hal, belasan orang itu merupa kan tokoh-tokoh yang paling tangguh di antara mereka. Tingkat kepandaian mereka sebanding dengan tingkat si muka kuning.

   "Enci Lan, mereka ini srigala-srigala busuk, kita bunuh saja mereka semua!"

   Teriak Kui Bi yang marah sekali. Pedangnya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Akan tetapi, Kui Lan masih membatasi tenaganya karena ia tidak bermaksud melakukan pembunuhan.

   Ternyata bahwa ilmu pedang yang dikuasai dua orang kakak beradik itu merupakan ilmu yang hebat. Para pengeroyok itu rata-rata memiliki ilmu silat lumayan, mereka berpengalaman dan sudah terbiasa mengguna kan kekerasan dan merekapun memiliki tenaga yang kuat.

   Namun, menghadapi pedang dua orang gadis itu, mereka tidak dapat berbuat banyak bahkan mereka tidak berani mengepung terlalu ketat karena pedang di tangan kakak beradik itu bukan main ganasnya.

   Nampaknya lembut dan indah, seperti gerakan gadis-gadis menari-nari, akan tetapi siapa berani mendekat dia akan terbabat atau tertusuk.

   "Tahan senjata! Kalian semua mundur!"

   Terdengar seruan suara yang mengguntur dan belasan orang itu berlompatan ke belakang, lalu berdiri tegak dengan sikap menghormat.

   Kui Lan dan Kui Bi berdiri tegak pula, berdampingan dan dengan pedang melintang depan dada, waspada dan siaga. Mereka melihat munculnya seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya pendek gemuk sehingga kelihatan seperti bulat, kepalanya bulat besar dan botak, matanya, hidungnya, mulutnya, telinganya, semua berbentuk bulat-bulat sehingga dia nampak lucu seperti sebuah boneka besar.

   Akan tetapi kalau orang melihat ke arah kaki dan tangannya, orang akan merasa ngeri. Kedua tangannya yang berlengan pendek besar itu disambung dua buah cakar besi yang kelihatan kebiruan dan mengkilap, runcing tajam melengkung, dan kedua kakinya mengenakan sepatu yang ujungnya dipasangi besi runcing!

   Melihat kedua tangan yang dipasangi cakar itu, teringatlah Kui Lan dan Kui Bi akan keterangan pemilik kedai minuman tentang tokoh pemimpin gerombolan penjahat yang dijuluki Kwi-jiauw Lo-mo (Iblis Tua Cakar Setan).

   Kui Bi menudingkan pedang dengan tangan kanannya ke arah muka si pendek gendut itu, dan tangan kirinya bertolak pinggang, mulutnya dan pandang tanya mengejek.

   "Hemm, kiranya badut ini yang me makai julukan Kwi-jiauw Lo-mo?"

   Mendengar ucapan itu, si pendek tidak marah, bahkan tertawa dan nampak giginya yang besar-besar dan juga bentuknya bulat-bulat! Agaknya orang memang diciptakan dengan suatu keistimewaan, yaitu serba bulat, demikian pikir Kui Bi.

   "Ha-ha-ha-ha, dua orang nona manis telah memperlihatkan kepandaian. Kalian begini cantik jelita, begini halus lembut dan mulus, akan tetapi gagah memiliki kepandaian lumayan. Sungguh mengagumkan! Dan engkau sudah mengenal pula julukanku, nona manis yang lincah?"

   Dia memandang kepada Kui Bi merasa betapa mata yang bulat itu seperti mengeluarkan sinar yang hendak menelannya bulat-bulat. Hati gadis ini rasa ngeri juga, akan tetapi ia sengaja mengeluarkan suara yang mendengus dari hidung dan tawa mengejek.

   "Hiiih, apa sih sukarnya menebak bahwa engkau yang berjuluk Iblis Tua Muka Setan? Rupamu seperti iblis dan dua tanganmu memakai cakar baja. Engkau seperti seorang badut yang hanya dapat menakut-nakuti anak kecil saja!"

   "Heh-heh, manis. Engkau dan kainmu itu bukan anak kecil lagi maka tidak takut. Dan akupun tidak ingin kalian takut kepadaku, ha-ha-ha!"

   "Sudahlah, muak perutku bicara dengan iblis macam ka mu! Kwi-jiauw Lo-mo, cepat kembalikan dua ekor kuda milik kami dan kamipun akan melanjutkan perjalanan, tidak akan membunuhi anak buahmu lagi."

   Ucapan Kui Bi ini memang terdengar tinggi hati sekali dan memang ini disengaja untuk me mba las ucapan si. pendek yang mengandung maksud tertentu yang menjijikkan hatinya.

   "Boleh, boleh! Jangankan hanya dua ekor kuda Itu, semua kuda yang kami miliki akan kuberikan kepada mu, manis, bahkan diriku ini kupersembahkan kepada kalian dua orang nona manis Marilah kalian ikut denganku untuk menerima semua itu!"

   Yang Kui Lan yang sejak tadi diam saja, tak dapat menahan kemarahanya mendengar ucapan yang maksudnya membalas dengan kata-kata tak senonoh itu.

   "Jahanam busuk tahan mulutmu yang kotor!"

   Bentaknya dan Kui Bi tersenyum melihat sikap encinya.

   Biasanya, encinya seorang yang penyabar dan jarang marah, kalaupun marah akan diam saja dan tidak sa mpai ledak seperti sekarang.

   "Nah, babi gendut, enciku sudah marah. Cepat kembalikan kuda kami atau aku tidak akan menanggung-jawab kalau lehermu akan dipancung enciku yang sudah marah!"

   Kui Lan mengerling kepada adiknya sebagai teguran.

   Dalam keadaan seperti itu, si bengal itu masih juga sempat berkelakar. Akan tetapi ucapan bernada menge jek dan menghina itu, masih saja tidak memanaskan hati Kwi-jiauw Lo-mo. Dia adalah seorang datuk kaum sesat yang amat terkenal di dunia kang-ouw, yang sudah lama tidak pernah memperlihatkan diri.

   Kini, agaknya dia muncul dan memimpin gerombolan perampok. Hal yang sungguh mengherankan kalau diingat bahwa datuk sesat ini pernah memimpin gerombolan yang ratusan orang banyaknya. Semenjak gerombolannya dibasmi pasukan pemerintah yang di pimpin oleh seorang panglima yang lihai, dia menghi lang dan baru sekarang, sepuluh tahun lebih kemudian, dia muncul lagi hanya sebagai pemimpin gerom bolan yang terdiri dari dua puluh orang lebih saja.

   "Nona-nona manis, kalian seperti dua ekor burung yang baru meninggalkan arang, terlalu berani namun kurang perhitungan sehingga kalian berani menentang Kwi-jiauw Lo"mo. Nah, majulah, akupun ingin berke nalan dengan dua orang gadis yang akan menjadi selir-selirku, heh-heh-heh!"

   Ucapan ini demikian menusuk perasaan sehingga Kui Bi sendiri yang biasanya lincah Jenaka dan pandai bertengkar, menjadi bungkam, mukanya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.

   "Babi gemuk, engkau akan mampus oleh pedang kami!"

   Bentaknya dan iapun sudah menerjang dengan pedangnya, mengirim tusukan dengan jurus Dewi mempersembahkan bunga yang amat cepat dan indah gerakannya, namun didukung tenaga dahsyat Kui Lan juga sudah menggerakkan pedangnya, membantu adiknya menyerang laki-laki pendek bundar itu.

   "Trangg! Cringgg.... !!"

   Bunga api berpijar dan dua orang kakak beradik itu terkejut dan terhuyung ke belakang ketika pedang mereka bertemu dengan sepasang cakar setan itu. Bukan main kuatnya tenaga yang menang kis pedang mereka !

   "Ha-ha-ha-ha, nona-nona manis kalian baru tahu hebatnya Kwi-jiauw Lo-mo! Ha-ha-ha!"

Dan kini, tubuh yang bulat itu menggelinding atau berputar-putar seperti bola, menerjang ke arah mereka secara aneh. Dua orang gadis itu cepat memutar pedang dan memainkan Sian-li Kiam-sut bagian pertaha nan untuk melindungi diri mereka.

   Dan memang hebat ilmu pedang ini. Biarpun gerakan lawan amat dahsyat, namun dengan pertahanan ilmu pedang itu, Kui Lan dan Kui Bi masih mampu me lindungi d iri mereka sa mpai lewat belasan jurus. Tiba-tiba si pendek gendut yang bergerak seperti bola menggelinding ke sana sini itu meloncat ke belakang dan berdiri tegak sambil tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kalian sungguh hebat, memiliki ilmu pedang aneh yang baik sekali. Akan tetapi, lihat jurusku ini!"

   Tiba-tiba tubuhnya bergerak, tidak lagi bergulingan seperti tadi, melainkan meloncat seperti katak, dan tubuh itu berputar di udara dan menerjang ke arah Kui Bi seperti sebuah peluru besar yang berputar. Kui Bi terkejut, mencoba untuk membacokdengan pedangnya.

   "Tranggg...... ! !"

   Pedang itu seperti bertemu bola baja yang amat kuat dan terlepas dari tangan Kui Bi karena sebetulnya, pedang Itu telah ditangkap dan direnggut oleh cakar baja dan sebelum gadis itu mampu mengelak, pinggangnya telah kena disepak oleh pinggir kaki. Untung tidak ditendang karena kalau terkena tendangan dari depan, tentu tubuhnya akan ditembusi besi runcing di ujung sepatu. Kui Bi mengeluh dan terpelanting roboh!

   Kui Lan marah dan menyerang dengan dahsyat sambil mengeluarkan bentakan nyaring.

   "Haiiii........!"

   Namun, lawannya melompat ke belakang, lalu seperti katak yang pandai membuat lompatan berganda, tubuh itu kembali meluncur balik ke arah Kui Lan dan seperti tadi, tubuhnya berputar. Kui Lan menusukkan pedangnya menyambut.

   "Cringgg......!!"

   Seperti halnya adiknya, pedang Kui Lan terampas dan iapun terpelanting di dekat adiknya, terkena sepakan pada bahunya.

   Selagi mereka bergerak hendak bangkit, tiba-tiba tubuh si pendek itu sudah berdiri di dekat mereka sambil tertawa bergeIak.

   "Omitohud..... ! Iblis dan setan bermunculan, pertanda bahwa dunia akan mengalami kekacauan,"

   Terdengar suara lembut, namun suara itu mengandung getaran yang sedemikian kuatnya sehingga Kwi-jiauw Lo-mo sendiri terkejut bukan main dan cepat dia membalikkan tubuh memandang.

   Di depannya berdiri seorang hwesio yang berkepala gundul kelimis, mukanya segar dan kemerahan seperti muka kanak "kanak, tubuhnya gemuk dengan perut besar seperti arca Ji-lai"hud, mata dan mulutnya demi kian ramah selalu tersenyum seperti muka bayi yang sedang merasa nyaman tubuhnya, dan dia mengena kan jubah kuning yang longgar, sepatu kulit kayu dan memegang sebatang tongkat ba mbu ular, yaitu semacam bambu kuning yang bentuknya seperti ular, demikian pula warna garis dan totol-totol seperti kulit ular.

   Kwi-jiauw Lo-mo adalah seorang datuk sesat yang sepuluh tahun lalu malang melintang di dunia kang-ouw, banyak pengalamannya dan mengenal para tokoh dunia persilatan. Akan tetapi dia tidak mengenal hwesio yang usianya kurang lebih enam puluh tahun ini! Biarpun demikian, dia tahu bahwa hwesio ini seorang sakti, dan dia tahu pula bahwa orang "orang yang telah menjadi pendeta, tidak mencari kemashuran nama, kedudukan atau harta benda sehingga banyak di antara mereka yang berilmu tinggi, tidak terkenal di dunia kang-ouw.

   "Hemm, hwesio yang baik, siapakah engkau dan mengapa seorang pendeta yang hanya sibuk dengan urusan nirwana, hari ini mencampuri urusan duniawi? Apakah engkau tidak takut jubahmu nanti dikotori urusan dunia?"

   Ucapan ini bernada mengejek, akan tetapi juga cukup menghormat karena bagaimanapun juga, datuk sesat ini tidak berani memandang rendah para pendeta.

   Mendengar teguran itu, hwesio gendut seperti arca Ji-lai"hud itu masih tersenyum, akan tetapi matanya mem bayangkan kebingungan karena memang tidak semestinya seorang pendeta menca mpuri urusan orang lain, apa lagi urusan tokoh-tokoh dunia sesat.

   Melihat kebimbangan sikap hwesio gendut itu, Kui Bi yang mengharapkan bantuan dan melihat adanya bahaya mengancam, segera berkata dengan suara lantang.

   "Heii, babi gemuk Kwi-jiauw Lo-mo, apakah engkau yang sudah setua ini tidak tahu akan pendirian seorang yang berhati suci dan mulia? Ada pendapat nenek moyang yang bijaksana begini: Membiarkan kejahatan berlangsung di depan mata tanpa mencegahnya, sama saja dengan membantu berlangsungnya kejahatan itu sendiri! Engkau dan anak buahmu merampok kami enci dan adik, dan hendak menawan dan menghina kami. Kalau losuhu ini membiarkannya saja, berarti beliau telah membantu perbuatan keji dan jahat kalian dan beliau tentu tidak mau disebut antek perampok-perampok seperti kamu!"

   "Bocah setan, tutup mulutmu!"

   Kwi-jiauw Lo-mo dengan marah membentak dan dia menubruk maju, menyerang dengan cakar kirinya untuk membunuh agar gadis itu tidak banyak cakap.

   Yang Kui Bi cepat mengelak dengan melempar tubuh ke samping, akan tetapi angin pukulan yang dahsyat membuat ia terpelating. Gadis ini tabah dan cerdik. Begitu tubuhnya terpelanting, ia sudah bergulingan ke arah hwesio gemuk sambil berseru,

   "Lebih baik mati gagah sebagai harimau dari pada hidup pengecut macam babi!"

   Jelas bahwa ucapan ini ditujukan kepada hwesio, untuk mengejeknya dengan maksud agar hati hwesio itu tersentuh.

   "Hendak lari kemana kau!"

   Bentak Kwi-jiauw Lo-mo. Dia mengejar dan memukul lagi, ticlak percluli kepacla hwesio yang beracla clekat gaclis yang bergulingan itu.

   "Plak! Duk!!"

   Kedua cakar itu terpental dan tubuh Kwi-jiauw Lo-mo terhuyung ke belakang.

   "Omitohucl.... bukan pinceng (a ku) suka usil mencampuri urusan orang lain, akan tetapi tanganku menjadi tak berguna dan batinku kotor kalau pinceng membiarkan saja orang bertindak jahat dan sewenang-we nang. Gadis ini benar, pinceng tidak ingin menjadi babi atau antek penjahat. Harap Lo-mo tidak meng ganggu mereka lagi."

   "Hwesio keparat!"

   Dengan kemarahan membuat mukanya merah clan matanya melotot, Kwi-jiauw Lo-mo (iblis Tua Cakar Setan) itu kini menerjang clan menyerang hwesio genclut clengan keclua cakarnya, mengerahkan seluruh tenaganya karena clia maklum bahwa lawannya aclalah seorang yang tangguh.

   Hwesio itupun menggerakkan tongkat bambunya untuk melindungi dirinya sambil menggeser kaki ke sana sini untuk menghinclarkan diri dari amukan Si Cakar Setan. Sementara itu, belasan orang anak buah Si Cakar Setan sudah pula mengeroyok Kui Lan dan Kui Bi. Dua orang gadis ini cepat mengambil pedang mereka dari atas tanah dan mereka berdua mengamuk.

   Kini, Kui Lan tidak lagi merasa ngeri dan ia menggerakkan pedangnya dengan cepat dan kuat, bahkan seolah tidak mau kalah dengan adiknya karena ia yakin bahwa kalau mereka berdua tidak dapat membasmi kawanan penjahat ini, mereka yang akan tertimpa malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Mereka berdua sudah memainkan Sian-li Kiam-sut, dan dengan ilmu pedang ini, belasan orang itu tidak berani menyerang terlalu dekat.

   Kwi-jiauw Lo-mo Tong Lui merasa heran, terkejut dan kecelik bukan main ketika dia bertanding melawan hwesio bertongkat bambu kuning itu. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw, bahkan dapat dibilang seorang di antara para datuk persilatan yang selain memiliki nama besar, juga terkenal lihai sekali dan sukar dicari tandingannya. Sepasang cakar setan yang menyambung kedua tangannya amat tangguh dan sukar dikalahkan.

   Akan tetapi sekali ini, dan baru perta ma kali dialaminya, dia seperti seorang kanak-kanak saja ketika ber tanding melawan hwesio yang perutnya gendut dan mirip arca Ji-lai-hud itu. Hwesio itu dengan tongkat bambunya mampu membuat kedua cakar setannya sama sekali tidak sempat menyentuh lawan.

   Jangankan menyentuh kulit tubuhnya, bukan menyentuh jubahpun tidak mampu, kemanapun cakarnya me nyerang, selalu terpental kalau bertemu dengan tongkat bambu, bahkan pergelangan dan siku lengannya selalu terancam totokan "totokan ujung bambu kuning yang gerakannya seperti seekor ular hidup saja!

   Padahal, dia tidak mengenal hwesio itu. Ini berarti bahwa hwesio gendut itu bukan seorang tokoh besar dunia persilatan, melainkan seorang pendeta yang sama sekali tidak ternama!

   Saking geramnya karena sudah belasan kali semua serangannya gagal total, tiba-tiba Kwi-jiauw Lo-mo mengeluarkan suara gerangan seperti seekor biruang dan sepasang cakarnya menyambar dari kanan kiri dengan tenaga sepenuhnya. Agaknya, satu di antara cakar itu tentu akan mengenai sasaran karena tongkat itu mana ma mpu menangkis sepasang cakar yang datang pada saat yang bersamaan dari kanan kiri? Akan tetapi, tubuh yang gembrot itu ternyata mampu bergerak dengan ringan sekali seperti seekor burung saja tubuh itu sudah melayang ke belakang.

   "Tranggg...... !!"

   Bunga api berpijar ketika sepasang cakar itu saling berbenturan. Sungguh merupakan senjata yang mengerikan!

   Sementara itu, kakak beradik Kui Lan dan Kui Bi mengamuk dengan pedang mereka dan membuat belasan orang pengeroyok mereka kocar-kacir. Banyak di antara mereka yang terluka oleh pedang kedua orang gadis itu. Setelah dua orang roboh tewas dan lima yang lain terluka, para pengeroyok itu menjadi gentar dan sambil menyeret kawan"kawan yang terluka, mereka lalu melarikan diri.

   Melihat betapa anak buahnya melarikan diri dan dia sendiripun tidak mampu menandingi tongkat bambu yang amat lihai itu, Kwi-jiauw Lo-mo maklum bahwa kalau dia nekat melanjutkan perkelahian, akhirnya dia akan mendapat malu.

   "Hwesio usil! Biar lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan!"

   Katanya sambil melompat ke belakang Melihat hwesio itu hanya menyeringai lebar dan tidak mengejar, diapun melompat dan melarikan diri. Dua ekor kuda milik kakak beradik itu ditinggalkan oleh kawanan perampok.

   "Omitohud, hanya dengan kemampuan seperti itu sudah berani memaksakan kehendak mengganggu orang lain!"

   Kata hwesio itu sambil tersenyum.

   Kalau dia meng hendaki, tidak akan terlalu suka baginya untuk merobohkan Si Cakar Setan itu tadi. Akan tetapi dia tidak mau melakukan itu dan kini dia memandang kepada dua orang gadis yang sudah menjatuh kan diri berlutut di depan kakinya.

   "locianpwe telah menyela matkan nyawa kami!"

   Kata Kui Lan.

   "Kami menghaturkan terima kasih locianpwe,,"

   Kata pula Kui Bi.

   "kami akan membalas budi locianpwe dengan melayani semua kebutuhan Locianpwe kalau sudi menerima kami sebagai murid."

   Hwesio itu tersenyum, me mandang kepada mereka dan matanya berseri ketika dia memandang kepada Kui Bi.

   "Omitohud..... kalian ini gadis-gadis petualang telah memaksa pinceng sehingga terseret ke dalam perkelahian! Luar biasa sekali!"

   "Maaf, locianpwe,"

   Kata Kui Bi yang memang lincah dan pandai bicara.

   "Bukan kami yang memaksa Locianpwe, melainkan kemuliaan hati locianpwe sebagai seorang pendeta suci dan orang tua gagah perkasa berwatak pendekar yang memaksa locianpwe turun tangan menolong kami.

   "

   Hwesio itu menghela napas panjang dan menggeleng"geleng kepalanya yang gundul dan bundar seperti bola, akan tetapi wajahnya masih berseri dan mulutnya masih tersenyum.

   "Bukan itu yang menarik sekali hati dan perhatian pinceng, nona. Biasanya, pinceng tidak mau usil mencampuri urusan orang lain. Akan tetapi, melihat permainan pedang kalian, pinceng merasa tertarik sekali. Bukankah ilmu pedang yang kalian mainkan itu adalah Sian-li Kia m-sut (Ilmu Pedang Dewi)?"

   Kakak beradik itu saling pandang dengan heran, lalu keduanya mengangguk "Tepat sekali dugaan locianpwe. Memang kami tadi memainkan Sian-li Kia m-sut, akan tetapi karena kami baru saja mempe lajarinya, latihan kami belum matang......"

   Kata Kui Lan.

   Hwesio itu mengangguk-angguk "Hemm, engkau benar, nona. Kalau latihan kalian sudah matang, mana mungkin Si Cakar Setan itu akan mampu mengalahkan kalian dengan mudah? Jadi kalian ini murid Sin-tung Kai-ong? Inilah yang menarik hati pinceng untuk turun tangan tadi."

   Kui Bi yang cerdik hendak mengatakan benar, akan tetapi kakaknya lebih cepat, Kui Lan seorang berwatak lembut dan sama sekali tidak suka berbohong, dan ia sudah khawatir kalau adiknya berbohong.

   "Tidak, locianpwe kami bukan murid orang yang namanya locianpwe sebut tadi."

   "Ehh? La lu dari mana kalian dapat memainkan Sian-li Kia m"sut? Siapa yang mengajarkannya kepada kalian?"

   Dengan singkat namun jelas Kui Lan menceritakan pengalaman mereka ketika bertemu dengan seorang pengemis tua yang kemudian secara rahasia mengajarkan ilmu pedang itu kepada mereka.

   "Kami tidak pernah mengenal siapa beliau, locianpwe, bahkan beliau memesan agar kami merahasiakan ajaran itu. Akan tetapi karena locianpwe telah mengenal ilmu pedang kami, terpaksa kami me mbuka rahasia ini."

   "Ha-ha-ha-ha! Omitohud...... ! Si jembel tua itu sampai sekarang masih suka bersikap rahasia-rahasiaan! Jembel tua yang mengajarkan ilmu pedang itu kepada kalian adalah Sin"tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti), seorang di antara tokoh-tokoh sakti dalam dunia persilatan. Kalian bangkitlah. Tidak perlu berlutut, mari kita bicara dengan baik. Pinceng melihat bahwa kalian bukanlah gadis-gadis kang-ouw biasa. Pakaian kalian dan kuda kalian menunjukkan bahwa kalian adalah gadis-gadis hartawan, dan sikap serta bicara kalian juga berbau bangsawan! Bagaimana gadis-gadis seperti kalian dapat berkeliaran di sini? Pinceng Kong Hwi Ho-siang paling tidak suka melihat kepalsuan, maka kalau kalian tidak ingin pinceng tinggalkan sekarang juga, ceritakan sejujurnya siapa kalian dan mengapa pula dapat berada di tempat ini."

   Melihat wajah yang cerah dan penuh senyum itu kini nampak bersungguh-sungguh, Kui Bi tidak berani main-main lagi.

   "locianpwe, karena locianpwe juga bersikap jujur, maka kami berjanji akan berterus terang kepada locianpwe. Kami kakak beradik, namaku Yang Kui Bi dan ini kakakku Yang Kui Lan. Kami dari kota raja........"

   "She Yang dari kota raja?"

   Hwesio itu memotong dan kini sepasang alisnya berkerut, matanya mencorong.

   "Mengingatkan pin-ceng kepada Menteri Utama Yang Kok Tiong dan selir Kaisar Yang Kui Hui yang tersohor itu....!"

   "Mereka adalah ayah dan bibi kami, locianpwe,"

   Kata Kui Lan dengan suara lirih.

   Hwesio itu terbelalak, untuk beberapa detik lamanya wajahnya berubah, senyumnya hilang dan alisnya berkerut. Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya dan nampak tenang kembali.

   "Hemm, kalian adalah puteri Menteri Utama, bahkan keponakan selir Kaisar yang paling berpengaruh. Kalian kaya raya dan berkedudukan tinggi, berenang dalam lautan kemewahan dan kemuliaan. Kenapa dapat berkeliaran ke tempat sunyi ini tanpa pengawal?"

   Kui Lan tidak dapat menjawab dan mengerling kepada adiknya, menyerahkan tugas kepada adiknya untuk menerangkan. Kui Bi tersenyum dan menatap tajam wajah hwesio itu.

   "locianpwe sendiri merasa tidak senang mendengar bahwa kami dari keluarga Yang. Hal ini kami ketahui dari pandang mata dan sikap locianpwe. Apa lagi locianpwe, bahkan kami sendiripun muak dengan segala macam kepalsuan yang berada di kota raja, terutama di istana. Justeru karena kemuakan kami itulah kami meninggalkan kota raja dan merantau, locianpwe."

   "Omitohud..... ! Mana mungkin dapat dipercaya keterangan ini? Kalian puteri-puteri bangsawan, dekat dengan istana, bagaimana mungkin merasa muak dengan kehidupan mewah itu dan pergi meninggalkan ru mah untuk merantau? Kepalsuan-kepalsuan apa yang kalian lihat dan rasakan?"

   "locianpwe, kami adalah tiga bersaudara. Kami masih mempunyai seorang kakak kami bernama Yang Cin Han. Kami bertiga sejak kecil suka mempelajari silat dan juga kami membaca kitab kitab sejarah. Kami melihat ketidak wajaran dan kepalsuan merajalela di istana. Sribaginda Kaisar seperti boneka di tangan bibi kami Yang Kui Hui. Ayah kamipun diangkat menjadi Menteri Utama bukan karena kecakapan dan ke ma mpuan melainkan karena jasa bibi Yang Hui. Kami muak dengan semua itu dan kami bertiga meninggalkan rumah. Kami ingin bertualang, ingin bebas merdeka seperti burung "burung di angkasa. Kami ingin meluas kan pengalaman dan memperdalam ilmu kami. Kebetulan kami bertemu dengan locianpwe di sini, maka kami mohon sekali lagi, sudilah kiranya locianpwe menerima kami sebagai murid."

   Setelah berkata demikian, Kui Bi memegang tangan kakaknya dan kembali mereka berdua menjatuhkan diri berlutut di depan hwesio itu yang duduk bersila di atas batu besar.

   "Omitohud...., sungguh menakjubkan! Betapa akan bahagianya bangsa dan negara kalau semua orang muda seperti kalian ini, tidak silau oleh kesenangan melainkan dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Namun, agaknya masih sangat sukar untuk percaya begitu saja. Kalau kalian ingin menjadi murid pinceng, dapat pinceng menerima kalian namun dengan satu syarat.

   "

   "Apa syaratnya, locianpwe? Kami siap memenuhinya,"

   Kata Kui Bi dengan tegas.

   "Syaratnya, kalian harus taat, dan selama dua tahun penuh kalian tidak boleh meningga lkan kuil di mana kalian akan pinceng titipkan. Selama dua tahun itu, apapun yang terjadi di kota raja, kalian tidak boleh meninggal kuil dan harus melatih semua ilmu yang pinceng ajarkan dengan tekun. Nah bersediakah kalian memenuhi syarat itu?"

   "Saya bersedia!"

   Kata Kui Bi tegas.

   "Saya..... saya.... bagaimana kalau ayah dan ibu menjadi gelisah dan sedih karena selama itu kita tidak pulang, Bi-moi?"

   Kui Lan meragu.

   "Lan-ci, bu kankah kita sudah bertekad meninggalkan semua itu? Setelah lewat dua tahun, baru kita pulang!"

   Bantah adiknya.

   "Omitohud...., kalau kalian tidak rela, jangan memaksa diri agar kelak tidak akan menyesal dan menyalakan pinceng,"

   Kata hwesio itu dan tanpa diketahui dua orang gadis itu, dia memandang mereka dengan sinar mata yang tiba-tiba membayangkan perasaan iba yang mendalam!

   "Sudahlah, Lan-ci, bagaimana kita dapat melewatkan kesempatan baik ini! Bukankah selama ini kita menda mbakan seorang guru yang sakti?"

   Kui Lan menyerah "Baiklah, saya bersedia melaksanakan perintah dan memenuhi syarat itu,"

   Katanya.

   "Bagus! Nah, sekarang tunggangilah kuda kalian dan ikuti pinceng pergi dari sini!"

   "Nanti dulu, locianpwe. Kami belum melakukan upacara pengangkatan guru."

   Kata Kui Bi dan iapun kembali menggandeng tangan encinya untuk berlutut dan memberi hormat delapan kali ke ada hwesio itu sambil menyebut "Suhu". Hwesio itu yang kini telah mendapatkan kembali kegembiraannya, tertawa tawa sampai perutnya yang gendut itu bergerak-gerak, seolah ada kehidupan bersendiri dala m perut yang besar itu.

   "Sudahlah, pin-ceng senang sekali mempunyai murid-murid seperti kalian,"

   Kata Kong Hwi Ho-siang dan sekali menggerakkan tangan, ujung lengan bajunya menyentuh pundak dua orang gadis itu dan luar biasa sekali, Kui Lan dan Kui Bi merasa seperti terangkat oleh angin yang amat kuat sehingga mau tidak mau mereka bangkit berdiri dan memandang kagum karena mereka mengerti bahwa gerakan guru mereka tadi merupa kan pengerahan sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat.

   "Akan tetapi, suhu. Bagaimana mungkin teecu berdua menunggang kuda sedangkan suhu berjalan kaki? Biarlah teecu dan enci Kui Lan berboncengan dan suhu menunggang kuda teecu (murid)."

   Hwesio itu tertawa bergelak dan mulutnya terbuka. Dua orang gadis itu memandang dengan heran melihat betapa mulut itu sama sekali tidak mempunyai gigi lagi, seperti mulut bayi! Dan tertawa seperti itu, me mang wajah Kong Hwi Ho"siang mirip wajah seorang bayi.

   "Ha-ha-ha-ha, pin-ceng telah di kurnia i sepasang kaki yang kuat, kenapa mesti pinjam kaki kuda untuk berdiri? Sudahlah, kalian tunggangi saja kuda kalian dan pin-ceng berjalan kaki Kaukira gurumu ini tidak akan mampu menandingi larinya kuda?"

   Dua orang gadis itu saling pandang, merasa heran, kagum dan juga bangga, akan tetapi ada pula perasaan ingin membuktikan dan penasaran. Boleh jadi suhunya memiliki ilmu silat yang hebat, akan tetapi lari menandingi kuda? Melihat kedua orang murid itu na mpa k tertegun dan ragu, Kong Hwi Ho-siang memberi isyarat dengan tangan agar keduanya cepat melo ncat ke atas punggung kuda.

   "Nah, ikuti pin-ceng!"

   Katanya dan tubuhnya berkelebat ke depan dan melesat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya! Dua orang gadis itu terkejut dan cepat menggebrak kendali agar kuda mereka berlari cepat mengejar bayangan guru mereka yang sudah jauh itu.

   Mereka memba lapkan kuda, akan tetapi tetap saja tidak ma mpu menyusul bayangan yang bergerak meluncur menyusuri sungai. Padahal, mereka melihat betapa hwesio itu seperti melangkah biasa saja, namun jubahnya yang lebar berkibar-kibar!

   Mereka tentu saja menjadi kagum bukan main dan kini lenyap pula sedikit keraguan yang masih bersisa di hati Kui Lan. Kegembiraan melihat kenyataan akan kesaktian gurunya membuat gadis ini dapat melupakan bayangan kerinduan terhadap orang tuanya. Guru seperti hwesio ini sukar ditemukan dan mereka berun tung sekali, tidak saja tadi disela matkan dari ma lapetaka mengerikan, bahkan kini diterima menjadi murid.

   Ketika akhirnya mereka menghentikan larinya kuda di pekarangan sebuah kuil yang berada di tempat sunyi, di tepi sungai dan di kaki sebuah bukit, kuda mereka terengah dan berpeluh, akan tetapi hwesio itu sama sekali tidak berkeringat, dan napasnya biasa saja, masih tersenyum lebar.

   "Wah, suhu hebat sekali! Suhu lari melebihi kecepatan kuda kami!"

   Kui Bi berseru kagum sambil melompat turun.

   "Suhu harus mengajarkan ilmu berlari cepat seperti itu kepada teecu!"

   "Hushh, Bi-moi, mana ada murid mengharuskan gurunya!"

   Kui Lan menegur, khawatir kalau guru mereka menjadi marah mendengar kelancangan adiknya.

   "Omitohud....! Kakak beradik memiliki watak yang jauh berbeda, akan tetapi keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Demikianlah segala.apa yang berada di dunia ini, termasuk manusia. Ada kelebihannya pasti ada kekurangannya, ha-ha-ha. Kalian jangan khawatir. Kalau kalian tekun berlatih, dalam dua tahun pin-ceng akan menurunkan ilmu-ilmu simpanan pin-ceng kepada kalian. Ilmu berlari cepat seperti tadi bukan apa-apa, walaupun amat penting, yaitu kalau-kalau kalian terpaksa melarikan diri, tidak akan mudah, dikejar, ha-ha-ha!"

   Dua orang gadis itupun tersenyum mendengar kelakar guru mereka yang kadang penampilannya tidak mirip pendeta bahkan lebih mirip kanak-kanak.

   Mereka memasuki kuil. Kuil yang tidak besar itu berada di tepi Sungai Wei, di kaki Bukit Bangau. Tempat yang cukup sunyi karena berada di luar dusun, bahkan jauh dari kota Mereka di sambut oleh seorang nikouw (pendeta wanita) yang bertubuh kurus dan nampak bersih dan rapi. Usianya sekitar lima puluh tahun, masih cantik akan tetap dirinya di bungkus kesederhanaan yang wajar, matanya lembut dan gerak-geriknya nampak ringkih.

   "Susiok (paman guru)!"

   Nikow itu memberi hormat kepada Kong Hwi Ho-siang yang tertawa-tawa.

   "Pek-lian, ini adalah murid-murid pin-ceng, namanya Yang Kui Lan dan adiknya, Yang Kui Bi. Kui Lan dan Kui Bi, ini adalah murid keponakan pinceng, namanya Pek-lian Nikouw. Kalian boleh menyebut suci (kaka k seperguruan) kepadanya dan dapat mengharapkan petunjuknya. Jangan mengira ia lemah ia memiliki ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang membuat gerakan pin-ceng akan nampak lamban seka li!"

   Hwesio itu tertawa dan dua orang gadis itu terkejut dan kagum bukan main. Kalau guru mereka yang memiliki ilmu berlari secepat itu masih memuji ginkang nikow ini, sudah tentu ia memiliki kepandaian hebat bukan main.

   "Omitohud. susiok selalu berkelakar dan terlalu memuji.,"

   Kata nikouw tua dengan lembut dan senyumnya amat ramah.

   "Dalam hal ilmu silat, pin-ni (saya) seperti semut dibandingkan susiok yang seperti gajah. Pin-ni hanya belajar sedikit ilmu untuk melarikan diri dari bahaya."

   Kong Hwi Ho-siang tertawa terpingkal-pingkal.

   "Ha-ha"heh-heh, pin-ceng seperti gajah? Ha-ha-ha, sungguh tepat. Ketahuilah, PeK-lian, pin-ceng hendak menitipkan dua orang murid pin-ceng itu di sini. Tidak, mereka tidak harus menjadi nikouw, mereka hanya pinceng titipkan selama pin-ceng mengajar ilmu silat kepada mereka."

   "Tentu saja, susiok. Mereka boleh tinggal di sini selama mereka sukai, asal tempat yang sederhana ini tidak membosankan hati mereka. Mari, kedua sumoi, mari masuk dan pin-ni pilihkan ka mar yang pantas untuk kalian."

   "Aih, suci, tidak perlu repot-repot mengurus kami.Sebaiknya kalau kami berkenalan dulu dengan para nikouw yang tinggal di sini,"

   Kata kui bi. Mereka lalu diperkenalkan dengan lima orang nikouw lain yang tinggal di kuil Thian-bun"tang itu.

   Demikianlah, sejak hari itu, Kui Lan dan Kui Bi tinggal di kuil Thian-bun-tang dan setiap hari mereka melatih diri dengan ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh guru mereka.

   Kong Hwi Ho-siang sendiri tidak tinggal di kuil itu, hanya seminggu sekali datang untuk menggembleng dua orang muridnya diri pagi hingga malam. Juga mereka berdua mendapatkan petunjuk jalan ilmu meringankan tubuh dari Pek-lian Nikouw, dan mempelajari isi kitab-kitab agama dari para nikouw lain.

   Atas kehendak Kong Hwi Ho-siang dua orang gadis ini tidak pernah keluar dari kuil sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui bahwa di kuil itu tinggal dua orang gadis cantik jelita Inilah sebabnya mengapa semua usaha Menteri Yang untuk mencari kedua orang puterinya itu gagal.

   Karena kakak beradik ini memang berbakat baik, apa lagi di bawah bimbingan yang tekun dari Kong Hwi Ho-siang, juga lingkungan hidup yang bersih rajin dan tekun dengan para nikouw, kedua orang gadis bangsawan itu memperoleh kemajuan pesat sekali. Pelajaran keagamaan juga merupakan hiburan yang baik, sekali dan dapat mengobati kerinduan mereka terhadap orang tua.

   Apa yang dikhawatirkan Yang Kok Tiong terjadilah. Setelah An Lu Shan dianggap tidak bersa lah oleh kaisar, bahkan menerima hadiah dan pujian atas kesetiaannya, memang tidak nampak tanda-tanda bahwa panglima peranakan Khitan Turki itu akan memberontak. Bahkan kaisar juga tidak menaruh curiga ketika An Lu Shan memperkuat pasukannya dengan alasan untuk memperkuat penjagaan di perbatasan utara.

   Akan tetapi dua tahun kemudian An Lu Shan membuka kedoknya. Diam-diam dia bukan hanya menghim pun kekuatan pasukannya, bahkan juga mengadakan hubungan dan persekongkolan dengan suku-suku asing di utara, terutama dengan suku Khitan.

   Mulailah dia menggerakkan pasukannya menuju ke selatan. Mula-mula ia tidak ada yang curiga melihat gerakan ini, karena bukankah pasukan yang dipimpin An Lu Shan merupakan pasukan Kerajaan Tang? Dan panglima An Lu Shan tentu saja memiliki pasukan pilih yang terkuat dari Kerajaan Tang.

   Dia membawa pasukan besarnya menyeberang Sungai Kuning, kemudian menyerbu Lok-yang tanpa kesulitan. Pasukan yang menjaga Lok-yang yang merupakan kota raja yang kedua setelah kota raja Tiang-an dikejutkan oleh serbuan yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Lok-yang diduduki dengan mudahnya.

   Gegerlah kota raja ketika kaisar mendengar berita itu. Dia bukan hanya terkejut, akan tetapi juga khawatir kali. Dengan tergesa-gesa Kaisar Ia mengerahkan seluruh pasukan untuk menyambut gerakan barisan pemberontak itu. Terjadilah pertempuran besar di Ling-pao yang berlangsung sampai dua pekan lebih.

JILID 04

Namun, akhirnya pasukan pemerintah tidak kuat bertahan dan dapat dihancurkan dan sisa pasukan mundur ke benteng pasukan pemerintah di Terusan Tiong-koan. Terjadi perang besar di benteng Tiong-koan ini. Namun, pasukan pemberontak yang sudah lama membuat persiapan penyerbuan itu dan keadaannya jauh lebih kuat, dapat menghancurkan pertahanan pasukan pemerintahan sehingga benteng Tiong-koan juga bobol.

   Benteng pertahanan terakhir yang merupakan pintu gerbang ke kota raja, jatuh. Tentu saja hal ini membuat Kaisar Hsuan Tsung atau Beng Ong yang sudah berusia tujuh puluh tahun ini menjadi gentar. Kepanikan melanda keluarga kaisar, dan dengan tergesa-gesa Kaisar melarikan diri mengungsi ke barat, menuju ke Se-cuan.

   Demikianlah, pasca tahun 755, An Lu Shan memimpin pasukannya menyerbu ibu kota Tiang-an dan boleh dibilang hampir tidak mendapatkan perlawanan. Hanya ada beberapa orang panglima yang setia melakukan usaha yang sia-sia untuk melawan sampai mati, namun pasukan kecil mereka tidak ada artinya terhadap balatentara besar yang menyerbu kota raja bagaikan air bah itu. Kota raja Tiang-an diduduki oleh An Lu Shan dan terjadilah apa yang ditakuti rakyat. Yaitu perampokan, perkosaan dan pembunuhan.

   Sebagian besar keluarga kaisar tertumpas, para wanitanya yang muda dan cantik dipaksa menjadi selir atau bunuh. Yang diajak pergi mengungsi. Hanya kaisar hanyalah keluarga dekat, bahkan selirnya yang tak pernah terpisah dari sisinya hanyalah Yang Kui Hui! Selain selir yang tercinta ini, juga ikut pula Menteri Utama: Yang Kok Tiong, kakak kandung selir Yang Kui Hui itu.

   Yang Kok Tiong hanya seorang diri saja mengikuti kaisarnya yang melarikan diri. isterinya, berkeras tidak mau meninggalkan gedungnya karena ia akan menunggu kembalinya tiga orang anaknya yang telah menghilang selama dua tahun. Akhirnya, dalam kerusuhan itu, ketika para perajurit pemberontak merampok rumahnya dan ia akan di perlakukan tidak senonoh oleh seorang di antara mereka, nyonya yang cantik dan lembut ini memilih kematian dengan minum racun yang memang sudah ia persiapkan!

   Selain Menteri Yang Kok Tiong dan Selir Yang Kui Hui, ada pula pasukan pengawal yang terdiri dari seratus orang lebih mengawal rombongan kaisar. Pasukan ini dipimpin oleh Panglima Kok Cu It, panglima berusia empat puluh dua tahun yang terkenal setia kepada kaisar, Panglima Kok Cu ini pula yang mati-matian menghimpun pasukan dan melakukan perlawanan di Terusan Tung-ku-an, akan tetapi akhirnya pasukannya terpukul hancur karena memang kalah besar dan kalah persiapan.

   Kini, dengan pasukan pengawal yang hanya seratus orang lebih, panglima ini tidak mau melarikan diri seperti rekan-rekannya, melain kan dengan setia dia mengawal kaisar melarikan diri ke barat.

   Semula, Kaisar Beng Ong yang sudah tua itu masih merasa terhibur dalam pelariannya. Selirnya tercinta berada di sampingnya. Dan di situ masih terdapat Menteri Yang Kok Tiong yang setia dan dapat menjadi penasihatnya, juga terdapat pula Panglima Kok Cu It yang dapat dipercaya akan me mbe la nya mati- mat ian.

   Akan tetapi, sungguh tidak disangkanya sama sekali bahwa malapetaka datang bukan dari luar, melainkan dari pasukan pengawal itu sendiri. Peristiwa yang tercatat dalam sejarah itu terjadi ketika rombongan pengungsi ini tiba di pos penjagaan di Ma-wei, di Shensi sebelah barat.

   Di tempat yang berada di perbatasan dengan Tibet ini, rombongan berhenti untuk beristirahat melewatkan malam. Para perajurit yang berjaga di pos itu berjumlah tiga losin orang dan mereka segera bergabung dengan pasukan pengawal yang menceritakan keadaan di timur yang telah diduduki para pemberontak.

   Menteri Yang Kok Tiong tidak tinggal diam. Dia maklum bahwa rombongan telah tiba di perbatasan dengan daerah Tibet, dan untuk menyelamatkan dan mengamankan kaisarnya, sebaiknya kalau dia dapat menghubungi para tokoh di Tibet untuk mencari perlindungan bagi kaisarnya.

   Oleh karena itu, diapun segera mengadakan hubungan dengan para kepala Lama, yaitu pendeta di Tibet yang memegang kekuasaan di daerah itu, agar para pendeta itu dapat menerima rombongan pengungsi sebagai sahabat.

   Akan tetapi, pada saat Menteri Yang Kok Tiong mengadakan perundingan dengan beberapa tokoh pendeta Lama di tendanya, terjadi perundingan lain di antara pasukan. Para perajurit yang menderita dalam pelarian itu, lelah dan lapar, juga harapan mereka semakin tipis, masa depan demikian suram.

   Kalau mula-mula mereka hanya mengeluh, kemudian mereka merasa penasaran. Para perwira yang menjadi pembantu-pembantu panglima Kok Cu mulai menyinggung tentang kelemahan kaisar yang menjadi permainan Selir Yang Kui Hui.

   "Coba bayangkan, orang macam Yang Kok Tiong diangkat menjadi Menteri Utama! Hanya karena dia kakak selir itu maka dia diangkat menempati kedudukan tertinggi sesudah kaisar!"

   "Dan sekarang, lihat saja! Dia malah bersekongkol dengan para pendeta Lama!"

   "Jangan-jangan dia hendak mengkhianati kaisar. Melihat kaisar telah jatuh, dia kini menjilat kepada para pendeta Lama!"

   "Seret pengkhianat Yang Kok Tiong!"

   Segera mereka bersorak-sorak dari memaki-maki Menteri Yang Kok Tiong! Bahkan seratus dua puluh orang lebih itu kini menyerbu ke arah tenda yang menjadi tempat tinggal sementara dari Menteri Yang Kok Tiong!

   Ketika itu, para pendeta Lama telah meninggalkan tenda Menteri Yang! Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar ribut-ribut di luar. Dia segera melangkah keluar, hanya untuk menghadapi amukan para perajurit. Menteri itu sama sekali tidak berdaya. Pada waktu itu, dia sudah tidak lagi dijaga oleh pengawal seperti ketika dia masih tinggal di kota raja. Dia tidak dapat melawan dan tewas seketika di bawah banyak senjata yang membuat tubuhnya hancur!

   Mendengar keributan ini. Kaisar Beng Ong terkejut bukan main, demikian pula panglima Kok Cu It yang ketika peristiwa itu terjadi sedang berbincang-bincang dengan kaisar. Mereka berlari keluar dan Panglima Kok Cu sudah mencabut pedangnya untuk melindungi kasar.

   Sementara itu, bagaikan srigala-srigala buas yang menjadi semakin ganas setelah merasakan sedikit darah, para perajurit pengawal setelah melumatkan tubuh Menteri Yang Kok Tiong yang mereka anggap menjadi seorang diantara mereka yang melemahkan negara dan mengakibatkan kerajaan jatuh ke tangan pemberon tak, kini berbondong-bondong menuju ke pondok darurat yang di bangun untuk menjadi tempat tinggal sementara bagi kaisar.

   "Bunuh Selir Yang Kui Hui!"

   "Gantung iblis betina itu!"

   Kaisar dan Panglima Kok Cu it muncul di beranda loteng dan mereka melihat betapa semua pasukan telah berdiri di depan pondok dan sikap mereka seperti harimau yang haus darah !

   Ketika melihat kaisar dan Panglima Kok Cu It muncul di loteng, semua orang terdiam.

   Bagaimanapun juga, kaisar dan panglima itu masih memiliki wibawa besar yang membuat mereka gentar dan tunduk. Sekilas pandang saja tahulah Panglima Kok Cu bahwa semua perwira terlibat dalam unjuk perasaan itu, maka tidak mungkin melakukan tertib hukum, militer. Kalau mereka itu dihukum, sama saja dengan melenyapkan pasukan pengawal!

   "Apa artinya semua ini?"

   Terdengar suara Kok Cu It yang menggelegar.

   "Kami mendengar kalian telah membunuh Menteri Yang! Dan sekarang kalian membikin ribut di sini. Apakah kalian hendak memberontak terhadap Sribaginda Kaisar?"

   Kaisar sendiri juga berusaha menenangkan hati mereka.

   "Para perajurit dengarlah baik-baik. Kami mengerti bahwa kalian menderita kelaparan dan kehausan, kelelahan. Akan tetapi, kami tidak akan pernah melupakan jasa kalian. Jasa kalian masing-masing telah kami catat dan percayalah, Kerajaan Tang akan bangkit kembali dan setelah kita berhasil, kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang tinggi. Kami percaya kalian adalah pahlawan-pahlawan, bukan pengkhianat."

   Mendengar ucapan kaisar dan panglima mereka, para perajurit itu kini berteriak-teriak lagi.

   "Hukum gantung Yang Kui Hui! ia telah meracuni istana, ia telah melemahkan kerajaan,

   mempermain kan Sribagincla!"

   "Kami telah menghukum Yang Kok Tiong, dan kami akan menghukum Yang Kui Hui! Kerajaan Tang harus dibersihkan dari orang-orang yang mempermainkan kerajaan dan mau enaknya saja!"

   Wajah kaisar menjadi pucat menclengar ini.

   "Ah, bagaimana ini, Kok-ciangkun......?"

   Bisiknya kepada panglimanya dengan suara gemetar.

   Kok Cu It menga mati keadaan para anak buahnya. Pendengarannya yang tajam mendengar bahwa di antara teriakan-teriakan mereka terdapat ancaman, bahwa kalau Kaisar tidak menghukum mati Yang Kui Hui, mereka akan membakar pondok itu dan membunuh seluruh keluarga kaisar!

   Pangeran Su Tsung, yaitu putera mahkota yang ikut pula naik keberancla loteng dan sejak tadi bercliri di belakang kaisar bersama Selir Yang Kui Hui juga mendengar teriakan-teriakan itu.

   Selir ini sudah merasa sedih dan sakit hati sekali mendengar bahwa kakaknya dibunuh oleh para perajurit dan kini mereka berteriak- teriak menuntut agar ia di hukum mati!

   "Sribaginda, hamba tidak melihat lain jalan...."

   Kata Panglima Kok Cu It.

   Diam-diam, jauh di dasar lubuk hatinya, panglima ini tidak dapat menyalahkan sikap pasukannya. Memang semua orang tahu betapa Yang Kui Hui telah melemahkan istana, melemahkan kaisar dan dengan sendirinya juga melemahkan negara. Wanita ini menjadi rebutan antara anak dan ayah.

   Isteri Pangeran houw ini direbut oleh mertuanya sendiri dan setelah menjadi selir kaisar, semua kekuasaan kaisar di kendalikannya !

   "Hukum Yang Kui Hui!"

   "Iblis betina itu kekasih An Lu han si pemberontak!"

   Teriakan-teriakan semakin berani. Yang Kui Hui maklum bahwa tidak ada lagi harapan baginya, lapun kini teringat akan semua sikap dan perbuatannya, yang dilakukan demi kesenangan diri sendiri dan keluarganya. Kini semua itu mengalami kegagalan dan ia harus berani menerima kenyataan. Maka, iapun menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

   "Sribaginda, hukumlah hamba, gantunglah hamba kalau itu dapat meredakan kemarahan mereka..... hamba rela mati.... untuk menyelamatkan paduka..."

   Katanya sambil menangis.

   Kaisar yang amat mencinta selirnya ini terharu, mengangkat selirnya berdiri dan merangkulnya. Mereka berangkulan sambil menangis.

   "Tidak......, tidak.... Kui Hui, engkau tidak boleh dihukum mati......"

   Rintih kaisar yang tua itu dengan memelas.

   Melihat adegan romantis di atas loteng, di mana kaisar itu rangkulan dengan selir yang dibenci pasukan itu, mereka berteriak-teriak semakin ganas.

   "Sribaginda...... relakan hamba..... hamba sudah menerima kasih sayang paduka yang berlimpahan..... sekaranglah saatnya hamba membalas jasa... dengan nyawa hamba untuk menyela matkan paduka....."

   Kui Hui berkata di antara isak tangisnya. Iapun melepaskan diri dari pelukan kaisar.

   "Kok-ciangkun, minta mereka menanti sebentar, aku mau berganti pakaian dulu, baru. aku akan menggantung diri di sini agar mereka semua dapat melihatnya."

   "Kui Hui......!"

   Kaisar berseru, akan tetapi selir itu telah berlari turun ke kamarnya. Kaisar tua itu hendak mengejarnya, akan tetapi terhuyung dan cepat Pangeran Su Tsung merangkulnya.

   "Sribaginda, tidak ada jalan lain, harap paduka menguatkan hati paduka, semua ini demi negara!"

   Kata Kok-ciangkun dan mendengar kalimat terakhir ini, kaisar mendapatkan tenaga baru, dan diapun mengangguk.

   Demi negara! Demi kerajaan! Dia harus mengorbankan Yang Kui Hui, selir tercinta.

   Kok Cu It lalu berdiri di tepi loteng dan berseru dengan suara lantang bahwa Selir Yang Kui Hui siap menerima hukuman mati, dan agar para perajurit tenang. Mendengar teriakan ini, semua perajurit menjadi diam dan suasana menjadi hening, namun mencekam sekali, menegangkan perasaan.

   Tak lama kemudian Yang Kui Hui naik ke loteng dan ia telah mengenakan pakaian serba putih dari sutera halus, rambutnya yang masih hitam dan panjang itu dibiarkan terurai dan ia tidak mengena kan perhiasan sebuahpun. Namun, dalam pakaian sederhana serba putih dan mengurai rambut itu, makin nampak kecantikannya yang aseli dan memang wanita ini memiliki kecantikan yang sukar dicari bandingnya! Melihat selirnya sudah siap untuk mati, kaisar merangkulnya lagi.

   "Kui Hui ah, Kui Hui.. bagaimana aku dapat membiarkan engkau mati meninggalkan aku......?"

   Kui Hui juga menangis, akan tetapi ia menghibur kaisar.

   "Sribaginda, harap relakan hamba. Hamba akan menanti paduka di sana...."

   Selir itu lalu melepaskan rangkulan dan ia menyerahkan sebuah sabuk sutera putih kepada Kok Cu It untuk dipasangkan di galok melintang.

   Kok-ciangkun tanpa ragu lagi segera membuat tali penjirat yang tergantung di balok melintang, kemudian, setelah Yang Kui Hui merangkul dan mencium kaisar, ia lari dan dibantu Kok Cu It, selir ini memasukkan kepala nya di lubang jiratan yang dibuat di ujung sabuk, kemudian ia meloncat dan tubuhnya terayun-ayun, lehernya tergantung!

   "Kui Hui......!"

   Kaisar merintih dan terkulai pingsan dalam rangkulan pangeran mahkota Su Tsung. Melihat tubuh selir itu tergantung dan meronta sebentar lalu terkulai, para perajurit yang menonton dari bawah bersorak gembira. Timbul lagi semangat mereka setelah kini dua orang yang mereka benci, yaitu Yang Kok Tiong dan Yang Kui Hui, telah tewas.

   Setelah terjadinya peristiwa yang membuat hati kaisar terbenam dalam duka, rombongan itu melanjutkan pengungsian mereka ke daerah Se-cuan. Dan di sepanjang jalan, Panglima Kok Cu it berhasil menghimpun pasukannya, yaitu menampung para perajurit yang melarikan diri dan yang menyusul ke barat untuk bergabung dengan kaisar mereka.

   Setelah Yang Kui Hui tidak ada lagi, Kaisar Hsuan Tsung atau Kaisar Beng Ong yang berusa tujuhpuluh tahun itu tidak mempunyai semangat lagi dan diapun melimpahkan tahta kerajaan kepada pangeran mahkota, yaitu Pangeran Su Tsung.

   Dan di tempat pengungsian ini, Kaisar yang baru, Kaisar Su Tsung, dibantu oleh Panglima Kok Cu It dan para pengawal yang masih setia, membangun kembali kekuatan Kerajaan Tang.

   Berkat kebijaksanaan Panglima Kok Cu It yang menjanjikan imbalan besar kepada mereka, pasukan Kerajaan Tang mendapat bantuan dari orang-orang Turki, bahkan mendapat bantuan pula dari Caliph, yaitu panglima kerajaan Arab, dan beberapa suku bangsa lain.

   Akhirnya, dengan balatentara campuran ini, Panglima Ko Cu It mulai bergerak ke timur untuk merebut kembali Kerajaan Tang yang terjatuh ke tangan An Lu Shan. Dan terjadilah perang yang berkepanjangan.

   Setelah jenazah Yang Kui Hui dikubur secara sepantasnya, sebelum rombongan melanjutkan perjalanan, Kaisar Hsuan Tsung mengadakan percakapan rahasia dengan Pangeran Mahkota dan dengan Panglima Kok Cu It. Hanya mereka bertiga saja yang bicara di dala m ruangan itu, tidak boleh dihadiri orang lain.

   Mula-mula kaisar dan pangeran mahkota berdua saja yang duduk di dalam ruangan itu, dan para pengawal disuruh menjaga di luar ruangan. Kemudian datanglah Panglima Kok Cu It dengan wajah muram, dan begitu dia muncul, kaisar sudah cepat bertanya.

   "Bagaimana, ciangkun, berhasilkah menemukannya?"

   Panglima itu dengan murung menggeleng kepala.

   "Tidak berhasil, Sribaginda. Hamba tidak dapat menemukannya di dalam pakaian yang dipakai nya, juga di antara perbekalan di dalam tendanya, hamba tidak dapat menemukan pusaka itu."

   Panglima itu dipersilakan duduk dan mereka bertiga nampak murung.

   "Akan tetapi, kenapa ayahanda menitipkan pusaka yang amat penting itu kepada Paman Yang Kok Tiong?"

   Kata sang pangeran dengan nada suara menyesal.

   Ayahnya menghela napas panjang ,

   "Keadaan amat gawat dan kami tiadak melupakan untuk membawa pusaka itu ketika mengungsi. Dan kami yakin bahwa pusaka itu tentu akhirnya akan diperebutkan orang, karena menjadi lam bang kekuasaan. Untuk mengamankan, diam-diam kami titipkan kepada Menteri Yang. tidak akan dicari orang, dan tidak akan ada yang mengira bahwa pusaka ada padanya. Siapa tahu hari ini terjadi malapetaka yang mendadak tidak disangka"sangka?"

   "Ampun, Sribaginda. Kiranya tidak perlu disesalkan hal yang telah terjadi. Yang terpenting, kita harus dapat menemukan kembali pusaka itu dan sementara ini, kehilangan itu harus dirahasiakan karena kalau sampai terdengar rakyat, tentu dukungan mereka terhadap paduka menjadi lemah "

   "Apa yang dikatakan Paman Panglima Kok memang benar, ayahanda. Tanpa adanya pusaka itu, hamba sendiri akan merasa lemah menunaikan tugas."

   Kaisar mengangguk-angguk dan mereka bertiga terbenam ke dalam kekhawatiran. Pusaka apa yang membuat mereka bertiga begitu cemas karena dinyatakan hilang?

   Sejak Kerajaan Tang berdiri, satu setengah abad yang lalu, semenjak kaisar pertama Kerajaan Tang memerintah, yaitu Kaisar Tang Kaocu, Kerajaan Tang memiliki banyak pusaka yang menjadi pusaka kerajaan.

   Akan tetapi di antara semua pusaka yang ada, yang dianggap terpenting dan sebagai pusaka tanda kekuasaan adalah sebuah benda mustika yang amat kuno dan amat indah. Benda itu adalah sebuah kemala yang amat luar biasa karena dalam sebongkah kemala itu terdapat warna merah, putih,hijau dan hitam. Jarang ada kemala yang mengandung beraneka warna seperti itu.

   Hiasan kemala itu diukir amat halusnya, berbentuk seekor burung Hong yang sedang terbang membentangkan sayapnya. Ukiran itu sedemikian halusnya sehingga seolah hidup saja, dan sepa sang matanya juga mengeluarkan sinar. Bukan Saja benda ini amat indah dan amat berharga, merupakan benda langka, namun lebih dari pada itu, benda ini dianggap memiliki daya atau pengaruh sehingga menjadi kepercayaan umum bahwa siapa yang memiliki benda itu, dialah yang mendapat wahyu untuk menjadi kaisar! Seolah benda itu diturunkan dari langit sebagai tanda kekuasaan Kaisar! Kepercayaan ini merupakan tahyul yang sudah berakar mendalam di hati keluarga Kerajaan Tang dan bahkan semua ponggawanya.

   Inilah sebabnya, mengapa ketika kaisar Hsuan Tsung kehilangan mestika itu, dia, pangeran mah kota, dan panglima Kok termangu dan berduka. Kalau sampai berita tentang kehilangan mestika itu terdengar keluar, maka sukar sekali mengharapkan dukungan rakyat untuk bergerak dan bang kit kembali. Raja yang sudah kehilangan giok-hong (Hong Kemala) berarti sudah kehilangan hak untuk menjadi raja!

   "Ah, mungkinkah dia mengkhianati kami?"

   Kaisar yang tua itu mengepal tinju.

   "Keparat engkau Yang Kok Tiong kalau engkau mengkhianati kami dan memberikan mestika itu kepada orang lain!"

   "Ayahanda tentu maklum bahwa Paman Yang mempunyai tiga orang anak, seorang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan. Bahkan kabarnya ketika terjadi penyerbuan di kota raja, tiga orang anaknya itu belum pulang. Mereka tentu selamat dan mengapa mereka tidak menyusul kita, padahal ayah mereka berada bersama kita? Ini tentu ada sebabnya. Hamba tidak akan merasa heran kalau kelak ternyata bahwa mestika itu berada di tangan seorang di antara anaknya!"

   "Mungkin sekali itu. Keparat engkau, Yang Kok Tiong!"

   Kaisar memaki-maki menterinya yang sudah tewas.

   Panglima Kok Cu It menyabarkan dan menenangkan hati ayah dan anak itu.

   "Hamba kira, hal itu kelak akan dapat kita selidiki. Hamba kelak akan berdaya upaya sekuat tenaga untuk menemukan kembali mestika itu. Sekarang, sebaiknya kita tidak ribut-ribut dan merahasia kan hal ini, seolah mestika itu masih ada pada paduka. Yang terpenting sekarang adalah menghim pun tenaga agar kita dapat membalas kekalahan kita dari An Lu Shan."

   Kaisar tua mengangguk- angguk. Pangeran mahkota Su Tsung yang masih cemas dengan kehilangan mestika itu yang akan membuat dia merasa hampa kalau kelak menjadi kaisar tanpa memilikinya, segera bertanya,

   "Akan tetapi, Paman Panglima.Bagaimana kalau nanti para pimpinan kelompok yang kita mintai bantuan mengetahui bahwa mestika itu tidak ada pada kita lagi? Bagaimana kalau mereka minta agar ayahanda Kaisar memperlihatkan mestika itu kepada mereka? Ingat, suku-suku bangsa di sini, terutama bangsa Uigur yang kita harapkan sekali bantuannya, amat percaya akan lambang kekuasaan itu."

   "Paduka benar, Pangeran, akan tetapi jangan khawatir, hamba akan mempersiapkan tiruannya!"

   Demikianlah, kehilangan mestika itu tetap menjadi rahasia karena setelah tukang yang pandai membuatkan sebuah mestika tiruan yang dilihat begitu saja serupa dengan yang aseli, diam-diam Panglima Kok Cu membunuhnya.

   Mestika Hong Kemala yang palsu itu lalu diserahkan kepada Kaisar. Ketika kaisar menyerahkan kedudukannya kepada Pangeran MaKkota, maka mestika palsu itupun diberikan kepadanya.

   Beberapa kali mestika itu diperlihatkan sepintas lalu kepada para pimpinan kelompok atau suku bangsa sehingga mereka semua percaya bahwa kaisar baru itu masih memiliki Mestika Hong Ke mala, maka mereka bersemangat membantunya karena mereka percaya bahwa barang siapa memiliki mestika itu, dia pasti akan berhasil menjadi raja!

   Bukit itu disebut orang Bukit Hitam, berdiri tegar di seberang utara Sungai Yang-ce. Disebut Bukit Hita m karena memang bukit itu selalu nampak hitam! Pohon-pohon yang tumbuh di situ, hutan-hutan, nampaknya memang kehitam hitaman atau hijau tua dan gelap.

   Dan bukit ini merupakan tempat yang ditakuti orang, karena selain terdapat banyak ular-ular yang beracun, juga menjadi tempat pelarian dan persembunyian para penjahat yang dikejar-kejar yang berwajib atau di kejar-kejar para pendekar. Bahkan terdengar desas-desus bahwa hutan-hutan di bukit itu juga dihuni oleh setan dan iblis, menjadi sarang siluman yang suka mengganggu manusia.

   Tidak mengherankan kalau hampir tidak pernah ada orang berani mendakinya, bahkan para pemburu yang terkenal berani dan gagah sekalipun, akan berpikir seratus kali untuk memburu binatang hutan di bukit itu.

   Akan tetapi, pada pagi hari itu para petani yang sedang menggarap sawah di kaki bu kit sebelah timur, menghentikan pekerjaan mereka dan mata mereka terbelalak memandang kepada seorang gadis yang melenggang seorang diri melalui jalan dusun itu menuju ke arah Bukit Hitam!

   Kalau saja gadis itu merupakan seorang wanita yang berwajah mengerikan, atau setidaknya nampak seperti seorang wanita kang-ouw yang gagah perkasa, agaknya para petani tidak akan menjadi bengong memandangnya. Akan tetapi, gadis itu demikian cantik jelita dan lembut, langkahnya juga lemah gemulai seperti orang menari saja.

   Gadis itu masih muda, paling banyak sembilan belas tahun usianya, dan ia cantik jelita, wajahnya yang bulat telur dengan kulit muka putih kemerahan tanpa bedak dan gincu. Rambutnya hitam lebat dan agak berombak, dengan anak rambut bermain di dahi dan pelipis, me lingkar-lingkar. Akan tetapi yang teramat indah adalah matanya dan mulut nya. Sepasang mat itu lebar dan bersinar"sinar, dengan kedua ujung agak menyerong ke atas dan mata itu makin indah karena dihias bulu mata yang panjang lentik.

   Dan mulutnya! Bibir itu selalu nampak basah dan merah segar, lengkungnya seperti gendewa terpentang, kalau senyum sedikit saja nampak lesung pipit di sebelah kiri mulutnya. Mulut itu menantang dan menggemaskan! Tubuhnya ramping dan padat, dengan lekuk lengkung yang sempurna. Pakaiannya memang sederhana, terbuat dari kain yang kasar, namun bersih dan karena bentuk tubuhnya memang menggairahkan, mengenakan pakaian apapun akan pantas saja.

   Agaknya gadis yang melangkah seorang diri sambil senyum-senyum pada burung-burung yang beterbangan, kepada kerbau-kerbau yang meluku di sawah, kepada para petani, menyadari pula bahwa orang-orang itu berhenti bekerja dan memandangnya penuh perhatian.

   Namun, pandangan mata para petani itu jauh bedanya, bagaikan bu mi dan langit, dengan pandang mata para pemuda yang pernah dijumpainya selama ini. Pandang mata para pemuda, terutama pemuda kota mengandung kekurangajaran dan kegenitan. Sebaliknya, pandang mata para petani itu hanya membayangkan keheranan dan keinginan tahu. ia lalu menghampiri mereka.

   "Para paman yang baik, benarkah dugaanku bahwa bukit di depan itu yang dinamakan orang Bukit Hitam?"

   "Betul nona,"

   Kata seorang di antara mereka, seorang petani berusia limapuluh tahun lebih.

   "Ah, kalau betul dugaanku. Nah, terima kasih, paman. Pagi ini cerah sekali, aku ingin cepat-cepat sampai di sana."

   Gadis itu meninggalkan senyum yang manis sekali kepada mereka lalu memutar tubuh hendak melanjutkan perjalanannya sambil memandang ke arah bukit itu.

   "Maaf, nona, apakah nona hendak pergi mendaki Bukit Hitam?"

   Suara kakek itu yang membuat si gadis cepat membalikkan tubuh menghadapinya dan memandangnya. Dalam suara kakek itu terkandung kekhawatiran besar.

   "Benar, paman. Kenapa?"

   "Aahhh....... !"
Semua orang yang mendengar jawaban ini mengeluarkan suara seruan kaget dan khawatir, membuat gadis itu makin tertarik.

   "Nona, ka mi tahu bahwa nona tentulah bukan orang dari daerah sini. Nona agaknya belum mengenal Bukit Hita m maka berani hendak mendakinya. Tentu nona belum pernah ke sana, bukan?"

   Gadis itu menggeleng kepala.

   "Belum pernah, paman, akan tetapi kenapa?"

   "Aihh, kalau begitu, ka mi mohon sebaiknya nona jangan sekali-sekali mendaki bukit itu! Maut yang mengerikan menanti nona di sana!"

   Kakek itu menunjuk ke arah Bikit Hita m dan mukanya agak pucat.

   "En, kenapa begitu? Ada apanya sih di atas sana?"

   Gadis Itu memandang dan menunjuk ke arah bukit, mulutnya tetap tersenyum.

   "Apa saja yang dapat mencabut nyawa berada di sana, nona!"

   Kata petani itu.

   "Binatang buas, ular-ular berbisa, penjahat-penjahat pelarian yang menyembunyikan diri, dan belum lagi... setan dan iblis, siluman dan segala ma cam arwah penasaran menjadi penghuni hutan di bukit itu!"

   Gadis itu membelalakkan matanya yang lebar sehingga mata itu nampak seperti sepasang bintang yang cemerlang "Ih, kalau benar di sana terdapat demikian banyaknya pencabut nyawa, kenapa kalian enak-enak saja bekerja di sini, di kaki bukit itu tanpa rasa takut?"

   "Di sini lain lagi ha lnya, nona. Bukit itu telah menjadi bukit yang ditakuti semenjak nenek moyang kami yang tinggal di sini. Siapapun yang berani ke bukit itu, pasti akan menga la mi kematian mengerikan. Akan tetapi, belum pernah penghuni di kaki bukit ada yang diganggu. Maka, sekali lagi, kalau nona hanya hendak melihat pemandangan alam, pergilah ke bukit lain, jangan ke Bukit Hitam."

   "Benar, nona, jangan pergi ke sana. Engkau masih begini muda..... betapa mengerikan kalau engkau menjadi korban pula!"

   Kata seorang petani lain.

   Gadis itu tersenyum.

   "Terima kasih atas nasihat para paman di sini. Akan tetapi aku mempunyai urusan dan keperluan di bukit itu. Nah, selamat tinggal!"

   Gadis itu melangkah lagi.

   "Nona......, nona !"

   Petani itu masih berteriak gelisah.

   "Urusan apa yang nona punyai di tempat seperti itu?"

   Sambil terus melangkah dan menoleh sedikit gadis itu manjawab.

   "Urusanku justeru ingin bertemu dengan binatang buas, ular berbisa, penjahat dan setan siluman!"

   Mendengar jawaban ini, para petani menjadi bengong! Kemudian, mata mereka terbelalak dan mulut mereka ternganga ketika mereka melihat gadis itu berkelebat dan bayangannya lenyap ke arah bukit itu!

   "Hiii.... ia..... ia...."

   Seorang tergagap.

   "si..... si... siluman.."

   Yang lain menyambung.

   Belasan orang petani itu lalu bergerombol, saling berhimpitan dan dengan tubuh gemetar menanti melapetaka apa yang akan menimpa mereka. Baru setelah lewat sejam dan tidak terjadi se suatu, mereka berani melanjutkan, akan tetapi sama sekali tidak berani membicarakan gadis tadi selama mereka bekerja di sawah.

   Baru nanti setelah mereka pulang, akan ramailah di dusun mereka mendengar kisah yang aneh tentang gadis cantik yang berani mendaki Bukit Hitam dan pandai menghilang. Mereka semua yakin bahwa gadis cantik tadi pastilah siluman!

   Begitu banyaknya orang membicara kan tentang setan iblis dan siluman dan mereka semua takut kepada siluman. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang benar-benar melihat siluman. Mereka sudah banyak mendengar tentang setan, akan tetapi belum pernah melihatnya sendiri secara jelas.

   Kalau pun ada yang pernah melihatnya, yang terlihat hanya bayangan atau samar-samar saja sehingga tidak dapat ditentukan bahwa yang dilihatnya adalah setan! Justeru inilah yang mendatangkan rasa takut, justeru karena tidak dapat dilihat. Andaikata setan dan iblis dapat dilihat, maka dia tidak akan ditakuti manusia lagi. Mahluk yang paling buas dan besarpun, asalkan dia dapat dilihat, mudah ditaklukkan oleh manusia.

   Setan dan iblispun, kalau terlihat, tentu akan dapat ditaklukkan manusia. Rasa takut timbul karena ulah permainan pikiran. Pikiran membayangkan dan mengkhayalkan yang seram-seram, yang mengerikan, dan timbullah rasa takut. Takut adalah permainan pikiran membayangkan hal yang belum ada, yang belum terjadi. Orang takut terkena penyakit karena dia belum sakit. Kalau dia sudah terkena penyakit, dia tidak takut lagi kepada penyakit itu, yang ditakuti adalah akibat lain yang belum terjadi, misalnya takut kalau-kalau sakitnya itu akan membuatnya mati, takut kalau kelak mati dia akan tersiksa dan sebagainya dan selanjutnya.

   Siapakah gadis cantik jelita yang demikian besar nyalinya mendaki Bukit Hita m, bahkan yang seolah dapat mengh ilang dari pandang mata para petani? ia bukan lah siluman, bukan iblis atau setan, ia seorang manusia biasa, dari darah dan daging, dan ia bukan lain adalah Can Kim Hong!

   Dua tahun telah lewat semenjak Kim Hong diselamatkan oleh seorang kakek gagu dari tangan gurunya sendiri dan putera gurunya, yaitu Bouw Hun dan puteranya, Bouw Ki. Bouw Ki, suhengnya itu, tergila-gila kepadanya dan hendak memaksanya menjadi isterinya, dibantu oleh ayah suhengnya atau gurunya sendiri. ia melarikan diri akan tetapi dapat disusul mereka, dan tentu ia akan terjatuh ke tangan mereka kalau saja tidak muncul kakek gagu yang mengalahkan ayah dan anak itu, kemudian yang mengantarkan Kim Hong menyeberangi sungai ke pantai sebelah selatan.

   Setelah tiba di tepi sungai sebelah selatan, Kim Hong hendak me mberi upah kepada tukang perahu yang gagu itu, akan tetapi si tukang perahu menolak, kemudian mencoba untuk menyatakan isi hatinya dengan gerakan tangan. Namu n, Kim Hong tidak mengerti.

   "Aih, paman yang gagah dan baik, apa sih yang hendak kaukatakan dengan gerakan jari tangan itu? Aku tidak mengerti!"

   Kata Kim Hong.

   Si gagu tersenyum dan diam-diam Kim Hong merasa senang kepada kakek itu. Bukan hanya karena kakek itu dengan amat mudahnya mengalahkan gurunya yang merupakan datuk orang Khitan, akan tetapi juga senyum kakek itu me mbuat wajahnya nampak ra mah dan menyenang kan, juga masih nampak betapa si gagu ini adalah seorang pria yang tampan.

   Dari bentuk wajahnya, sinar matanya, dapat diduga bahwa si gagu ini bukan orang kebanyakan, karena selain wajahnya tampan dan nampak rapi dan bersih, juga matanya mengandung wibawa yang besar. Pakaiannya serba hitam sederhana, bahkan caping lebar yang menutupi kepalanya juga hitam. Yang putih hanya rambutnya, yang panjang dan tiga perempat bagian sudah putih.

   Sambil tersenyum si gagu lalu membuat coretan di atas tanah dengan sebatang ranting. Kim Hong membaca coret-coretan yang membentuk huruf itu.

   "Di depan terdapat para penjahat yang jauh lebih berbahaya dari pada dua orang tadi,"

   Demikian bunyi tulisan itu.

   Kim Hong tersenyum. Kiranya orang ini hendak memperingatkan ia bahwa kalau ia melanjutkan perjalanan, akan banyak menemui penjahat yang bahkan lebih lihai dari pada gurunya!

   "Aku tidak takut, paman!"

   Katanya.

   Si gagu menulis lagi. Coretannya cepat dan bertenaga sehingga me bentuk huruf-huruf yang dalam dan mudah dibaca di atas tanah.

   "Keberanian tanpa didasari kekuatan suatu kesombongan yang bodoh dan sia-sia. Nona berbakat, kalau mau menjadi muridku tentu akan memiliki bekal yang kuat untuk melakukan perjalanan seorang diri,"

   Kata tulisan itu.

   Kim Hong tertegun dan termenung, ia harus mencari ayah kandungnya, akan tetapi kalau baru saja keluar sudah hampir gagal karena ia kurang mampu membela diri, bagaimana kalau di depan benar-benar bertemu lawan yang lebih lihai dari Bouw Hun? Usahanya akan sia sia, dan iapun akan tertimpa malapetaka.

   Setelah mempertimbangkan, dan yakin akan kemampuan si gagu, tiba-tiba Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan tukang perahu itu dan memberi hormat.

   "Teecu (murid) Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu......"

   Kim Hong memandang ke atas tanah sebagai isyarat bahwa ia menunggu jawaban orang itu dengan tulisan. Si gagu ke mbali tersenyum lebar dan ujung ranting itu cepat mencoret beberapa huruf di atas tanah.

   "Hek-Liong (Naga Hitam) Kwan Bhok Cu!"

   Kim Hong membaca dan ia kembali memberi hormat.

   "Teecu Can Kim Hong memberi hormat kepada suhu Kwan Bhok Cu yang berjuluk Naga Hitam!"

   Kembali pria itu menuliskan diatas tanah setelah dengan ranting dia menghapus tulisan tadi sehingga permukaan tanah rata kembali.

   "Aku mau menjadi gurumu, dengan syarat bahwa selama dua tahun engkau ikut ke manapun aku pergi, mentaati semua perintahku, berlatih dengan tekun dan sekali saja engkau mencoba meninggalkan aku sebelum kuberi ijin, aku akan membunuhmu. Bagaimana?"

   Kim Hong terkejut. Betapa kerasnya peraturan orang ini. Akan tetapi, karena ia ingin sekali memiliki ilmu kepandaian yang dapat mengalahkan o-rang seperti gurunya, maka dengan nekat iapun mengangguk dan menjawab dengan suara yang tegas.

   "Teecu bersedia!"

   Si gagu lalu memberi isyarat kepada Kim Hong untuk naik kembali ke dalam perahu kecil. Kim Hong mentaati dan merekapun kembali ke dalam perahu. Si gagu mendayung perahu yang meluncur cepat seperti anak panah terlepas dari busu rnya.

   Demikianlah, semenjak hari itu, Kim Hong menjadi murid Si Naga Hitam yang gagu. Dia digembleng dengan keras dan tekun, dan karena Kim Hong memiliki bakat yang baik, dan iapun sudah memiliki dasar ilmu silat yang cukup mendalam berkat pendidikan Bouw Hun, ma ka dalam dua tahun digembleng, ia memperoleh kemajuan yang amat pesat. Bukan hanya ilmu silat, tenaga sakti sin-kang dan juga ilmu meringankan tubuh, akan tetapi juga gadis itu menerima ilmu bermain di dalam air. ia bukan saja pandai renang seperti ikan, akan tetapi juga tahan menyelam sampai lama, tidak seperti kemampuan orang biasa, dan di dalam airpun ia dapat bergerak dengan gesit.

   Selama dua tahun lebih, Kim Hong membuktikan bahwa biarpun ia suka berkelakar, lincah ga lak Jenaka dan ugal ugalan, namun ia taat dan tekun berlatih sehingga belum pernah gurunya yang gagu itu merasa kecewa atau menyesal. Bahkan sejak mempunyai Kim Hong sebagai muridnya, si gagu itu nampa k selalu cerah dan berseri, selalu gembira dan diam "diam dia amat menyayang gadis itu seperti anaknya sendiri. Itulah sebabnya maka dia ingin menjadikan Kim Hong seorang gadis yang benar-benar tangguh.

   Pada suatu hari, ia memanggil Kim Hong dan gadis itu seperti biasa, telah mempersiapkan sebatang ranting untuk menjadi alat tulis bagi gurunya sebagai pengganti kata-kata. Akan tetapi, kalau ada orang lain melihat cara guru itu "bicara"

   Kepada muridnya melalui tulisan, mereka akan terlongong heran. Si Naga Hitam sama sekali tidak mencoret ke atas tanah lagi seperti dua tahun yang lalu, melainkan dia menggunakan ranting itu untuk membuat gerakan mencoret"coret di udara!

   Dan hebatnya, Kim Hong dapat mengikuti setiap gerakan corat coret itu dan membacanya, walaupun tentu saja dipandang dari sudutnya yang berhadapan, huruf "huruf yang ditulis di udara itu terbalik! Inilah merupakan semacam ilmu yang dikuasainya karena kebiasaan.

   Selama dua tahun, gurunya selalu bicara engan coretan huruf dan gadis itu sedemikian hafal dengan gerakan itu sehingga lambat laun, gurunya tidak perlu lagi menulis di atas tanah, cukup membuat gerakan menulis di udara.

   Dan "ilmu"

   Ini ternyata mendatangkan kemajuan pesat bukan main dalam ilmu silat Kim Hong, karena pandang matanya kini amat peka dan tajam, dapat mengikuti gerakan ranting yang sengaja dipercepat oleh si gagu kalau dia menuliskan huruf di udara.

   "Semua ilmu simpanan telah kuajarkan padamu,"

   Demikian bunyi coretn di udara itu, diikuti dengan seksama oleh Kim Hong.

   "Akan tetapi aku ingin engkau memiliki kekebalan terhadap segala macam racun sehingga engkau tidak dapat dicurangi lawan yang jahat dan yang suka menggunakan racun untuk menjatuhkan lawan. Untuk keperluan itu, sekarang juga engkau harus pergi mencarii Ang-thouw-hek-coa (Ular Hitam Kepala Merah). Jangan kembali ke sini sebelum engkau membawa seekor Ang-thouw coa. Pergilah engkau ke Bukit Hitam di lembah sungai Yang-ce sebelah utara. Tempat itu a mat berbahaya, dan engkau berhati-hatilah. Sekali terkena gigitan ular itu, kekuatan tubuhmu tidak akan mampu melindungimu.Nah, berangkat lah dan jangan ragu!"

   Seperti biasa, Kim Hong menaati perintah ini. Setelah membawa bekal pakaian, iapun berangkat. Dan pada suatu pagi, tibalah ia di kaki Bukit Hitam dan sikapnya membuat para petani di kaki bukit itu terkejuf dan ketakutan, mengira ia seorang siluman.

   Biarpun Kim Hong memiliki watak yang lincah Jenaka, galak dan ugal-ugalan, akan tetapi iapun selalu waspada dan tidak ceroboh. Apa lagi melihat sikap para petani di kaki bukit, ia tahu bahwa bukit yang didaki itu merupakan te mpat yang berbahaya, Juga gurunya menuliskan bahwa Bukit Hitam merupakan tempat berbahaya dan ia harus berhati-hati. Itulah sebabnya, setelah memasuki hutan pertama, ia mendaki dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa waspada terhadap sekelilingnya.

   Dalam keadaan seperti itu, gadis ini waspada dan seluruh pancaindera dan urat syarafnya dalam keadaan peka dan siap siaga sehingga ada gerakan sedikit saja, ada bau apa saja dari pendengaran apa saja, ia pasti dapat menang kapnya dengan cepat. Inilah hasil dari kepekaan yang didapat karena selama dua tahun lebih, setiap hari ia mengikuti dan menangkap gerakan ranting di tangan suhunya setiap kali nbcaran ke padanya.

   Bukan hanya matanya yang amat jeli, juga pendengarannya sehingga ia dapat mengikuti gerakan ranting di tangan suhunya dengan pendengarannya saja. Tanpa melihatpun, ia dapat mendengarkan dan mengetahui huruf apa yang ditulis suhunya di udara!

   Tiba-tiba ia berhenti, hidungnya yang kecil mancung itu bergerak-gerak sedikit, atau lebih tepat lagi, cuping hidung yang tipis itu kembang kempis, ia mencium sesuatu!

   Di dalam hutan seperti itu yang hawanya lembab, memang terdapat banyak macam bau yang ditimbulkan oleh kebasahan tanah yang ditilami daun-daun kering membusuk, daun-daun yang

   basah, kembang-kembang hutan, kotoran binatang, dan sebagainya. Akan tetapi Kim Hong mencium bau bangkai!

   Tentu saja karena tidak berpengala manan dala m hal ini, ia tidak dapat me mbedakan bangkai apa yang menghamburkan bau busuk itu, bangkai binatang ataukah manusia, ia menghampiri dan menutupi hidung nya ketika melihat bahwa yang berbau busuk itu adalah mayat seorang manusia.

   Agaknya baru beberapa hari orang laki-laki itu tewas. Mukanya belum rusak, akan tetapi kulitnya sudah muai rusak dan membusuk. Sekali pandang saja tahulah Kim Hong bahwa orang itu tewas karena luka berat di kepalanya, bahkan kepala itu me lihat bentuknya sudah tidak utuh lagi, retak atau pecah.Dan ia melihat tanda penghitam seperti jari-jari tangan di pelipis kanan mayat itu.

   Kim Hong melanjutkan perjalanannya, mendaki ke atas. Dan di sepanjang perjalanan mendaki yang sukar karena tempat itu licin dan banyak terdapat jurang yang curam, ia me lihat mayat-mayat berserakan. Semua ada tujuh orang banyaknya! ia semakin waspada.

   Betul pesan suhunya, dan benar pula keterang an para petani tadi. Tempat ini berbahaya sekali. Melihat keadaan tujuh orang itu, yang tewas dengan tanda-tanda bekas jari menghitam, mereka tentulah bukan orang-orang sembarangan. Rata-rata bertubuh tegap dan kokoh kuat, dan di dekat mereka selalu terdapat senjata, agaknya senjata mayat itu. Ada pedang, golok, tombak dan lain-lain, yang kesemuanya menunjukkan senjata yang cukup baik. Ada pembunuh yang meninggalkan tapak jari hitam di tempat ini, pikirnya!

   Suara mendesis dari sebelah kiri membuat Kim Hong meloncat dan menjauh. Seekor ular yang panjangnya satu setengah depa bergerak cepat ke arahnya. Ular itu agaknya galak, berani menyerang manusia. Akan tetapi bukan ular yang ia cari karena ular ini belang-belang, dan panjang.

   Pada hal Ang-thouw-hek-coa, menurut suhunya, hanya sebesar ibu jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari dua tiga jengkal saja. Tangan Kim Hong menya mbar sebatang ranting dan sekali ranting bergerak, ular itu melingkar-lingkar dan menggeliat-geliat sekarat dengan kepala tertembus ujung ranting yang menghunja m ke dalam tanah.

   Tiba-tiba pendengarannya menangkap suara nyanyian aneh, terdengar asing sekali baginya, lapun menyelinap di antara pohon-pohon dengan tetap waspada karena ia tidak mau ka lau tiba-tiba kakinya dipagut ular berbisa, ia menyusup-nyusup sampa i ke tempat dari mana suara itu datang dan tak-lama kemudian, ia sudah mengintai dari balik semak belu kar dengan mata terbelalak heran.

   Tigabelas orang duduk bersila di tempat terbuka dalam setengah lingkaran. Di depan setiap orang nampak sebatang hio besar menancap di atas tanah dan terbakar membara, mengeluarkan asap yang baunya aneh. Bau ini tadi bah kan pernah tercium oleh Kim Hong, akan tetapi disangkanya bau itu datang dari semacam kembang yang tidak dikenalnya.

   Dan tigabelas orang inilah yang bernyanyi, nyanyian dalam bahasa aneh yang tidak dikenal nya. Melihat pakaian mere ka, orang"orang itu tentu bangsa campuran. Ada yang berpakaian Han, ada yang seperti pakaian orang Uigur Man-cu, dan Mongol. Mereka terdiri dari se puluh orang laki-laki dan tiga orang wanita, usia mereka sekitar tiga puluh sampai empat puluh tahun.

   Suara nyanyian mereka semakin meninggi dan menggetarkan suasana. Kim Hong terkejut dan cepat mengerahkan sin-kan untuk melawan pengaruh suara yang menggetarkan jantungnya itu. Dan tak lama kemudian, tercium bau yang memuakkan, amis dan keras, dan nampak puluhan ekor ulat berbondong-bondong datang, berlenggang"lenggok memasuki tempat itu, ke dalam setengah lingkaran, berkumpul di tengah dan mereka nampak jinak-jinak! Ular-ular terus berdatangan sehingga jumlahnya tidak kurang dari seratus ekor, ada yang besar ada yang kecil dan dari bermacam warna. Dengan tertarik sekali Kim Hong me mandang dan mengamati dari tempat pengintaiannya, akan tetapi hatinya kecewa. Tidak seekorpun di antara banyak ular itu yang warnya seperti ular yang dicarinya. Tidak ada Ang"thouw-hek-coa di situ!

   Melihat demikian banyaknya ular, biarpun ia tidak takut, namun ia merasa jijik dan otomatis tangannya menyambar sebatang ranting untuk mempersiap kan diri kalau-kalau ular"ular menj ij ikkan itu tiba-tiba menyerangnya.

   Gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun kepala suku Khitan, pernah memberi tahu kepadanya bahwa untuk menghadapi ular-ular, paling baik mempergunakan ranting, terutama sekali ranting bambu. Sekali saja terkena sabetan ranting yang sebesar jari tangan, ruas tulang seekor ular dapat dibuat terlepas dan binatang itu tentu tidak dapat lari lagi. Menggunakan pemukul yang besar tidak menguntungkan karena ular itu pandai mengelak dengan tubuhnya yang berkulit licin. Sabetan ranting kecil yang melintang tidak dapat dielakkan.

   Kini tigabelas orang itu, yang taclinya bersila, berlutut clan menyembah-nyembah ke arah sekumpulan ular, dan mulut mereka masih mengeluarkan suara nyanyian aneh itu. Kim Hong dapat mencluga bahwa mereka ini aclalah segerombolan orang sesat penyembah ular!

   Pernah ia menclengar clari Bouw Hun bahwa memang terclapat orang-orang yang menyembah ular yang dianggap sebagai clewa-clewa tanah. Dan orang"orang seperti itu memiliki ilmu menalukkan ular, mereka aclalah pawang-pawang ular yang panclai clan juga ahli racun ular sehingga merupakan musuh yang amat berbahaya!

   Akan tetapi menurut guru pertamanya itu, para penyembah ular ini bukan orang yang suka melakukan kejahatan, ticlak suka merampok atau mengganggu orang lain clan hanya bertinclak keras kalau cliganggu. Mereka menclapatkan penghasilan dari menjual racun-racun ular kepacla rumah-rumah obat yang membutuhkan racun untuk berbagai keperluan pengobatan.

   Mereka ahli mengolah racun berbagai macam ular menjacli pel, clan setiap maca m racun ular tertentu me mpunyai manfaat tertentu pula. Racun-racun yang suclah menjacli pel itu amat mahal sehingga kehiclupan para penyembah ular ini cukup makmur.

   Tiba-tiba datang pula seekor ular besar dan ular itu menggigit bangkai seekor ular lain. Melihat ini, berdebar rasa jantung Kim Hong karena ia melihat betapa ular yang mati dan yang dibawa ular besar itu masih tertusuk ranting. Itulah ular yang menyerangnya tadi dan yang telah dibunuhnya!

   Seorang cli antara tigabelas orang itu, laki-laki berusia empat puluhan tahun, tubuhnya tinggi kurus seperti ular, matanya sipit clan hiclungnya pesek, bangkit clan menghampiri ular be sar, lalu memeriksa ular yang mati. Alisnya berkerut dan diapun berkata clalam bahasa Han kepada ular besar yang kulitnya keputih-putihan itu.

   "Pek- coa, kau cari pembunuhnya dan bawa dia ke sini, hidup atau mati!"

   Ular besar putih itu seolah mengerti apa yang diucapkan si mata sipit. Seperti seekor anjing pelacak, dia mencium-cium ke arah ranting yang masih menancap di kepala rekannya, kemudian diapun bergerak pergi dengan cepat, menghilang ke dalam rumpun ilalang!

   Diam-diam Kim Hong bergidik ngeri. Ketika ia memandang lagi, si mata sipit itu kini mengeluarkan sebatang pisau tajam, lalu melepaskan daging dan kulit ular yang mati itu dengan hati-hati agar jangan merusak tulangnya.

   Kemudian, daging itu dia kerat-kerat dan dia lemparkan ke arah ular-ular yang segera memperebut kannya seperti sekumpulan ayam kelaparan dilempar jagung. Dan tulang itu, masih utuh berikut kepalanya yang sudah dilepas dari ranting yang menembusnya, lalu dikubur di tengah "tengah lingkaran itu dengan dibantu oleh teman-temannya, kemudian mereka bersembahyang di depan "Makam"

   Kecil tulang ular itu!

   Kim Hong demikian tertarik sehingga dia agak lengah, tidak tahu bahwa ular besar putih itu bergerak perlahan menghampirinya dari belakang! Ular itu cukup besar, sebesar betis orang dewasa dan panjangnya ada dua meter!

   Baru Kim Hong tersentak kaget ketika hidungnya mencium bau wangi aneh di belakangnya, ia menengok dan hampir menjerit saking jijiknya ketika melihat ular putih itu sudah berada dekat di belakangnya dengan mata mencorong dan lidah merah keluar masuk moncongnya! Jelas ular itu, seperti seekor anjing pelacak, sudah menemukan yang dicarinya dan kini siap untuk menyerang !

   Kim Hong seorang gadis pemberani, bahkan tidak pernah mengenal takut. Apa lagi setelah kini ia menjadi lihai sekali karena gemblengan Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia menjadi semakin berani.

   Akan tetapi, bagaimanapun juga ia tetap saja seorang wanita dan sebagian besar kaum wanita merasa ngeri dan jijik, bukan takut, kalau melihat ular. Kini, dalam keadaan jijik melihat ular putih itu tiba-tiba berada di belakangnya,setelah membalikdan berhadapan, Kim Hong tidak membuang waktu lagi. Pada saat ular itu membuka moncongnya hendak menyerang, ia mendahului dengan tusukan rantingnya yang tepat memasu ki moncong itu dan menembus ke belakang kepala! Ular itu menggeliat-geliat, dengan ekornya ia memukul ke kanan kiri sehingga menimbulkan suara gaduh.

   Dan tiba-tiba saja Kim Hong sudah mendapatkan dirinya terkepung oleh tigabelas orang itu yang memandang kepadanya dengan mata mengandung kemarahan.

   "Kiranya engkau, nona muda yang kejam, yang telah membunuh ular-ular kami! Agaknya engkau pula yang telah membunuhi beberapa orang kawan kami dengan kejam!"

   Bentak si mata sipit dan tiga belas orang itu sudah mencabut senjata mereka, yaitu sebatang suling baja yang ujungnya runcing seperti tombak.

   Agaknya para pawang ini mempunyai suling untuk memanggi ular dan alat inipun diperguna kan sebagai senjata. Kim Hong dapat menduga bahwa tentu ujung suling yang runcing itu mengandung racun me matikan, maka iapun bersikap waspada dan sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat ke arah tempat terbuka yang tadi dipergunakan untuk tempat sembahyang tigabelas orang itu.

   Maksudnya adalah untuk mencari tempat yang lapang agar leluasa ia menghadapi pengeroyo kan mereka. Akan tetapi, ia mendapat kenyataan yang mengejutkan, ia lupa bahwa di situ berkumpul seratus ekor ular! Dan benar saja, begitu ia terkejut karena teringat akan ular-ular itu, terdengar suara melengking, mungkin suara sebatang suling yang ditiup, dan seratus ekor ular-ular itu serentak menyerangnya dengan ganas!

   Kim Hong dalam keadaan serba salah, ia lalu meloncat pula dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon, aman dari serangan ular-ular itu.

   "Tahan!"

   Teriaknya kepada tiga belas orang itu.

   "Aku sama sekali tidak pernah membunuh kawan kalian dan kalau aku membunuh dua ekor ular itu, aku sekedar membela diri, bukan sengaja membunuh!"

   Akan tetapi tigabelas orang itu agaknya sudah marah dan penasaran sekali melihat dua ekor ular mereka terbunuh. Mereka ra mai-ramai mengepung pohon di mana Kim Hong berada dan mengacung-acungkan suling mereka dengan si kap mengancam.

   Tiba-tiba terdengar angin menyambar dahsyat, sesosok bayangan berkelebat dan seorang di antara tiga belas orang itu roboh dengan kepala retak! Semua orang terkejut dan di situ telah berdiri seorang laki-laki. raksasa yang menyeramkan!

   Pria itu berusia enam puluhan tahun, tubuhnya tinggi besar dan kokoh kuat seperti batu karang dan yang mengerikan adalah kulitnya yang hitam seperti arang! Yang nampak jelas hanya putih matanya saja karena rambut nya juga masih hitam semua. Mukanya penuh dengan brewok pula.

   Duabelas orang penyembah ular itu kini melupakan Kim Hong dan mereka mengepung si raksasa hitam. Orang yang bermata sipit dan berhidung pesek menudingkan,sulingnya kepada orang itu dan berseru marah.

   "Kiranya engkau yang telah membunuhi kawan-kawan kami selama beberapa hari ini?"

   Kakek raksasa itu mengebut-ngebutkan ujung pakaiannya yang mewah sambil tertawa terkekeh-kekeh. Biarpun seluruh kulitnya hitam arang akan tetapi kakek raksasa itu berpakaian indah dan bersih, sampai sepatunyapun mengkilap dan dia seorang pesolek karena ra mbut-nyapun tersisir rapi dan berkilauan ka rena diminyaki. Rambutnya diikat dengan sutera merah dan gelung rambutnya dihias tusuk gelung dari emas permat berbentuk seekor harimau.

   "Ha-ha-heh-heh-heh, mereka tidak mau menyerahkan racun-racunnya kepadaku, maka kubunuh! Dan akupun membunu temanmu itu, agar kalian tidak banyak cing-cong lagi. Cepat serahkan seluruh pengumpulan racun kalian kepadaku kalau kalian menghendaki hiclup!"

   Si mata sipit hiclung pesek mengeluarkan suara melengking clari mulutnya, clan seratus ekor lebih ular-ular itu kini menyerbu ke arah si raksasa hitam.

   Kakek itu masih tertawa bergelak. clan keclua tangannya bergerak menclorong ke clepan, ke arah ular-ular itu. Dan, serangkum angin keras clan kuat sekali menyambar ke arah ular-ular itu yang terlempar jauh ke belakang seperti sekumpulan daun kering diterbangkan angin taufan!

   Duabelas orang itu terkejut clan merekapun serentak maju mengeroyok kakek raksasa. Akan tetapi, kembali kakek itu menggerakkan keclua tangannya clan empat orang yang beracla paling clekat clengannya, terjengkang ke belakang clan terguling-gu ling. Ka lau semua o-rang terkejut, kakek itu tertawa bergelak.

   "Ha-ha-ha, kalau kalian semua ma mpus clan aku ticlak memperoleh racun racun itu, berarti kita bersama menclerita rugi! Sebaliknya, cepat serahkan emua racun yang telah kalian kumpulkan, clan aku ticlak akan membunuh kalian, berarti kita bersama menclapat keuntungan!"

   Jelas bahwa kakek itu ticlak segera membunuh karena clia mengharapkan untuk memperoleh pel-pel beracun yang amat berharga clari sekelompok orang penyembah ular itu.

   

JILID 05

"Orang tua yang kejam, siapakah engkau yang begitu kejam membunuhi teman-teman kami, dan untuk apa engkau henclak merampas racun-racun clari kami? Racun-racun itu merupakan sumber nafkah kami, kenapa engkau begitu ticlak tahu malu untuk merampok kami?"

   "Hemm, kalau aku tidak membutuhkan racun-racun itu, untuk apa aku mengganggu kalian? Aku Hek-bin Mi ong (Raja Iblis Muka Hitam) ticlak suka ber urusan clengan orang-orang kecil maca m kalian. Cepat serahkan semua racun, atau kalian tidakakan dapat melihat matahari besok!"

   "Sam-mo-ong (Tiga Raja Iblis).....??"

   Beberapa orang di antara para penyembah ular itu berbisik-bisik. Mendengar bisikan ini, Hek-bin Mo-ong tertawa.

   "Bagus, kalian sudah mendengar nama kami bertiga. Aku memang seorang di antara Sam-mo-ong, akulah orang pertama! Nah, cepat serahkan semua racun kalau kalian tidak ingin mampus di tangan Hek-bin Mo-ong!"

   "Hek-bin Mo-ong, engkau terkenal sebagai seorang datuk persilatan yang berkedudukan tinggi. Kenapa engkau mem bunuhi re kan-rekan kami yang tidak ber dosa? Dan sekarang, setelah membunuh banyak rekan kami, engkau memaksa kami menyerahkan milik kami yang menjadi sumber nafkah kami. Tidak, ka mi tidak akan menyerahkannya!"

   Teriak si mata sipit dan sebelas orang lainnya juga be rte ria k-te ria k mendu kungnya.

   Sepasang alis yang tebal itu ber kerut dan mata yang lebar itu mencorong.

   "Kalian lebih memilih mampus? Ke parat, kalau begitu, kalian mampus..."

   Tiba-tiba dia terkejut karena terdengar suara bercuit nyaring, dan sebatang benda panjang meluncur ke arahnya dari atas. Dia mengira bahwa itu tentulah seekor ular terbang, maka cepat dia menangkis dengan lengan tangannya.

   "Wuuutt..... brett..... !"

   Ranting itu terpukul ke bawah dan menancap ke atas tanah sampai amblas lenyap, akan tetapi betapa kaget rasa hati Hek-bin Mo-ong ketika melihat betapa lengan bajunya robek dan kulit lengannya lecet. Padahal, yang menyerangnya tadi hanya sebatang ranting kecil! Bagaimana mungkin ranting dapat menembus kekebalannya?

   Hek-bin Mo-ong menoleh ke arah pohon besar dari mana ranting itu tadi meluncur dan dia melihat sesosok bayangan hitam menya mbar turun dan tahu tahu di depannya telah berdiri seorang gadis yang luar biasa cantiknya! Gadis itu mengenakan pakaian sederhana dari kain kasar yang berwarna serba hitam berkembang abu-abu, dan gadis itu berdiri bertolak pinggang dan memandang kepada nya sambil tersenyum manis, senyumyang mengandung ejekan!

   "Aih-aih, selama hidupku baru sekarang aku bertemu orang yang lahir batinnya berwarna hitam! Hek-bin Mo-ong, julukanmu Raja Iblis Muka Hitam, akan tetapi kulihat yang hitam bukan hanya mukamu melainkan seluruh kulitmu sampai menembus ke hati. Hatimu juga hitam dan jahat sekali!"

   Hek-bin Mo-ong masih bengong memandang kepada Kim"hong. Belu m pernah dia bertemu seorang gadis yang beg ini cantik dan lincah dan berani, juga dilihat dari luncuran ranting tadi, ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tidak boleh dipandang ringan!

   "Ha-ha-ha, akupun selama hidupku belu m pernah berte mu seorang gadis yang begini cantik jelita! Manis, siapakah engkau dan mengapa pula engkau menyerangku tadi? Apakah engkau juga anggauta dari para penyembah ular ini?"

   "Tida k ada hubunganku dengan mereka, akan tetapi aku paling membenci orang yang jahat dan kejam, bertindak sewenang-wenang seperti kamu ini! Pergilah dan jangan ganggu lagi mereka, atau aku terpaksa akan menghajarmu!"

   Sambil bertolak pinggang dan mengeluarkan ancaman seperti itu, lagak Kim Hong seperti seorang dewasa memarahi seorang anak kecil yang nakal saja.

   "Ha-ha-ha, bocah sombong kau! A-kan tetapi engkau sungguh menarik, eng kau pantas untuk menemani aku bersenang-senang selama beberapa hari, ha-ha-ha!"

   Setelah berkata demikian, tiba tiba saja Hek-bin Mo-ong bergerak, kedua lengannya dikembangkan dan seperti seekor biruang hitam dia sudah menubruk dan menerkam ke arah Kim Hong.

   Namun, sebelum dia menerkam, gerakannya telah diketahui gadis itu, dan dengan keringanan tubuhnya, dengan mudah Kim Hong mengelak dengan loncatan ke samping, kemudian ia membalik dan kakinya sudah menyambar dan menendang ke arah la mbung lawan.

   "Dukk! Uhhh!"

   Tendangan itu mengenai lambung dan biarpun tidak dapat merobohkan raksasa itu, tetap saja mem buat dia terkejut dan terbatuk karena isi lambungnya terguncang. Sebetulnya, Hek-bin Mo-ong adalah seorang datuk sesat yang memiliki tingkat kepandaian tinggi.

   Kalau dia dalam segebrakan terkena tendangan Kim Hong, hal itu adalah karena dia memandang rendah dan dia tadi menubruk seperti menghadapi seorang lawan ringan saja, yang dianggapnya sekali terka m dapat menang kap gadis yang jincah menggemaskan hati i-tu. Karena memandang rendah, dia lengah. Apa lagi Kim Hong memiliki gerakan yang amat cepat, Sebaliknya, Kim Hong d ia m-dia m terkejut. Tendangannya itu dapat merobohkan seorang lawan yang kuat, akan tetapi ketika tendangan itu mengenai lambung raksasa ini, hanya sempat membuatnya terbatuk kecil saja. Ini membuktikan bahwa lawannya memang amat kuat dan kebal.

   Hek-bin Mo-ong tentu saja menjadi marah bukan main. Sebagai seorang datuk besar, dalam segebrakan lambungnya terkena tendangan. Biarpun dia tidak roboh dan kalah, akan tetapi hal ini membuat dia merasa malu sekali. Maka, diapun mengeluarkan suara gerengan seperti seekor binatang buas dan ketika dia menggerakkan kedua tangannya di udara, digoyang-goyang seperti sepasang cakar harimau, tangan itu berubah warnya menjadi hita m tua sampai ke sikunya! Dan melihat ini, Kim Hong maklum bahwa bekas pukulan jari tangan inilah yang dilihatnya pada mayat-mayat itu, bekas pukulan maut.

   "Bocah keparat, kuhancurkan kepalamu!"

   Bentaknya dan diapun bergerak menerjang dengan bengisnya. Namun, Kim Hong sudah cepat mencabut keluar sepasang senjatanya. Sebelum ia menjadi murid Hek-liong Kwan Bhok Cu, ia sudah mempelajari penggunaan delapanbelas macam senjata dari gurunya yang pertama, yaitu Bouw Hun, dan iapun memiliki sen jata yang khas seperti gurunya dan su-hengnya, yaitu sebatang pedang yang bentuknya melengkung.

   Akan tetapi, gurunya ke dua yang gagu mengajarkan penggunaan sepasang pedang pendek seperti pisau belati yang kedua gagangnya disambung dengan sehelai tali yang amat kuat.

   Sepasang senjata ini oleh gurunya dinamakan siang-hui-kiam (sepa sang pedang terbang) dan ia sudah mahir sekali memainkan sepasang pedang pendek ini. Sepasang senjata ini lebih indah dan lebih praktis, mudah disimpan karena tidak panjang seperti dua buah pisau belati saja. Dan sepasang pedang pendek ini terbuat dari baja pilihan yang amat baik sehingga ma mpu me matahkan senjata lain yang terbuat dari baja biasa saja.

   Begitu Hek-bin Mo-ong menerjang dengan kedua tangannya yang berubah hitam sekali, Kim Hong cepat mengelak. Tangan kedua menyusul, akan tetapi, gadis ini memiliki kelincahan gerakan yang luar biasa, membuat beberapa kali sambaran kedua tangan itu luput. Sebaliknya, ia mulai mengge rakkan senjatanya dan tiba-tiba saja ada sinar berca haya menyambar ke arah leher raksasa itu.

   Si Raja Iblis Muka Hitam cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mencengkera m ke arah sinar itu tanpa takut karena memang kedua tangannya kini menjadi kebal dan beracun.

   "Tringgg......!"

   Pedang pendek yang tertangkis itu mengeluarkan bunyi nyaring, akan tetapi tidak dapat tertangkap karena pedang itu telah terbang kembali ke tangan pemiliknya. Pedang yang diikat dengan tali itu ternyata dapat beterbangan, dikendalikan oleh tangan Kim Hong yang memegang ta-linya. Dan kini, dari kiri menyambar pula pedang terbang kedua, yang me-nyambar ke arah mata kanan lawan.

   "Hemmm.....!"

   Raksasa hitam itu menggereng marah akan tetapi juga kaget. Cepat dia menundukkan kepala, tubuhnya cenderung ke depan dan lengannya yang panjang telah mencengkeram ke arah dada gadis itu.

   Kim Hong terpaksa melompat ke belakang, akan tetapi lawannya juga meloncat dan menyusulkan serangan yang bertubi-tubi, menggunakan sepasang lengan panjang yang memiliki cakar yang hitam beracun dan amat kuat itu. Kim Hong maklum akan bahayanya jari-jari tangan itu, maka iapun mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana sini sambil mencari kesempatan untuk nembalas serangan lawan dengan sepa-ang pedang terbangnya.

   Duabelas orang pemuda ular yang tadinya tertegun melihat gadis yang mereka serang tadi tiba-tiba bahkan mem-antu mereka menghadapi Hek-bin Mo-ong, kini bergerak dan dipimpin oleh si mata sipit, mereka maju mengepung dan membantu Kim Hong mengeroyok kakek raksasa itu.

   Mereka menggunakan suling yang ujungnya runcing dan mengandung racun yang amat kuat, maka begitu di keroyok, Hek-bin Mo"ong menjadi sibuk juga. Menghadapi Kim Hong seorang saja, raksasa itu masih belum mampu menang, apa lagi kini ditambah duabelas orang pemuda ular yang rata-rata memiliki ilmu silat lumayan dan terutama sekali racun yang mereka pergunakan a mat berbahaya.

   Si mata sipit, mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya dan begitu dia menaburkan isinya ke arah Hek bin Mo-ong, tercium bau yang amat keras dan kakek hita m itu cepat menahan napas dan tubuhnya sudah melayang naik ke atas pohon! Juga Kim Hong menahan napas dan menjauh.

   "Nona telanlah pel ini untuk menjaga diri!"

   Kata si mata sipit sambil melemparkan sebuah pel hitam ke arah Kim Hong.

   Gadis ini sudah merasa betapa lengan kirinya gatal, mungkin terkena bubuk yang disebarkan tadi. ia menyambut benda yang dilemparkan kepadanya, dan tanpa ragu iapun menelan pel hitam kecil itu. Dan memang hebat sekali, begitu tertelan, dalam waktu beberapa detik saja, seluruh tubuhnya terasa hangat dan rasa gatal di lengannya pun lenyap! Kini ia berani mendekati mereka tanpa takut terkena bubuk yang di taburkan tadi.

   Mereka semua memandang ke arah pohon, akan tetapi tidak melihat raksasa hitam itu di sana. Dan tiba-tiba dari pohon lain yang letaknya agak jauh, terdengar suara si raksasa hitam.

   "Nona, kalau engkau bu kan seorang pengecut rendah, katakan siapa namamu dan di mana engkau tinggal!"

   Mendengar ini, si mata sipit cepat memberi isyarat kepada Kim Hong dengan gelengan kepala agar tidak mau mengaku. Akan tetapi, satu pantangan besar bagi seorang yang gagah, apa lagi yang wataknya keras seperti Kim Hong, adalah kalau ia disangka pengecut!

   "Heii, Hek-bin Mo-ong manusia sombong! Ternyata kepandaianmu tidak sebesar nama julukan mu! Engkaulah yang pengecut besar, buktinya engkau melarikan diri. Namaku tidak perlu kau keta hui, akan tetapi kalau engkau merasa penasaran dan hendak mencari aku, datang saja ke puncak Bukit Nelayan di tepi Sungai Huai. Jelas?"

   Tidak ada jawaban dari Hek-bin Mo-ong, akan tetapi Kim Hong yakin bahwa datuk itu tentu telah mencatat tempat tinggalnya dan mungkin sekali akan muncul di sana. ia menertawakan dalam hati. Kalau dia berani muncul di sana dan bertemu suhu, berarti dia seperti seekor ular mencari penggebuk!

   Tiba-tiba ia dikejutkan oleh dua belas orang pemuja ular itu yang menjatuhkan diri berlutut dan menghadap kepadanya! Tentu saja ia merasa heran.

   "Eh-eh, apa-apaan kalian ini?"

   Si mata sipit mewakili kawan-kawannya berkata.

   "Nona telah menyelamatkan ka mi dan menolong ka mi dari ancaman Hek-bin Mo-ong. Bagi kami, nona adalah dewi penolong dan karena itu,mulai saat ini, kami menganggap nona seorang di antara para dewi dan kami memberi nama kehormatan bagi nona, yaitu Ouw-coa Sian-li (Dewi Ular Hitam)!"

   Duabelas orang itu memberi hormat sambil berlutut dan mulut mereka tiada hentinya menyebut Ouw-coa Sian-li, lalu mereka bernyanyi seperti tadi. Dan bermunculanlah ular-ular tadi dan kini semua ular mengelilingi tempat Kim Hong berdiri!

   Meremang rasanya semua bulu di tubuh gadis itu. ia merasa seperti bukan manusia lagi, disembah duabelas orang yang menyanyikan lagu aneh, dan dikelilingi ratusan ekor ular yang seolah juga menyembahnya.

   "Saudara-saudara sekalian, sudah, cukuplah semua ini. Sesungguhnya aku datang ke Bukit Hitam ini karena suatu keperluan, akan tetapi setelah bertemu dengan ka lian, aku jadi sungkan untuk mengatakan apa keperluanku itu karena mungkin sekali kalian tidak setuju, walaupun agaknya hanya kalian pula yang akan mampu membantuku."

   Si mata sipit berkata.

   "Sian-li (Dewi), engkau kami anggap sebagai dewi pelindung. Apapun yang kauinginkan, kami akan membantu, walau hal itu membahayakan nyawa kami sekalipun."

   "Aku disuruh oleh guruku untuk mencari seekor ular!"

   "Ahhh......!"

   Semua orang terkejut dan hal ini sudah diduga oleh Kim Hong. Orang-orang ini memuja ular dan begitu sayang kepada ular, tentu tidak akan senang mendengar ia datang untuk mencari seekor ular!

   "Sekali lagi maafkan, tadi aku memang telah membunuh dua ekor ular, akan tetapi hal itu hanya terjadi karena mereka menyerangku."

   "Sianli mencari seekor ular? Ular apakah itu?"

   Tanya si mata sipit.

   "Ular istimewa yang tidak kulihat di antara semua ular ini. Menurut suhu, ular itu disebut ang-thouw-hek-coa......."

   "Ahhh.......!"

   Kembali dua belas orang itu berseru dan sekali ini semua mata terbelalak memandang kepada Kim Hong.

   "Sianli, untuk apakah engkau mencari ular hitam kepala merah itu? Ular itu langka sekali di dunia, dan di Bukit Hitam ini pun, hanya ada sejodoh dan setiap kali bertelur, hanya sebuah!"

   Kim Hong merasa girang. Jawaban itu saja menunjukkan bahwa mereka ini tentu tahu di mana adanya ular yang di carinya.

   "Harap kalian semua jangan berlutut dan marilah kita duduk bicara dengan baik setelah kini kita menjadi sahabat."

   Si mata sipit menurut. Dia bangkit dan semua orang mengikutinya, dan kini mereka duduk sekelompok menghadapi Kim Hong. Gadis ini adalah seorang yang cerdik, ia tahu bahwa agaknya, tanpa bantuan mereka ini, tidak akan mudah baginya untuk mendapatkan ular yang dicarinya.

   Maka, ia harus dapat menyenangkan hati mereka dan tidak menonjolkan keinginannya sendiri.

   "Sekarang kuharap kalian lebih dahulu mengurus jenazah rekan kalian yang terbunuh oleh iblis tua tadi, juga jenazah "jenazah yang kulihat di mana-mana itu. Setelah semua jenazah itu dikubur baik-baik barulah kita bicara. Aku akan menemani kalian agar tidak di ganggu lagi oleh iblis tua tadi."

   Si mata sipit menghaturkan terima kasih dan mereka semua kelihatan gembira. Semua ada tujuh orang yang terbunuh oleh Hek-bin Lo-mo, sehingga kini sisa kelompok mereka hanya tinggal duabelas orang.

   Dengan ditemani Kim Hong, mereka mengambil semua jenazah dan mengumpulkannya di tempat terbuka itu, kemudian, setelah melakukan upacara sembahyang yang aneh, diramaikan pula upaca ra itu dengan sebuah tarian yang berlenggang-lenggok mirip tubuh ular, dilakukan tiga orang anggauta wanita dan tiga orang anggauta pria semua jenazah itu lalu dibakar.

   Mala m itu, Kim Hong me lewatkan ma la m dengan mereka, di dekat tempat pembakaran mayat. Baru setelah pada ke esokan harinya semua abu jenazah ditabur-taburkan terbawa angin ke mana-mana dari puncak bukit, Kim Hong mengajak mereka bercakap-cakap tentang ular hitam kepala merah. ia menceritakan bahwa ia diutus gurunya untuk mencari ular itu sampai dapat dan ia tidak boleh kembali kalau belum membawa ular itu!

   "Sian-li, kalau boleh kami mengetahui, siapakah guru sian-li yang mulia?"

   Tanya si mata sipit.

   "Guruku adalah Hek-liong Kwan Bhok Cu.......!"

   Kata Kim Hong yang memandang heran melihat sikap semua orang mendengar nama gurunya.

   "Apakah-kalian telah mengenal nama suhu?"

   Si mata sipit mengge leng kepalanya.

   "Aih, memang sudah nasib, sudah digariskan oleh dewa-dewa ular! Kalau guru sian"li berjuluk Hek- liong (Naga Hitam), maka tentu saja kami semua harus mengalah. Naga Hitam membutuh kan Ular Hitam, tentu saja sudah sepatutnya. Ketahuilah, sian-li. Ang"thouw-hek-coa yang dimak sudkan itu ada pada kami. Racunnya pula yang dicari-cari oleh iblis tua tadi. Dan ular sakti ini lah yang menjadi sumber rejeki kami."

   "Ahh.... kalau begitu,. bagai mana mungkin aku sampai hati untuk merampas sumber rejeki kalian?"

   Kata Kim Hong dengan cerdik.

   Si mata sipit tersenyum.

   "Sebelum kita melanjutkan, kami harap sian-li melihat apa yang akan terjadi, bagaimana kami memanfaatkan daya guna Ang-thouw-hek-coa untuk memberi rejeki kepada kami."

   Dia lalu memberi isyarat kepada kawan-"kawannya dan duabelas orang itu kini membentuk sete ngah lingkaran seperti kemarin, lalu mereka menyanyikan lagu yang aneh itu. Kim Hong dipersi lakan menonton pertunjukan itu dari cabang pohon karena kata mereka, kalau gadis itu berada di atas tanah, ada saja bahayanya diserang ular. Kim Hong meloncat dan nongkrong di atas cabang pohon paling rendah sehingga ia memperoleh tempat yang paling tepat untuk menonton apa yang akan terjadi di bawahnya.

   Kini simata sipit meniup sulingnya. Suara yang melengking "lengking terdengar dan tak lama kemu dian , ular-ular sudah berkumpul di tempat itu seperti kemarin. Akan tetapi sekali ini lebih banyak, seolah seluruh ular di bukit itu berkumpu l. Mereka nampak jinak dan melingkar- lingkar di tengah tempat terbuka itu.

   Kemudian, si mata sipit menge luarkan sebuah keranjang dan me mbu ka tutupnya. Dari atas, Kim Hong dapat me lihat dengan jelas bahwa keranjang itu berisi seekor ular yang kecil saja, sebesar ibu jari tangannya, tubuhnya sepanjang dua jengkal lebih dan kulit tubuh itu hitam legam mengkilat.

   Akan tetapi kepalanya yang mengagumkan adalah kepalanya. Kepala itu merah seperti api! Dan sepasang mata ular lebih merah lagi, seperti inti api dan mencorong menyeramkan walaupun ularnya hanya sekecil itu.

   Kini duabelas orang itu meniup suling mereka. Suara duabelas batang suling yang ditiup me lengking-leng king itu senada dan seira ma, sehingga terdengar a mat menghanyutkan perasaan. Kim Hong sendiri sa mpai merasa tergetar sehingga cepat ia mengerahkan sin- kang agar jangan sampai gemetar dan terjatuh dari atas pohon.

   Kemudian, setelah beberapa menit duabelas batang suling itu ditiup dalam lagu yang aneh dan asing bagi telinga Kim Hong, ular kecil itu bergerak keluar dari dala m keranjang, turun ke atas tanah dan mulailah ular itu menari-nari. Benar"benar menari sehingga hampir saja Kim Hong terpelanting karena menahan tawanya, ia merasa geli karena lucu bukan main.

   Bayangkan saja! Ular itu "berdiri"

   Di atas ekornya dan tubuhnya meliuk-liuk seperti seorang penari yang pinggulnya besar menggoyang-goyangkan pinggul, kepalanya yang merah juga digerakkan ke kanan kiri se suai dengan irama lagu.

   "Hi-hik, ular badut!"

   Kim Hong terkekeh dalam hatinya. Ular yang warnanya amat cerah, hitam mengkilap dan kepalanya merah seperti darah atau api itu, selain indah juga amat lucu ia pernah melihat ular kobra. Rajanya ular ini pun hanya mampu mengangkat kepala dari bawah leher ke atas saja. Akan tetapi ular hitam kepala merah ini mampu berdiri, benar"benar berdiri di atas ekornya yang tidak runcing dan ber lenggang-lenggok!

   Kemudian, si mata sipit menurunkan sulingnya sedangkan yang lain masih terus meniup suling masing-masing. Kini si mata sipit ikut menari! Sambil duduk bersila, kedua lengannya seperti dua ekor ular yang menari pula, meniru gerakan ular hitam.

   Agaknya, sang ular yang cerdik namun bodoh bagi manusia itu, menganggap bahwa dia ditemani dua ekor ular lain yang bentuknya aneh akan tetapi pandai menari seperti dia. Atau mungkin dia sudah terbiasa ditemani dua ekor "ular"

   Itu.

   Tangan si mata sipit memang berbentuk moncong ular dan kini tiga "ekor"

   Ular itu menari-nari saling mendekati, kadang bersenggolan. Seorang anggauta kelompok menurunkan sulingnya pula dan mengeluarkan seekor katak dari dalam kantung, seekor katak yang besar dan gendut.

   Kemudian, tiba-tiba dengan gerakan cepat, si mata sipit telah menangkap leher dan belakang kepala ular hitam yang terpaksa membu ka mulutnya lebar-lebar sehingga nampak gigi yang runcing melengkung ke dalam. Orang yang memegang katak tadi mendekatkan katak, lalu si mata sipit menyentuh katak itu dengan moncong ular yang segera menggigit katak. Katak itu meronta sebentar lalu terdiam. Si mata sipit menarik kepala ular sehingga terlepas, lalu menggigitkan lagi sampai berulang kali. Tubuh katak itu berubah menghitam!

   Dan gerakan ular itu makin lemah seolah-olah dia kehabisan tenaga, bahkan setelah katak yang

   sudah mati dan berubah hitam itu dimasu kkan kantung kembali dan ular itu dilepas, dia nampak lemas dan gerakannya lambat.

   Dan Kim Hong kini menyaksikan peristiwa yang amat mengheran kan hatinya. Seekor ular kobra yang belang-belang sebesar lengan dan nampak ganas sekali, ditangkap oleh si mata sipit. Ular yang berbisa dan biasanya amat ganas ini jinak saja dan ketika dia dilepas di depan ular hitam kepala merah, ular kobra itu nampak ketakutan dan melingkar diam, meletakkan kepalanya di atas tanah di depan ular hitam yang lemas.

   Ular hitam aga knya kini d ibangkitkan se mangatnya oleh tiupan suling yang melengking-lengking, kemudian ular hitam itu menggerakkan kepalanya yang merah, moncongnya dibuka dan dia-pun menerkam dengan moncongnya ke.arah belakang kepala ular kobra. Ular kobra diam saja dan ular hitam Seperti mengh isap sesuatu dari kepala bagian belakang ular kobra.

   Ketika ular hitam yang kini menjadi agak gesit melepaskan gigitannya, ular kobra tidak ma mpu bergerak lagi dan telah mati. La lu si mata sipit menga mb il ular ke dua, ular yang ekornya besar dan ekor itu kalau di gerak-gerak kan dapat mengeluarkan bunyi berkerotokan!

   Sungguh merupakan ular yang a-neh dan langka, akan tetapi yang racun nya jahat bukan main. Sekali terpagut ular ini, jangan harap dapat hidup lebih lama dari dua tiga jam!

   Seperti juga ular kobra tadi, ular ini "mendeka m"

   Di depan ular hitamyang kini me njadi lebih lincah. Si hitam kepala merah itu menerkam seperti tadi dan korbannya diam saja seperti terpesona, me mbiarkan racun di belakang kepalanya dihisap habis dan diapun tewas!

   Baru setelah menghisap habis racun dari belakang kepala enam ekor u-lar yang paling berbisa, si hitam berkepala merah itu agaknya baru puas dan kenyang, lalu dia dimasukkan kembali ke dalam keranjang kecil oleh si mata sipit, melalui suara suling yang menuntunnya masuk ke mba li ke te mpatnya.

   Selesailah pertunjukan itu dan Kim Hong dipersilakan turun. Gadis ini kagum sekali.

   "Aih, ular itu sungguh lucu. itukah Ang"thouw-hek-coa yang di cari suhu?"

   Si mata sipit tersenyum akan tetapi dia menghela napas seperti orang bersedih.

   "Benar, sian-li. Dan seperti sian-li melihatnya sendiri tadi, demikianlah kami mengumpulkan racun dan membuatnya menjadi pel untuk dijual. Kami mengumpulkannya melalui ular hitam kepala merah. Ketika kami menggigitkannya kepada katak tadi, maka semua racunnya berpindah ke dalam tubuh katak dan kami akan memeras darah katak yang sudah penuh dengan racun itu. Kemudian, kami memberikan beberapa ekor ular yang paling berbisa untuk dihisap racunnya oleh ang-thouw-hek-coa dan seketika pulih kemba liracun dalam tubuhnya. Dengan cara ini, maka setiap tiga hari sekali kami dapat mengumpulkan racun yang banyak karena gigitan ular hitam kepala merah itu mengeluarkan racun yang banyak sekali dan ampuh."

   Kim Hong mengangguk-angguk.

   "Kalau begitu pantas kalian menganggap ular hitam kepala merah itu sebagai sumber rejeki. Lalu bagaimana aku bisa mendapatkan ular seperti itu untuk memenuhi perintah suhu?"

   "Kami menganggap sian-li sebagai dewi penolong, maka kami hadiahkan ular ini kepada sian-li untuk diserahkan kepada Si Naga Hitam, guru sian-li!"

   Kata si mata sipit dan semua o-rang mengangguk-angguk sehingga Kim Hong merasa terharu sekali.

   "Akan tetapi..... itu amat merugikan kalian! Lalu bagaimana kalian dapat mengumpulkan racun untuk dijual?"

   Tanyanya agak ragu walaupun tentu saja di dalam hatinya ia merasa girang sekali.

   "Jangan khawatir, sian-li. Kami akan mengumpulkan racun seperti dahulu sebelum kami memiliki ular hitam kepala merah, yaitu dengan mengumpulkan dari ular-ular berbisa sedikit demi sedikit. Tentu saja tidak dapat secepat kalau melalui ular hitam kepala merah. Kalau dengan dia kami bisa mengumpulkan sebanyak itu setiap tiga hari, tanpa dia kami akan dapat mengumpulkan racun sebanyak itu dalam waktu tigapuluh hari."

   "Aihh! Kalau begitu aku hanya membuat kalian menderita!"

   Seru Kim Hong terkejut.

   "Tidak, sian-li. Kamipun sudah kehilangan banyak kawan sehingga jumlah kami tinggal dua belas orang, kami tidak mempunyai kebutuhan yang banyak. Pula, sekitar dua tahun lagi kami akan dapat mencari anak ular ini yang tentu sudah besar dan dapat menggantikan pekerjaan itu."

   Akhirnya Kim Hong menerima pemberian itu dan iapun turun dari Bukit Hita m, ditemani oleh duabelas orang itu sampai di bawah kaki bukit. Mereka saling berpisah dan Kim Hong mengucap kan terima kasih kepada mereka.

   Di puncak Bukit Nelayan, Hek-li-ong Kwan Bhok Cu yang gagu menerima ke datangan muridnya dengan wajah gembira. Dengan caranya sendiri, yaitu menggerak-gerakkan ranting mencorat-coret huruf di udara, dia "bicara"
Kepada Kim Hong.

   "Engkau dapat cepat pulang membawa ular hitam kepala merah, hal ini menunjukkan bahwa tidak sia-sia aku mendidikmu selama dua tahun lebih ini. Orang lain belum tentu bisa mendapatkan ular itu selama hidupnya, apa lagi dalam waktu sesingkat ini. Akan tetap aku melihat dari atas tadi bahwa ada tiga bayangan orang yang ikut naik mengikuti mu."

   Kim Hong terkejut. Kalau sampai ia sendiri tidak melihat dirinya dibayangi orang dari bawah bukit, hal itu membuktikan bahwa tiga orang yang membayanginya tentulah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.

   "Cepat simpan ular itu ke dalam!"

   Kata pula Hek-liong Kwab Bhok Cu melalui coretan rantingnya.

   Kim Hong segera menanti perintah gurunya. Dibawanya keranjang kecil ke dala m pondok dan disembunyikannya keranjang Itu ke bawah tempat tidurnya. Setelah itu, ia pun cepat berlari keluar dan berdiri di samping gurunya menanti datangnya tiga bayangan orang yang bergerak dengan cepat seperti terbang menda ki puncak Bukit Nelayan.

   Kim Hong memandang dengan penuh perhatian dan setelah tiga orang itu tiba di depannya, diam-diam ia terkejut mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah si raksasa hitam Hek-bin Mo-ong! ia tadi belum sempat menceritakan pengalamannya dengan Raja Iblis Muka Hitam kepada gurunya.

   Tentu saja gurunya tidak mengenal siapa raksasa hitam itu. Dan melihat dua orang yang lain, ia dapat menduga bahwa agaknya mereka itu adalah rekan-rekan si raksasa hitam. Agaknya tiga orang inilah yang disebut Sam Mo-ong (Tiga Raja Iblis).

   Tentu si raksasa hitam itu setelah kalah menghadapi pengeroyokan para pemuja ular yang dibantu nya, pergi mengundang dua orang rekannya lalu pergi ke Bukit Nelayan, bukan membayanginya. Kini ia teringat betapa ia mengaku kepada raksasa hitam itu bahwa ia bertempat tinggal di Pulau Nelayan.

   Akan tetapi, betapa heran rasa hatinya ketika ia melihat tiga orang itu tidak memandang kepada nya, melainkan kepada gurunya dan mereka bertiga tersenyum-senyum.

   "Aha, kiranya Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu yang berada di sini! "

   Kata seorang di antara mereka yang tubuhnya pendek berperut gendut sehingga dia nampak bulat.

   Kakinya pendek dan tertutup jubahnya yang panjang sehingga ka lau dia berjalan ke depan, nam paknya seperti menggelundung saja. Orang ini merupa kan orang ke dua dari Sam Mo-ong dan di dunia kang-ouw terkenal sebagai datuk yang berjuluk Siauw"bin Mo-ong (Raja Iblis Muka Ketawa). Melihat wajahnya yang selalu tawa atau senyum lebar, dia nampak ra mah dan ba ik hati, akan tetapi orang akan merasa ngeri kalau melihat sepak terjangnya. Dia kejam bukan main, suka menyiksa orang sehingga mukanya yang tertawa itu hanya sebagai kedok.

   "Hemm, Kwan Bhok Cu ternyata belum mampus seperti dikabarkan orang, dan bersembunyi di tempat ini! Kalau begitu, para pimpinan Hek-kauw telah berbohong, membohongi dunia kangouw!"

   Kata orang ke tiga yang tubuhnya kurus kering seperti orang berpenyakitan dan mukanya selalu cemberut dan keruh.

   Inilah orang ke tiga dari Sam Mo-ong yang berjuluk Toat-beng Mo-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa) karena ia terkenal dengan sikap dan wataknya yang pemurung dan pemarah, sedikit saja sebabnya sudah membuat dia turun tangan membunuh orang!

   Kim Hong menoleh kepada gurunya, akan tetapi suhunya itu diam saja tidak menanggapi dan kelihatan acuh saja, bahkan na mpak mengerutkan a lisnya, tanda bahwa orang tua itu merasa tidak senang.

   "Ha-ha-ha, Hek- liong Kwan Bhok Cu, kenapa engkau diam saja?"

   Kini Hek bin Mo-ong berkata dan senyumnya mengejek.

   "Apakah engkau sudah menjadi tuli dan gagu? Atau engkau pura-pura tidak mengenal lagi kepada ka mi? Tidak mungkin engkau lupa kepada Sam Mo-ong, ha-ha-ha!"

   Kim Hong berkata kepada gurunya.

   "Suhu, iblis tua hitam ini adalah Hek-bin Mo-ong yang pernah bentrok dengan teecu karena dia hendak membunuhi semua pemuja ular di Bukit Hitam."

   "Heh-heh, nona manis. Kiranya engkau murid Si Naga Hita m! Kalau saja engkau tidak mengero yokku dengan para pemuja ular, tentu sekarang engkau sudah bersenang-senang dengan aku, dan gurumu tentu akan merasakan bagaimana penderitaan orang dikhianati teman sendiri !"

   Kim Hong memandang kepada gurunya yang menggerak"gerakkan ranting di tangannya. Kim Hong membaca coretan"co retan di udara Itu.

   "Katakan kepada mereka bahwa aku tidak mempunyai urusan dengan mereka dan agar mereka cepat pergi."

   Kim Hong menghadapi tiga orang kakek itu dengan sikap menantang, lalu berkata.

   "Sam Mo-ong, suhu tidak mempunyai urusan dengan kalian. Maka, jangan kalian mencari penyakit dan banyak mulut. Pergilah kalau kalian tidak ingin kami hajar sampai mampus! "

   Tiga orang itu terbelalak dan nampak marah sekali.

   "Bocah sombong, engkau belum tahu siapa kami!"

   Bentak Hek-bin Mo-ong.

   "Dahulupun gurumu ini tidak mampu menandingi aku, apa lagi sekarang. Heii, Hek-liong Kwan Bhok Cu dengar baik-baik. Kami akan mengampuni semua perbuatanmu yang memalukan di masa lalu kalau sekarang kau serahkan ular hitam kepala merah dan muridmu yang molek ini kepada kami. Kalau tidak, terpaksa kami akan membunuhmu lebih dulu, lalu menggeledah pondokmu mencari ular itu, dan memaksa muridmu menjadi budak kami! "

   Bukan main marahnya hati Kim Hong mendengar penghinaan yang dilontarkan raksasa hitam itu kepada gurunya. Akan tetapi diam-diam iapun terkejut. Bagaimana iblis ini mengetahu bahwa ia telah mendapatkan ular hitam kepala merah?.

   "Hek-bin Mo-ong, jangan ngawur! Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa suhu memiliki ular hitam kepala merah?"

   "Ha-ha, nona manis Para pemuja ular boleh jadi akan bungkam menutu mulut, akan tetapi anggauta perempuan mereka mana mungki n dapat menutup mulut terhadap kami?"

   Kim Hong membayangkan apa yang terjadi. Agaknya tiga orang iblis ini telah menangkap dan menyiksa anggauta para pemuja ular dan memaksanya mengaku sehingga karena tidak tahan akan siksaan yang tentu akan mengerikan, anggauta perempuan itu menceritakan segalanya.

   "Jahanam busuk, engkau memang pegecut dan keji!"

   Bentaknya dan ia sudah mencabut sepasang pisau terbangnya.

   Akan tetapi, sentuhan ranting di lengannya membuat Kim Hong menengok dan membaca gerakan ranting di tangan suhunya itu.

   "Hadapi si kurus kering, awas terhadap Cakar Iblis Beracun dan serang jalan darah di bagian kedua legannya!"

   Setelah membaca coretan ranting urunya, Kim Hong segera menggerakkan pisau terbangnya dan ia menyerang ke arah Toat-beng Mo-ong, orang ke tiga jari Sam Mo-ong. Sepasang pisaunya beterbangan dan membuat gerakan bersilang menyerang dari kanan kiri!

   "Hemm, mampuslah!"

   Bentak Toat-Beng Mo-ong dan diapun melangkah mundur untuk menghin darkan diri, kemudian kedua tangannya bergerak dan terdengar angin bercuitan ketika kedua lengan itu bergerak dan kedua tangannya membentuk cakar yang warnya berubah-ubah, kadang merah dan kadang hitam!

   Tahulah Kim Hong bahwa kedua tangan yang membentuk cakar itu berbahaya sekali, mengan dung racun yang dapat mematikan. Sekali saja terkena hantaman atau cakaran kedua tangan itu dapat mendatang kan maut. Maka, iapun menaati pesan gurunya dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyambar"nyambar ke arah pergelangan tangan, siku dan pundak, ke arah jalan-jalan darah yang akan membuat kedua lengan itu lumpuh kalau terkena sedikit saja!

   Sementara itu, melihat betapa To at-beng Mo-ong sudah bertanding melawan gadis itu dan mereka berdua yakin bahwa rekan mereka pasti menang, Hek- bin Mo-ong dan Siuaw-bin Mo-ong sudah menerjang dan menyerang kepada Hek-li ong Kwan Bhok Cu. Hek-bin Mo-ong tidak menggunakan senjata. Para datuk sesat yang ilmunya sudah tinggi memang lebih suka mengguna kan kedua tangan dari pada mengandalkan senjata.

   Kedua tangan mereka telah "terisi"

   Dan seperti juga sepasang tangan Toat-beng Mo-ong yang sudah menjadi sepasang cakar iblis yang amat berbahaya, juga Hek-bin Mo"ong yang menjadi orang pertama dari Sam Mo-ong, mengandalkan ilmu Jari Hitamnya. Ilmu ini membuat kedua lengannya kebal dan berubah menghitam, dan dalam keadaan seperti itu, jari-jari tangannya ma mpu menya mbut senjata tajam lawan dan sekali saja tangannya mengenai tubuh lawan maka lawan akan terjungkal dan tewas keracunan.

   Orang ke dua dari Tiga Raja Iblis itu, si gendut Siauw-bin Mo-ong, juga memiliki ilmu pukulan yang beracun, akan tetapi bedanya, kalau lengan rekannya berubah menghita m, kalau dia sudah mengerahkan ilmu itu, lengannya dari pangkal sampai ke ujung jari berubah merah. Itu-lah ilmunya Jari Merah dan siapa terkena pukulannya, tubuh yang terkena akan terbakar hangus seperti tersentuh baja yang panas membara!

   Si Naga Hitam menghadapi serangan dua orang pengeroyoknya dengan sikap tenang. Dia tetap memegang ranting kecii yang biasanya dia pergunakan untuk "bicara"

   Dengan muridnya. Ranting itu hanya sebatang ranting kayu yang besarnya hanya seibu-jari, panjangnya sedepa. Akan tetapi, di tangan orang sakti ini, ranting itu bagaikan berubah menjadi sebatang baja yang amat kuat dan lihai, yang dia pergunakan untuk menyerang Jalan darah kedua orang pengeroyoknya dengan totokan-totokan maut yang selain amat kuat mengandung tenaga sin-kang yang dahsyat, juga amat cepat. Begitu ranting itu digerakkan, maka na mpak gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi bercuitan!

   Dua orang datuk itu terkejut bukan main. Belasan tahun yang lalu, tingkat kepandaian Si Naga Hitam ini masih sebanding dengan masing-masing dari mereka. Akan tetapi sekarang, mereka maju berdua dengan keyakinan pasti akan mampu merobohkan pengkhianat kaum kang-ouw itu dengan mudah, tidak tahunya kini mereka berdua bahkan terancam oleh totokan-totokan maut yang a mat dahsyat! Kiranya selama sepuluh tahun lebih ini, ilmu kepandaian Si Naga Hitam telah meningkat dengan amar hebatnya.

   "Aarrgghhh..... !!"

   Hek-bin Mo-ong mengeluarkan teriakan seperti gerengan seekor srigala atau biruang marah, dan kedua tangannya sudah mencapai warna hitam yang paling gelap, bahkan kini dari telapak tangannya mengepul uap yang kehitaman! Diapun menerjang dengan dahsyat sekali, kedua lengannya dikembangkan dan jari-jari tangannya menyerang dari semua penjuru, bahkan menutup jalan keluar sehingga ke manapun lawan mengelak, dia pasti akan bertemu dengan jari

   tangannya!

   Melihat serangan itu, bahkan Siauw-bin Mo-ong sendiri menjadi gentar kepada rekannya,khawatir kalau-kalau akan beradu tangan sendiri dengan Hek-bin Mo-ong sehingga dia akan menderita celaka. Dia mundur dan hanya siap untuk mengeroyok kalau kese mpatannya tiba, karena serangan Hek-bin Mo-ong itu agaknya tidak akan dapat dielakkan lagi oleh Si Naga Hitam.

   Akan tetapi, Si Naga Hitam sama sekali tidak mengelak. Ranting di tangan kanan yang menyambut telapak kiri lawan, menotok ke tengah telapak tangan agak mengarah celah antara telunjuk dan ibu jari, sedangkan tangan kirinya menotok telapak tangan kanan lawan dengan sebuah jari telunjuk. Itulah ilmu totokan lt-sin-ci (Satu Jari Sakti) yang amat hebat.

   "Tuk-tukk.....!"

   Adu tenaga melalui tangan itu membuat Hek-bin Mo-ong terhuyung ke belakang sedangkan Si Naga Hitam yang tergoyang sedikit yang membuktikan bahwa dalam hal tenaga sinkang, dia masih unggul dan lebih kuat dari pada si raksasa hitam!

   Akan tetapi, karena kedua telapak tangan Hek- bin Mo-ong mengandung hawa beracun yang amat jahat, ranting di tangan Si Naga Hitam menjadi hangus dan patah-patah ujungnya, dan telunjuk kirinya yang menotok telapak tangan lawan dengan ilmu totok It-sin-ci, menjadi hitam kukunya!

   Hek-bin Mo-ong sendiri terluka dalam karena tenaganya membalik dalam adu tenaga sinkang itu, maka dia hanya berdiri tegak sambil mengatur pernapasan dan untuk sementara tidak berani maju lagi. Dala m keadaan seperti itu, kalau dia maju mengadu tenaga sin-kang lagi, luka di dalam tubuhnya akan menjadi semakin parah dan berbahaya.

   Melihat betapa Hek-bin Mo-ong agaknya terluka dalam mengadu tenaga sinkang melawan Si Naga Hitam, Siuaw-bin Mo-ong terkejut sekali dan marah. Akan tetapi, si gendut bulat ini cerdik. Dia tahu bahwa kalau Hek-bin Mo-ong saja kalah kuat dalam tenaga sin-kang, dia sendiripun tidak akan mampu menandingi lawan dengan adu tenaga, maka diapun sudah menerjang dengan cepat.

   Tubuhnya yang bulat itu seperti sebutir bola raksasa menggelinding dan menerjang ke arah Si Naga Hitam Kwan Bhok Cu. Kakek gagu ini menyambut dengan gerakan rantingnya yang sudah menjadi pendek karena ujungnya hangus dan patah tadi dan segera terjadi perkelahian yang seru antara mereka.

   Sementara itu, perkelahian antara Kim Hong dan Toat-beng Mo-ong juga seru bukan main. Diam-diam Kim Hong bersukur bahwa selama dua tahun ini, ia belajar dengan tekun di bawah gemble ngan gurunya yang juga bersungguh sungguh.

   Kalau tidak, bagaimana mungkin ia mampu menahan serangan seorang datuk lihai seperti Toat-beng Mo-ong? Orang kurus kering yang mukanya muram ini bukan main lihainya. Setiap tangan nya bergerak, menyambar hawa pukulan dahsyat yang mendatangkan angin yang bercuitan. Na mun, sepasang pedang di tangan Kim Hong juga merupakan senjata yang ampuh sekali.

   Siang-hui-kiam (Sepasang Pedang Terbang) itu menyambar-nyambar bagaikan dua ekor burung walet menyambari kupu- kupu sehingga nampak dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan membingungkan Toat-beng Mo"ong. Juga, gerakan gadis itu lincah dan cepat, tubuhnya lenyap menjadi bayangan hita m dan gerakan tangannya mengandung sin-kang yang cukup kuat.

   Diam-dia m To at"beng Mo-ong heran dan kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia bertemu lawan seorang gadis muda selihai ini. Dan mengingat bahwa gadis ini murid Hek-liong Kwan Bhok Cu, dapat di bayangkan betapa lihainya sang guru. Teringat akan ini, dia melirik ke arah kedua orang rekannya.

   Diapun terkejut. Rekannya yang paling lihai, Hek-bin Mo ong, berdiri seperti patung dan menga-tur pernapasan, tanda bahwa datuk ini telah terluka, sedangkan rekan kedua, Siauw"bin Mo-ong nampak menggelinding ke sana sini dikejar oleh bayangan ranting pendek di tangan Si Naga Hitam i-tu. Celaka, pikirnya. Dan hampir saja dia yang celaka. Karena memecahkan perhatiannya ke arah dua orang rekannya, hampir saja lehernya ditembus sebatang di antara sepasang pedang Kim Hong! Hanya kepekaannya yang terlatih saja menyelamatkan dengan cepat miringkan kepala.

   Namun tetap saja ujung daun telinga kirinya disambar senjata tajam sehingga terluka dan berdarah!

   Pada saat itu, juga tubuh Siuaw-bin Mo-ong terkena tendangan kaki Hek-liong Kwan Bhok Cu. Ketiga Sam Mo-ong segera berlompatan ke belakang dan maklumlah mereka bahwa kalau perkelahian dilanjutkan, mereka bertiga akan kalah.

   "Kwan Bhok Cu!"

   Kata Hek-bin Mo-ong dengan marah.

   "Saat ini kami mengakui keunggulan engkau dan muridmu. Salah kami yang selama ini tidak memperdalam ilmu sehingga terkejar olehmu. Akan tetapi, jangan harap engkau akan mampu menyembunyikan diri lagi. Kami akan menuntut kepada Beng-kauw! Sampai jumpa!"

   Tiga orang kakek itu berlompat an dan turun dari Bukit Nelayan. Si Naga Hitam sendiri lalu duduk bersila dan memejamkan mata, mengatur pernapas an karena dalam perkelahiannya mengadu tenaga sin-kang dengan Hek-bin Mo-ong tadi, isi dadanya terguncang dan sedikit banyak dia sudah terkena hawa beracun dari tangan hitam Hek-bin Mo-ong. Melihat ini, Kim Hong tidak mengganggu gurunya, bahkan iapun duduk bersila di dekatnya dan menghimpun hawa murni karena perkelahian melawan datuktadi menguras tenaga sin-kangnya.

   Setelah mendengar gurunya bergerak, Kim Hong membuka matanya dan mereka saling pandang. Si Naga Hitam mengangguk dan tersenyum, lalu menggerakkan ranting yang tinggal pendek itu di udara. Kim Hong memperhatikan dan gurunya menulis.

   "Aku girang melihat ke majuanmu sehingga engkau mampu menandingi Toat-beng Mo-ong. Kalau engkau sudah minum darah Ang-thouw-hek-coa, engkau tentu tidak akan takut menghadapi pukulan beracun ke tiga Sam Mo-ong tadi. Bawa ke sini ular hitam kepala merah itu. Cepat!"

   Kim Hong menahan pertanyaan yang menyesak di dadanya, dan menaati perintah gurunya. Keranjang kecil berisi ular hitam keci itu diletakkan di depan gurunya yang masih duduk bersila.

   "Ambil sebuah cawan besar dari peti obatku ke sini."

   Gurunya menulis lagi dan perintah inipun cepat dilaksanakan oleh Kim Hong.

   Si Naga Hitam lalu memilih beberapa obat bubuk berwarna putih dan merah, menuangkan seba gian dari bungjs-an obat itu ke dalam cawan besar. Kemudian, dia membuka tutup keranjang dan begitu ular hitam kecil itu berdiri dan kepalanya keluar dari keranjang, secepat kilat tangannya menyambar dan dia telah menangkap ular itu dengan jepitan ibu jari dan telunjuk kanannya pada leher ular! Kemudian, jari-jari tangan lainnya menjepit tubuh ular itu dari leher, lalu ditarik ke bawah.

   Kulit tubuh itu pecah dan semua darah dan benda cair yang berada di tubuh ular itupun keluar, ditampung kedalam cawan yang sudah diisi dua macam obat bubuk tadi. Ular itu seperti diperas, dan kini tubuh yang mati itu tinggal kulit dan daging yang kering dan gepeng!

   Kim Hong bergidik ketika gurunya mengaduk cairan yang setengah cawan bercampur obat itu lalu disodorkan ke padanya, ia harus minum cairan darah dan obat itu! Baru melihatnya saja ia sudah hampir muntah! Gurunya tersenyum dan menulis di udara.

   "Jepit hidungmu, pejamkan matamu, dan minum cepat!"

   Kim Hong tidak berani membantah, ia tahu bahwa darah itu tentu berbahaya bukan main karena ular itu merupakan ular yang sangat berbisa. Darahnya tentu mengandung bisa yang amat berbahaya, dan kini gurunya minta agar ia meminumnya!

   Akan tetapi, ia percaya sepenuhnya kepada gurunya. Dengan tangan kanan memegang cawan, ia menggunakan tangan kiri menjepit hidungnya dan memejamkan matanya. Kini ia tidak dapat melihat lagi, tidak dapat mencium lagi, maka perasaan muakpun berkurang banyak, hanya yang tersisa dalam ingatan saja.

   Memang segala macam ke muakan timbul melalui peng lihatan dan penciuman, juga pendengaran walaupun tidak sekuat yang pertama. Rasa tidak enak di mulutpun akan banyak berkurang apabila hidung dipencet dan mata dipejam. Kim Hong menuangkan isi cawan dalam tenggorokannya dan menelannya.

   Cairan itu tertelan semua dan ia me lepaskan cawan kosongnya ke atas tanah. ia membuka mata dan bertemu pandang dengan gurunya, ia tersenyum. Rasa masam dan manis, juga amis, memenuhi mulutnya.

   Tiba-tiba ia memejamkan atanya, kepalanya berdenyut-denyut pusing, pandang matanya berkunang, tubuh nya terasa panas seperti terbakar dan iarpun ia mencoba untuk menahan, tetap saja ia tidak kuat karena tubuhnya seperti hanyut dan iapun terguling roboh dan pingsan!

   Setelah ia siuman, ia mendapatkan dirinya sudah berada di atas pembaringan, di dalam kamarnya, dan gurunya duduk di bangku. Bau yang aneh memenuh hidungnya dan melihat ada asap mengepul di sudut kamar, ia tahu bahwa gurunya sedang memasak sesuatu yang menimbulkan bau itu. Melihat muridnya siuman, Naga Hitam lalu menulis di udara.

   "Aku akan memberimu minuman untuk meredakan pengaruh darah beracun ular, akan tetapi akan bangkit kekuatan yang mungkin sukar kau kendalikan maka engkau akan kutotok dan kaki tanganmu kuikat. Jangan khawatir, itu adalah akibat bekerjanya racun dan obat. Siapkah engkau?"

   Kim Hong masih merasa betapa tubuhnya panas seperti dibakar dari dalam. Melihat ucapan yang ditulis gurunya, ia hanya dapat mengangguk, siap menghadapi apa saja untuk mematuhi gurunya. ia pasrah sepenuhnya karena yakin bahwa semua itu dilakukan gurunya untuk kebaikan dirinya.

   Dengan gerakan yang amat cepat Hek-liong Kwan Bhok Cu menggerakka ranting baru yang berada di tangannya dan menotok tujuh jalan darah di tubuh muridnya yang seketika merasa betapa seluruh tubuhnya tidak mampu digerakkan. Kemudian, gurunya mengambil sebuah tali dari kain sutera yang kuat mengikat pergelangan kedua kaki tangannya dengan kuat sehingga andai kata ia tidak ditotok sekalipun, ia tidak akan mampu menggerakkan kaki dan tagannya. Bahkan ia tidak dapat mengerahkan tenaga sama sekali.

   "Sekarang minum kuah ini sampai habis,"

   Gurunya menulis, lalu mengambil poci obat yang sudah sejak tadi di masak dan kini masih hangat, menuang isinya setengah mangkok lebih, kemudian dia membantu muridnya duduk dan dekatkan mangkok pada mulut Kim Hong.

   Gadis itu dengan patuh minum obat yang terasa pahit dan berbau aneh, akan tetapi tidaklah memuakkan seperti darah ular tadi. Kemudian ia direbahkan kembali. Rasa panas masih mem bakar seluruh tubuhnya dan ia mendengar suara gemuruh di kedua telinga.ia memandang wajah gurunya dan Naga Hitam itu menulis lagi di udara.

   "Pejamkan mata mu dan tidurlah."

   Kim Hong memejamkan matanya. Perlahan-lahan, panas yang membakar itu mulai mereda, dan makin nyaman rasanya, akan tetapi suara dalam kepalang semakin gemuruh sampai hampir tak tertahankan. Kemudian, terasa olehnya dalam perut di bawah pusar bergolak, bergerak seolah-olah ada sesuatu yang hidup di sana. ia yang sudah mempelajari menggunakan tenaga sin-kang, tahu bahwa di dalam tantiang di bawah pusa nya terjadi pergolakan tenaga yang dahsyat sekali, ia berusaha mengendalikan tenaga itu, akan tetapi gagal.

   Tenaga itu seperti liar dan menerobos ke seluruh tubuhnya dan ia mendengar suara tulang-tulang atau otot"ototnya berkeretakan! Dan ia merasa betapa semua jalan darahnya terbuka, bahkan yang tadinya tertotok kini terbuka dengan sendirinya! Tenaga dahsyat itu memaksa tangan kakinya bergerak, matanya terbelalak, hidungnya kembang kempis dan kedua telinganya juga menjadi peka sekali. ia melihat gurunya bangkit berdiri dan memandang kepadanya, ranting di tangan.

   Kaki dan tangannya meronta dari ikatan, Kim Hong maklum bahwa suatu tenaga yang dahsyat dan liar. ia mencoba untuk mengendalikan dan tidak menggerakkan tangan kaki, namun semua usaha nya sia-sia. Bagaikan memiliki kehidupan sendiri di luar kekuasaan hati dan akal pikirannya, kaki tangannya bergerak dan...... semua tali sutera yang mengikat pergelangan kaki tangan nya putus!

   Dan iapun seperti dilontarkan ke atas, meloncat turun dari pembaringan, kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang kesetanan.

   Ketika ia memandang gurunya dengan tubuh bergoyang-"goyang. gurunya cepat menggerakkan ranting di tangan menulis di udara.

   "Cepat salurkan tenaga itu untuk menyerangku!"

   Memang ada dorongan hebat dari dalam untuk mempergunakan tenaga itu, tenaga dahsyat yang seolah memaksanya untuk menggera ikan kaki tangan, mempergunakannya dalam gerakan yang teratur. Akan tetapi, Kim Hong masih menyadari bahwa ia tidak boleh menyerang gurunya.

   Andaikata di situ terdapat musuh, ketiga Sam Mo"ong umpamanya, tentu tanpa diperintah lagi ia sudah menyerang mereka, menggu nakan tenaga yang bergolak di dalam tubuhnya itu.

   Akan tetapi gurunya? Tidak, ia tidak akan menyerang gurunya! Karena pertentangan anta ra dorongan tenaga itu dan kesadaran batinnya, tubuhnya sema kin bergoyang-goyang tidak karuan, seolah ada binatang buas di dalam tubuhnya yang meronta dan mengamuk minta dilepaskan dari kurungan.

   Melihat ini, tiba-tiba Hek-liong Kwan Bhok Cu menggerakkan ranting di tangannya menyerang!

   Terdengar suara bercuitan nyaring ketika ranting itu meluncur dan menusuk ke arah mata Kim Hong! Tentu saja gadis itu terkejut dan secara otomatis, ia mengelak dengan mendoyongkan tubuh ke kiri. Dan secara refleks pula, tangannya menangkis dengan gerakan berputar.

   "Wuuut, plakk!"

   Dan gadis itu terkejut bukan main. ia merasa betapa gerakannya ringan bukan main, dan ketika tangannya menangkis ranting, ia merasa betapa tangannya membentur benda yang amat kuat sehingga ia terhuyung ke samping, akan tetapi gurunya juga terhuyung! Dan gurunya sudah menyerang lagi, lebih cepat dan dahsyat.

   Karena serangan gurunya itu merupakan serangan maut, terpaksa Kim Hong melawannya. Gadis yang amat cerdik ini tidak merasa kaget dan heran lagi karena kini ia tahu bahwa ia dikuasai tenaga mujijat akibat racun dan obat, dan gurunya melihat bahwa jalan satu-satunya agar ia dapat mengendalikan tenaga itu adalah dengan jalan mempergunakan tenaga itu dalam gerakan silat yang sungguh-sungguh!

   Terjadilah pertandingan yang amat hebat. Karena saling mengenal jurus dan gerakan masing-masing dalam me nyerang dan menangkis, maka mereka seperti sedang berlatih saja. Akan tetapi, Si Naga Hitam mengerahkan semua tenaganya untuk mengimbangi tenaga dahsyat Kim Hong ketika gadis itu mulai membalas serangannya dan memang tenaga dari dalam tubuh gadis itu luar biasa dahsyatnya. Setelah lewat limapuluh jurus, Kim Hong mulai dapat mengendalikan tenaga dahsyat itu. Terasa betapa tenaga itu mulai jinak dan menurut kehendak hatinya.

   Setelah merasa benar bahwa ia mampu mengendalikannya, iapun meloncat kebelakang dan berdiri tegak, tidak lagi kaki tangannya bergerak walaupun ia masih merasakan getaran di dalam tubuhnya.

   "Cukup, suhu. Teecu telah dapat mengendalikannya!"

   Katanya, girang dan terharu melihat betapa gurunya yang tadi melawan sungguh-sungguh itu nampak kelelahan dan mukanya basah oleh keringat.

   Hek-liong Kwan Bhok Cu berhenti pula dan dia menghela napas panjang, mulutnya tersenyum dan matanya bersinar"sinar. Dia menggunakan lengan baju kiri untuk menghapus keringatnya, kemudian rantingnya bergerak menulis di udara.

   "Kita berhasil! Mulai saat ini, bukan saja engkau akan kebal terhadap segala macam racun, juga tenaga sin-Kangmu menjadi amat kuat. Aku yakin engkau akan mampu mewakili gurumu mela kukan sebuah tugas yang berat."

   Kim Hong menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya.

   "Teecu siap melaksanakan perintah suhu, bagaimana beratpun!"

   Gurunya menggunakan ujung ranting menyentuh pundak muridnya. Ketika gadis itu mengangkat muka memandangnya, dia memberi isyarat kepada Kim Hong untuk memasuki pondok mereka.

   Setelah mereka duduk saling berhadapan, sebelum gurunya memberi perintahnya, Kim Hong mempergunakan kesempatan itu untuk mengeluarkan dorongan hatinya yang timbul sebelum ia minum darah ular tadi, yang timbul oleh pertemuan mereka dengan Sam Mo-ong.

   "Suhu, harap suka memaafkan tee-cu atas kelancangan teecu ini. Ketika Sam Mo-ong muncul dan mendengarkan ucapan mereka terhadap suhu, timbul keinginan tahu yang mendesak dalam hati teecu. Benarkah suhu dahulu tidak gagu dan mengapa sekarang menjadi gagu? Dan mengapa pula mereka mengatakan suhu telah berkhianat kepada dunia kang-ouw ? Suhu adalah satu-satunya orang yang dekat dengan teecu, sudah teecu anggap sebagai pengganti orang tua. Teecu ingin sekali mengetahui riwayat suhu."

   Hek-liong Kwan Bhok Cu menghela napas panjang dan wajahnya yang masih tampan itu nampak muram, lalu dia memejamkan matanya. Sampai beberapa la manya dia berdiam diri, dan Kim Hong tetap menanti. Akhirnya, Si Naga Hitam menggerakkan ranting di tangannya, menulis,, diikuti penuh perhatian oleh muridnya. Kim Hong tidak mau melepaskan sehurufpun dari tulisan gurunya karena gurunya sedang menceritakan riwayat singkatnya melalui tulisan itu.

   

JILID 06

Dengan singkat Si Naga Hitam mem buka rahasia dirinya kepada muridnya, pada hal selama bertahun-tahun ini dia menyembunyikan atau merahasiakannya. Hal ini adalah karena dia memang merasa sayang sekali kepada muridnya itu, yang dianggap seperti anaknya sendiri.

   Dalam kehidupannya yang kosong dan kering selama bertahun-tahun ini, dia merasa hidupnya ada artinya kembali setelah Kim Hong menjadi muridnya. Gadis itu bagaikan sinar terang yang sedikit banyak menerangi pula hatinya yang gelap.

   Beberapa tahun yang lalu dia masih menjadi seorang tokoh dari perkumpulan rahasia Beng-kauw, sebuah perkumpulan golongan hitam yang sesat dan aneh. Karena Kaisar Beng Ong pernah mengirim pasukan menyerang dan mengobrak abrik sarang Beng-kauw, maka timbul dendam terhadap kaisar itu dan pada suatu hari, Kwan Bhok Cu mendapat tugas dari Bengkauw untuk membunuh Kaisar Beng Ong.

   Dia mendapat kepercayaan ini karena dia merupakan orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, juga hidup membujang sejak muda sehingga andaikata dia gagal dalam tugasnya dan tewas, tidak ada anggauta keluarganya yang akan kehilangan.

   Pada suatu malam yang gelap dan dingin, Kwan Bhok Cu berhasil menyusup ke dalam istana. Dalam pencariannya terhadap Kaisar Beng Ong, dia melihat seorang selir kaisar yang membuatnya tergila-gila. Dia menangkap selir itu untuk dipaksa menunjukkan di mana adanya kaisar.

   Akan tetapi, selir itu bahkan membuat dia tergila-gila karena selir itu luar biasa cantiknya, ia adalah selir yang dikenal sebagai Puteri Harum, yaitu Yang Kui Hui. Wanita cantik ini baru sebulan menjadi selir Kaisar Beng Ong, atau jelasnya, dirampas dari suaminya, yaitu Pangeran Shou dan dipaksa menjadi selir kaisar.

   Mendengar betapa pria tampan dan gagah itu hendak membunuh kaisar, Yang Kui Hui membujuk nya agar jangan melakukan perbuatan nekat dan berbahaya itu. Kwan Bhok Cu terbujuk, bahkan jatuh cinta kepada Yang Kui Hui. Wanita ini, demi menyelamatkan nyawa kaisar, rela menyerahkan diri kepada Kwan Bhok Cu.

   Mereka mengadakan hubungan dan Kwan Bhok Cu disembunyikan oleh Yang Kui Hui. Sampai tiga hari dia berhasil bersembunyi. Pada hari keempat, atas pemberitahuan Yang Kui Hui, dia disergap sepasukan pengawal. Kwan Bhok Cu menggunakan kepandaiannya menyelamatkan diri keluar dari istana.

   Tentu saja dia dianggap pengkhianat oleh Beng-kauw, juga oleh para tokoh kangouw, apa lagi setelah pasukan pemerintah kembali menyergap Beng-kauw dan orang-orang kangouw yang sedang megadakan pertemuan di markas Beng-kauw Pasukan dapat mengetahui sarang baru itu karena diberi tahu oleh Yang Kui hui.yang berhasil mengorek rahasia dari mulut Kwan Bhok Cu yang tergila-gila kepadanya.

   "Demikianlah,"

   Kwan Bhok Cu mengakhiri ceritanya melalui tulisan di udara.

   "orang-orang kang ouw memusuhi ku dan hendak membunuhku. Para pimpinan Beng-kauw mengusirku dan tidak mengakui aku lagi, akan tetapi masih melindungiku dengan pernyataan bahwa mereka telah membu nuhku. Aku terpaksa menyembunyikan diri dan menjadi orang gagu. Siapa kira, hari ini rahasia ku diketahui Sam Mo-ong yang tentu akan menuntut kepada Beng-kauw, Keselamatanku terancam, aku harus pergi sekarang juga dari sini."

   "Akan tetapi, suhu. Mengapa kita harus lari? Biar kita lawan siapa saja yang hendak membunuh suhu!"

   Kata Kim Hong marah.

   "Tidak mungkin kita mampu menandingi para tokoh Beng"kauw. Mereka terlalu banyak. Juga aku tidak mau memusuhi mereka, aku dibesarkan di antara mereka. Aku tidak ingin membuat engkau ikut menjadi korban. Di samping itu, aku mempunyai tugas untukmu yang harus kau laksanakan."

   Tulis Kwan Bhok Cu.

   Kim Hong merasa terharu membaca tulisan tentang riwayat suhunya itu ia dapat membayangkan ketika suhunya menangkap selir itu untuk dipaksa menunjukkan tempat di mana kaisar berada, betapa selir yang cantik jelita telah menjatuhkan hati suhunya yang selalu hidup membujang. Karena jatuh cint kepada selir kaisar, suhunya kehilangan segala-galanya, bahkan diasingkan dari Beng-kauw, dimusuhi orang-oran kangouw.

   "Katakan, apakah tugas itu, suhu ? Teecu akan melaksanakan semua perintah suhu."

   "Banyak hal terjadi di kota raja,"

   Tulis Si Naga Hitam.

   "Panglima An Lu Shan dari Peking telah menyerbu dan menguasai kota raja Tiang-an. Kaisar melarikan diri ke barat, ke Se-cuan. kabarnya, dalam perjalanan mengungsi itu, selir Yang Kui Hui telah dijatuhi hukuman mati, demikian pula saudaranya, Menteri Yang Kok Tiong. Kaisar terlunta-lunta diSe-cuan dan mungkin sedang menghimpun kekuatan. Ada desas-desus bahwa pusaka istana yang menjadi andalan kekuasaan kaisar, yaitu Giok-ong-cu (Mestika Hong Kemala) hilang, sekarang, aku minta agar engkau suka membantu kaisar, kalau mungkin mencari dan merampas kembali pusaka itu dan mengembalikan kepada kaisar yang berhak. dan juga, engkau harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali, membantu untuk menghancurkan pemberontak An Lu Shan itu."

   Diam-diam Kim Hong merasa heran mengapa gurunya demikian sungguh-sungguh membela kaisar. Agaknya tidak mungkin kalau hal ini didorong oleh kesetiaannya kepada kaisar. Bukankah pernah gurunya itu bahkan hampir membunuh Kaisar Beng Ong? Ataukah gurunya ingin menebus dosa, dan juga membela kematian Yang Ku i Hui yang tetap dicintanya? ia tidak mengerti dan tidak mampu mencari jawabannya, juga tidak berani bertanya kepada gurunya yang nampak sudah sedemikian sedih nya.

   "Baik, suhu. Teecu akan menaati perintah suhu. Lalu, kapan kiranya kita dapat bertemu dan berkumpul kembali?"

   Si Naga Hitam tersenyum dan menulis.

   "Jangan tanyakan itu. Kalau Tuhan masih memberiku usia panjang, suatu saat kita pasti akan saling jumpa. Aku tidak akan berada di sini lagi karena tak lama lagi tentu banyak tokoh kang-ouw akan menyerbu ke sini."

   Setelah berkemas, membawa buntalan pakaian dan menerima sekantung berisi beberapa potong emas dan perak sebagai bekal perjalanan, Kim Hong berpisah dari gurunya, meninggalkan Bukit Nelayan, dan menyusuri Sungai Huai menuju ke barat, ia mempunyai dua mac m tugas dalam hidupnya, yaitu pertama ia akan pergi mencari ayahnya yang belum pernah dilihat seumur hidupnya, ia hanya tahu dari ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang laki-laki yang gagah perkasa, akan tetapi ia tidak tahu di mana ayahnya berada.

   Akan tetapi mengingat cerita ibunya bahwa ayahnya adalah seorang perwira, besar kemungkinan ia akan mendapatkan keterangan tentang ayahnya di kota raja. Sayang sekali, sekarang terjadi pergolakan di kota raja, bahkan kaisarnya melarikan diri dan kota raja diduduki oleh pemberontak An Lu Shan.

   Adapun tugas kedua adalah tugas yang diperintahkan gurunya kepadanya, yaitu membantu kaisar, menentang An Lu Shan, dan membantu kembalinya Giok-hong-cu yang hilang.

   Berita tentang hilangnya mestika burung Hong Kemala telah tersebar di dunia kangouw, menarik perhatian para tokoh kangouw karena semua orang maklum bahwa benda itu merupakan pusaka yang amat berharga bahkan menjadi tanda kekuasaan seorang kaisar! Tentu saja setiap orang ingin memilikinya. Kaisar sendiri dan juga Panglima Kok Cu terkejut dan terheran-heran mendengar desas-desus lenyapnya pusaka itu tersiar di luar.

   Padahal, hanya mereka berdua yang mengetahuinya, bahkan, telah dibuatkan yang palsu untuk menggantikan yang hilang. Mereka berdua tidak tahu bahwa ketika mereka bicara tentang hilang nya pusaka itu, pembicaraan mereka terdengar oleh seorang thai-kam.

   Thaikam ini memang sudah menaruh curiga ketika Panglima Kok menggeledah seluruh rumah Menteri Yang Kok Tiong, bahkan menggeledah pakaian yang mene mpel di mayat bekas menteri itu! Dan thaikam itulah yang menyebarkan berita kehilangan pusaka itu keluar.

   Pemuda itu tidak pantas sekali menjadi pengemis. Dia berusia duapuluh satu tahun, mukanya bundar dan bersih, alis matanya tebal dan sinar matanya tajam, wajah yang tampan dan tubuh yang tegap sedang itu sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia seorang pemuda yang lemah atau pemalas, yang pantas mengemis. Sama sekali tidak!

   Bahkan biarpun dia mengenakan pakaian yang penuh tambalan, namun pakaiannya bersih dan gerak geriknya halus lembut, bahkan agung. Akan tetapi kenyataannya, di berada di kuil tua yang tak dipakai lagi itu, tempat yang biasanya hanya menjadi tempat persinggahan para pengemis, dengan pakaian tambal"tambalan, duduk bersila di lantai berhadapan dengan seorang pengemis lain yang usianya sudah enam puluh dua tahun, tubuhnya kurus kering dan bongkok, rambutnya riap-riapan kelabu, jenggotnya panjang, juga pakaiannya penuh tambalan.

   Akan tetapi, seperti juga pengemis muda tadi, biar pakaiannya penuh tambalan, namun pakaian itu bersih, dan tubuhnya juga bersih, tanda bahwa dia sering kamar mandi membersih kan tubuhnya.

   Mereka memang pengemis. Akan tetapi mereka memang pengemis istimewa, guru dan murid yang luar biasa karena pengemis tua itu terkenal sekali di dunia persilatan. Dia adalah Sin-tung Kai-ong (Raja Pengemis Tongkat Sakti) yang namanya terkenal dari Tiang-an (kotaraja) sampai ke Lok"yang, ibu kota ke dua.

   Dan muridnya itupun seorang pengemis aneh, karena dia adalah seorang pemuda bangsawan, putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, keponakan mendiang selir kaisar Yang Kui Hui yang terkenal! Pemuda itu adalah Yang Cian Han yang seperti telah kita ketahui, dua tahun yang lalu menjadi murid pengemis tua itu dan ke manapun gurunya pergi, dia ikut dan juga dia hidup sebagai seorang pengemis. Pengemis aseli karena dia diharuskan mengemis untuk mendapatkan uang atau makanan bagi mereka berdua!

   Dapat dibayangkan betapa hebat perubahan hidup yang dialami Cin Han. Tadinya, sebagai putera Menteri Yang Kok Tiong, dia hidup berenang dalam kemuliaan dan kemewahan. Pakaian apapun yang dikehendaki, makanan mahal bagaimanapun yang diinginkan, dia tinggal perintah saja dan semua itu akan dihadapkan kepadanya. Apa lagi mengemis! Makan makanan sederhanapun belum pernah dia rasakan.

   Selalu daging dan sayur pilihan, yang serba mahal dan dimasak oleh koki yang pandai. Sekarang, untuk dapat makan bersama gurunya, dia diharuskan mengemis makanan seadanya atau uang pembeli makanan yang murah. Terpaksa Cin Han menaati perintah gurunya. Hanya satu hal dia pantang, yaitu menerima makanan bekas! Biar murah dan sederhana, makanan yang cliberikan kepadanya haruslah baru dan bukan sisa!

   "Suhu, teecu mohon suhu clapat mengijinkan teecu pergi. Teecu berjanji kan segera kembali menemani clan mela-ani suhu setelah teecu tahu apa yang telah terjacli clengan ayah clan ibu teecu,"

   Pemuda itu berkata dengan suara memohon.

   Akan tetapi, kakek pengemis itu menggeleng kepalanya.

   "Tenang dan sabarlah, Cin Han. Apakah percuma saja sela ma ini aku mengajarkan ketenangan clan kesabaran kepaclamu?"

   Tegur kakek itu.

   Cin Han menghela napas. Tentu saja selama dua tahun ini, selain mendapatkan tambahan ilmu silat yang hebat dari gurunya, da juga menclapatkan ha l lain yang amat berharga.

   Kehiclupan sebagai pengemis membuat dia dapat merasakan kesengsaraan orang-orang yang miskin dan kelaparan, membuat dia menjacli rendah hati, dan biarpun dahulu dia bukan seorang pemuda bangsawan yang sombong, namun semua sisa keangkuhan sebagai bangsawan, kini terhapus oleh kehiclupan sebagai pengemis selama dua tahun ini.

   "Suhu tentu telah mengetahui keadaan hati teecu. Teecu cukup sabar, akan tetapi, kalau teecu tidak cepat menyelidiki keadaan ayah ibu teecu, bukankah teecu menjadi seorang anak yang tidak berbakti terhadap orang tua? Tentu suhu juga tidak suka mempunyai seorang murid yang murtad kepada ayah ibu sendiri."

   "Hemm, engkau tidak perlu memancing hatiku, Cin Han. Engkau tahu, peristiwa di kota raja adalah peristiwa pemberontakan, perang dan kita sama sekali tidak dapat mencegahnya. Bagaima na mungkin kita mencegah gerakan ratusan ribu pasukan? Tuhan Maha Adil, siapa menanam dia menuai dan memakan hasil tanamannya. Itulah huku m karma, Cin Han. Kalau orang tuamu dahu lu menana m bibit yang baik, tentu sekarang memetik hasil buah dari tanaman itu dan menikmati nya, kalau sebaliknya, jangan engkau penasaran! Aku mendengar bahwa Kaisar telah melarikan diri ke barat, dan kota raja telah diduduki pemberontak An Lu Shan. Engkau tidak dapat mela kukan apapun untuk me ngubahnya."

   "Akan tetapi, suhu. Teccu hanya ingin melihat keadaan ayah dan ibu. Siapa tahu, mereka membutuhkan bantuan teccu."

   "Baik, engkau boleh meninggalkan ku, akan tetapi engkau harus lebih dahulu menyempurnakan ilmu tongkat yang terakhir kuajarkan kepadamu."

   "Tai-hong-pang (Tongkat Angin Ribut)? Wah, sukar sekali, suhu...."

   "Tidak ada kata sukar bagi orang yang penuh semangat. Kalau engkau sudah menyempurnakan ilmu tongkat itu sehingga mampu menandingi ku selama lima puluh jurus dan tidak sampai roboh olehku, baru engkau boleh pergi. Kalau engkau diam-diam meninggalkan aku, aku akan mencarimu dan membunuhmu! Nah, aku sudah bicara, laksanakan!"

   Melihat sikap gurunya, Cin Han tidak berani membantah. Dan saat itu juga, dia pergi ke belakang kuil tua dan berlatih ilmu silat tongkat yang baru dipelajarinya itu dengan tekun. Ilmu tongkat itu sukar bukan main, akan tetapi hasilnya juga luar biasa. Kalau gurunya yang memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Angin Ribut itu, maka angin menyambar"nyambar seperti badai menyerang! Dia sudah dapat membuat tongkatnya bergerak mendatangkan angin kuat, akan tetapi belum dapat sambung menyam bung seperti kalau suhunya yang bersilat.

   Siang malam Cin Han berlatih ilmu tongkat itu, hanya berhenti untuk makan kalau sudah lapar sekali dan tidur kalau sudah mengantuk sekali. Diapun tiada hentinya minta petunjuk gurunya. Dengan ketekunan yang luar biasa, semangat yang bernyala-nyala, akhirnya dalam waktu sebulan saja, Cin Han sudah memperoleh kemajuan pesat sehingga ketika Sin-tung Kai-ong menguj inya, dia mampu menahan tongkat suhunya selama lima puluh jurus!

   "Bagus! Sekarang aku tidak khawatir lagi melepasmu, Cin Han Ketahuilah bahwa sebulan yang lalu aku sengaja menahanmu dan lihat hasilnya. Engkau berlatih dengan tekun sekali sehingga dalam waktu sebu lan engkau sudah dapat menguasai Tai-hong-pang dengan baik. Sebulan yang lalu,terus terang saja, aku masih merasa khawatir membiarkan engkau pergi karena kalau bertemu lawan tangguh, engkau masih belum memiliki suatu ilmu yang benar-benar dapat diandalkan. Akan tetapi sekarang, dengan Tai-hong-tung, engkau akan dapat menjaga dirimu lebih baik. Nah, sekarang engkau boleh pergi, Cin Han."

   Kalau sebulan yang lalu dia ingin sekali pergi meninggalkan gurunya untuk melihat keadaan orang tuanya di kota raja, sekarang begitu gurunya menyuruh dia pergi, Cin Han tertegun. Selama dua tahun ini, dia sudah akrab sekali dengan pengemis tua itu yang menjadi gurunya, juga pengganti orang tuanya, dan juga sahabat baiknya. Dan kini dia di suruh pergi!

   "Tapi.... setelah urusan teecu selesai, ke mana teecu harus mencari suhu?"

   Mendengar pertanyaan ini, Sin-tung Kai-ong tertawa.

   "Ha- ha-ha, mau apa engkau mencariku? Apakah engkau akan hidup terus sebagai seorang pengemis? Tida k, Cin Han. Sudah cukup aku memberikan semua ilmuku kepadamu. Aku mempunyai tugas yang harus kaulaksanakan dengan baik."

   "Katakanlah, suhu. Perintah apa yang harus teecu kerjakan? Pasti akan teecu laksanakan sekuat dan semampu teecu!"

   Kata Cin Han penuh semangat.

   "Bagus! Aku tidak re la mendengar Kerajaan Tang dirobohkan oleh pemberontakAn Lu Shan, seorang keturunan Khitan Turki! Aku ingin engkau menyusul kaisar yang melarikan diri ke barat, membantu kaisar menghadapi pemberontak!"

   "Baik, suhu. Akan teecu laksanakan dengan taruhan nyawa!"

   Jawab Cin Han yang menganggap bahwa tugas itu memang sudah sepantasnya. Andaikata tidak diperintah gurunya sekalipun, dia tentu akan membela kaisar dan menentang pemberontak.

   "Akan tetapi ingat! Aku tidak ingin melihat engkau terperosok seperti ayahmu, tidak ingin engkau terseret ke dalam kelompok penjilat di istana yang paling memperebutkan kedudukan. Engkau membantu kaisar menentang pemberontakanya karena engkau berkewajiban untuk membela kebenaran dan keadilan, meredakan kekacauan demi ketenteraman dan mencegah penindasan yang dilakukan oleh pemberontak Khitan itu."

   "Teecu mengerti, suhu. Teecu juga sudah muak melihat kepalsuan yang memenuhi istana, kemunafikan dan perebutan kekuasaan."

   Pada hari itu juga, Cin Han meninggalkan gurunya. Karena muridnya bukan anggauta kai-pang (perkum pulan pengemis), maka Sin-tung Kai-ong mengijinkan muridnya berganti pakaian seperti biasa. Akan tetapi, rasanya sudah keenakan bagi Cin Han mengenakan pakaian tambal-tambalan itu, apa lagi, dia akan memasuki kota raja dan dia harus menyamar.

   Kalau sampai memerintah pemberontak tahu bahwa dia adalah putera Menteri Yang Kok Tiong, tentu dia akan ditangkap dan dibunuh. Demikianlah, dia masih mengenakan pakaian tambal-ta mbalan seperti biasa, bahkan kini melengkapi dirinya dengan sebatang tongkat yang nampaknya saja buntut, namun kalau dia memainkan tongkat itu dengan ilmu tongkat Angin Ribut, akibatnya tentu akan hebat bagi lawannya.

   Semua tamu yang sedang makan minum dalam rumah makan itu tidak ada yang menoleh dan me mandang gadis yang baru saja memasuki rumah makan dengan mata terbelalak penuh kekaguman dan keheranan.

   Gadis itu demikian cantik jelita dan gagah, dan pakaiannya yang serba hitam itu membuat kulit muka, leher dan tangannya yang nampak menjadi semakin putih mulus. Dan gerak gerik gadis itu demikian lincah. Seorang gadis muda, baru sembilan belas tahun usianya, memasuki rumah makan besar seorang diri dengan sikap demikian santai dan bebasnya, tidak kelihatan rikuh sama sekali walaupun puluhan pasang mata seperti hendak menelannya bulat-bulat.

   Rumah makan itu merupakan rumah makan terbesar di kora raja Tiang-an. Semenjak kota raja itu diduduki pemberontak An Lu Shan yang mengangkat diri sendiri menjadi kaisar, rumah makan itu masih tetap buka karena mendapatkan dukungan dari seorang pembesar yang berkuasa dalam pemerintahan baru itu, dan harga makanannya amat mahal karena selain tidak ada rumah makan lain sebesar dan selengkap itu, juga masakannya serba mewah.

   Hanya orang-orang yang memiliki banyak uang saja berani masuk ke rumah makan itu dan makan minu m. Pada siang hari itu, tidak kurang dari tiga puluh orang makan di situ, terdiri dari para pedagang dan pejabat. Ada juga wanita yang ikut makan, akan tetapi mereka itu terdiri dari keluarga bangsawan yang lembut atau gadis-gadis penghibur yang genit, yang diajak oleh para pria yang hendak bersenang"senang.

   Maka, muncul lah gadis berpakaian serba h ita m itu a mat menonjol, bukan hanya karena kecantikan nya, akan tetapi juga karena ia sungguh berbeda dengan para wanita yang berada di situ. ia sama sekali tidak nampak lembut, bahkan nampak gagah dan sinar matanya mencorong berani, juga sama sekali tidak genit, bahkan pada senyum di bibirnya terkandung sesuatu yang dingin dan galak.

   Karena para pelayan sedang sibuk melayani banyak tamu, gadis berpakaian hitam itu menoleh ke sana sini mencari tempat kosong dan akhirnya ia menghampiri sebuah meja kosong yang berada di sudut kanan, Ia tidak perduli akan pandang mata semua orang yang ditujukan kepadanya, Ia sudah tahu beta pa mata laki-laki sebagian besar berminyak kalau melihat gadis cantik, Ia tidak lagi merasa bangga, bah kan muak karena maklum bahwa kekaguman mereka itu mengandung berahi dan kenakalan, Ia hanya memandang ke kanan kiri, matanya mencari-cari dan akhirnya ia melihat seorang pelayan terdekat.

   "Heii, bung pelayan, ke sinilah, aku hendak memesan makanan!"

   Teriaknya dan suaranya yang merdu namun nyaring itu membuat orang-orang semakin tertarik, ia memang cantik jelita dan gagah, terutama sekali mata dan mulutnya.

   Pada mata dan mulutnyalah terletak daya tarik yang paling kuat dan ke cantikannya nampa k agak asing, seperti yang terdapat pada wanita-wanita peranakan. Seorang pelayan tergopoh menghampiri dan pelayan yang usianya sekitar tiga puluh tahun ini juga terheran melihat gadis itu duduksendirian saja tanpa teman, tanpa pengawal pria.

   "Nona hendak memesan apakah?"

   Tanyanya sambil membungkuk, dengan kain lap di pundak.

   "Berikan saja nasi putih dan tiga macam masakan yang paling lezat di restoran ini, dan anggur manis, juga air teh. Cepatan sedikit!"

   Kata gadis itu.

   Pelayan itu nampak tertegun.

   "Tiga macam masakan? Apakah nona menanti kawan?"

   Gadis itu menoleh dan sinar matanya yang mencorong membuat pelayan itu undur selangkah.

   "Kawan? Apa maksud mu?"

   "Tiga macam masakan itu banyak sekali, nona. Juga harganya amat mahal, apa lagi nona menghendaki yang paling lezat. Nona makan sendiri tidak akan habis dan membayarnya......"

   "Tukk!"

   Gadis itu memukul meja dengan tangannya dan nampak sepotong emas di atas meja itu.

   "Apakah harganya lebih dari ini?"

   Pelayan itu terbelalak, lalu tersenyum-senyum dan membungkuk-bungkuk.

   "Tentu saja tidak, nona.... maafkan saya, akan saya sediakan secepatnya."

   Diapun mundur untuk memenuhi pesanan gadis itu.

   Sejak tadi, empat orang yang duduk menghadapi sebuah meja yang penuh masakan dan guci arak, memperhatikan gadis itu dan seorang di antara mereka, pria berusia lima puluhan tahun yang matanya sipit dan sejak tadi mengelus jenggot panjangnya dengan mata seperti hendak menelan gadis itu bulat bulat, segera berbisik kepada seorang laki-laki yang berdiri di bela kangnya.

   Ada dua orang laki-laki tinggi besar yang berdiri di belakang pria ini dan melihat pakaian mereka berdua, jelas dapat diketahui bahwa mereka adalah sebangsa tukang pukul atau pengawal pria itu yang melihat pakaiannya tentu seorang pejabat. Tiga orang lainnya juga berpakaian pejabat, akan tetapi melihat sikap mereka terhadap pria berjenggot panjang, dapat diduga bahwa mereka merupakan orang-orang bawahan. Agaknya pejabat itu makan minum ditemani tiga orang pejabat rendahan, dan dijaga oleh dua orang pengawal atau tukang pukul.

   Seorang bawahan yang tubuhnya kurus dan mukanya penuh jerawat, usianya sekitar tiga puluh tahun, mendengar pula bisikan itu dan diapun tersenyum.

   "Biarkan saya yang membujuknya, tai-jin,"

   Katanya.

   Pejabat itu mengangguk"angguk senang dan bawahannya itu la lu bang kit berdiri, mengha mp iri meja gadis berpakaian hitam itu dan menyeringai lalu berbisik.

   "Nona, engkau memperoleh kehormatan besar sekali. Hari ini engkau seperti kejatuhan bulan dan aku mengucapkan selamat atas keberuntungan mu, nona."

   Gadis itu mengerutkan alisnya dan matanya mencorong.

   "Hemm, apakah engkau ini mabok ! Atau memang miring otakmu? Pergilah, aku tidak mengerti apa yang kau ocehkan!"

   Mendapat tanggapan seketus itu, si kurus kering menjadi merah mukanya, akan tetapi diapun memandang marah.

   "Ihh,tak tahu diuntung! Kaulihat dia itu, nona. Dia adalah Wong"taijin (Pembesar Wong), kedudukannya tinggi, berkuasa dan kaya raya. Dia tertarik kepadamu dan dia mengundangmu untuk duduk semeja dengan dia."

   Gadis itu mengerling ke arah meja yang ditunjuk dan melihat si jenggot tersenyum menyeringai, memperlihatkan gigi yang hitam karena tembakau dan mengangguk-angguk kepala dengan sikap angkuh akan tetapi genit.

   "Katakan padanya bahwa melihat mukanya saja aku sudah muak, kalau makan bersamanya aku dapat muntah. Pergilah!"

   Kata gadis itu kepada si kurus kering, suaranya tidak lirih lagi sehingga dengan mudah dapat terdengar oleh mereka yang duduk di meja lain sehingga banyak di antara mereka yang memandang khawatir Gadis itu berani menghina Wong"Taijin!

   Si kurus kering muka jerawat yang mendengar usiran itu, terbelalak akan tetapi dasar dia seorang penakut, diapun melangkah kembali ke meja atasannya, sikapnya seperti seekor anjing pergi ketakutan menekuk ekornya.

   "Kalian bawa dia ke sini!"

   Kata pembesar Wong dengan muka kemerahan ke pada dua orang pengawalnya yang bertubuh tinggi besar.

   Mereka adalah kakak beradik, jagoan "jagoan yang diangkat sebagai pengawal oleh Wong Taijin, seorang yang menjabat kedudukan jaksa, jabatan yang memiliki kekuasaan besar dan ditakuti., dalam pemerintahan baru itu.

   Dua orang jagoan itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, keduanya memiliki tubuh yang tinggi besar berotot, yang seorang berkepala botak yang kedua brewok menakutkan, dan di pinggang mereka tergantung golok besar. Baru melihat saja orang tentu akan merasa gentar, apa lagi kalau mereka memandang dengan mata melotot dan wajah beringas.

   Dengan langkah lebar, dua orang jagoan itu menghampiri meja gadis berpaka ian hita m. Si brewok berkata.

   "Nona,majikan kami minta agar nona duduk semeja dengan beliau!"

   Gadis itu hanya mengerling dan mendengus sambil membuang muka.

   "Huh, kalian menyebalkan. Pergilah!"

   Tentu saja si brewok menjadi marah. Kalau saja majikannya tidak menyuruh dia me mbawa gadis itu ke meja majikannya, tentu telah dijambak rambut gadis itu dan diseretnya. Dia tahu bahwa majikannya tertarik kepada gadis ini, ma ka dia tidak berani bersikap kasar, apa lagi menyakitinya.

   "Nona,- kalau engkau tidak mau, terpaksa akan kuangkat bersama kursi yang nona duduki,"

   Berkata demikian, dia memegang sandaran kursi itu.

   "Hemm, macam kamu ini kuat mengangkatku?"

   Gadis itu mengejek.

   Si brewok menjadi marah dan dia mengerahkan tenaga pada kedua lengannya dan mengangkat kursi itu. Dia merasa yakin akan mampu mengangkat kursi itu bersama gadis yang duduk di atasnya. Apa lagi baru gadis mungil yang tentu amat ringan itu, biar ditambah dua orang lagipun dia akan ma mpu mengangkatnya.

   Akan tetapi, terjadi keanehan yang bukan saja mengejutkan si brewok, mela inkan juga mengherankan temannya yang botak dan empat orang pembesar yang duduk di meja sebelah. Biarpun dia mengerah kan tenaga sampai mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh, namun kursi itu tidak dapat terangkat! Sedikitpun tidak bergerak, apa lagi terangkat!

   Melihat keanehan itu, Jaksa Wong segera berkata kepada si botak.

   "Bantu dia!"

   Kini si botak, walaupun agak sungkan dan malu harus menggunakan tenaga dua orang untuk mengangkat seorang gadis mungil saja, melangkah maju dan ikut memegang kursi itu lalu mengerahkan tenaga bersama temannya.

   Mereka mengerahkan tenaga dalam waktu yang sama, mencoba untuk mengangkat kursi itu.

   "Aughhhh krekkkk!!"
Keduanya terhuyung dan hampir terpelanting ketika sandaran kursi itu patah, akan tetapi gadis itu masih tetap duduk dengan santai sambil memandang kepada mereka dengan senyum mengejek.

   Kini semua orang terkejut dan heran. Baru ke munculannya seorang diri di rumah makan itu saja sudah

   menimbulkan keheranan, dan kini ditambah lagi gadis itu berani menghina Jaksa Wong, dan lebih-lebih

   lagi kini gadis itu mampu bertahan di kursinya dan dua orang tukang pukulnya itu tidak mampu meng angkatnya! Hal ini tidak akan mengherankan bagi siapa yang mengenal gadis itu karena ia bukan lain adalah Can Kim Hong, murid tersayang dari Hek liong Kwan Bhok Cu!

   Gurunya memang sudah memesan agar ia berhati-hati dan tidak menonjolkan kepandaiannya di kota raja. Dan Kim Hong pun tadinya tidak ingin memamerkan kepandaiannya, hanya ingin makan di resto ran besar itu karena dari luar saja bau masakannya sudah semerbak keluar dan membuat perutnya terasa lapar. Akan tetapi, kalau ada orang-orang bersikap keterlaluan kepadanya, hendak menghinanya, tentu saja gadis yang berwatakkeras initidak mungkin tinggal diam saja.

   "Hemm, kalian dua ekor monyet busuk. Pergilah kalian bersama majikan kalian si kambing bandot jenggot panjang itu. Kalian semua memualkan perut ku, dan aku lapar hendak makan. Jangan ganggu aku!"

   Kata Kim Hong dan iapun berpindah ke kursi yang tidak rusak, duduk menghadapi meja dan membelakangi mereka seolah tidak pernah terjadi sesuatu.

   Semua orang menjadi pucat dan yang nyalinya kecil sudah cepat-cepat membayar harga makanan dan meninggalkan restoran itu. Gadis itu telah berani memaki Jaksa Wong sebagai kambing bandot jenggot panjang!Bukan main! Pasti akan hebat akibatnya.

   Bukan hanya dua orang tukang pukul itu saja jagoan si jaksa, bahkan dia mampu mengerahkan pasukan untuk menangkap gadis itu! Para tamu tidak ingin terbawa-bawa dalam urusan gawat itu, maka dalam waktu singkat restoran itu telah ditinggalkan para tamu.

   Yang berada di situ hanya tinggal Kim Hong, empat orang bersama dua orang tukang pukul itu. Bahkan para pelayan dan pengurus rumah makan sudah pergi entah ke mana!

   Jaksa Wong baru pertama kali ini mengalami hal yang amat memalukan dan menghinanya. Biasanya, gadis manapun tidak akan ada yang berani menolaknya. Hampir semua gadis cantik yang tidak sempat melarikan diri ketika pemberontak menyerbu, menjadi korban keganasan para pemenang.

   Sebagian besar, yang tercantik, menjadi rebutan di antara para pejabat, dipaksa menjadi selir mereka, dan sebagian pula dijadikan perebutan antara para perajurit sehingga mereka itu bukan saja mengalami penghinaan yang tak terbayangkan ngerinya, bahkan juga akhirnya mereka tewas secara menyedihkan.

   Hanya para puteri pihak pemenang dan hartawan yang dapat menyogok sajalah yang selamat dari penghinaan dan perkosaan. Kini, Jaksa Wong ditolak, bahkan dihina, dimaki oleh seorang gadis biasa.

   Tentu saja darah naik ke kepalanya, dan dengan mata melotot dia menudingkan telunjuk kanannya kepada Kim Hong.

   "Perempuan rendah, berani engkau menghina kami? Tidak tahukah engkau bahwa engkau berhadapan dengan Jaksa Wong? Cepat berlutut dan minta ampun, atau aku akan menyuruh orang-orangku menelan jangimu dan menyeretmu sepanjang jalan, kemudian kuberikan engkau kepada mereka untuk dikeroyok sampai mampus!"

   Ancaman ini sungguh mengerikan, akan tetapi membuat Kim Hong menjadi semakin marah. Makian, itu saja sudah menunjukkan macam apa orang yang dihadapinya itu.

   "Biar engkau jaksa atau dewa sekalipun, aku tidak perduli. Yang kulawan bukan kedudukanmu, melain kan orangnya. Engkau orang yang jahat, kasar, suka menghina wanita, dan pantas dihajar. Andaikata engkau seorang pengemis sekalipun, kalau baik hati, tentu akan kuhormati!"

   Kim Hong juga menudingkan telunjuknya ke arah muka pejabat itu.

   "Keparat! Tangkap dia!"

   Teriak Jaksa Wong kepada dua orang pengawalnya.

   Dua orang laki-laki tinggi besar tu memang sudah merasa penasaran sekadan ingin menebus kekalahan nya tadi. Mereka tetap tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap gadis itu yang ditaksir majikan mereka. Akan tetapi kini, majikan mereka telah memerintahkan mereka untuk menangkap gadis itu! Keduanya menyeringai dan dengan langkah perlahan seperti dua ekor binatang marah, mereka menghampiri Kim Hong dari belakang dengan kedua lengan di kembangkan, siap untuk menubruk dan mendekap gadis cantik mungil itu!

   Kim Hong pura-pura tidak melihat mereka, ia sedang jengkel karena sejak tadi, pesanannya belum juga dihidangkan.

   "Heiii, bung pelayan! Di mana kamu? Mana pesananku? Kurang ajar, kenapa tidak ada orang sama sekali? Aku akan mengambil dan memasak sendiri hidangan itu didapur kalau kalian tidak cepat mengeluarkannya. Perutku sudah lapar!"

   Ia berteriak-teriak lantang, tidak memperdulikan dua orang tinggi besar yang menghampirinya dari kanan kiri itu.

   Akan tetapi, begitu kedua orang itu bergerak hendak menubruknya,tangannya cepat menyambar dua batang sumpit dan sekali kedua tangan itu bergerak, sumpit-sumpit itu menyambar ke arah dua orang yang menubruknya. Harus diingat bahwa keistimewaan gadis ini adalah mempergunakan Hui-kiam (Pedang terbang), maka sambitan sumpitnya meluncur bagaikan anak panah terlepas dari busurnya dan dua orang tukang pukul itu roboh terjengkang, mengaduh-aduh memegangi paha kanan mereka yang ditembusi sumpit dan terasa nyeri bukan main.

   Mereka tidak dapat bangkit berdiri dan hanya mengaduh-aduh, tidak berani mencabut sumpit yang masih menembus paha mereka, takut kalau-kalau akan menjadi semakin nyeri!

   Tentu saja Jaksa Wong terkejut bukan main, demikian pula tiga orang bawahannya. Mereka berempat serentak bangkit berdiri dan dengan muka pucat hendak berlari keluar. Akan tetapi, sekali menggerak kan kedua kakinya, Kim Hong sudah berkelebat dan yang nampak hanya bayangan hitam dan tahu"tahu ia telah berdiri menghadang empat orang itu. ia tersenyum mengejek, akan tetapi matanya mencorong.

   "Kambing bandot, engkau tidak boleh lari begitu saja!"

   Katanya dan sekali tangannya bergerak, Kim Hong sudah menyambar jenggot panjang itu dan membetotnya. Jaksa Wong berteriak kesakitan dan tubuhnya tertarik ke depan akan tetapi Kim Hong menyambut dengan tendangan ke dada sambil menarik jenggot itu kuat-kuat.

   "Dukk! Prett.....!"

   Tubuh Jaksa Wong terjengkang dan jenggotnya jebol tertinggal di tangan Kim Hong.

   Tentu saja kulit dagunya terkelupas dan berdarah, dan dadanya terasa sesak. Jaksa Wong menangis! Tangan kiri meraba dagu, tangan kanan menekan dada dan dia menangis karena kesakitan dan ketaku tan. Tiga orang bawahannya hendak melarikan diri, akan tetapi tiga kali kaki Kim Hong menendang dan merekapun terlempar dan menimpa meja kursi!

   Kim Hong berteriak lagi memanggil pelayann dan ketika tidak ada pelayan muncul, iapun dengan seenaknya memasuki dapur. Dilihatnya koki gendut bersembunyi di balik gentong dan dibentaknya orang itu.

   "Hayo cepat bikinkan masakan yang enak untukku atau engkau yang akan kusembelih dan dagingmu kupangang!"

   Koki itu tentu saja ketakutan dan dengan tubuh menggigil dan kedua tangan gemetar dia melaksanakan perintah Kim Hong. Gadis ini marah dan jengkel sekali. Perutnya amat lapar dan orang-orang telah mengganggunya, ia tidak perduli lagi ketika dua orang tulang pukul menyeret kaki mereka keluar dari rumah makan mengikuti majikan mereka yang juga terhuyung-huyung keluar bersama tiga orang bawahannya.

   Juga Kim Hong tidak perduli betapa rumah makan yang sekarang kosong menjadi pusat perhatian orang yang berkerumun di luar rumah makan. Setelah hidangan matang, iapun makan minum seorang diri, tidak memperdulikan keadaan di luar yang semakin ribut karena berita tentang seorang gadis yang memukul Jaksa Wong dan kaki tangannya di rumah makan itu telah telah tersiar dengan cepat, menarik perhatian banyak orang karena berita itu sungguh luar biasa sekali.

   Baru saja Kim Hong selesai makan, muncul belasan orang perajurit di pimpin oleh Wong Taijin sendiri yang kelihatan marah-marah. Pembesar ini masih kesakitan, jenggotnya lenyap dan dagunya yang tadi terluka kini sudah dibalut sehingga dia nampak lucu sekali. Telunjuknya menuding-"nuding ke dalam rumah makan dan suaranya terdengar pelo karena dagunya dibalut.

   "Tangkap perempuan itu! Tangkaaaap....., telanjangi ia, seret sepanjang jalan agar semua orang melihat pemberontak itu !"

   Tujuhbelas orang yang dipimpin seorang perwira memasuki rumah makan. Ketika mereka melihat bahwa di dalan rumah makan itu hanya ada seorang gadis cantik sedang duduk dengan sikap tenang, mereka menjadi ragu.

   Haruskah mereka, tujuhbelas orang perajurit pilihan, mengeroyok seorang gadis?

   Perwira pasukan keamanan itu bagaimanapun juga masih memiliki keangkuhan dan harga diri. Dengan pedang melintang depan dada, diapun berkata kepada Kim Hong yang masih duduk dengan tenang,

   "Nona, sebaiknya kalau nona menyerah saja dengan baik- baik agar kami tidak harus mempergunakan kekerasan terhadap seorang gadis."

   Kim Hong bangkit berdiri, sikapnya masih tenang dan ia lebih sabar karena perutnya sudah kenyang dan masakan tadi memang lezat sekali.

   "Sungguh mati, aku merasa heran sekali. Kalian ini orang-orang gagah kenapa diperintah oleh kambing bandot jenggot buntung yang menjemukan itu? Tidak malukah kalian?"

   "Tangkap, seret dan telanjangi perempuan itu!"

   Wong Taijin mencak-mencak saking marahnya mendengar penghinaan itu.

   "Hemm, kalau ada yang berani majulah! Aku akan menghajar kalian orang orang yang suka menghina wanita, dan sekali ini aku tidak mau bersikap lunak lagi. Heii, bandot keparat, majulah dan aku akan mengirim nyawamu ke neraka jahanam!"

   Akan tetapi sebelum para perajurit yang ragu-ragu itu sempat bergerak, tiba-tiba dari luar masuk seorang pria yang gagah perkasa. Seorang pria bertubuh tinggi besar, kulitnya hitam mukanya brewok dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang pejabat tinggi.

   "Apa yang terjadi di sini?"

   Suaranya nyaring dan parau, akan tetapi semua perajurit cepat memberi jalan dan memberi hormat kepada si tinggi besar ini. Bahkan Wong Taijin sendiri terkejut melihat orang itu dan cepat memberi hormat dengan membungkukkan tubuh seperti pisau lipat.

   "Jaksa Wong, kau di sini? Kenapa itu muka mu? Mana jenggotmu yang panjang itu? Apa sih yang terjadi di sini?"

   "Maaf, Yang Mulia.... eh.,...... kami sedang hendak menangkap seorang wanita pemberontak! ia telah melukai saya dan pengawal saya, dan ia bahkan masih berani menghina kami. ia harus ditangkap dan dihukum berat!"

   Kata jaksa itu.

   Pria tinggi besar itu terbelalak "Ehh? Ada yang begitu berani? Wanita malah? Bukan main! Mana ia?"

   "Itu orangnya, Yang Mulia, gadis setan itulah pemberontaknya."' Jaksa Wong menuding ke arah Kim Hong yang berdiri bengong memandang pria tinggi besar berkulit hitam yang disebut Yang Mulia oleh Jaksa itu.

   Pria itu memutar tubuh memandang ke dalam dan bertemulah dua pasang mata itu, dan pria itu mengeluarkan seruan heran.

   "Kau...... Kim Hong......! !"

   "Suhu......!"

   Kim Hong cepat memberi hormat dan hatinya merasa terharu bercampur heran. Terharu karena bagaimanapun juga, orang tua ini pernah memelihara dan mendidiknya penuh kasih sayang sehingga ia pernah menganggap kepa la suku Kh itan ini sebagai pengganti orang tuanya sendiri, dan ia merasa heran bagaimana sekarang gurunya itu disebut Yang Mulia oleh seorang pejabat tinggi!

   "Apakah suhu dalam keadaan sehat saja?"

   Akhirnya ia bertanya.

   "Kim Hong, aihh, kiranya engkau......! Betapa rindu kami kepadamu."

   Lalu Bouw Hun, laki-laki tinggi besar itu, membalik dan menghadapi jaksa Wong yang terbelalak dan mukanya berubah pucat.

   "Jaksa Wong! Apa-apaan ini? Gadis ini adalah muridku yang tersayang, dan engkau berani mengatakan bahwa ia pemberontak ! Gila kah engkau?"

   "Ampun, Yang Mulia.... saya..... saya tidak tahu dan ia ia memukul dan menghina saya....."

   Tubuh jaksa itu gemetar ketakutan.

   Siapa yang tidak akan takut berhadapan dengan Kok Su (guru negara atau penasihat Kaisar) yang amat ditakuti karena berjasa dan berkuasa besar itu? Jangankan baru Wong Taijin, seorang jaksa, bahkan para menteri sekalipun segan dan takut kepada Bouw Kok- su ini.

   "Kenapa ia memukul mu? Hayo jawab! Pasti gadis ini belu m gila, memukul tanpa sebab. Nah, katakan, apa sebabnya ia memukul itu? "

   Wong Taijin semakin ketakutan.

   "Saya...... saya........ tidak apa-apa, Yang Mulia..... saya hanya.... mengundang ia untuk makan minum bersama kami......"

   "Hemm, aku tahu orang macam apa engkau ini!"

   Bouw Hun membentak marah.

   "Sudah kudengar bahwa engkau sering mempermainkan wanita. Engkau tentu mengganggunya, maka muridku menjadi marah. Kim Hong, apa yang clia lakukan kepadamu?"

   Kim Hong tersenyum.

   "Tidak apa, suhu, aku sudah menghajarnya cukup setimpal. Dia hendak memaksaku makan minum dengan dia, aku menghajar dia dan kaki tangannya, akan tetapi dia datang lagi membawa pasukan."

   "Jahanam kau, berani mengganggu muridku?"

   Bouw Hun membentak.

   Wong Taijin hampir terkencing-kencing saking takutnya.

   "Ampunkan saya.... saya tidak tahu.... ampunkan.."

   "Hayo berlutut dan minta ampun kepada murid ku,"

   Bentak Bouw Hun.

   Pembesar itu tanpa malu-malu lagi menjatuhkan diri berlutut menghadap Kim Hong dan mengangguk-angguk.

   "Ampunkan saya, nona, ampunkan saya...."

   Akan tetapi Kim Hong tidak memperdulikannya.

   "Suhu, bagaimana suhu dapat berada di sini dan agaknya menjadi pembesar?"

   Tanyanya kepada Bouw Hun membiarkan saja Wong Taijin yang masih berlutut dan mengangguk-angguk.

   "Mari ikut pulang, Kim Hong. Kita bicara di rumah,"

   Kata Bouw Hun dan dia menggandeng tangan muridnya lalu mengajak muridnya meninggalkan rumah makan itu.

   Wong Taijin yang masih berlutut, menjadi merah sekali mukanya. Dia bangkit berdiri, mengepal tinju, merasa malu bukan main dan diam-diam diapun mengutuk di dalam "hatinya, menyumpah-nyumpah dan berjanji bahwa sekali waktu dia akan membalas dendam ini kepada Bouw Kok- su, betapa mustahilnya hal itu nampaknya.

   Lalu diapun pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, membuat perwira yang memimpin pasukan menjadi bengong, tak tahu harus berbuat apa dan akhirnya mengajak pasukannya pergi meninggalkan rumah makan itu.

   Barulah keadaan menjadi normal kembali dan rumah makan itu mulai dikunjungi tamu lagi, dan peristiwa tadi hanya tinggal menjadi kenangan dan gunjingan orang saja.

   Banyak orang merasa senang melihat betapa Wong Taijin mengalami hajaran yang cukup hebat, bukan saja jenggotnya dicabut sehingga dagunya robek, juga menerima penghinaan, dipaksa berlutut minta a mpun kepada seorang gadis di depan banyak orang. Banyak orang merasa tidak suka kepada pembesar ini yang terkenal galak, sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya sebagai jaksa.

   Sedikit-sedikit menuntut orang. Diminta anak gadisnya tidak diberikan saja dituntut dengan bermacam alasan, sebagai pemberontak, penjahat dan sebagainya. Dia terkenal menerima sogokan dari para hartawan, dan tidak segan dia menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah dalam urusan pengadilan, semua itu karena kekuasaan uang sogokan.

   Banyak sekali bukti bahwa orang yang suka menjilat keatas, tentu suka menginjak ke bawah. Orang yang mencari muka dan amat takut kepada atasannya, bukan taat melainkan takut dan menjilat, orang seperti itu biasanya menginjak dan menindas bawahannya.

   Orang seperti ini pada hakekatnya seorang pengecut dan mudah menjadi besar kepala dan sewenang-wenang kalau memperoleh kedudukan yang memberinya sedikit kekuasaan. Dan demikian pula Jaksa Wong. Dia merasa malu dan terhina sekali, dan diam-diam dia menanam dendam di dalam hatinya.

   Maklu m bahwa pangkatnya jauh kalah tinggi dibandingkan Bouw Koksu, dia tahu bahwa hanya dengan cara yang licik dan licin, yang teratur rapi dan terdapat kesempatan baik saja lah, maka dia akan ma mpu membalas dendamnya. Dan dia bersabar hati, seperti sabarnya seekor musang yang menanti munculnya ayam keluar dari dalam kandangnya.

   Bagaimana Bouw Hun, kepala suku Khitan, dapat menjadi Kok-su (guru negara) di kota raja? Hal ini tidaklah mengheran kan karena sejak pertama kali An Lu Shan memberontak, dia telah menjadi pembantu utama panglima pemberontak itu.

   An Lu Shan sendiri adalah seorang peranakan Khitan Turki, dan dari darah ibunya, dia masih terhitung sanak dengan Bouw Hun. Oleh karena itulah, dia menarik Bouw Hun dan anak buah kepala suku Khitan itu menjadi sekutu dan karena jasa Bouw Hun dan Bouw Ki, besar ketika pasukan mengadakan penyerbuan ke kota raja, maka ketika An Lu Shan mengangkat diri menjadi kaisar, dia mengangkat Bouw Hun menjadi kok-su, dan Bouw Ki diangkat menjadi seorang panglima muda!

   Kim Hong terkagum-kagum ketika diajak masuk ke dalam sebuah gedung besar kuno yang amat indah. Hal ini tidak mengherankan karena gedung yang kini menjadi tempat tinggal Bouw Kok-su adalah bekas tempat tinggal Menteri Utama Yang Kok Tiong! Gedung kuno yang besar, megah dan masih lengkap prabot rumahnya yang serba mewah.

   Nyonya Bouw Hun, seorang wanita Khitan yang sudah berusia empatpuluh tujuh tahun akan tapi berku lit putih dan masih cantik menyambut Kim Hong dengan rangkulan mesra. Wanita ini memang amat me nyayang Kim Hong seperti anak sendiri. Sejak masih kecil sekali, belum juga berusia lima tahun, Kim Hong telah d irawat di d idid ik sua minya, hidup dala m keluarga itu sebagai murid, akan tetapi seperti anak sendiri bagi Bouw Hun dan isteri nya.

   Kepergian Kim Hong secara diam-diam itu sempat membuat Nyonya Bouw Hun berhari-hari menangis sedih dan kin i me lihat sua minya ke mbali bersa ma serang gadis cantik berpakaian serba hita m, ia segera mengena l Kim Hong dan merangkulnya, dan Kim Hong juga sempat meneteskan air mata ketika dirangkul oleh nyonya itu dengan mesranya.

   "Kim Hong.....ah, ke mana saja engkau pergi selama ini, anakku?"

   Nyonya itu menciumi pipi gadis itu yang menjadi terharu sekali. ia merasa seolah bertemu dengan ibunya sendiri.

   "Aku.... aku merantau dan mencari pengalaman, bibi,"

   Katanya, la memang selalu menyebut bibi kepada isteri gurunya itu.

   "Kau sekarang bertambah dewasa, bertambah cantik !"

   Wanita itu memuji.

   "Kakakmu tentu akan gembira sekali melihat mu!"

   Kim Hong teringat kepada Bouw Ki dan jantungnya berdebar. Bouw Ki yang membuat ia terpaksa minggat karena suhengnya itu hendak memaksanya menjadi selirnya!

   Pada saat itu terdengar suara langkah kaki dari luar disusul seruan yang lantang.

   "Eh, ibu, siapakah gadis cantik itu? Perkenalkan kepadaku, ibu!"

   Bouw Ki! Masih periang dan masih mata keranjang seperti biasa, pikir Kim Hong. Dan pemuda itupun muncul. Usia Bouw Ki sudah duapuluh tujuh tahun. Tubuhnya yang tinggi besar itu tampak semakin ga gah dengan pakaian panglimanya yang gemerlapan! Dan wajah yang tampan dengan kumis melintang terpelihara rapi, dan matanya tajam seperti mata burung rajawali. Mata itu terbelalak, lalu berkilat-kilat ketika menje lajahi wajah gadis berpakaian hitam itu.

   "Kim Hong....? Haiiii! Engkau benar Kim Hong....! Engkau semakin cantik saja, adik Hong!"

   Katanya dan seolah-olah dia ingin menubruk dan merangkul gadis itu. Akan tetapi Kim Hong sudah mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.

   "Kakak Bouw Ki, bagaimana keadaanmu? Sehat-sehat saja, bukan?"

   "Sehat? Aku? Lihatlah sendiri!"

   Dia mengembangkan kedua lengannya, memamerkan keadaan diri dan pakaiannya

   "Bukan hanya sehat, aku telah menjadi seorang panglima, Kim Hong! Dan ayah telah menjadi Kok-su! Kami menjadi keluarga bangsawan tinggi, dekat dengan kaisar! Aha, tentu engkau girang sekali, bukan?"

   "Tentu saja, suheng,"

   Kata Kim Hong sejujurnya.

   "Aih, dahulu engkau melarikan diri dan menolakku, sekarang, sudah tiba saatnya engkau menjadi anggauta keluarga kami, menjadi isteri ku! Tentu ayah sekarang menyetujui Kim Hong menjadi isteriku, bukan begitu, ayah?"

   Kim Hong terkejut sekali dan mengerutkan alisnya.

   "Suheng, harap jangan berkata seperti itu. Aku tadi bertemu ayahmu dan aku ikut suhu ke sini karena akupun sudah rindu kepada keluarga suhu. Aku hanya singgah saja, bukan untuk menetap di sini."

   "Tapi , sumoi......"

   "Aihh, Bouw Ki! Engkau ini apa-apaan sih?"

   Tegur ibunya. 'Adikmu baru saja tiba, dan engkau sudah bicara yang bukan "bukan tentang pernikahan. Mengapa engkau begitu tergesa"gesa seperti dikejar setan?"

   "Bouw Ki, jangan membuat adikmu menjadi resah. Baru saja ia mengalami urusan yang membuatnya marah, dan kalau aku tidak cepat muncul, tentu ia membuat geger dan akan menjadi pusat perhatian orang di kota raja."

   Kini pemuda yang gagah itu membelalakan matanya.

   "Wah, jadi engkaukah gadis di rumah makan yang telah memukul dan menghina Jaksa Wong itu, sumoi? Engkaukah orangnya?"

   Kim Hong mengangguk.

   "Ha-ha-ha, alangkah lucunya! Si kura-kura itu memang pantas menerima hajaran den engkau yang melakukannya. Ha-ha, aku puas! Dan engkau mengagumkan sekali, Kim Hong, membuat aku semakin jatuh cinta. Katakanlah bahwa engkau sengaja datang ke kota raja untuk mencariku, dan menerima pinanganku."

   "Bouw Ki, engkau sudah mempunyai lima orang selir, masihkah begitu kehausan? Biarkan Kim Hong beristirahat dulu, bahkan ia belum menceritakan pengalamannya selama dua tahun Ini,"

   Kata Bouw Hun dengan suara datar, seolah berita tentang puteranya memiliki lima orang selir itu merupakan hal biasa bagi para pendengarnya.

   Dia tidak tahu betapa Kim Hong muak mendengar ucapan itu. Memang pada jaman itu, kaum pria amat meremehkan martabat wanita sehingga wanita disa ma kan dengan benda-benda berharga saja, seperti benda yang indah dan mahal, atau seperti peliharaan yang langka, seekor burung dewata misalnya, atau seekor kucing dari negara barat! Sukar bagi mereka membayangkan bahwa wanita juga memiliki harga diri, memiliki perasaan dan matabat.

   "Kim Hong, sekarang ceritakanlah pengalamanmu, kami ingin sekali mendengarnya,"

   Kata Nyonya Bouw Hun. Mereka berempat duduk di ruangan dalam, dan Kim Hong lalu menceritakan pengalaman nya dengan singkat bahwa ia menjadi murid seorang sakti, yaitu Hek-liong Kwan Bhok Cu dan selama dua tahun ini belajar ilmu silat dari gurunya.

   Setelah selesai belajar, ia mendengar tentang keributan di kota raja dan ingin melihat-lihat keadaan setelah perang selesai.

   "Hemm, jadi tukang perahu berpakaian hitam bercaping lebar itukah yang menjadi gurumu?"

   Tanya Bouw Hun kepada muridnya dengan alis berkerut, teringat betapa dia dan puteranya sama sekali tidak mampu menandingi orang sakti itu.

   "Benar, suhu, dan beliau seorang pendekar gagu yang amat baik kepadaku."

   "Aih, kalau begitu engkau sekarang tentu telah menjadi lihai bukan main, sumoi!"

   Kata Bouw Ki sambil tersenyum.

   "Akan tetapi selama dua tahun ini, kalau engkau belajar silat, aku bahkan mempraktekkan dalam pertempuran dan perang, dan akupun memperoleh kemajuan pesat!"

   "Suhu, kalau boleh aku mengetahui, bagaimana suhu sekeluarga dapat berada di sini dan tiba-tiba menjadi pejabat tinggi?"

   Kim Hong ingin sekali mengetahui.

   Bouw Hun bangkit dan berkata.

   "Kim Hong, biar Bouw Ki saja yang menceritakan semua itu kepada mu. Aku harus pergi ke istana sekarang menghadap Kaisar."

   Lalu kepada isterinya dia berkata.

   "Suruh pelayan mempersiapkan pesta kecil untuk keluarga kita, menyambut pulangnya Kim Hong."

   Setelah berkata demikian, Bouw Hun dengan sikap agungnya seorang pejabat tinggi, meninggalkan rumahnya. Nyonya Bouw juga pergi ke belakang untuk memerintahkan para pelayan menyiapkan pesta untuk menyambut Kim Hong.

   "Sumoi, mari kita pergi ke taman dan di sana akan kuceritakan pada mu tentang semua pengalaman ka mi yang hebat,"

   Ajak Bouw Ki.

   Kim Hong mengangguk dan merekapun keluar dan memasuki taman bunga luas indah yang berada di sebelah kiri bangunan besar itu. Kim Hong mengagumi taman itu yang memang amat indah, apa lagi pada waktu itu, musim semi belum habis dan bunga-bunga di taman sedang saling bersaing keindahan dengan bunga-bunga yang bermekaran.

   Setelah berjalan-jalan mengagumi bunga-bunga dalam taman, Bouw Ki mengajak sumoinya duduk di bangku tepi kolam ikan emas, dan diapun menceritakan pengalaman dia dan ayahnya. Ayahnya di ajak bersekutu oleh Panglima An Lu Shan dan merekapun menyerbu ke barat.

   Dia sendiri menjadi seorang komandan pasukan yang terdiri dari orang-orang Khitan dan dia sudah memperlihatkan kegagahannya dan membuat banyak jasa sehingga setelah gerakan pemberontakan tu berhasil, ayahnya diangkat menjari kok-su dan dia sendiri diangkat menjadi panglima muda oleh An Lu Shan.

   Kim Hong mendengarkan dengan kagum.

   "Kalau begitu, suhu telah menjadi seorang bangsawan besar, dan engkaupun telah menjadi seorang panglima muda yang mulia. Tentu senang sekali hidupmu, suheng, mulia dan mewah, dihormat orang dan memiliki kekuasaan besar".

   Bouw Ki menghela napas panjang dan berkata, wajahnya muram.

   "Enak bagaimana, sumoi? Aku lebih senang kalau saat ini, ayah masih menjadi kepala suku di Lembah Huang-ho, dan aku berada di sana bersamamu. Hidup rasanya lebih bebas dan tak banyak pusing seperti sekarang."

   "Eh? Kenapa banyak pusing dan kenapa pula tidakbebas?"

   "Aku diikat oleh kedudukan ku,"

   Pemuda Khitan itu memandang pakaiannya yang dalam bulan-bulan pertama amat dibanggakan akan tetapi yang kini terasa seperti membelenggu dirinya itu.

   "Waktuku sudah disita oleh tugas pekerjaan, dan tentu saja pusing karena Kerajaan baru ini masih menghadapi banyak tantangan. Pertama, Kaisar Kerajaan Tang masih ada, dan kini di barat sedang menyusun kekuatan. Mereka pasti tidak akan menerima begitu saja dan selama kaisar dan keluarganya itu belum terbunuh, ancaman masih akan terus membayangi kota raja ini. Selain itu, yang lebih memusingkan lagi, adanya persaingan dan permusuhan yang secara diam-diam telah timbul di antara keluarga dan para pimpinan kerajaan baru ini"

   

JILID 07

"Eh, kenapa begitu? Bukankah Panglima Besar An Lu Shan telah menjadi kaisar dan semua pembantunya, termasuk engkau dan suhu, telah diberi kedudukan?"

   "Banyak yang tidak puas dengan kedudukan yang diberikan kepada mereka. Ada yang merasa dirinya lebih berjasa dan timbul saling iri. Aku khawatir persaingan ini akan menghancurkan kita dari dalam. Aku.....aku sungguh tidak puas dan tidak senang biarpun kini aku menjadi seorang panglima dari kerajaan besar. Masa depanku tidak begitu cerah, banyak tugas berat dan bahaya"

   Kim Hong tersenyum. Suhengnya ini memang pernah menyakitkan hatinya karena hendak memaksa nya menjacli selir, akan tetapi harus diakui bahwa suhengnya ini biarpun berhati keras, namun jujur, tidak seperti suhunya.

   "Aih, suheng. Mungkin hanya mulutmu saja yang mengeluh, akan tetapi hatimu kegirangan. Bukankah kini engkau telah menjadi seorang bangsawan muda yang mulia, bahkan telah memiliki lima orang selir? Tidak hebatkah itu?"

   Ia mengejek.

   "Hemm, itu hanya usaha ayah dan ibu untuk menghiburku, untuk mengurangi kerinduanku kepadamu, sumoi. Akan tetapi, biar aku diberi seratus orang selir yang bagaimana cantikpun, hatiku tidak akan tenteram dan bahagia selama engkau belum mau menjadi isteriku."

   Kim Hong mengerutkan alisnya, lalu tersenyum mengejek.

   "Aih, jadi engkau masih terus bertekad untuk memperisteri aku, biarpun aku sudah berulang kali menyatakan tidak mencintamu, melainkan suka kepadamu sebagai suheng, sebagai kakak Apakah engkau dan ayah juga masih ingin melanjutkan usaha kalian memaksaku agar suka menjadi isteriku?"

   Bouw Ki menghela napas panjang.

   "Sebetulnya, cara itu sama sekali tidak kusukai, sumoi. Aku ingin engkau menerima aku menjadi sua mimu dengan suka rela, ingin kita menjadi suami isteri yang saling mencinta, bukan paksaan. Akan tetapi, engkau terlalu keras hati dan keras kepala. Jangan memaksa kami melakukan hal yang sama sekali tidak menyenangkan hatiku itu, Kim Hong."

   Gadis itu diam-diam merasa mendongkol, ia datang ke rumah suhunya secara suka rela, akan tetapi ia datang seperti seekor harimau memasuki perangkap, atau lebih lagi, seperti seekor domba memasuki rumah jagal! Biarpun tidak dijelaskan, namun ia tahu bahwa agaknya suhunya dan suhengnya sudah mengambil keputusan untuk tidak membiarkan ia pergi lagi dari situ!

   Suhengnya ini benar-benar telah tergila-gila kepadanya, bertekad ingin memperisterinya, bahkan sejak dua tahun yang lalu, suhengnya tidak pernah melupakan diri nya! Dan sekarang, keadaannya bahka lebih terjepit dari pada dahulu. Biar pun kini ilmu kepandaiannya sudah demikian tingginya sehingga ia tidak takut menghadapi suhunya dan suhengnya, akan tetapi di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang terdiri dari puluhan ribu orang banyaknya. Bagaimana mungkin ia akan dapat meloloskan diri?

   Akan tetapi, Kim Hong tidak merasa gelisah, bersikap tenang saja. seolah-olah ia belum melihat kenyataan pahit itu.

   "Suheng, karena selama ini engkau telah banyak bertempur, tentu ilmu kepandaianmu maju pesat. Bagaimana kalau kita berlatih untuk saling melihat sampai di mana kemajuan yang kita capai?"

   "Bagus, aku senang sekali, sumoi! Engkau tentu kini telah memperoleh kemajuan pesat. Dahulupun aku tidak dapat mengalahkanmu,.apa lagi sekarang !"

   "Ah, belum tentu, suheng. Bagaimanapun juga, aku belum mempunyai pengalaman bertanding, sedangkan engkau sudah mengalami perang dan pertempuran besar."

   "Mari kita berlatih dengan tangan kosong saja, jangan sampai kita salah tangan saling melukai. Memang aku sering kali berlatih silat di petak rumput itu, sumoi."

   Mereka pergi ke petak rumput tak jauh dari kolam ikan dan di situ memang nyaman dan luas. Kim Hong hanya ingin mengukur sampai di mana kepandaian suhengnya itu agar kalau sewaktu-waktu ia harus melawannya, ia akan dapat mengetahui lebih dulu keadaan lawan.

   Dengan gaya yang menarik, setelah melepaskan baju kebesarannya Bouw Ki memasang kuda-kuda. Kim Hong melihat bahwa ilmu silat suhengnya masih serupa dengan dahulu, maka iapun memasang kuda-kuda yang sama.

   "Aku sudah siap, suheng. Mulailah!"

   "Sumoi, awas seranganku!"

   Bentak Bouw Ki yang merasa girang karena dalam latihan bertanding tangan kosong ini, setidaknya dia mendapat kesempatan untuk saling beradu tangan dengan gadis yang dirindukannya itu!

   Dia menyerang, bukan dengan pukulan melainkan dengan cengkeraman"cengkeraman, karena sesuai dengan dorongan perasaan hatinya, ingin dia dapat menangkap lengan sumoi nya, atau setidaknya merabai tubuhnya untuk melepaskan kerinduan"nya.

   Tingkat kepandaian Kim Hong sekarang sama sekali tidak dapat disamakan dengan dua tahun yang lalu. Gemblengan Si Naga Hitam selama dua tahun ini meningkatkan tingkat kepandaiannya, juga tenaga sinkang dan kepekaan perasaan"nya. Terutama sekali, ia telah minum racun darah ular hitam kepala merah. Sekali melihat saja tahulah ia bahwa kepandaian suhengnya masih biasa saja, hanya memang bertambah mantap karena pengalaman bertanding. Kalau ia menghendaki, dengan mudah saja ia akan dapat mengalahkan suhengnya.

   Akan tetapi, Kim Hong ticlak mau melakukan ini clan iapun sengaja mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat lama seperti yang pernah ia pelajari clari ayah suhengnya ini. Maka terjadilah pertandingan latihan yang seru dan nampaknya mereka sama kuat.

   Akan tetapi tiba-tiba datang seorang pemuda mendekati tempat kedua orang muda itu berlatih. Baik Kim Hong maupun Bouw Ki melihat kedatangannya dan dengan sendirinya mereka mengakhiri latihan itu.

   Pemuda itu bertepuk tangan.

   "Bagus, bagus sekali! Bouw "ciangkun, siapakah nona yang hebat ilmunya itu? Perkenalkan aku dengannya!"

   Bouw Ki maju dan memberi hormat clengan berlutut sebelah kaki sambil berkata,

   "Harap paduka memaafkan saya, Pangeran, karena tidak tahu paduka akan datang, saya tidak mengadakan penyambutan."

   Tentu saja Kim Hong tertarik sekali melihat suhengnya memberi hormat dan menyebut pemuda itu

   pangeran, ia memperhatikan. Seorang pemuda yang usianya mungkin baru delapanbelas tahun, tampan dan lembut, akan tetapi pandang matanya liar dan penuh nafsu, juga senyumnya dingin dan membuat ketampanan wajahnya nampak aneh. Pakaiannya "mewah dan pemuda itu seorang pesolek.

   Baru melihat dan bertemu pandang saja Kim Hong sudah merasa tidak suka kepada pria muda itu.

   "Pangeran, ini adalah sumoi saya, bernama Can Kim Hong. Sumoi, beliau ini adalah Pangeran An Kong yang suka sekali akan ilmu silat dan biarpun masih muda, ilmu silatnya tinggi, jauh melebihi tingkatku sendiri, sumoi."

   Akan tetapi Kim Hong menerima perkenalan itu dengan sikap tenang dan biasa saja, hanya mengang kat kedua tangan dengan dada sebagai penghormatan.

   Pangeran muda itu tertawa.

   "Haha-ha, sahabatku Bouw Ki, tidak tahukah engkau bahwa nona ini tadi telah banyak mengalah kepadamu? Kalau ia bersungguh-sungguh, sudah sejak tadi engkau dikalah kannya. Ha-ha-ha!"

   Wajah Bouw Ki berubah kemerahan. Dia sama sekali tidak beranggapan demikian, karena dia merasa bahwa dirinya telah memperoleh kemajuan. Biarpun belum tentu dia akan mampu mengalahkan sumoi nya yang sejak dahulu memang lebih lihai darinya, akan tetapi tidak mungkin sumoinya dapat menga lahkannya dengan mudah dan tadi sengaja banyak menga lah. Akan tetapi tentu saja kepada sang pangeran dia tidak berani membantah.

   "Pangeran, memang sejak kecil sumoi saya ini lebih cekatan dibandingkan saya."

   Akan tetapi, diam-diam Kim Hon terkejut dan memandang pangeran muda ini lebih teliti. Ketika tadi suhengnya mengatakan bahwa kepandaian silat pangeran ini jauh lebih tinggi dari tingkat suhengnya, ia mengira suhengnya hanya mencari muka saja. Akan tetapi sekarang, pangeran itu telah dapat melihat bahwa ia sengaja mengalah, dan hal ini saja sudah membuktikan bahwa pangeran ini memang lihai dan berpemandangan tajam sekali.

   "Nona Can, akupun ingin sekali mengujimu. Nah, sambutlah ini !"

   Tiba-tiba saja pangeran muda itu meloncat ke depan Kim Hong dari kedua tangannya didorongkan ke arah dada gadis itu.

   Muka Kim Hong menjadi merah karena serangan itu mengandung ketidak-sopanan, seolah pangeran itu hendak memegang sepasang buah dadanya. Maka, iapun menyambut dengan dorong kedua tanganya, apa lagi ketika merasa betapa dari kedua telapak tangan pangeran itu menyambar hawa pukulan yang cukup dahyat.

   "Plakk!"

   Tak dapat dihindarkan lagi, dua pasang telapak tangan bertemu dan akibatnya, tubuh pangeran itu terpental ke belakang sampai dua meter, sedangkan Kim Hong masih berdiri tegak dan matanya memandang marah walaupun sikapnya tetap tenang. Pangeran An Kong tidak jatuh, hanya terhuyun dan diapun berseru kagum.

   "Hebat....! Nona Can, ternyata engkau memiliki ilmu kepandaian hebat, melebihi dugaanku. Bouw-ciangkun, aku merasa heran sekali bagaimana seorang sumoimu dapat memiliki ilmu kepandaian sehebat ini?"

   "Pangeran terlalu memujiku,"

   Kata Kim Hong sederhana, akan tetapi pandang matanya bersinar-sinar penuh kewaspadaan. Pangeran muda itu menghela napas panjang.

   "Sudahlah, maafkan aku kalau aku mengganggu kalian berlatih. Aku ingin sekali bertemu dengan Bouw-koksu. Di manakah dia, Bouw-ciangkun?"

   "Baru saja ayah mengatakan hendak menghadap Sri baginda, pangeran. Dia berangkat ke istana."

   "Kalau begitu, biar aku menyusulnya ke sana."

   Pangeran muda itu sekali lagi memandang kepada Kim Hong dengan penuh perhatian, lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ.

   Setelah pangeran itu pergi Bouw Ki mendekati Kim Hong.

   "Sumoi, benarkah yang dia katakan tadi? Kau tahu, dia adalah pangeran An Kong yang terkenal lihai, murid orang-orang pandai di utara. Benarkah engkau memiliki ilmu yang dahsyat melebihi dia sehingga tadi dia terpental ke belakang?"

   "Hemm, mungkin dia berpura-pura saja, dia mengatakan itu untuk memuji ku. Siapa sih dia?"

   Bouw Ki tersenyum dan mengangguk angguk.

   "Mungkin juga. Dia memang amat lihai, bahkan ayah mengatakan ilmu silat pangeran itu setingkat ilmu ayah! Akan tetapi' diapun terkenal sebagai pangeran mata keranjang. Agaknya dia tertarik kepadamu dan sengaja memujimu untuk menyanjung. Engkau harus berhati-hati menghadapi perayu seperti dia. Dia adalah pangeran tertua, putera Sri baginda dan agaknya diapun tidak rukun dengan Sri baginda."

   "Ehh? Kenapa begitu?"

   Kim Hong tertarik walaupun ia tahu bahwa kaisar yang baru, yaitu Panglima An Lu Shan, adalah musuh kaisar Kerajaan Tang, yang menurut pesan suhunya, harus di tentangnya. Akan tetapi, melihat kenyataan bahwa Bouw Ki dan suhunya menjadi orang-orang penting dalam kerajaan baru para pemberontak itu, ia dapat mempergunakan kesempatan ini untuk menyelidiki keadaan para pimpinan pemberontak yang tentu dapat ia kumpulkan sebagai laporan penting kalau ia sudah menghadap Ka isar Beng Ong kelak.

   Bouw Ki mengajaknya kembali duduk di bangku dekat kola m ikan dan dia pun menceritakan keadaan ke luarga kepala pemberontak An Lu Shan yang kini telah mengangkat diri sendiri menjadi kaisar itu. An Lu Shan pernah berselisih dengan puteranya, An Kong, karena urusan wanita! Memang sesungguh nya amat memalukan dan tidak pantas.

   Mereka memperebutkan seorang gadis istana yang tak sempat melarikan diri dan menjadi tawanan. Akhirnya, gadis yang diperebutkan itu tewas membunuh diri dan terjadilah suatu perasaan tak senang antara ayah dan puteranya itu.

   Perasaan tidak senang itu ditambah lagi ketika Pangeran An Kong yang didukung oleh beberapa orang pejabat tinggi, terutama sekali oleh Bouw-koksu, mengusulkan agar dia diangkat menjadi pangeran mahkota. Kaisar menolak usul itu, mengatakan bahwa dia masih muda, belum saatnya dia mengangkat seorang calon penggantinya. Apa lagi, baru saja dia menjadi kaisar!

   "Demikianlah, sumoi. Biarpun pada lahirnya tidak nampak sesuatu, akan tetapi sebetulnya, terdapat perasaan tidak puas di hati Pangeran An Kong terhadap ayahnya, dan perasaan curiga dan kecewa di hati kaisar terhadap puteranya itu. Aku sendiri tidak senang dengan adanya kenyataan ini, akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Aku hanya seorang panglima, bahkan ayahku agaknya menjadi pendukung Pangeran An Kong. Ah, aku menjadi bingung, dan karena itulah maka tadi kukatakan kepada mu bahwa aku lebih senang tetap berada di Khitan."

   Percakapan mereka terhenti ketika muncul Nyonya Bouw Hun yang mengajak Kim Hong, untuk mengobrol dengannya di dalam rumah. Sementara itu, Pangeran An Kong yang menyusul Bouw Koksu, bertemu dengan pembesar itu diluar istana.

   Bouw Koksu baru saja meninggalkan istana dan Pangeran An Kong segera mengajaknya bicara di istana pangeran itu. Kini mereka duduk di dalam kamar rahasia, di mana mereka dapat bicara tanpa khawatir didengar atau diliihat orang lain.

   "Saya menghaturkan selamat, Pangeran. Memang agaknya para dewata membantu Pangeran dan paduka memang sudah ditakdirkan untuk menjadi kaisar yang akan diakui oleh seluruh rakyat. Pusaka itu telah saya dapatkan, Pangeran!"

   Kata Bouw Hun yang kini lebih dikenal dengan sebutan Bouw Koksu (Guru Negara Bouw).

   Pangeran itu tersenyum dan wajah nya berseri.

   "Benarkah engkau sudah berhasil mendapatkan Giok- hong-cu (Burung Hong Kemala), tanda kekuasaan kasar itu, pa man Bouw?"

   "Bendanya sendiri belum, Pangeran, akan tetapi peta tempat penyimpanan benda itu telah saya peroleh, walaupun dengan harga mahal sekali. Sepuluh ribu tail harus saya keluarkan untuk membeli peta itu."

   "Uang tidak menjadi persoalan. Ceritakan bagaimana pusaka tanda kekuasaan kaisar itu dapat kau peroleh?"

   Bouw Hun lalu menceritakan bahwa semula mestika burung hong kemala itu oleh kaisar Beng Ong diserahkan kepada Menteri Yang Kok Tiong untuk disimpan. Kemudian, di pos penjagaan Ma-wei, para perajurit yang marah membunuh menteri itu.

   Kaisar sudah menyuruh Panglima Kok Cu mencari pusaka itu, namun tdak pernah dapat ditemukan. Ternyata pusaka itu oleh Menteri Yang Kok Tiong, diam-diam disembunyikan, ditanam di sebuah tempat rahasia ketika rombongan kaisar yang lari mengungsi itu lewat di sebuah bukit.

   Yang Kok Tiong menyerahkan sebuah peta dari tempat rahasia itu kepada seorang pelayan yang disuruhnya kembali ke kota raja dan menyerahkan peta itu kepada puteranya, yaitu Yang Cin Han kalau puteranya itu kelak kembali ke kota raja.

   "Souw Lok, pelayan Menteri Yan Kok Tiong itu tahu bahwa peta itu amat berharga, maka dia menjualnya kepada saya dengan harga selaksa tail."

   "Bagaimana kalau ternyata peta itu palsu dan pusakanya tidak dapat ditemukan? Orang itu mungkin hanya seorang penipu....."

   Bouw Hun tersenyum dan mengelus jenggotnya yang lebat.

   "Apakah paduka kira saya begitu bodoh, Pangeran? Souw Lok itu baru saya beri lima ribu tail dan dia membuka sebuah toko dengan modalnya itu di kota raja. Setiap gerak geriknya saya suruh amati dan dia tidak boleh meninggalkan kota raja sebelum pusaka itu ditemukan, dengan janji yang lima ribu tail lagi saya bayarkan. Akan tetapi kalau dia menipu dan pusaka itu tidak dapat ditemukan di tempat yang ditunjukkan peta, dia akan dihukum mati dan semua hartanya dirampas."

   Pangeran An Kong tersenyum dan mengangguk-angguk.

   "Bagus sekali kalau begitu, paman. Sebaiknya paman cepat pergi mengambil benda itu di tempat di sembunyikannya.

   "

   "Setelah melapor kepada paduka, besok juga saya akan mengirim sepasukan orang kepercayaan untuk pergi ke tempat itu dan mengambilnya, pangeran."

   "Baik, aku percaya sepenuhnya ke padamu, paman. Setelah benda pusaka itu berada di tangan kita, baru kita laksanakan rencana kita yang ke dua. Dengan pusaka itu, tentu kedudukanku akan menjadi lebih kuat dan dapat menarik dukungan para pejabat lama yang masih. menguasai beberapa daerah lain. Akan tetapi ada satu hal lagi yang kurasa patut kau perhatikan, paman. Yaitu mengenai murid paman yang bernama Can Kim Hong itu."

   Bouw Koksu terkejut.

   "Eh? Paduka sudah mengenalnya? Ada apakah dengan gadis itu, pangeran? ia memang cantik, apakah paduka......"

   "Ah, jangan salah sangka, paman. Memang ia cantik menarik dan aku akan suka sekali andaikata ia dapat menjadi milikku, akan tetapi saat ini, yang menarik hatiku bukanlah kecantikannya, melainkan ilmu silatnya, paman. Aku masih terheran-heran karena tadi aku melihat ia berlatih silat dengan putera mu, bahkan aku telah menguji tenaganya dan sungguh ia luar biasa sekali. Bagaimana mungkin paman dapat memiliki seorang murid wanita sehebat itu, yang tingkat kepandaiannya demikian tingginya. Aku sama sekali bukan tandingannya, paman!"

   Tentu saja Bouw Hun terkejut mendengar ini,

   "Aih, saya sendiri juga baru saja bertemu dengan murid saya itu, pangeran. Selama dua tahun ia merantau dan berguru lagi dan mengingat bahwa ia menemukan seorang guru sakti, sangat boleh jadi kini tingkat kepandaiannya meningkat banyak. Akan tetapi mampu menandingi paduka? Sungguh tidak saya sangka....."

   Bagaimana tidak akan heran perasaan hati Bouw Kok-su mendengar bahwa pangeran muda ini tidak mampu menandingi ilmu silat Kim Hong. Padahal, pangeran ini lihai sekali, tingkat kepandaiannya tidak berada disebelah bawahnya!

   "Aku yakin akan kelihaiannya, paman. Karena itu, engkau harus dapat membujuk dan menariknya agar ia membantu kita. Kita membutuhkan tenaga orang orang lihai seperti muridmu itu."

   Bouw Koksu tertawa gembira dan mengelus jenggotnya.

   "Ha-ha, harap paduka tidak khawatir, pangeran. Tentu saya dapat membujuknya, karena bagaimana pun, ia sudah seperti anak kami sendiri, bahkan kami merencanakan untuk menjodohkan Bouw Ki dengan Can Kim Hong.

   "Bagus, itu lebih baik lagi, paman. Nah, sekarang harap paman suka membuat persiapan untuk mengambil pusaka itu secepatnya. '"

   Bouw Koksu lalu berpamit dan kembali ke rumah gedungnya, disambut isterinya yang sudah memper siapkan pesta keluarga untuk menyambut pulangnya Kim Hong. Gadis itu merasakan keakraban mereka dan merasa terharu, juga gembira. Sedikit perasaan tidak enak sehubungan dengan peristiwa dua tahun ia ketika ia hendak dipaksa menjadi selir Bouw Ki, mulai menipis.

   "Kim Hong, aku membawa berita yang amat baik dan menggembirakan sekali untukmu!"

   Kata Bouw Ki begitu dia memasuki rumahnya dan melihat sumoinya itu. Kim Hong sedang duduk bercakap-cakap dengan Bouw Hun dan ternyata pada sore hari itu.

   "Coba terka, berita apa yang akan kusa mpaikan padamu?"

   Kim Hong memandang suhengnya yang nampak berseri wajahnya itu, lalu dengan penuh harapan ia bertanya.

   "Suheng, apakah engkau membawa berita tentang ayahku?"

   "Tepat sekali, sumoi. Aku telah menyebar penyelidik sejak engkau pulang sepekan lalu dan sekarang aku telah menemukan ayah kandungmu yang bernama Can Bu itu. Dan, ha-ha-ha, sungguh mengheran kan sekali, dia adalah seorang perwira dalam pasukan yang kupimpin!"

   "Ah, luar biasa!"

   Seru Bouw Hu sambil menepuk pahanya.

   "Kalau begitu kenapa aku tidak pernah melihat dia Dahulu, duapuluh tahun yang lalu, dia pun seorang perwira pasukan ketika di tertawan oleh pasukan Khitan dan menjadi tawanan, lalu hidup di antara bangsa Khitan."

   "Para opsir atau perwira memang hanya berada di benteng, ayah,"

   Bouw Ki menjelaskan.

   "Dan dia sendiri tidak pernah bertemu ayah. Diapun sama sekali tidak menyangka bahwa aku adalah anak kecil yang pernah dikenalnya di Khitan. Dia termasuk seorang di antara para perwira Kerajaan Tang yang telah menyerahkan diri dan menakluk, dan seperti ayah mengetahui, kita menerima tenaga bantuan para anggauta pasukan yang telah menyatakan takluk dan suka bekerja kepada pemerintah baru."

   "Suheng, di mana dia? Aku ingin bertemu dengan ayahku!"

   Kata Kim Hong dan ia merasa betapa jantungnya berdebar dan perasaan aneh dan tegang menghubungi hatinya. Dara ini belum pernah melihat ayahnya dan ia hanya pernah mendengar cerita ibunya bahwa ayahnya bernama Can Bu, seorang perwira yang gagah dan tampan.

   Sekarang,suhengnya mengatakan bahwa ayah kandungnya itu menyerah kepada ke kuasaan pembe rontak, bahkan mengabdi kepada pemberontak. Di mana letak kegagahannya? Diam "diam ia merasa kecewa dan penasaran. Agaknya ia akan lebih merasa lega dan bangga andaikata mendengar bahwa ayahnya, sebagai seorang perwira, telah gugur ketika melawan pasukan pemberontak yang menyerbu kota raja! Tentu saja ia akan lebih senang dapat bertemu dengan ayahnya, akan tetapi bukan sebagai seorang perwira yang mengkhianati Kerajaan Tang, melainkan umpamanya saja, seorang perwira yang melarikan diri karena kalah perang dan menjadi rakyat biasa.

   "Tenanglah, sumoi. Paman Can Bu sendiri masih merasa tegang dan bingung mendengar bahwa puterinya berada disini. Bahkan dia sudah hampir tidak ingat lagi bahwa dia mempunyai seorang puteri di Khitan, maklum sudah duapuuh tahun lebih dia meninggalkan Khitan. Bahkan dia terkejut ketika kujelaskan bahwa ayah adalah orang yang di kenalnya sebagai Bouw Kok-su, yang dahulu menjadi kepala suku bangsa Khitan. Dia sudah ikut bersamaku ke sini, akan tetapi dia menanti di luar karena aku tidak ingin menimbulkan kekagetan dan agar engkau dapat menerimanya dengan tenang."

   "Aku ingin bertemu dengan dia suheng. Terima kasih atas bantuanmu.."

   "Bouw Ki, bawa dia masuk ke sini. Akupun ingin bertemu dengan Saudara Can Bu yang meninggal kan Khitan dua puluh tahun yang lalu!"

   Kata Bouw Hu gembira.

   Bouw Ki berlari keluar dan tak lama kemudian, dia masuk kembali bersama seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih, disambut oleh Bouw Hun dan isterinya, juga oleh Kim Hong yang hanya berdiri bengong, mengamati pria yang kini menjatuhkan diri berlutut dengan sebelah kaki memberi hormat kepada Bouw Kok-su.

   "Aha, saudara Can Bu! Ya, aku masih ingat kepadamu. Lupakah engkau siapa aku, ha-ha-ha!"

   Bouw Kok-su berseru sambil tertawa.

   Pria itu mengangkat muka dan memandang dengan bingung dan bimbang.

   'Paduka...... benarkah paduka adalah Kepala Suku Bouw Hun yang dahulu.....? Dan ciangkun ini putera paduka Bouw Ki yang dahulu masih kecil itu? Nyonya, maafkan saya dan terimalah hormat saya......"

   Orang itu kembali memberi hormat.

   "Bangkitlah, saudara Can Bu Hong dan duduklah. Kita adalah orang-orang sendiri, jangan terlalu sungkan dan sementara ini lupakan dulu segala kedudukan. Duduklah dan pandang baik-baik, siapa gadis ini?"

   Can Bu bangkit berdiri dan memandang kepada gadis yang juga berdiri dan sedang mengamatinya itu. Kim Hong rasa lehernya seperti dicekik karena haru, akan tetapi juga ragu dan agak kecewa. Inikah orang yang selama ini dirindukannya? Inikah orang yang dahulu, ketika ia masih kecil, ibunya menceri takannya dengan penuh kerinduan dan kekaguman? Inikah orang yang dicari-carinya itu? Memang wajahnya tidak jelek, cukup tampan, dan bentuk tubuh nya juga tegap sebagai seorang perajurit. Akan tetapi gagah perkasa? ia tidak melihat tanda-tanda itu pada tarikan muka dan pandang matanya,bahkan mata itu kelihatan sungkan dan bahkan malu-malu, agak gelisah malah, sama sekali bukan seperti mata seorang pendekar! Karena tegang dan terharu bercampur kecewa, Kim Hong diam saja, tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.

   "Paman Can Bu, inilah sumoi Can Kim Hong, puterimu dan mendiang bibi Khilani seperti yang kuceritakan itu. ia adalah anakmu, paman!"

   Kata Bouw Ki seperti hendak menarik ayah dan anak itu dari ala m la munan yang me mbuat mereka hanya saling pandang sejak tadi.

   "Anakku..... Ah, siapa kira hari ini aku dapat bertemu dengan anak ku....."

   Akhirnya Can Bu berkata, biarpun masih ragu, dia mengembangkan kedua lengannya.

   "Ayah..... Bertahun-tahun aku selalu memikirkan orang yang menjadi ayah kandu ngku. Jadi engkau...... engkau ini ayahku....?"
Kim Hong berkata lirih seperti kepada diri sendiri, dan iapun menghampiri pria itu.

   Ketika Can Bu merangkulnya, Kim Hong merasa aneh dan tidak nyaman, karena pria ini sama sekali asing baginya. Akan tetapi ia membiarkan saja pria itu merangkul dan mengelus rambutnya.

   "Maafkan aku, anakku. Selama ini ayahmu tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk mencarimu, merawat dan mendidikmu,"

   Katanya dengan suara agak gemetar.

   Dengan lembut Kim Hong melepaskan diri dari rangkulan ayahnya, melangkah mundur dua ka li dan me mandang wajah ayahnya, bertanya,

   "Sekarang.... dimana ayah tinggal dan dengan siapa ayah hidup?"

   Sukar baginya harus tinggal bersama seorang ibu tiri dan saudara-saudara tiri.

   "Sumoi, Pa man Can Bu hidup sebatang kara, tidak beristeri dan tidak me punyai keluarga, tinggalnya di dalam benteng,"

   Kata Bouw Ki.

   "Kalau begitu, biar dia tinggal saja di sini bersama Kim Hong!"

   Kata Bouw Kok-su.

   "Bouw Ki, usahakan agar saudara Can Bu dipindah tugaskan, mulai sekarang bekerja sebagai kepala pengawal keluarga kita dan tinggal di sini, di rumah samping itu."

   "Ah, itu baik sekali!"

   Seru Bouw Ki.

   "Tentu paman Can setuju, bukan?"

   Sebetulnya Kim Hong hendak menolak. Tidak senang ia kalau ayah kandungnya mondok di situ, yang berarti bahwa ia dan ayahnya menerima budi keluarga Bouw dan bahkan terikat dengan mereka. Akan tetapi ayahnya sudah cepat memberi hormat dan berkata dengan suara gembira sekali.

   "Tentu saja saya setuju, ciangkun. Terima kasih banyak atas budi kebaikan Tai-jin dan Ciang-kun!"

   Karena ayahnya telah menerimanya, tentu saja Kim Hong tak dapat berkata apa-apa lagi. ia masih merasa asing dengan ayahnya, masih sungkan untuk menegurnya. Kelak saja, perlahan-lahan ia akan membujuk ayahnya agar tinggal di luar gedung itu, di rumah sendiri sehingga tidak tergantung kepada siapapun, juga lebih bebas.

   Setelah mendapat kesempatan untuk berdua saja dalam ruangan rumah samping, Kim Hong duduk berhadapan dengan pria yang dinyatakan sebagai ayah kandungnya itu. Mereka saling berpandangan sejenak, dan akhirnya Can Bu yang menundukkan pandang matanya lebih dahulu. Sinar mata gadis itu terlalu tajam, bagaikan pisau yang runcing menusuk sampai keulu hati.

   "Kim Hong, kenapa engkau memandangku seperti itu?"

   Tanya Can Bu yang sudah menunduk.

   Gadis itu tetap menga mati wajah pria di depannya dengan pandang mata penuh selidik.

   "Engkau....... benarkah engkau ini ayah kandungku?"

   Tiba-tiba ia bertanya dan Can Bu mengangkat muka, alisnya berkerut dan pandang matanya penasaran, marah.

   "Hemm, pertanyaan ini bisa kukembalikan kepadamu, Kim Hong. Benarkah engkau ini anak kandung ku? Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu itu? Kita tidak pernah saling berjumpa. Hanya ada satu hal yang pasti bagiku, yaitu aku pernah tinggal di Khitan duapuluh tahun lebih yang lalu, dan aku menikah dengan seorang wanita bernama Khilani. Nah. kalau benar engkau ini puteri Khi lani, jelaslah bahwa engkau adalah anakku dan aku inilah ayah kandungmu. Kim Hong, kenapa engkau masih bertanya seperti itu, dan seolah meragukan bahwa aku ini ayah kandungmu?"

   Kini pandang mata Can Bu yang penuh selidik mengamati wajah Kim Hong.

   Gadis itu menghela napas panjang.

   "Ayah, aku masih ingat betapa ibu menceritakan bahwa suaminya, ayah kandungku, adalah seorang perwira Kerajaan Tang yang gagah perkasa. Kini aku mendapatkan ayah memang seorang perwira, akan tetapi..... kenapa ayah membantu pemerintah yang didirikan pemberontak ! "

   Wajah pria itu berubah agak pucat, matanya memandang ke sekeliling seperti orang ketakutan.

   "Ssttt....... apa yang kau ucapkan ini, Kim Hong? Kalau terdengar orang lain, kita bisa celaka ! Bukankah suhu dan suhengmu sendiripun menjadi orang-orang besar dalampemerintahan ini ? "

   "Hemm, mereka lain lagi,"

   Kata Kim Hong, semakin kecewa melihat sikap ayahnya yang ketakutan itu.

   "

   Mereka adalah orang-orang Khitan yang sejak dahulu memang bermusuhan dengan Kerajaan Tang, bahkan suhu adalah kepala suku Khitan. Tidak mengherankan kalau mereka bergabung dengan pemberontak dan kini menduduki jabatan tinggi. Akan tetapi engkau, ayah! Menurut ibu, engkau seorang bangsa Han. Kenapa sekarang engkau bahkan mengkhianati kerajaan dan bangsa sendiri?"

   Can Bu mengerutkan alisnya dan memandang tak senang.

   "Kim Hong, engkau lancang. Sribaginda sendiri, ketika masih menjadi Panglima besar, juga seorang pejabat Kerajaan Tang, dan biarpun beliau itu masih mempunyai darah Khitan, akan tetapi sebagian besar para perwira dan perajuritnya adalah bangsa Han! Pemberontakan itu dilakukan karena Kaisar Beng Ong amat lemah dipermainkan wanita, dan di istana terjadi perebutan kekuasaan yang memuak kan. Jangan kau salahkan ayahmu kalau sekarang aku mengabdi kepada pemerintah ini."

   Kim Hong diam saja dan ia terngat akan cerita gurunya. Menurut guru nya, Kaisar Beng Ong memang di permainkan oleh seorang selir cantik yang bernama Yang Kui Hui, demikian cantiknya selir itu sehingga gurunya sendiri tergila"gila kepada selir itu. Gurunya juga berpesan agar ia membela Kerajaan Tang dan membantu kaisar untuk merampas kembali tahta kerajaan dari tangan An Lu Shan, dan menemukan Giok"hongcu. Gurunya, yang dahulu pernah berusaha membunuh Kaisar Beng Cng, kini bahkan menyuruh ia membela kaisar itu.

   Kini ia mengerti mengapa. Kalau dahulu gurunya memusuhi kaisar, hal itu dilakukan karena dia se orang tokoh Beng-kauw yang menganggap kaisar lalim dan patut dilenyapkan agar kedudukan kaisar diganti oleh kaisar lain yang lebih bijaksana. Akan tetapi sekarang, lain lagi keadaannya.

   Tahta kerajaan direbut oleh pemberontak An Lu Shan, seorang peranakan Han, yang tentu dianggap berdarah asing oleh gurunya. Karena itu gurunya menyuruh ia berpihak kepada pemerintah Kerajaan Tang.

   "Kim Hong, kenapa engkau diam saja? Sudah mengertikah engkau sekarang mengapa ayahmu bekerja kepada pemerintah yang baru? Bahkan sekarang aku menjadi kepala pengawal keluarga gurumu, bu kan lagi menjadi perwira pasukan."

   Kim Hong menghela napas panjang lagi,

   "Maafkan aku, ayah,. Terus terang saja, tadinya aku kecewa sekali melihat kenyataan ini. Ibu dahulu bercerita tentang ayah kandungku yang gagah perkasa, dan aku terlanjur membayangkan ayah sebagai seorang pendekar besar. Kiranya kini ayah terlibat dalam pemberontakan, atau membantu pemerintah pemberontak. Akan tetapi aku sekarang dapat mengerti dan tidak menyalahkan ayah."

   Can Bu menujulurkan tangan dan memegang tangan puterinya dari seberang meja.

   "Bagus, aku senang sekali mendengar itu, anakku. Dan kuharap engkau suka membantu ayah, membantu suhumu dan suhengmu......"

   "Maaf, ayah. Aku tidak ingin melibatkan diri dengan urusan pemerintah kerajaan baru ini, tidak ingin pula membantu pekerjaan suhu dan suheng, walaupun tentu saja aku suka membantu pekerjaan ayah. Ayah hanya bertugas menjaga keselamatan keluarga suhu, bukan? Nah, aku akan membantu pekerjaan ayah."

   "Akan tetapi, bagaimana kalau ayahmu menerima tugas yang lebih penting? Apakah engkau tetap mau membantu ku?"

   "Tentu saja, aku akan membantu agar ayah melaksanakan tugasnya dengan baik dan berhasil, akan tetapi aku sendiri tidak mau langsung menerima perintah dari orang lain."

   "Bagus, aku mendengar dari suhengmu, Bouw-ciangkun, bahwa engkau memiliki ilmu silat yang amat hebat, bahkan Pangeran An Kong sendiri mengagumi. Kalau engkau mau membantuku, maka tugas penting yang harus kukerjakan dalam beberapa hari ini tentu akan dapat kulaksanakan dengan baik."

   "Tugas apakah itu, ayah?"

   Kim Hong mengerutkan alisnya, tidak mengira sama sekali bahwa ayahnya telah menerima tugas penting lain.

   "Tugas ini amat berbahaya, dan tanpa bantuanmu, tadinya aku merasa khawatir sekali kalau gagal. Aku ditugaskan mengikuti rombongan pasukan yang akan dipimpin Bouw"ciangkun sendiri untuk mengambil sebuah pusaka kerajaan di tempat tersembunyi."

   Kim Hong menatap wajah ayahnya dan jantungnya berdebar tegang.

   "Pusaka apakah itu, ayah? Dan mengapa berbahaya untuk mengambilnya? Di mana tempat pengam bilannya?"

   Dalam hatinya, Kim Hong teringat pesan gurunya, Si Naga Hita m, tentang pusaka yang dinamakan Mestika Hong Kemala!

   "Pusaka itu amat penting bagi kerajaan, karena merupakan lambang ke kuasaan kaisar. Pusaka itu h ilang dan yang terakhir kalinya berada di tangan Menteri Yang Kok Tiong. Ketika menteri itu terbunuh, pusaka itu lenyap entah ke mana. Beruntung sekali gurumu, Bouw Koksu yang cerdik dan bijaksana, dapat menemukan peta di mana pusaka itu disembunyikan dan besok pagi, suhengmu akan memimpin pasukan untuk mengambil pusaka itu. Akupun dikutsertakan, karena itu, aku mnta agar engkau suka turut pula memperkuat rombongan kita."

   Kim Hong menelan kembali kata-kata "giok-hong-cu"

   Yang sudah berada di ujung lidahnya dan ia pura-pura tidak tahu, akan tetapi dengan cepat ia meangguk.

   "Aku akan senang sekali membantu ayah dalam tugas penting itu, ayah."

   Ia teringat akan pesan suhunya, dan ia akan melihat apakah benar yang akan diambil rombongan itu adalah gio hong-cu. Dan kalau benar demikian setidaknya ia tahu di mana adanya mestika yang diperebutkan itu!

   Malam itu Kim Hong tidur dengan hati tenang, bagaimanapun juga, ia telah bertemu bahkan berkumpul dengan ayah kandungnya, dan untuk tugas kedua yang diserahkan gurunya kepadanya, yaitu memban tu kaisar Tang menemukan kembali giok-hong-cu dan menentang pemberontak, agaknya dapat ia mulai dari kota raja itu sendiri! Tak seorangpun tahu akan isi hatinya dan akan tugasnya itu, dan ia dipercaya oleh pemerintah An Lu Shan! Memang ayahnya berada di pihak musuh, akan tetapi ia akan dapat membujuk dan menyadarkan ayahnya perlahan-lahan, kalau ia sudah akrab benar dengan ayah kandungnya itu.

   "Bukan main! Paman sungguh seorang pemberani! Aku merasa kagum dan bangga sekali padamu, paman!"

   Kata pemuda itu sambil memandang orang yang duduk di depannya dengan sinar mata penuh kagum.

   Dia seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun, wajahnya tampan,sikapnya lincah, matanya bersinar-sinar penuh semangat dan kejenakaan, mulutnya tersenyum-senyum dan pakaiannya tidak teratur seenaknya sendiri.

   Pemuda ini adalah seorang pemuda yang lincah Jenaka dan selalu gembira, akan tetapi di balik sikapnya yang bengal dan agak ugal-ugalan itu tersembunyi kepandaian yang hebat. Dia bernama Souw Hui San, dan dia sudah yatim piatu.

   Di partai persilatan Go-bi-pai, namanya terkenal sekali karena dialah murid utama Gobi-pai, murid yang masih muda akan tetapi berkat bakat dan ketekunannya sejak kecil hidup di partai itu sebagai kacung lalu murid, maka dia telah menguasai hampir seluruh ilmu silat Go b i-pai dan terkenal sebagai seorang pendekar muda yang amat lihai.

   Baru tga bulan dia tiba di Tiang-an, kota raja yang kini dikuasai kerajaan baru pemberontak An Lu Shan. Dia mempunyai seorang paman, yaitu adik mendiang ayahnya, yang kini membuka sebuah toko di kota raja itu dan pamannya ini bernama Souw Lok.

   Baru hari itu pamannya membuka rahasia kepada keponakannya, setelah dia merasa yakin benar bahwa keponakan nya kini telah menjadi seorang pendekar yang berilmu tinggi.

   "Aku melakukan itu demi Kerajaan Tang, Hui San. Aku harus mencari jalan sebaiknya dan kebetulan sekali engkau datang. Hanya engkaulah yang dapat mebantuku."

   "Paman Souw Lok, bagaimana sampai Menteri Yang mempercayakan pusaka itu kepada paman? Harap paman ceritakan sejelasnya agar aku mengerti persoalannya dan dapat bekerja sebaik mungkin. Para guruku di Gobi-pai, selain mengajarkan ilmu silat, juga mengajarkan bagaimana aku harus menjadi seorang warga negara yang baik dan setia kepada pemerintah. Karena itu, aku siap membantu paman demi kejayaan kembali Kerajaan Tang yang dijatuhkan pemberontak."

   Souw Lok la lu bercerita. Dia adalah seorag pelayan dalam keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Sejak muda dia kerja pada keluarga itu dan menjadi seorang pelayan setia yang dipercaya penuh oleh keluarga itu. Ketika Menteri Yang Kok Tiong menemani Kaisar Hsua Tsung mengungsi ke barat, Souw Lok inilah satu satunya pelayan yang mengikuti majikannya.

   Ketika kaisar yang mengkhawatirkan keselamatan pusakanya yang penting, yaitu Giok-hong-cu, dan menitipkannya kepada Menteri Yang Kok Tiong, menteri itu menjadi gelisah dan bingung. Dia tahu betapa pentingnya Mestika Burung Hong Kemala itu. Para pemberontak dan raja muda di daerah tentu akan berusaha memperebutkan pusaka itu, karena pusaka itu dianggap sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar.

   Kemudian, Menteri Yang Kok Tiong mempunyai akal. Para pemberontak tentu akan mencurigai dia kalau tidak menemukan mestika itu pada kaisar. Akan tetapi, tak seorangpun akan mencurigai Souw Lok, seorang pelayan. Karena itu, ada suatu malam, dalam perjalanan mengungsi itu, dia memanggil Souw Lok ke dalam kamarnya dan bicara empat mata dengan pelayan itu.

   "Souw Lok, dapatkah aku mengharapkan kesetiaanmu kepadaku dan kepada Kerajaan Tang?"

   Tanya Menteri Yang Kok Tiong.

   "Tentu saja, Taijin. Hamba siap mengorbankan nyawa hamba demi Kerajaan Tang!"

   "Aku percaya kepadamu, Souw Lok. Oleh karena itu maka kau kupanggil. Kuserahi tugas yang teramat penting, bahkan kejayaan kembali Kerajaan Tang kuserahkan ke dalam tanganmu."

   Tentu saja Souw Lok terkejut bukan main dan sambil berlutut dia mendengarkan keterangan Menteri Yang Kok Tiong. Menteri itu menerima Mestika Burung Hong Ke ma la dari kaisar untuk diselamatkan. Menteri yang setia itu telah menyembunyikan benda pusaka itu di sebuah tempat rahasia, yaitu di dalam sebuah guha kecil yang mereka lalui dalam perjalanan mengungsi. Tak seorangpun melihatnya dan dia sudah membuat kan peta tempat itu agar kelak muda di cari kembali.

   "Biar andainya aku tertawan musuh dan disiksa sekalipun, aku tidak akan membuka rahasia benda pusaka itu,"

   Kata sang menteri.

   "akan tetapi kalau mereka menemukan peta ini di tubuhku, berarti pusaka itu akan terjatuh ke tangan musuh. Oleh karena itu kutitipkan peta ini kepadamu, Souw Lok. Tidak akan ada orang mencurigaimu. Bawalah peta ini ke Tiang-an, usahakan agar engkau dapat menyerahkan petai ini kepada seorang di antara anak-anakku Benda pusaka itu harus dipertahankan untuk membangkitkan kembali Kerajaan Tang."

   Biarpun dia menggigil karena takut dan tegang, namun Souw Lok yang setia menerima juga peta itu. Lukisan yang kecil itu dapat dia sembunyikan dalam lipatan bajunya dan diapun meninggalkan rombongan kaisar yang melakukan perjalanan mengungsi, dan dia kembali ke Tiang-an yang sudah diduduki pemberontak An Lu Shan.

   Dan tepat seperti perkiraan Kenteri Yang Kok Ting, tiada seorangpun mencurigai bahwa bekas pelayan ini memiliki peta rahasia tempat disembunyikannya benda yang diperebutkan oleh semua raja muda dan gubernur, juga dicari oleh An Lu Shan sendiri.

   Mendengar cerita itu, Souw Hui San mengerutkan alisnya.

   "Ternyata paman memegang rahasia yang demikian pentingnya. Akan tetapi tadi paman mengatakan bahwa paman telah menjual peta itu kepada Bouw Koksu dan paman menerima banyak uang, dapat membuka toko ini. Bagaimana pula ini, paman? Memang paman pemberani dan pintar, akan tetapi maafkan pertanyaanku, paman. Apakah paman hendak menjual negara.."

   "Hushh, pamanmu bukan manusia serendah itu, Hui San! Ketahuilah bahwa dalam pengungsian mereka, Kaisar telah membicarakan urusan Mestika Burung Hong Kemala dengan Pangeran Mahkota dan Panglima Kok Cu Ketika Menteri Yang Kok Tiong terbunuh, mestika itu telah hilang dan tidak ada seorangpun mengetahui di mana mestika disimpan oleh mendiang Menteri Yang. Percakapan mereka itu diam-diam didengarkan seorang thai-kam (sida-sida) dan orang ini menyebar desas-desus tentang hilang nya Mestika Burung Hong Kemala di tangan mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Berita itu sampai pula ke sini dan tentu saja An Lu Shan memerintahkan semua pembantunya untuk ikut mencari dan memperebutkan pusaka itu. Usaha itu diserahkan kepada Bouw Koksu. Koksu ini segera menyelidiki siapa saja orang "orang yang dekat dengan Menteri Yan Kok Tiong ketika masih hidup. Selain ke tiga putera dan puterinya, juga semua bekas pembantu rumah tangga dan pelayan dicurigai. Karena tiga orang puteranya tidak dapat ditemukan, maka semua bekas pelayan keluarga Yang ditangkapi, termasuk aku. Seorang demi seorang dipaksa untuk mengaku di mana disembunyikannya pusaka itu dan setiap orang yang mengatakan tidaktahu, disiksa sampai mati."

   "Hemm, betapa kejamnya Bouw Ko ksu,"

   Kata Hui San.

   "Bekas kepala suku Khitan itu memang seorang yang kejam, lihai dan licik sekali. Karena melihat semua rekan tewas disiksa, tentu saja aku tidak mau mengalami siksaan sampai mati...."

   "Dan paman lalu menyerahkan peta itu kepada Bouw Koksu dan menerima imbalan uang banyak....?"

   "Hushh, jangan tergesa-gesa mengambil kesimpulan buruk! Ketahuilah, kalau aku membiarkan diriku disiksa sampai mati, tentu pusaka itu untuk selamanya akan hilang dan tak akan dapat dikembalikan kepada Kerajaan Tang, karena hanya aku seoranglah yang mengetahui tempat persembu nyiannya. Karena itu, aku lalu mengam bil keputusan untuk tetap tinggal hidup akan tetapi juga menjaga agar pusaka itu tidak terjatuh ketangan pemberontak."

   "Apa yang paman lakukan?"

   "Diam-diam sebelumnya aku telah menghafalkan peta itu di luar kepala, dan aku sedikit mengubah peta itu. Kalau dalam peta aselinya tempat persembunyian pusaka itu berada diguha ke tiga, aku mengubahnya dengan tanda bawa benda itu disimpan di dalam guha ke tujuh. Ada sepuluh buah guha di bukit itu. Nah, karena aku tidak ingin mati dan benda itu hilang begitu saja, ketika jatuh giliranku diperiksa, aku mengaku terus terang bahwa Menteri Yang memang memberikan sebuah peta kepadaku. Dan aku minta imbalan kalau peta itu diminta oleh Bouw Koksu. Tentu saja Bouw Koksu memenuhi permintaanku dan memberiku lima ribu tail sebagai uang muka dan yang lima ribu tail lagi akan dia berikan setelah dia mendapatkan pusaka itu."

   "Akan tetapi, paman. Kalau di mengambil pusaka itu di guha seperti yang ditunjukkan oleh peta paman, tentu dia tidak akan mene mukannya dan pa man tentu akan dianggap menipu dan menerima hukuman!"

   Orang tua itu tersenyum.

   "Paman mu tidak setolol itu, Hui San. Tadinya memang aku akan segera melarikan diri membawa sisa uang setelah kubelikan toko ini, akan tetapi setelah engkau muncul, aku mendapat pikran lain. merek akan menemuka benda di guha itu, dan dia akan memberiku limaribu tail lagi akan tetapi pusaka itu tetap akan menjadi milik kita."

   "Ehh? Bagaimana mungkin paman?"

   "Hui San, selama ini aku diam-diam melakukan penyelidikan dan mengetahui bahwa sampai hari ini, Bouw Koksu belum mengirim orang untuk mengambil mestika itu. Hal ini menunjukkan bahwa ada maksud tertentu dalam hati Bouw Koksu. Agaknya dia tidak langsung melapor kepada kaisarnya, dan mungkin saja dia hendak memiliki sendiri pusaka itu. Lihat, aku telah mempersiapkan ini."

   Souw Lok mengeluarkan sebuah buntalan kain kuning dan ketika buntalan kain itu dibuka, Hui San melihat sebuah benda yang indah, terbuat dari batu giok dan berbentuk seekor burung Hong!

   "Inikah Giok-hong-cu itu? Akan tetapi..... telah berada di tangan paman!"

   Serunya heran.

   Souw Lok menggeleng kepalanya.

   "Aku telah mengeluarkan uang seribu tail untuk membujuk seorang ahli ukir kemala yang tinggal di luar kota raja, dan menyuruh dia buatkan ukiran seekor burung hong kemala seperti ini. Aku menyamar seorang kakek sehingga dia tidak tahu siapa yang menyuruh dia membuatkan ukiran burung hong kemala."

   "Jadi ini yang palsu? Untuk apa, paman? Ah, aku mengerti sekarang. Tentu paman hendak menipu Bouw Koksu dengan memberinya Giok-hong-cu yang palsu ini!"

   "Engkau cerdik, Hui San. Akan tetapi hanya engkau yang akan mampu melakukan siasatku itu."

   Hui San tersenyum. Pemuda yang lincah Jenaka ini memang memuliki kecerdikan dan dia sudah dapat menduga dan mengerti apa yang dikehendaki pamannya.

   "Paman sungguh cerdik bukan main! Tentu paman menghendaki agar aku membawa benda ini ke tempat rahasia itu, meletakkannya ke dalam guha ke tujuh, kemudian aku mengambil yang aselinya yang berada di dala mi guha ke tiga dan membawanya ke sini. Begitukah?"

   Pamannya mengangguk-angguk.

   "Aku sendiri tidak berani melakukan itu karena kalau ketahuan orang lain, akan berbahaya. Akan tetapi engkau sudah mendemonstrasikan kepandaianmu dan aku yakin bahwa dengan kepandaianmu itu, engkau akan ma mpu melakukannya dengan baik. Biarkan Bouw Koksu mendapatkan Giok-hong-cu yang ini, dan yang aselinya tetap berada pada kita!"

   "Lalu apa yang akan kita lakukan dengan Giok-hong-cu yang aseli itu, paman?"

   Pemuda itu memancing.

   "Hemm, kita biarkan Bouw Koksu bergembira dengan Giok"hong-cu ini, dan aku menerima lagi limaribu tail. Setelah itu, baru aku meningga lkan kota raja dan hidup sejahtera di dalam dusun yang jauh dari sini, dan engkau kuserahi tugas untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong, atau dapat juga langsung kepada Sri baginda Kaisar sendiri yang kini mengungsi ke se"cuan."

   Pemuda itu mengangguk-angguk, ia tidak menyalahkan pamannya yang hendak menikmati hidup sebagai orang kaya di dusun. Bagaimanapun juga, pamannya telah berjasa menyelamatkan pusaka kerajaan Tang itu, dan yang ditipu oleh pamannya adalah pemberontak.

   "Baiklah, paman. Cepat beri gambaran yang jelas tentang letak tempat yang dimaksudkan itu."

   Paman dan keponakan itu lalu bercakap-cakap dengan berbisik-bisik dan Souw Lok memberi keterangan yang sejelasnya. Keponakannya Itu diminta agar melakukan perjalanan berat, menyusuri sepanjang pantai sungai Yang-ce.

   "Setelah kurang lebih lima ratus dari sini, engkau akan melihat pegunungan dan yang nampak dari tepi sungai itu adalah tiga puncaknya yang runcing, yang paling tengah tinggi runcing dan di kanan kirinya terdapat dua buah puncak yang sama tingginya, akan tetapi hanya setengah tinggi yang tengah. Kau dakilah pegunungan itu sampai engkau tiba dibukit batu karang. Terus saja naik sampai ke puncaknya dan di sana engkau akan menemukan guha guha batu karang itu. Tak seorangpun akan mendatangi tempat yang kering kerontang itu, sama sekali tidak menarik karena tidak ada tumbuh-tumbuhan, hitung dari kiri ke kanan kalau berhadapan dengan tebing bukit karang akan ada sepuluh buah guha. Nah, hitung dari kiri, yang ke tiga dan ke tujuh. Jelas, bukan?"

   Hui San mencatat semua itu di dalam hatinya dan malam itu juga dia berangkat membawa buntalan kuning ber Giok"hong-cu palsu yang dia masuk dalam buntalan besar pakaiannya. Sedang pedang tergantung di punggung nya Pemuda ini memang gagah perkasa tampan. Usianya sudah duapuluh lima tahun, akan tetapi karena wajahnya selalu cerah gembira dengan senyum yang tak pernah meninggalkan bibirnya, nampak seperti baru berusia duapuluh tahun saja. Pakaiannya agak nyentrik, seenaknya sendiri, bahkan celananya kedodoran atau kebesaran, akan tetapi agaknya dia tidak perduli.

   Juga rambutnya awut -awutan karena sehabis mandi tadi, sebelum berangkat, dia tidak menyisir rambutnya, hanya menyisir dengan jari-jari tangannya saja sehingga setelah kering menjadi awut-awutan dan acak-acakan. Sebuah camping bundar yang ujungnya runcing tergantung di punggung, di atas pedang dan buntalan.

   Camping itu agak lebar dan baik sekali di pergunakan sebagai pelindung kepala dari panas hujan.Hui San melangkah santai ketika keluar dari pintu gerbang kota raja sehingga tidak menimbulkan kecurigaan, bersama banyak orang yang keluar masuk pintu gerbang.

   Akan tetapi setelah berada jauh di luar pintu gerbang, dia meninggaIkan jalan raya, kemudian menggunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Tubuhnya berkelebat seperti larinya seekor kijang muda saja, kadang melompat jauh.

   Sungguh mengagumkan sekali kalau ada yang sempat menyaksikan dua orang gadis itu berlatih silat pedang. Mereka berdua mempergunakan sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya dan gerakan mereka demikian ringan dan indah, bagaikan dua ekor kupu-kupu yang sedang me mperebutkan seku ntu m bunga untuk d ih isap madu nya. Tubuh mereka kadang nampak dan kadang tidak, dan hanya dua gulungan sinar pedang mereka yang saling belit dan saling tekan, tiba-tiba saja dua gulungan sinar pedang itu lenyap dan di situ telah berdiri dua orang gadis sambil melintangkan pedang di depan dada.

   Yang seorang berusia duapuluh tahun, wajahnya cantik jelita dan agung, dengan tahi lalat kecil di dagu kiri, mena mbah indah dan manis sekal wajah itu. Kulitnyapun putih kemerahan, lembut halus seperti kulit bayi Sungguh sukar dapat dibayangkan betapa seorang gadis secantik dan selembut itu dapat me ma inkan pedang sedahsyat tadi.

   Gadis ke dua yang berdiri di depannya lebih muda, usianya sekitar delapan belas tahun. Gadis inipun cantik jelita dan manis, mungil dengan bentuk tubuh lebih kecil dan ramping. Kalau gadis pertama nampak lembut, gadis yang lebih muda ini nampak lincah, galak dan sepasang matanya berapi-api penuh semangat hidup. Kulitnya tidaklah seputih gadis pertama, agak gelap, namun tidak mengurangi daya tariknya.

   Mereka itu bukan lain adalah Yang Kui Lan dan Yang Kui Bi, kakak beradik puteri Menteri Yang Kong Tiong! Seperti telah kita ketahui, kakak beradik ini meninggalkan kota raja untuk mencari kakak mereka, Yang Cin Han dan mereka bertemu dengan Kong Hwi Ho-siang, seorang hwesio tua yang sakti dan menjadi muridnya. Dua orang dara ini tingga l dala m kuil Thian-bun-tang yang diketuai Pek-lian Ni-kouw, murid keponakan Kong Hwi Hosiang. Dua tahun lebih lamanya mereka tinggal di kuil tu.

   Sekali waktu Kong Hwi Hosiang datang ke kuil dan mengajarkan ilmu silat kepada mereka. Juga dari suci mereka, Pek-lian Ni-kouw, mereka diberi pelajaran gin-kang (ilmu meringank tubuh). Dari suhu mereka, kedua orang dara ini selain menerima latihan menghimpun tenaga sin-kang, juga semua ilmu yang telah mereka kuasai,

   dimatangkan sehingga kini ilmu pedang Sian-li Kiam-sut yang pernah mereka pelajari dari Sin-tung Kai-ong menjadi lebih dahsyat. Selain itu, juga dua orang gadis itu menerima pelajaran ilmu toya yang amat hebat dari Kong Hwi Hosiang, yaitu ilmu Hongn Sin-pang (Toya Saktangan dan Awan).

   "Enci Lan, sudah cukup kita berlatih pedang. Mari kita berlatih ilmu toya kita,"

   Kata Kui Bi yang selalu lincah dan gembira.

   "Baik, Bi-moi,"

   Kata Kui Lan dan iapun mencabut sebatang toya yang tadi ia tancapkan di atas tanah di taman bunga belakang kuil itu. Adiknya juga rnencabut toyanya dan kini keduanya sudah saling berhadapan sambil memasang kuda"kuda dengan melintangkan toya didepan dada. Pedang mereka tadi mereka simpan kembali ke dalam sarung pedang yang berada di punggung.

   "Silakan, enci Lan!"

   Kata Kui Bi. Kui Lan mengeluarkan bentakan halus dan iapun sudah menggerakkan toyanya menyerang. Adiknya menangkis dan membalas serangan encinya dan segera terdengar suara Lak-tok-tak-tok beradunya kedua batang toya itu. Makin lama gerakan mereka semakin cepat sehingga nampak gulungan sinar putih seperti awan, dan angin menya mbar-nyambar, merontokkan daun"daun kuning di atas pohon. Itulah kiranya nama ilmu toya itu. Angin dan awan. Sinar toya itu seperti awan putih berarak, dan sambaran nya mendatangkan angin besar!

   Setelah merasa puas, keduanya menghentikan gerakan toya. Ada keringat tipis membasahi leher dan dahi ke dua orang gadis itu.

   "Omitohud, tidak sia-sia jerih payah pinceng selama dua tahun ini. Kalian telah dapat menguasai Hong-in Sin pang dengan baik!"

   Kedua orang gadis itu cepat menengok dan memberi hormat kepada hwesio bertubuh gemuk seperti Ji-lai-hud.

   Hwesio yang mulutnya sudah tidak bergigi lagi itu, yang tubuhnya gendut dan mukanya selalu tersenyum lebar, adalah Kong Hwi Hosiang, hwesio perantau yang sakti.

   "Suhu......!"

   Dua orang gadis itu mengangkat kedua tangan depan dad memberi hormat.

   "Omitohud! Kui Lan dan Kui Bi pinceng melihat bahwa kalian telah berhasil baik dan sekarang sudah tiba saatnya bagi kalian untuk meninggalkan kuil Thian-bun-tang, kecuali kalau kalian berdua ingin menjadi biarawati!"

   Kakak beradik itu saling pandang, kemudian Kui Bi mewakili encinya berkata.

   "Suhu, teecu berdua tidak ingin menjadi biarawati!"

   

JILID 08

Hwesio itu tertawa bergelak.

   "Ha ha-ha-ha, siapa yang menyuruh kalian menjadi biarawati? Akan tetapi, menjadi biarawati hanyalah merupakan tanda lahiriah belaka karena sesungguhnya, baik pendeta ataupun orang biasa, memiliki kewajiban yang sa ma dala m hidup ini, yaitu menjadi manusia yang baik dan berguna bagi ra kyat, bagi negara, dan bagi manusia sendiri. Nah, berkemaslah kalian dan hari ini juga kalian boleh meninggalkan kuil. Ingat, pergunakan semua kepandaian yang telah kalian pelajari dengan tekun untuk perbuatan yang baik dan benar. Nah, pinceng mau pergi lebih dulu!"

   Setelah berkata demikian, sekali mengebutkan lengan bajunya, hwesio itu telah lenyap dari taman itu. Kui Lan dan Kui Bi cepat menjatuhkan diri berlutut ke arah perginya guru mereka.

   "Terima kasih, suhu!"

   Seru mereka berbareng dan sikap ini saja sudah menunjukkan betapa kedua orang gadis ini telah dapat menanggalkan semua ketinggian hati yang timbul dari lingkungan keluarga mereka. Keduanya adalah puteri menteri yang berkuasa, dan sejak kecil hidup da la m ke mu liaan, kemewahan dan penghormatan. Kini, mereka tidak ragu untuk menghormati guru mereka, seorang hwesio tua yang miskin, dengan berlutut di atas tanah, tidak perduli bahwa lutut celana mereka menjadi kotor karenanya.

   Ketika mereka menghadap Pek-lian Ni-kouw, sebelum mereka melapor tentang ucapan suhu mereka tadi, Pek-lian Ni-kouw sudah mendahului mereka.

   "Omitohud......, su-pek (uwa guru) telah memberi tahu kepada pin-ni bahwa sumoi berdua akan meninggalkan kuil hari ini. Aih, betapa kuatnya ikatan batin mencengkera m perasaan manusia. Omitohud..'.... pin-ni yang sudah belasan tahun mengasingkan diri di kuil, tetapi saja masih dapat dicengkeram sehingga di saat perpisahan dengan sumoi berdua, hati ini merasa sedih dan kehilangan!"

   Nikouw itu menghela napas panjang.

   Kedua orang gadis bangsawan itu memegang tangan nikouw itu dari kanan kiri.

   "Suci, percayalah, kami berdua selamanya tidak akan dapat melupakan kebaikan suci dan kelak, kalau ada kesempatan, kami pasti akan datang berkunjung,"

   Kata Kui Lan dengan suara terharu.

   Kui Bi tertawa.

   "Aih, suci. Di mana ada pertemuan tanpa perpisahan? Justeru pertemuan menjadi peristiwa yang membahagiakan kalau didahului dengan perpisahan, bukan? Kami berterima kasih sekali kepada suci yang selama ini bukan hanya bersikap amat manis budi kepada kami., bahkan telah mengajarkan gin-kang secara, sungguh-sungguh kepada kami."

   Pek-lian Ni-kouw tersenyum dan hatinya terhibur oleh sikap lincah Kui Bi.

   "Omitohud, kenapa kita bertiga menjadi seperti tiga orang anak kecil? Hayo, kalian cepat berkemas dan berangkat selagi hari masih pagi!"

   Dengan lembut ia mendorong kedua orang sumoi nya itu yang segera memasuki kamar mereka untuk berkemas.

   Setelah dua orang gadis itu berganti pakaian, me mbawa buntalan pakaian di punggung, pedang di punggung dan muncul pula di ruangan depan, Pek-lian Ni-kouw merangkul mereka seorang demi seorang dan dengan suara agak gemetar ia berkata,

   "Lan-sumoi, dan Bi-sumoi, kalian adalah adik-adik seperguruan, akan tetapi aku merasa seolah kalian ini seperti anak-anakku atau kepona kanku send iri. Ka lian telah mempelajari banyak ilmu pembela diri yang cukup kuat, akan tetapi waspadalah selalu. Di dunia ini banyak terdapat orang jahat. Apa lagi kalian adalah dua orang gadis yang cantik jelita dan menarik. Pin-ni khawatir kalau dalam perjalanan kalian akan menemui banyakgodaan dan gangguan."

   "Harap suci tidak khawatir. Kiranya tidak percuma suhu mengajarkan ilmu kepada kami, juga suci telah mengajar kami bagaimana untuk dapat membela diri dengan baik. Kami pasti akan manipu menjaga diri, suci,"

   Kata Kui Bi.

   "Kalian sudah mendengar bahwa kota raja Tiang-an telah diduduki pemberontak. Lalu ke mana sekarang kalia hendak pergi?"

   Tanya pula Pek-lian Nikouw yang masih saja mengkhawatirkan keadaan dua orang sumoinya yang amat disayangnya itu.

   "Kami sudah mendengar bahwa Sri-baginda Ka isar bersama ayah kami dan bibi mengungsi ke barat. Kami akan menyusul ayah ke sana, suci,"

   Kata Kui Lan

   .

   "Sebaiknya begitu. Kita tidak tahu apa yang telah terjadi, hanya mendengar bahwa kota raja diduduki pemberontak dan Sribaginda melarikan diri ke barat. Mudah-mudahan saja kalian akan dapat bertemu

   dengan keluarga kalian. Pin-ni hanya akan berdoa untuk kalian berdua su moi."

   "Terima kasih, suci."

   Dua orang gadis itu lalu pergi meninggalkan kuil di mana selama lebih dua tahun mereka tinggal dan berlatih silat, diantar oleh Pek-lian Ni-kouw dan para nikouw lain sampai ke luar pekarangan kuil itu. Setelah jauh meninggalkan kuil, baru kedua orang gadis itu berhenti untuk menentukan arah ke mana mereka hendak pergi.

   "Enci Lan, apakah tidak sebaiknya kalau kita lebih dahulu pergi ke Tiang-an?"

   Kata Kui Bi ketika dua orang gadis itu duduk di tepi jalan gunung itu, di atas batu besar.

   "Aih, kenapa kesana, Bi-moi? Bukankah kota raja telah diduduki musuh? Akan berbahaya sekali kalau kita ke sana. Dan menurut berita, ayah menemani Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Sebaiknya kalau kita langsung saja menyusul ke barat."

   "Akan tetapi aku ingin sekali mengetahui apa yang telah terjadi dengan ke luarga kita, enci."

   "Kalau begitu, mari kita mencari keterangan yang jelas lebih dulu, baru kita menentukan langkah apa yang akan kita ambil "

   Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja Tiang-an. Setelah tiba di beberapa dusun dan kota, mereka mencari keterangan dan mendengar berita simpang siur tentang keluarga Menteri Yang Kok Tiong. Ada yang mengabar kan bahwa menteri itu tertawan pemberontak, ada yang mengabarkan bahwa keluarga orang tua mereka telah dibunuh pemberontak, ada pula yang mengabarkan bahwa keluarga mereka itu telah ikut mengungsi bersama kaisar.

   Kedua orang gadis itu merasa bingung dan berduka.

   "Enci Lan, sebaiknya kalau kita membagi tugas. Seorang pergi menyusul ke barat, dan seorang lagi menyelidiki ke kota raja."

   "Akan tetapi, amat berbahaya kalau memasuki Tiang-an, Bi-moi. Kalau ada yang tahu bahwa kita adalah puteri Menteri Yang, tentu pemerintah pemberontakakan menangkap kita."

   "Begini saja, enci Lan. Biar aku yang memasuki Tiang-an dan menyelidik keadaan orang tua kita. Engkau berangkatlah dulu ke barat menyusul rombongan kaisar. Tentu tidak sukar mencari jejak rombongan itu. Setelah aku mendapat keterangan di kota raja, baru aku akan menyusul pula ke sana."

   "Akan tetapi, berbahaya sekali ke Tiang-an!"

   "Aku akan berhati-hati dan menyamar, enci Lan. Pula, andaikata ada terjadi sesuatu dengan diriku, masih ada engkau di sana! Asal jangan kita berdua yang tertimpa ma lapetaka, seorang di antara kita masih akan ma mpu berjuang untuk membela Kerajaan Tang!"

   Kata Kui Bi penuh semangat.

   "Pula, bukan hanya perjalananku ke Tiang-an yang berbahaya, juga tugasmu menyusul ke barat tidak kurang bahayanya. Bahkan perjalananmu lebih jauh dan sukar dibandingkan aku. Ke Tiang-an dekat saja, akan tetapi menyusul rombongan Sri baginda ke barat? Entah sampai dimana akhir perjalanan itu. Sudahlah, enci Lan, saat ini tidak perlu kita bimbang dengan ragu dan khawatir, mari kita membagi tugas ini. Ingat akan pesan dan nasihat suhu!"

   Melihat gairah dan semangat adiknya, timbu l pula semangat Kui Lan ia memang seorang gadis yang lembut, tidak sekeras adiknya, akan tetapi pengalaman pahit membuat ia maklum bahwa ia tidak boleh terlalu lemah menghadapi kehidupan yang penuh tantangan ini. ia teringat akan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw yang mengatakan bahwa kehidupan merupakan tantangan.

   Baru dilahirkan saja seorang manusia sudah menangis, tanda bahwa dalam kehidupan dia akan menghadapi segala macam tantangan! Justeru di dalam tantangan-tantangan itulah letak seni kehidupan. Tanpa adanya tantangan, kehidupan tentu akan hambar dan tidak ada artinya Justeru dengan adanya kesukaran, kesulitan, kegagalan dan sebagainya itulah maka hidup ini terasa hidup, penuh gerak, penuh daya dan upaya. Seni hidup adalah menghadapi semua tantangan dan mengatasinya!

   Orang yang putus asa, orang yang menyerah terhadap keadaan, adalah orang yang tidak menunaikan tugas kehidupan ini. Kita dilahirkan untuk berdaya upaya menghadapi semua tantangan hidup. Pergunakan segala anggauta jasmani, segala daya akal pikiran, untuk berikhtiar mengatasi semua kebutuhan dan kesulitan hidup, itulah tugas kewajiban setiap orang manusia

   Dan semua usaha ini didasari kepercayaan, iman dan penyerahan kepada Yang Menciptakan segala yang ada, ya Yang Maha Pencipta, Maka Kuasa dan Maha Pengasih.

   "Baiklah, Bi-moi, mari kita membagi tugas!"

   Katanya dengan semangat yang mulai bangkit. Adiknya memandang dengan wajah berseri.

   "Nah, kita berpisah di sini, enci Lan. Semoga tak lama lagi kita akan dapat saling berjumpa. Kalau aku sudah mendapat tahu keadaan sebenarnya yang terjadi di kota raja, tentu aku akan segera menyusul ke barat. Entah siapa nanti yang lebih dulu dapat bertemu dengan Han-toako dan ayah ibu, aku atau engkau."

   "Selamat berpisah, adikku."

   Mereka berangkulan dan berciuman, lalu mengambil jalan masing-masing. Kui Bi menuju ke kota raja Tiang-an sedangkan Kui Lan menuju ke barat.

   Yang Kui Lan memasuki kota Liu-ba di pegunungan Cin"lingsan. Kota ini cukup ramai dan hari telah menjelang senja ketika gadis itu memasuki kota ini. Di sepanjang penjalanan ia telah mendengar ke arah mana perginya rombongan pengungsi kaisar, ia merasa ia lapar dan memasuki sebuah rumah ma kan yang berada di sudut kota. ia menga mb il keputusan untuk makan dulu, kemudian mencari penginapan dan besokpagi pagi sekali melanjutkan perjalanan.

   Rumah makan Itu tidak berapa besar, hanya ada belasan buah meja di situ, itupun tidak penuh, hanya setengah nya terisi tamu. Kui Lan memilih sebuah meja kosong, tidak memperdulikan pandang mata para tamu di tempat itu yang semua menoleh dan memandang kepadanya dengan penuh kagum.

   Memang Kui Lan seorang gadis yang cantik jelita. Wajahnya mirip sekali dengan bibinya, mendiang Yang Kui Hui, selir kaisar yang kecantikannya membuat kaisar tergila"gila. Biarpun Kui Lan sama sekali tidak menghias mukanya, tanpa bedak tanpa gincu, juga rambutnya disanggul biasa tanpa hiasan, pakaiannya juga sederhana sesuai dengan nasihat sucinya, Pek-lian Ni-kouw, namun kecantikannya yang aseli bahkan membuat semua pria di rumah makan itu, termasuk para pelayan dan pemilik rumah makan, memandangnya penuh kagum.

   Hanya ada satu orang saja di antara para tamu yang tidak memandang kepadanya, walaupun tamu itupun me lihat ia me masuki rumah makan. Tamu yang sikapnya berbeda dari yang lain ini adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana pula, namun wajah nya tampan dan gagah, sikapnya tenang dan pendiam.

   Kebetulan sekali ketika Kui Lan mengambil tempat duduk, tanpa sengaja ia duduk menghadap ke arah pemuda itu. yang juga duduknya menghadap kepadanya sehingga tanpa dapat dicegah lagi mereka saling pandang.

   Akan tetapi pemuda itu dengan sopan segera mengalahkan pandang matanya. Hal ini justeru menarik perhatian Kui Lan. Semua tamu menoleh dan memandang kepadanya dengan mata seperti srigala kelaparan, akan tetapi pemuda itu bahkan mengalihkan pandang mata! Iapun menunduk, akan tetapi kerlingnya dengan tajam kadang menyambar kearah meja di depan itu walaupun ia tidak secara langsung memandang kepada pemuda tadi.

   Pelayan datang menghampiri dan iapun memesan nasi dani dua macam sayuran. Telah dua tahun lebih ia ting gal di kuil, setiap hari pantang makan daging seperti para nikouw, maka iapun memilih sayur yang tidak mengandung banyak dagingnya, ia bukan memantang daging, hanya sudah terbiasa makan sayuran.

   Pelayan itu memandang heran. Seorang gadis yang cantik ini, memesan masakan yang begitu sederhana dan murah. Agaknya seorang gadis yang tidak membawa banyak uang, pikirnya.

   Karena Kui Lan tidak mau memperdulikan keadaan sekelilingnya, ia tidak tahu bahwa di meja sebelahnya, yang berada di belakangnya, duduk tiga orang yang dari pakaiannya dapat diketahui bahwa mereka adalah tiga orang perwira. Usia mereka antara tigapuluh sampai empatpuluh tahun, dan dari wajah mereka mudah diketahui pula bahwa mereka bukanlah bangsa pribumi, melainkan suku bangsa utara karena wajah mereka seperti wajah orang Mancu atau Uigur. Juga logat bicara mereka, biarpun menggunakan bahasa Han, kedengaran asing.

   Ketika pelayan datang mengantarkan nasi dan dua mangkok sayuran kepada Kui Lan , sebelum gadis itu mulai makan, tiba-tiba saja tiga orang perwira itu bangkit dan menghampiri meja Kui Lan. Gadis ini mengangkat muka melihat tiga orang perwira itu berdiri di depannya, terhalang meja.

   Kui Lan memandang mereka dengan sinar mata bertanya, tanpa mengeluarkan sepatahpun kata. Gadis ini memang berwatak lembut, tidak seperti adiknya yang tentu akan segera membentak dalam keadaan seperti itu.

   Melihat gadis jelita itu hanya memandang dan tidak kelihatan marah dengan kemunculan mereka, tiga orang perwira itu menganggap bahwa gadis itu merupakan makanan lunak bagi mereka. Seorang di antara mereka, yang kumisnya melintang panjang kecil, menyeringai, memperlihatkan deretan gigi kuning yang tidak rata, lalu berkata dengan suara yang terdengar amat ramah.

   "Nona, orang secantik nona tidak sepatutnya makan nasi dengan sayur saja tanpa daging. Marilah, nona, kami bertiga mengundang nona untuk makan di meja kami. Kami sediakan hidangan yang paling lezat untuk nona, juga anggur manis yang harum."

   Di dala m hatinya, Kui Lan marah kepada tiga orang yang lancang berani menegur seorang gadis yang tidak mereka kenal, akan tetapi karena ucapan si kumis panjang itu ramah, iapun menggeleng kepala tanpa menjawab, lalu mengambil sepasang sumpit di tangan kanan, dan mengangkat mangkok nasi di tangan kiri, mulai akan makan tanpa memperdulikan mereka.

   "Ah, agaknya nona ini malu-malu,"

   Kata perwira ke dua yang tubuhnya tinggi besar dan matanya melotot lebar.

   "Kalau begitu, biarlah kami bertiga yang pindah ke meja mu, nona. Heiii pelayan! Pindah-pindahkan hidangan kami ke meja ini !"

   Pelayan datang berlarian dan tiga orang perwira itu kini duduk di seputar meja Kui Lan, ketiganya menyeringai dan mata merekpun memandang wajah Kui Lan seperti hendak menelannya bulat-bulat.

   Kui Lan mulai marah, akan tetapi ia masih menahan sabar. Ia menyambar buntalan pakaiannya, dan membawa mangkok nasi dan mangkok sayurannya, lalu ia berjalan menuju ke meja lain yang kosong, dekat dengan meja pemuda yang tadi mengacuhkannya, lalu duduk dan mulai makan nasi dan sayurannya, tanpa memperdulikan tiga orang perwira itu.

   Perwira ke tiga, yang tinggi kurus dan mukanya kuning pucat seperti orang berpenyakitan, menjadi marah. Dengan langkah lebar dia menghampiri meja Kui Lan.

   "Heii, nona sombong! Bu ka mata mu ba ik-baik. Ka mi adalah tiga orang perwira dari kerajaan baru! Berani engkau menolak undangan kami, bahkan tidak memperdulikan kami?"

   Kui Lan bangkit berdiri, ia memang tidak pandai bicara, juga merasa segan untuk bertindak kasar, akan tetapi kemarahan membuat ia menekan sepasang sumpit dengan tangan kanannya sepasang sumpit itu a mblas masuk kedala m meja sampai tembus!

   "Aku tidak sudi dipaksa oleh apapun!"

   Katanya dan ia mengeluar sepotong uang perak dari buntalannya dan sekali banting, potongan perakpun a mblas masuk ke dala m meja yang tebal itu. Kemudian, ia menyambar buntalannya dan pergi men inggalkan ru mah makan itu tanpa berkata apapun!

   Tiga orang perwira itu menyaksikan demonstrasi tenaga sinkang gadis cantik itu. Akan tetapi, agaknya mereka masih merasa penasara apa lagi merasa malu melihat betapa depan umum seorang gadis Han berani menolak undangan mereka. Itu bagi mereka merupakan penghinaan yang besar!

   Sebagai anggauta pemberontak yang merasa menang, tentu saja mereka merasa berkuasa dan setiap orang rakyat harus tunduk dan taat kepada mereka! Mereka lalu melangkah keluar, menggapai belasan orang perajurit anak buah mereka yang menanti di luar rumah makan, kemudian mereka memimpin belasan orang perajurit itu untuk melakukan pengejaran pada gadis yang nampak berjalan keluar dari pintu kota Liu-ba.

   Kui Lan memang merasa jengkel sekali dan peristiwa di rumah makan tadi membuat ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perja lanan saja dan ka lau perlu bermala m di luar kota karena ia merasa tida k senang lagi tinggal di kota itu. Akan tetapi belu m lama dia keluar dari pintu gerbang kota itu, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan belasan orang berkuda mengepungnya. Mereka itu berloncatan turun dan ia melihat bahwa tiga orang perwira yang tadi, memimpin belasan orang perajurit, telah mengepung nya.

   Tiga orang perwira itu menghadang Kui Lan yang bertanya dengan lembut.

   "Kalian ini mau apa menghadang dan mengepung ku?"

   "Ha-ha-ha, nona manis. Engkaulah bersikap kurang ajar dan mengh ina ka mi. Mudah saja bagi ka mi untuk menuduh mu

   pemberontak dan membunuhmu sekarang juga. Akan tetapi kalau engkau suka minta maaf dan mau mene mani bersenang-senang mala m ini, engkau akan ka mi maafkan,"

   Kata si kumis panjang.

   Kedua pipi yang putih halus menjadi merah sekali dan sepasang mata yang indah itu kini mencorong.

   "Engkau biadab dan jahat!"

   Katanya.

   "Heh,heh, makin marah semakin manis!"

   Kata si kumis melintang dan tiba-tiba saja kedua tangannya bergerak ke depan, ke arah dada Kui Lan! Gadis ini tidak mampu menahan kesabarannya lagi. ia melangkah mundur dengan gerakan seringan burung dan begitu ka-kinya meluncur ke bawah,sepatunya telah menyambar dagu si kumis panjang dengan tenaga dahsyat.

   "Krekk........!!"

   Bagaikan disambar petir, si kumis melintang,terjengkang dan terbanting, roboh terlentang dengan mata terbelalak dan mulut berdarah, tulang rahangnya patah! Dia hanya mampu merintih-rintih.

   "Gadis pemberontak!"

   Bentak dua orang rekannya.

   "Tangkap pemberontak ini!"

   Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Kalian manusia taki tahu malu!"

   Dan sesosok tubuh berkelebat, menerjang orang-orang di sekeliling Kui Lan dan empat orang telah roboh terpelanting.

   Si tinggi besar dan si muka kuning memandang dan mereka melihat seorang pemuda berdiri di depan mereka. Kui Lan juga mengenal pemuda itu. Bukan lain adalah pemuda yang tadi duduk di rumah makan, yang berbeda dengan orang lain,sama sekali tidak mengacuhkannya, bahkan ketika bertemu pandang, segera mengalihkan pandang matanya.

   "Siapa kau? Pemberontak pula?!"

   Bentak si tinggi besar. Akan tetapi si muka kuning terbelalak memandang pemuda itu.

   "Engkau...... bukankah engkau.. Sia-ciangkun....??"

   Si tinggi besar terkejut mendengar ucapan rekannya dan kini diapun mengenal pemuda itu. Kalau tadi dia mengenalnya adalah karena pemuda itu berpakaian biasa, sedangkan dia mengenalnya sebagai seorang panglima yang selalu berpakaian seragam.

   "Sia-ciangkun......, ga.....gadis ini..... ia seorang pemberontak...."

   Katanya dan sikapnya seperti orang ketakutan.

   "Tutup mulutmu!"

   Bentak pemuda itu dan sikapnya sungguh amat berwibawa, seperti sikap seorang atasan terhadap anak buahnya.

   "Kalian kira aku tidak mengetahuinya? Sejak di rumah makan aku sudah melihat dan mendengar kalian mengganggu nona ini dan sekarang kaukatakan ia pemberontak. Ulah kalian tidak seperti perwira,sepantasnya menjadi buaya-buaya darat rendahan!"

   Setelah berkata demikian, dengan cepat sekali tubuhnya bergerak. Si tinggi besar dan si muka kuning mengaduh dan terpelanting, dan semua perajurit yang tadi mengepung Kui Lan juga seorang demi seorang terpelanting keras dihajar oleh pemuda itu.

   Kui Lan berdiri dengan pandang mata penuh kagum. Pemuda itu memang hebat, pikirnya. Wajahnya tampan,sikapnya gagah perkasa, juga jelas baik budi dan adil, dan melihat gerakannya tadi, tentu memiliki ilmu silat yang tangguh.

   Pemuda itu memandang marah kepada belasan orang yang sudah dirobohkan semua.

   "Nah, sekarang pergilah kalian.Kalau sekali lagi aku memergoki kaliai berbuat jahat, tentu takkan kuampun lagi. Pergi!"

   Bagaikan sekawanan anjing ketakutan, belasan orang itu merangkak pergi.

   "Nona, maafkanlah mereka. Memang mereka itu orang orang kasar yang sudah sepantasnya menerima hajaran

   keras,"

   Kata pemuda itu, kini berhadapan dengan Kui Lan dan memberi hormat.

   Kui Lan cepat membalas penghormatan itu.

   "Terima kasih,"

   Gadis ini merasa rikuh dan salah tingkah, kedua pipinya kemerahan. Akan tetapi, diam diam ia merasa penasaran karena tadi mendengar betapa si tinggi besar menyebut pemuda ini Sia-ciangkun, berarti bahwa pemuda ini juga

   seorang perwira pasukan pemberontak An Lu Shan yang telah menduduki kota raja!

   "Apakah mereka itu anak buahmu dan kau............ seorang perwira?"

   Gadis itu mengangkat muka memanjang dan dua pasang mata bertemu panjang. Menghadapi pandang mata yang lembut namun tajam penuh selidik itu, si pemuda nampak gugup juga. Pemuda perkasa yang tidak pernah gentar menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, kini menjadi gugup begitu pandang matanya bertemu dengan sepasang mata yang amat jeli dan lembut, amat indah namun juga begitu tajam sinarnya!

   Kembali pemuda ini mengangkat ke dua tangan memberi hormat dan berkata,

   "Dugaanmu memang benar, nona. Namaku Sia Su Beng dan aku memang seorang.... panglima kerajaan......."

   "Ahhh.....!"

   Tentu saja Kui Lan merasa tidak senang dan mengerutkan alisnya, akan tetapi ada sesuatu yang menarik dalam ucapan pemuda itu. Ketika mengaku dirinya sebagai panglima kerajaan, pemuda itu kelihatan ragu dan juga sungkan atau malu-malu!

   "Nona, harap jangan salah sangka!"
Katanya cepat.

   "Biarpun aku seorang panglima, namun sesungguhnya aku menentang pemberontakan An Lu Shan.."

   "Ssttt.....!"

   Kui Lan merasa khawatir kalau-kalau ucapan itu terdengar orang lain dan ia memandang ke sekeliling.

   "Nona, begitu engkau melawan tga orang perwira dan pasukannya tadi aku sudah menduga bahwa engkau tentulah seorang yang menentang pemerintah baru."

   "Ciangkun......"

   "Aih, nona, jangan sebut aku ciangkun."

   "Mari kita bicara di tempat lain, di sini merupakan jalan raya,"

   Kata Kui Lan dan Sia Su Beng mengerti akan maksud gadis itu.

   Dia mengangguk lalu mengajak gadis itu meninggalkan jalan raya dan tak lama kemudian mereka sudah duduk berhadapan di atas batu, di sawah ladang yang sunyi dan dari tempat itu mereka dapat melihat kesekeliling yang terbuka sehingga mereka tidak perlu takut diintai dan didengar orang lain.

   "Nona, aku telah memperkenalkan diri. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nona? Kulihat nona memiliki ilmu silat yang tangguh."

   Kui Lan sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka berdua tidak akan mengganti nama, akan tetapi akan menanggalkan nama keluarga mereka agar tidak dikenal orang.

   "Nama keluargaku Kui dan namaku Lan,"

   Jawabnya.

   "Nona Kui Lan , nama yang indah sekali!"

   Kata pemuda itu sambil tersenyum dan Kui Lan mencatat lagi sifat yang menarik pemuda itu di samping ketampanan dan kegagahannya, yaitu pemuda ini pandai bicara dan pandai pula merayu!

   "Kalau boleh aku mengetahui, nona dari perguruan manakah?"

   Kui Lan tersenyum dan Sia Su Beng merasa jantungnya seperti akan copot. Senyum itu demikian manisnya!

   "Maaf , ciangkun........"

   "Aduh, nona Kui Lan , jangan sebut aku dengan pangkat yang menyakitkan hati itu."

   "Akan tetapi seorang panglima."

   "Itu hanya demi perjuangan menentang pemberontak An Lu Shan, harap sebut saja namaku atau cukup dengan toako (kakak) saja"

   "Tapi engkaupun menyebutku nona,"

   Kata Kui Lan, diam diam merasa heran mengapa ia dapat begini akrab dengan cepatnya.

   "Baiklah, aku siauw-moi (adik) dan engkau menyebutku toako. Nah, lanjutkan ceritamu, siapakah gurumu dan engkau dari perguruan mana Lan-moi (adik Lan)?"

   Kui Lan merasa berdebar mendengar sebutan itu, entah mengapa, sebutan itu biasa saja tetapi keluar dari mulut pemuda itu terdengar demikian mesra dan indah!

   "Maaf,.... toako. Aku bukan dari perguruan manapun, dan terus terang saja, suhuku melarang aku memperkenalkan namanya, harap engkau maklum "

   Tentu saja Kui Lan mengatakan demikian hanya untuk menyembunyikan keadaan dirinya.

   "Ah, tidak mengapa, Lan-moi. Memang, sebagai seorang gadis sepertimu ini, tentu saja tidak semestinya kalau baru saja bertemu lalu menceritakan segala sesuatu mengenai dirimu. Baiklah aku yang akan lebih dulu memperkenalkan keadaanku. Sejak muda sekali aku telah menjadi perwira dan aku ditugaskan di utara, dibawah perintah komandanku, yaitu panglima An Lu Shan. Aku mengikuti setiap perkembangan dan mengetahui semua gerakannya, dan sebetulnya aku sama sekali tidak setuju ketika dia menggerakan pasukan untuk memberontak dan menggulingkan Kerajaan Tang."

   "Akan tetapi kenyataannya, sekarang An Lu Shan telah menggulingkan Kerajaan Tang dan engkau tetap....."

   "Kenapa tidak kau lanjutkan, Lan-moi? Katakan saja bahwa kenapa aku tetap menjadi panglimanya, berarti aku membantu pemberontakannya? Memang aku akui hal itu. Habis, apa yang dapat di lakukan seorang bawahan seperti aku? Terpaksa aku membiarkan dia melakukan pemberontakan. Akan tetapi, diam-diam aku selalu mencari kesempatan untuk mengguling kannya, bahkan kalau mungkin membunuhnya.Diam-diam aku mulai menghimpun tenaga untuk menguasai pasukan, dan mengadakan pendekatan dengan para perwira yang diam-diam masih setia kepada Kerajaan Tang. Nah. aku sudah membuka semua rahasiaku kepadamu, nona eh, adik Lan."

   Kui Lan merasa senang bukan main. Pemuda ini jelas tidak berbohong, dan mengapa begitu percaya kepadanya sehingga membuka rahasia yang dapat membahayakan nyawanya itu? Kalau sampai rahasia itu ketanuan, tentu pemuda akan celaka! Ia merasa girang telah di percaya sedemikian rupa.

   "Terima kasih atas kepercayaan-toako, dan maafkan keraguanku tadi.Sekarang aku mengerti dan aku tidak menyalahkanmu, bahkan aku kagum sekali akan usahamu menghancurkan pemberontak. Engkau seorang gagah yang setia kepada kerajaan."

   "Dan bagaimana dengan engkau sendiri, Lan-moi? Engkau seorang gadis yang cantik jelita dan berilmu tinggi. Hendak kemana dan dari manakah? Tentu saja kalau aku boleh mengetahui...."

   Kui Lan menghela napas panjang. Biarpun ia sudah percaya kepada pemuda yang menarik perhatiannya ini, yang amat dikaguminya, akan tetapi ia sudah bersepakat dengan adiknya bahwa mereka harus merahasiakan keluarga mereka dari siapapun juga. Bukan saja karena ayah mereka adalah Menteri Yang Kok Tiong yang terkenal, akan tetapi lebih dari itu, bibinya adalah selir yang Kui Hui yang lebih terkenal lagi! ia bahkan merasa malu untuk mengakui bahwa ia adalah keponakan dari Yang Kui Hu!

   "Aku hendak menyusul ayah ke barat."

   "Aih, di manakah ayahmu itu, Lan moi?"

   "Ayahku mengawal Sri baginda mengungsi ke barat."

   Lega rasa hati Kui Lan karena bagaimanapun juga, ia tidak lah sama sekali berbohong. Ayahnya memang mengikuti kaisar mengungsi, ia tidak berbohong, yang dirahasiakannya hanyalah keluarganya.

   Pemuda itu nampak terkejut.

   "Ah, kiranya ayahmu seorang pengawal Sribaginda! Kiranya keluargamu juga keluarga yang setia kepada Kerajaan Tang. Aku girang dan bangga sekali dapat berkenalan denganmu, Lan-moi. Kalau begitu, jalan yang kita tempuh mempunyai tujuan yang sama, yaitu menentang pemberontak An Lu Shan dan menegakkan kembali Kerajaan Tang. Hanya kita berbeda cara dan jalan.Aku yakin kelak kita akan dapat saling bantu dalam perjuangan kita."

   "Mudah-mudahan begitu, toako. Sekarang malam hampir tiba, aku harus melanjutkan perjalanan."

   Gadis itu bangkit berdiri.

   Sia Su Beng termenung dan menghela ia napas.

   "Entah mengapa, tiba-tiba saja aku merasa kehilangan dan berduka,Lan-moi, seolah aku akan berpisah dengan seorang sahabat yang sudah lama kukenal. Sayang sekali bahwa jalan kita bersimpang, engkau ke barat dan aku kembali ke kota raja.Akan tetapi, aku selamanya tidak akan melupakanmu, Lanmoi."

   "Terima kasih, engkau baik sekali, toako. Akupun.... tidak akan lupa kepadamu."

   "Jaga dirimu baik-baik, Lan-moi."

   Setelah sejenak saling pandang dengan sinar mata yang membawa serta seribu satu macam perasaan, kedua orang muda itupun saling memberi hormat dan berpisah. Namun,keduanya melangkah seperti orang yang lesu dan kehilangan, saling membayangkan wajah masing-masing. Tanpa mereka sadari, kedua insan itu telah saling jatuh cinta!

   Malam Itu gelap dan dingin, apa lagi hujan rintik-rintik sejak senja tadi membuat orang enggan keluar dari dalam rumah. Kota raja nampak sunyi dan hanya orang-orang yang mempunyai keperluan penting saja memaksa diri ke luar rumah, mengenakan baju tebal dan melindungi kepala dengan payung.

   Di tempat yang biasanya ramai di kunjungi orang saja, seperti di rumah makan, di toko-toko, malam itu sepi sekali. Apa lagi di tanah kuburan umum itu. Sunyi dan bahkan menyeramkan. Pada malam terang bulan saja, jarang ada orang berani memasuki tanah kuburan yang hanya ramai dikunjungi pada hari-hari tertentu saja, itupun di siang hari di mana keluarga si mati datang untuk bersembahyang. Akan tetapi pada malam gelap dingin dan gerimis itu, tak seorangpun yang sehat akalnya akan mau masuk ke dalam tanah kuburan.

   Akan tetapi, pada malam yang menyeramkan itu, Yang Kui Bi berlutut d depan sebuah kuburan dan menangis terisakisak. ia mencoba untuk menahan agar t idak mengeluarkan suara terlalu keras, akan tetapi tetap saja ia memanggilmanggil ibunya sambil menangis.

   Membayangkan ibunya membunuh diri ketika rumah mereka diserbu pemberontak dan ibunya terancam oleh para penyerbu untuk diperkosa! Siang tadi, setelah beberapa hari berada di kota raja, ia berhasil menemukan seorang wanita tua bekas seorang di antara pelayan keluarga mereka dan dari pelayan inilah ia mendengar segalanya. Ayahnya pergi mengikuti kaisar mengungsi, akan tetapi ibunya tidakmau meninggalkan rumah karena menanti kembalinya kakaknya, Yang Cin Han, ia sendiri dan enci nya.

   Dan ibunya berada di rumah ketika kota raja diserbu dan rumah merekapun diserbu pemberontak.la harus menahan hatinya siang tadi, menanti sampai malam tiba baru ia datang ke tanah kuburan umum dan mengunjungi makam ibunya. Sebuah makam biasa saja, seperti kuburan penduduk biasa! Pada hal ibunya adalah seorang nyonya menteri!

   "Ibu..... maafkan aku, ibu....."

   Ia tersedu.

   Tiba-tiba, pendengarannya yang tajam menangkap gerakan tajam menangkap gerakan orang di belakangnya.

   Cepat sekali, tubuh yang tadi nya berlutut di atas tanah yang becek oleh air hujan itu melompat,memutar tubuh dan ia sempat melihat sesosok bayangan menyelinap pergi. Kedukaan yang mendalam membuat Kui Bi mendendam dan marah sekali kepada pemberontak yang telah menghancurkan keluarga orang tua nya dan membuat ibunya membunuh diri. ia menduga bahwa yang melihat dan mendengarnya tadi tentulah orangnya pemberontak atau pemerintah yang baru.

   Maka, kemarahannya ditimpakan kepada bayangan itu dan dengan gerakan bagaikan seekor burung walet keluar diri dalam guha, iapun melompat ke arah bayangan tadi dan langsung saja menyergap dengan tamparan ke arah pelipis

   orang itu.

   "Wuuuttt.... plakkk!"

   Tamparan itu tertangkis dan ternyata bayangan itu memiliki tenaga yang cukup kuat sehingga tangan Kui Bi yang menampar tadi tertangkis dan terpental.

   Gadis itu menjadi semakin marah. Begitu kedua kakinya turun ke atas tanah, iapun sudah mencabut pedangnya dan menyerang bayangan hitam itu.

   Terjadilah perkelahian seru ketika bayangan itu menggunakan sebuah tongkat melakukan perlawanan dan ternyata lawan yang diserang Kui Bi itupun lihai bukan main. Malam itu gelap sekali dan hanya sekali-kali ada cahaya kilat di angkasa. Perkelahian itu lebih dikendalikan oleh ketajaman pendengaran mereka.

   Bayangan itu menangkis dan mengelak, juga balas menyerang sambil mundur sehingga tiba di pintu gerbang tanah kuburan, di mana terdapat sebuah lampu gantung yang memberi penerangan yang redup dan lemah sekali, namun cukup bagi mereka untuk dapat melihat bayangan masingmasing.

   Kui Bi tidak dapat melihat wajah orang itu, akan tetapi dari bentuk tubuhnya, ia dapat menduga bahwa lawannya seorang laki-laki yang tubuhnya sedang.

   Akan tetapi yang membuatnya ia penasaran adalah kecepatan gerakan orang itu yang ternyata biarpun tidak seringan gerakannya sendiri, orang itu dapat menghalau setiap erangannya.

   Seolah lawan yang amat lihai! Dan ilmu tongkat orang itupun aneh dan berbahaya sekali, maka ia harus mengubah gerakan pedangnya, tidak sepenuhnya mengandalkan ilmu pedang Sian-li Kiam-sut, melainkan dicampur dengan gerakan Hong-in Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) yang seharus nya dimainkan dengan toya, akan tetapi terpaksa ia mainkan dengan pedangnya, dan berulang-ulang terdengar suara kaget dan kagum dari lawannya.

   Tiba-tiba di angkasa terdengar ledakan keras menyusul cahaya kilat yang amat terang. Biarpun hanya beberapa detik,namun cukup bagi kedua orang tu untuk saling melihat muka dan Kui Bi cepat menahan serangannya dan berseru,

   "Hankoko.......?!"

   Pemuda itu tertawa dan suara tawa ini meyakinkan hati Kui Bi bahwa ong yang diserangnya tadi memang kakaknya, Yang Cin Han!

   "Bi-moi,ilmu silatmu sekarang hebat!"

   "Han-koko...... ah, Han-koko. ibu kita....."

   Gadis itu menubruk menangis tersedu-sedu dalam rangkulan kakaknya.

   Cin Han mencoba untuk menahan hatinya, akan tetapi tetap saja dua matanya menjadi basah. Dia membiar kan adiknya menangis di dadanya dan air mata adiknya itu turun seperti hujan rintik-rintik. Kemudian, setelah membiarkan Kui Bi menangis beberpa saat lamanya, dia mngusap kepala adiknya dan suaranya terdengar gembira.

   "Adikku yang manis, di mana kegagahanmu? Engkau sudah demikian tangguh sekarang, akan tetapi malah bertambah cengeng! Ibu memang sudah meninggal dunia, akan tetapi itu sudah takdir Tuhan, tidak ada gunanya ditangisi! Hentikan tangismu! "

   Kui Bimemang memiliki hati keras, maka ia segera dapat memulih hatinya dan kini mereka berdua mencari perlindungandi bawah atap seng makamyng lebih terawat.

   Pertemuan itu setidaknya merupakan hiburan bagi Kui Bi, dan mereka saling bertanya, lalu saling menceritakan pengalaman masing-masing. Kui Bi girang mendengar bahwa kakaknya ini telah menjadi murid Sin-tung Kai-ong, pengemis sakt i yang pernah mengajarkan Sian-li Kiam-sut kepada ia dan encinya, dan sebaliknya, Cin Han kagum mendengar bahwa kedua orang adiknya menjadi murid seorang hwesio sakti.

   "Akan tetapi, di mana Lan-moi? kenapa tidak bersamamu di sini?"

   Tanya Cin Han.

   "Kami memutuskan untuk membagi tugas dan berpisah,koko. Enci Lan pergi ke barat menyusul rombongan Kaisar ketika kami mendengar bahwa ayah ikut Kaisar mengungsi ke barat, sedangkan aku ke kota raja ini untuk melihat keadaan keluarga kita. Sungguh menyedihkan mendengar bahwa ibu telah meninggal dunia, membunuh diri ketika rumah kita diserbu pemberontak.

   Mudah-mudahan saja ayah yang mengikut i kaisar kebarat dalam keadaan selamat dan...... kenapa, Han-ko?"

   Kui Bi bertanya ketika tiba-tiba lengannya dipegang oleh jari-jari tangan kakaknya dengan kuat.

   "Adikku, apakah engkau ini masih adikku Kui Bi yang tabah dan pemberani, tidak cengeng dan periang, lincah Jenaka dahulu itu?"

   "Ihhh! Engkau ini aneh saja, Han ko. Tentu saja aku masih seperti dulu!"

   "Kalau begitu, kuatkan hatimu dan dengar baik-baik,"

   Kata Cin Han masih tetap memegang lengan adiknya.

   "Ayah kita telah.... tewas pula dalamperjalanan ke barat......"

   "Ayah......!!"

   "Bi-moi, ah, Bi-moi.....!"

   Cin Han cepat memeluk adiknya karena tiba tiba tubuh adiknya itu menjadi lemah dan terkulai dalam pelukannya. Pingsan.

   Sekuat-kuatnya hati Kui Bi, baru saja ia menangisi kematian ibunya depan makam yang tak terawat, sekarang tiba-tiba saja mendengar bahwa ayahnya juga telah tewas, maka ia tidak kuat dan roboh pingsan.

   Cin Han menolong adiknya dan setelah menotok beberapa jalan darah gadis itu siuman kembali dan mereka berdua kembali menangis. Akan tetapi hanya sebentar Kui Bi menangis.

   "Koko, ceritakan bagaimana ayah tewas...."

   Katanya lirih,

   "Aihhh, sejak dulu aku telah mengkhawatirkan kedudukan ayah yang tdak wajar, hanya karena pengaruh bibi Yang Kui Hui,"

   Katanya.

   Kemudian dia menceritakan seperti apa yang didengar nya tentang ayahnya dan bibinya. Bahwa pasukan yang mengawal kaisar melarikan diri semakin tidak senang dan curiga kepada Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap biang keladi keruntuhan Kerajaan Tang, kemudian mengeroyok menteri itu sampai tewas.

   Kemudian diceritakannya pula bahwa bibi mereka, Yang Kui Hui, juga mati menggantung diri di depan orang banyak sebagai hukuman yang dipaksakan pasukan kepada kaisar mereka.

   Setelah Cin Han berhenti bercerita, keduanya berdiam diri sampai lama. Hanya kadang terdengar tarikan napas panjang mereka berdua karena mereka merasa berduka, menyesal dan juga menyadari bahwa semua peristiwa itu memang bersumber dari bibi mereka, Yang Kui Hui. Andaikata bibi mereka itu dahulu tidak melindungi An Lu Shan ketika dilaporkan ayah mereka kepada kaisar, tentu tidak akan terjadi pemberontakan itu.

   "Semua ini gara-gara si jahanam An Lu Shan! Aku akan membunuhnya, ko-ko!"

   Tiba-tiba Kui Bi berkata dengan penuh semangat.

   "Hushhh, kaukira begitu mudah membunuh dia? Dia sekarang telah menjadi seperti seorang kaisar, tinggal di istana, dijaga oleh pasukan pengawal. Jangan bertindak sembarangan dan mencelakai diri sendiri, adikku."

   "Han-koko, lalu apa yang harus kita lakukan? Apakah kita akan berdiam diri saja menangisi malapetaka yang menimpa keluarga kita dan Kerajaan Tang, tanpa melakukan apa-apa karena kita takut celaka?"

   "Bukan begitu maksudku, Bi-moi. Tentu saja kita harus melakukan sesuatu, yaitu kita harus membantu Kerajaan Tang untuk bangkit kembali. Kita harus membantu untuk menentang An Lu Shan dan menghancur kannya. Tentu saja kita tidak dapat bertindak sendiri menghadapi pasukannya yang ratusan ribu orang banyaknya. Aku mendengar bahwa Gok-hong-cu hilang. Itu hanya desas-desus, akan tetapi aku ingin membantu Kerajaan Tang untuk mendapatkan kembali Mestika Burung Hong Kemala itu. Kabarnya, Sri baginda menitipkan kepada ayah, akan tetapi ketika ayah meninggal, tidak ada yang tahu di mana mestika itu disembunyikan. Lalu, aku mendengar desas-desus bahwa Bouw Koksu hendak mengirim pasukan khusus untuk mencari pusaka itu. Agaknya dia telah mengetahui tempatnya, maka aku akan membayangi pasukan itu dan kalau mungkin aku akan merampas mestika itu dari tangan mereka !"

   Kui Byang sejak tadi termenung memikirkan sesuatu,mengangguk.

   "Baiklah, kita sama-sama membantu Kerajaan Tang dengan cara kita sendiri, koko. Apakah di kota raja ini terdapat orang yang bisa dipercaya dan masih setia kepada Kerajaan Tang?"

   "Banyak, Bi-moi. Banyak kawan-kawan kita dan mereka itu diam-diam juga sudah siap untuk bergerak menentang An Lu Shan kalau saatnya tiba."

   "Bagus! Kalau begitu, antarkan aku kepada mereka, koko.Aku ingin bergabung dengan mereka menentang si jahanam An Lu Shan!"

   "Baik, Bi-moi, akan tetapi hati-hati, jangan engkau bertindak sembrono dan berusaha membunuh sendiri An Lu Shan. Itu berbahaya sekali dan engkau takkan berhasl."

   "Aihh, Han-ko, apakah kaukira adikmu ini masih kanak kanak Aku bukan anak kecil lagi, Han-ko. Aku dapat menjaga diri dan akan berlaku hati-hati."

   Malam itu juga, Cin Han mengajak adiknya ke sebuah rumah besar milik Ji Siok, seorang hartawan yang karena pandai mempergunakan hartanya, maka dia sekeluarga dapat hidup aman dan selamat dari serbuan pasukan pemberontak. Bahkan dengan hartanya, Ji Siok yang disebut Ji-wangwe (Hartawan Ji) kini dapat bergaul dengan para pejabat tinggi yang baru.

   Tidak ada seorangpun dapat mengetahui isi hatinya bahwa dia sebetulnya merupakan seorang yang setia kepada Kerajaan Tang! Ji-wangwe ini pula yang diam-diam membiayai para pendukung Kerajaan Tang yang diam-diam mempersiapkan diri untuk bergerak apabila saatnya tiba, yaitu apa bila pasukan Kerajaan Tang datang menyerbu Tiang-an untuk merampas kembali tahta kerajaan yang direbut oleh An Lu Shan.

   Ji-wangwe yang tidak mempunyai anak, bersama isterinya menyambut kunjungan Cin Han malam itu dengan gembira. Mula-mula, ketika Cin Han datang beberapa pekan yang lalu, Ji-wangwe menyambutnya dengan alis berkerut.

   Mengetahui bahwa Cin Han adalah putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong yang dianggap melemahkan Kerajaan Tang, mendatangkan rasa tidak senang dan kecurigaan. Akan tetapi setelah Cin Han, menjelaskan bahwa dia sendiri bersama para adiknya tidak senang dengan kedudukan ayah mereka, tidak suka pula kepada sepak terjang bibinya yang mempergunakan kecantikan mempengaruhi kaisar dan mengadakan hubungan dengan An Lu Shan Ji-wangwe dapat menerimanya. Maka, ketika Cin Han malam itu muncul dan memperkenalkan Yang Kui Bi, adiknya, gadis itupun diterima dengan ramah oleh Jiwangwe.

   "Jangan khawatir, kongcu,"

   Kata hartawan itu kepada Cin Han.

   "Biarkan adikmu tinggal di sini, akan kami perkenalkan sebagai keponakan kami dari selatan, ia memakai she Kui dan bernama Bi, Baik, akan kami katakan bahwa ia anak dari seorang adik piauw (misan) kami di selatan."

   Hartawan Ji senang sekali ketika mendengar bahwa Ku Bi adalah seorang gadis yang juga memliki ilmu silat tinggi, bahkan yang bertekad untuk membantu perjuangan menentang An Lu Shan yang amat dibencinya.

   "Dan bagaimana dengan rombongan Bouw Koksu, paman Ji? Apakah sudah-ada berita tentang keberangkatan mereka?"

   Tanya Cin Han.

   Dari pertanyaan ini saja, tahulah Kui Bi bahwa agaknya hartawan ini memegang kedudukan penting di kalangan mereka yang mendukung kerajaan Tang sehingga merupakan sumber percarian berita.

   "Sudah ada ketentuan. Mereka akan berangkat besok pagi-pagi. Bouw Koksu sendiri tidak pergi, akan tetapi puteranya, Bouw-ciangkun yang akan pergi bersama dua losin pasukan khusus yang pilihan, dan kabarnya dia akan di ditemani oleh seorang gadis yang memiliki ilmu silat lihai sekali. Karena itu,engkau harus berhati-hati, kongcu."

   Cin Han mengangguk-angguk. Dia sudah tahu siapa Bouwciangkun, seorang perwira muda bangsa Khitan yang berhati keras. Malam itu, kakak beradik itu melanjutkan percakapan mereka, membicarakan segala pengalaman mereka, dan sekali ini, Ji-wangwe ikut dalam percakapan mereka sehingga hartawan ini semakin yakin bahwa para putera dan puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong ternyata merupakan orang-orang muda yang gagah perkasa, berjiwa pendekar dan juga setia kepada Kerajaan Tang.

   Mereka berdua ini saja dapat merupakan pembantu yang boleh diandalkan, pikirnya girang.

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Cin Han sudah meninggalkan rumah itu dalam pakaian seperti seorang pengemis muda. Tak lama kemudian, dia sudah membayangi rombongan pasukan yang dipimpin oleh Bouw Ki yang ditemani oleh Can Kim Hong. Rombongan ini menunggang kuda, akan tetapi tidak sukar bagi Cin Han untuk dapat terus membayangi mereka dengan mempernunakan ilmu berlari cepat. Ketika rombongan berkuda itu menyusuri tepi sungai Yang-ce, lebih mudah lagi baginya untuk membayangi.

   Dia menggunakan sebuah perahu kecil yang dibelinya dari seorang nelayan. Kini dia dapat membayangi rombongan itu dengan seenaknya, diatas perahu sehingga dia tidak terlalu banyak mengeluarkan tenaga.

   Souw Hui San berdiri menghadapi tebing gunung karang dan memandang dengan kagum ke arah guha-guha yang berjajar seperti sumur miring itu. Betapa hebat dan megahnya alam, pikirnya.

   Betapa sakti dan mahakuasanya Sang Pencipta semua ini! Dan diapun kagum akan kecerdikan mendiang Menteri Yang Kok Tiong, yang telah menyembunyikan benda pusaka Kerajaan Tang itu di salah satu di antara guha-guha itu.

   Guha ke tiga memang merupakan guha paling kecil dan paling tidak mengesankan, tidak menarik perhatian orang untuk mendekatinya. Selain jalan menuju ke guha ke tiga itu harus memaniat batu karang licin, juga banyak batu terlepas sehingga berbahaya.

   Hui San adalah seorang pendekar Gobi-pai yang cerdik dan biarpun dia memiliki watak yang nakal dan ugal-ugalan, akan tetapi dia cermat dan waspada.

   Setelah menemukan tempat itu, dengan cara yang tidak menyolok seperti seorang pelancong yang tersesat ke tempat ini, dia menemukan guha-guha itu.

   Akan tetapi, walaupun sejak tadi dia tidak bertemu orang di daerah pegunungan itu, juga tidak melihat adanya orang yang membayanginya, dia tidak tergesa-gesa menghampiri guha. Kegirangan telah bertemu dengan tempat itu tidak membuatnya lengah. Dia lalu menyelinap ke balik sebuah batu karang, lalu dengan gerakan cepat sekali dia mendaki puncak bukit dari arah belakang. Tak lama kemudian,dia telah mengintai dari puncak, memandang ke sekeliling.

   Barulah hatinya lega setelah dia merasa yakin bahwa tidak ada seorangpun nampak di sekitar tempat itu.

   Dia lalu cepat turun dari puncak, menghampiri tebing dan berhadapan dengan guha-guha tadi lagi. Dia masih menoleh ke kanan kiri dan belakang sebelum dia mendaki tebing menuju ke arah guha ke tiga. Guha itu kecil dan dia harus membungkuk untuk merangkak masuk. Dan di sudut guha itu, tertutup tumpukan batu-batu karang berkapur, dia menemukan benda yang dicarinya.

   Sebuah kotak berukir indah berwarna hitam! Ketika tutup kotak itu dibukanya, di dalamnya terdapat benda pusaka itu. Mestika Burung Hong Kemala yang aseli! Bentuknya tidak berbeda jauh dari yang dibawa dalam buntalannya, yaitu bentuk seekor burung Hong. Akan tetapi benda pusaka ini mengeluarkan cahaya cemerlang, dan batu gioknya memiliki warna-warni yang aneh, ada warna kemerahan, kehijauan, biru dan coklat kuning! Dan u-kiran burung Hong-nya juga amal indah.

   Sebuah hasil seni yang menakjubkan dan amat langka!

   Hui San memasukkan kotak kecil itu ke dalam buntalan pakaiannya, kemudian dia keluar dari dalam guha. Keluarnya juga bukan begitu saja. Dia mengintai dulu dari dalam guha sampai lama, sampai dia merasa yakin tidak ada mata manusia lain melihatnya, baru dia meloncat keluar dari dalam guha itu Seperti tadi, diapun berhati-hati dan setelah yakin tidak ada orang melihat nya, baru dia memasuki guha ke tujuh yang lebih besar. Dia memasuki guha itu, lalu menukar isi kotak hitam dengan burung Hong Kemala yang dibawanya dari Tiang-an.

   Yang palsu dia masukkan ke dalam kotak hitam dan meletakkannya ke dalam guha, di sudut yang gelap, sedangkan yang aselinya dengan aman berada dalam buntalan pakaiannya!

   Kemudian, diapun keluar dari dalam guha setelah mengintai lebih dahulu dan dengan hati ringan karena gembra telah berhasil melaksanakan tugas nya, diapun meninggalkan tebing itu Akan tetapi dia tidak segera turun begitu saja dari tebing itu, melainkan mendaki naik ke puncak.

   Dengan demikian, andaikata ada orang melihatnya tentu orang itu mengira bahwa dia mendaki puncak da hanya kebetulan saja lewat di depan tebing itu, bukan bermaksud pergi ke tebing.

   Setelah tiba di puncak, dia berist irahat, duduk di balik batu kasar untuk berlindung dari sengatan sinar matahari yang sudah naik tinggi, lalu mengeluarkan tempat minuman.

   Setelah meneguk minuman dia bangkit berdiri, mengikatkan kembali buntalan pakaiannya di punggung, dan menuruni bukit itu dari lereng yang berlawanan di mana terdapat pohon-pohon besar di sepanjang lereng yang penuh hutan, walaupun tidak begitu lebat pohonnya, namun karena usianya sudah tua maka pohon-pohon itu tinggi dan besar batangnya.

   Setelah tiba di hutan pertama, diapun memanjat pohon tertinggi dan me mandang ke sekeliling. Tiba-tiba dia nampak mengerutkan alisnya. Dari arah puncak, dari mana dia turun tadi, dia seperti melihat bayangan orang berkelebat cepat lalu lenyap, dan ketika dia melihat ke bawah, dia melihat debu mengepul dan serombongan orang berkuda sedang mendaki bukit!

   Tak lama kemudian, Hui San sudah menyelinap di balik semak-semak dan mengintai ketika seorang gadis menuruni puncak dan lewat di dekat semak itu. Dan diapun menahan napas.

   Bukan main! Belum pernah dia melihat gadis secantik ini! Dan inipun tidak aneh karena sejak kecil dia tinggal di pegunungan Gobi-san yang sunyi dan kalaupun pernah dia bertemu wanita, maka yang di jumpainya hanyalah gadis-gadis pegunungan di Gobi-san yang sederhana sekali.

   Akan tetapi gadis yang lewat di dekatnya itu demikian cantik jelita seperti bidadari! Bidadari yang lembut, namun gagang pedang di punggungnya itu menunjukkan bahwa gadis itu tidak selembut seperti nampaknya.

   Dan gadis itu memegang sebatang tongkat yang mungkin ditemukannya di bawah pohon karena tongkat itu hanyalah sebatang ranting pohon yang masih ada beberapa helai daunnya.

   Timbul kekhawatiran di hati Hui San. Gadis jelita itu menuruni bukit dan pasti akan bertemu dengan rombongan orang berkuda itu! Dia mendapatkan perasaan tidak enak, seolah merasakan bahwa gadis yang seperti bidadari itu akan terancam bahaya, maka diam-diam dia lalu membayangi gadis itu.

   Dari langkahnya saja dia dapat menduga bahwa gadis itu membawa pedang bukan sekedar untuk memasang aksi, melainkan ia seorang gadis yang sungguh memiliki kepandaian.

   Kini derap kaki kuda itu sudah terdengar dari situ.

   Rombongan orang berkuda dari bawah itu sudah dekat, akan tetapi gadis cantik itu masih tetap berjalan dengan santai! Hui San menjadi semakin khawatir. Ingin dia meneriaki gadis itu agar bersembunyi atau menyingkir saja.

   Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia melakukan hal itu, gadis itu tidak akan percaya, dan bagaimana kalau rombongan orang itu memang tidak merupakan rombongan orang jahat?

   Rombongan orang berkuda itu kini muncul di tikungan jalan dan mereka t idak lagi dapat membalapkan kuda mereka karena jalan itu mendaki dan kasar. Mereka menjalankan kuda perlahan-lahan.

   Sekali pandang saja tahulah Hui San bahwa rombongan orang berkuda itu adalah rombongan pasukan pemerintah pemberontak! Tentu saja dia merasa khawatir sekali. Dari tempat persembunyiannya, dia melihat betapa gadis cantik itu berhenti melangkah dan agak menepi untuk membiarkan rombongan orang berkuda itu lewat melalui jalan yang sempit itu.

   Gadis itu Kui Lan yang melakukan perjalanan ke barat untuk menyusul rombongan kaisar yang melarikan diri mengungsi, ia masih terkenang dengan hati penuh kagum kepada Sia Su Beng, pemuda perkasa yang mendatangkan kesan mendalam di hatinya.

   Ketika ia tiba di pegunungan yang sepi itu, ia mengambil jalan pintas, mendaki puncak bukit dan kini tiba-tiba di tempat sunyi itu ia berpapasan dengan serombongan orang berkuda yang berada di depan adalah seorang perwira muda yang gagah dan tampan, berpakaian perwira.

   Tentu Sia Su Beng akan nampak lebih gagah dari pada orang ini kalau dia berpakaian perwira, Kui Lan membayangkan. Dan di samping pemuda perwira itu duduk seorang gadis cantik dan gagah di atas seekor kuda putih.

   Kemudian di belakang mereka nampak duapuluh lebih perajurit berkuda, kesemuanya kelihatan gagah dan garang. Bertemu dengan serombongan perajurit yang tentu merupakan perajurit anak buah pemberontak An Lu Shan. Kui Lan merasa sebal dan tidak senang. Akan tetapi, iapun tahu bahwa tidak semestinya ia mencari keributan menghadapi demikian banyak orang.

   Apa lagi perwira itu kelihatan bukan orang lemah. Maka, iapun sengaja menepi untuk memberi jalan agar rombongan berkuda itu lewat.

   Perwira itu adalah Bouw Ki dan gadis di sampingnya adalah Kim Hong. Rombongan itu adalah rombongan pasukan yang ditugaskan oleh Bouw Koksu untuk pergi ke pegunungan itu dan mengambil Mestika Burung Hong Kemala seperti yang digambarkan pada peta yang dibeli oleh Bouw Koksu dari Souw Lok.

   Ketika Bouw Ki melihat seorang gadis cantik jelita di pegunungan yang sunyi itu, tentu saja dia merasa curiga dan dia mengangkat tangan kiri ke atas sebagai isyarat agar pasukannya berhenti.

   Kim Hong menoleh dan memandang kepada suhengnya, kemudian kepada gadis cantik yang berdiri di tepi jalan, ia sendiripun merasa heran melihat di tempat sunyi dan sulit seperti itu terdapat seorang gadis cantik melakukan perjalanan seorang diri, akan tetapi melihat gagang pedang di punggung gadis itu, iapun dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki kepandaian untuk menjaga dan membela diri. Dan karena gadis itu tidak dikenal, maka sebetulnya tidak ada perlunya suhengnya menyuruh berhenti pasukannya.

   

JILID 09

Akan tetapi Bouw Ki sudah mengerutkan alisnya dan memandang Kui Lan dengan alis berkerut dan penuh kecurigaan.

   "Siapakah engkau dan ada keperluan apa berkeliaran di sini? Hayo cepat jawab sejujurnya!"

   Tanya Bouw Ki yang diam-diam mengagumi kecantikan gadis yang berdiri di depannya itu. Jelas gadis gunung, bukan gadis dusun kenyataan ini menambah kecurigaannya.

   Akan tetapi diam-diam Kim Hong tidak senang dengan sikap dan pertanyaan kasar yang dilontarkan suhengnya kepada gadis itu. Akan tetapi ia diam saja dan hanya memandang.

   Mendengar pertanyaan orang yang nadanya memerintah dan memaksa itu. Kui Lan juga mengerutkan alisnya. Akan tetapi karena ia tidak biasa bersikap kasar, iapun hanya membuang muka, lalu berkata lembut namun cukup ketus.

   "Aku tidak ingin mengenal kalian dan tidak ingin memperkenalkan diri. Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian!"

   Setelah berkata demikian, Kui Lan menggerakkan kakinya melangkah hendak melanjutkan perjalanan. Hampir Kim Hong tertawa geli melihat roman muka suhengnya.

   Rasakan kamu, pikirnya.

   Akan tetapi Bouw Ki meloncat turun dari atas pelana kudanya dan menghadang di depan Kui Lan.

   "Kurang ajar! Nona, apakah engkau tidak dapat memberi jawaban yang baiki Aku tanya kepada mu, siapa engkau dan apa urusanmu di tempat ini!"

   Kini mengertilah Kim Hong akan sikap suhengnya. Tentu suhengnya merasa curiga melihat seorang gadis di tempat ini, tempat penyimpanan pusaka itu! Dan ia tidak dapat terlalu menyalahkan suhengnya, karena memang kehadiran gadis itu di tempat ini menimbulkan kecurigaan kalau-kalau gadis itu mempunyai hubungan dengan benda pusaka kerajaan itu. Akan tetapi tentu saja Kui Lan tidak tahu tentang hal itu, dan hatinya mendongkol bukan main.

   "Aku melihat engkau seorang ciangkun,"

   Katanya, suaranya tetap lembut namun nadanya mencela,

   "kurasa engkau lebih tahu tentang peraturan dan sopan santun. Aku berada di tempat umum, apapun yang kulakukan, tidak ada sangkut pautnya sama sekali denganmu. Biarpun engkau seorang perwira, engkau tidak berhak."

   "Saat ini, daerah ini merupakan kekuasaan kami dan siapapun juga wajib melaporkan kepada kami apa yang dilakukannya di sini!"

   Kata Bouw Ki.

   "Kalau aku t idak mau memberi tahu?"

   "Terpaksa engkau kami Curigai dan kami tawan!"

   Sesabar-sabarnya, Kui Lan menjadi marah. Tiada hujan tidak angin, tanpa sebab tertentu, hanya karena ia kebetulan lewat di situ dan t idak mau memperkenalkan diri, ia hendak ditawan! Akan tetapi ia memang berwatak halus dan sabar, maka ia masih dapat menahan kemarahannya.

   "Baiklah, namaku Kui Lan , dan aku kebetulan lewat di sini.Salahkah itu?"

   Akan tetapi Bouw Ki sudah terlanjur marah dan curiga, juga dia merasa sayang kalau gadis secantik itu dibiarkan lolos begitu saja! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan haus wanta, akan tetapi gadis secantik itu amat sukar didapat, biar di kota raja sekalipun!

   "Kami tidak percaya. Terpaksa engkau kami tawan dulu!"

   "Suheng, apa gunanya itu?"

   Tiba-tiba Kim Hong bertanya.

   "Sumoi, kita harus menahannya sampai selesai urusan kita, kalau ia memang tidak merupakan gangguan, kita lepaskan kembali,"

   Kata Bouw Ki dan kembali Kim Hong dapat mengerti maksud suhengnya.

   Memang gadis ini bagaimana pun juga, mencurigakan. Siapa tahu ia datang ada hubungannya dengan Mestika Burung Hong Kemala. Memang sebaiknya ditahan dulu dan kalau ternyata nanti bahwa mereka dapat menemukan pusaka itu dan gadis ini tidak ada hubungannya sama sekali, mudah dilepas kembali. Maka iapun mengangguk membenarkan.

   "Nona Kui Lan, menyerahlah. Kami tidak ingin menggunakan kekerasan, hanya ingin menawan nona untuk sementara. Lucuti nona ini dari senjatanya!"

   Perintah Bouw Ki kepada orang-orang yang berada di belakangnya.

   Dua orang perajurit berloncatan turun dari atas kuda mereka dan dengan penuh gairah mereka menghampiri Kui Lan sambil menyeringai kurang ajar seperti biasanya sikap laki-laki tidak sopan kalau berhadapan dengan gadis cantik.

   "Nona, serahkan pedang dan buntalanmu kepada kami, dan mari membonceng di kudaku bersamaku,"

   Kata yang tinggi kurus.

   "Membonceng saja di kudaku, nona, kudaku lebih kuat,"

   Kata yang pendek gemuk.

   Kui Lan mengerutkan alisnya, akan tetapi sebelum ia menjawab, terdengar suara tawa dan muncullah seorang pemuda yang pakaiannya kedodoran, kepalanya tertutup caping lebar. Pemuda itu pakaiannya sederhana, bahkan nyentrik dengan lengan baju digulung sampai siku, Wajahnya yang dilindungi caping itu bulat dan nampak periang, mulutnya selalu tersenyumdan matanya bersinar-sinar.

   "Ha-ha-ha, harap engkau jangan berat sebelah dan tidak adil, ciang-kun!"

   Kata pemuda yang bukan lain adalah Souw Hui San itu.

   Melihat kemunculan pemuda ini secara tiba-tiba dari balik sebatang pohon besar, semua orang memandang dan Bouw Ki menjadi semakin curiga, bahkan Kim Hong juga merasa curiga sekali.

   "Orang gila jangan bicara sembarangan!"

   Bouw Ki membentak.

   "Siapa engkau dan apa pula keperluanmu di sini?"

   Pemuda itu memandang ke kanan kiri, ke arah pohon-pohon besar dan sambil tersenyum lebar dia berkata, seperti kepada batang-batang pohon itu,

   "Ha ha, kalian dengar? Dia bertanya apa keperluanku di sini? Heii, kakek-kakek pohon, apa pula keperluan kalian berada di sini sampai ratusan tahun? Ciangkun, aku bernama Souw Hui San, dan aku seorang perantau, menjelajahi mana saja tanpa tujuan. Aku kebetulan saja berada di sini dan engkau tidak adil kalau mengundang nona itu untuk diajak makan sedangkan aku tidak diundang!"

   Dia menghampir Bouw Ki sambil tersenyum.

   "Berilah aku seekor kuda, boncengan juga boleh dan aku akan mengikut kalian, ikut pula makan minum gratis, heh-heh-heh!"

   "Hemm, orang sinting!"

   Bentak Bouw Ki, akan tetapi karena dia merasa curiga, tangannya menyambar dan tangan itu telah mencengkeram pundak Hui San. Pemuda itu berteriak kesakitan dan pedang serta buntalannya telah dirampas oleh Bouw Ki.

   "Sumoi, periksa ini buntalannya!"

   Kata Bouw Ki sambil melemparkan buntalan itu kepada Kim Hong. Gadis itu menerima buntalan dan melompat turun dari atas kudanya.

   Hui San yang sudah dilepas pundaknya, menyeringai dan mengaduh-aduh kesakitan sambil memandang kepada Kim Hong yang melepaskan ikatan buntalan pakaannya.

   "Aih, nona, awas jangan sampai jari-jari tanganmu terbakar!"

   Teriaknya dan teriakannya itu demikan bersungguh-sungguh sehingga mengejutkan banyak orang yang menyangka bahwa ada rahasia atau racunnya dalam buntalan itu.

   Akan tetapi Kim Hong adalah seorang yang waspada, ia hanya tersenyum mengejek dan tetap membuka buntalan itu.Tidak terjadi kebakaran atau bahaya apapun menimpa tangan gadis itu.

   Isinya hanya pakaian dan tempat makanan dan minuman,tidak ada apa-apanya yang aneh.

   "Hemm, kenapa kau tadi katakan jari-jari sumoiku dapat terbakar?"

   Bentak Bouw Ki marah.

   "Heh-heh, ada pakaianku, celana dan baju yang belum kucuci, bekas kupakai....., maka aku katakan agar jangan sampai tangan nona itu terbakar....... eh, maksudku kotor."

   Beberapa orang perajurit tertawa mendengar ini dan wajah Kim Hong berubah merah sekali mendengar bahwa baru saja ia memegang celana yang bekas dipakai dan belum di cuci, dapat dikatakan masih "hangat"

   Maka pemuda itu tadi memperingatkan agar tangannya jangan sampai terbakar, ia membuang buntalan itu ke arah pemiliknya.

   "Ihh, jorok!"

   Katanya.

   Akan tetapi ketika ia memandang wajah pemuda itu,kemarahannya lenyap bahkan ia menahan perasaan geli hatinya. Pemuda itu sama sekali tidak memilki tampang orang jahat, juga sinar matanya tidak menunjukkan bahwa dia sinting atau setengah gila, bahkan kelihatan cerdik sekali.

   Hal ini menimbulkan kecurigaannya. ia mengambil pedang pemuda itu dari tangan suhengnya dan mencabutnya.

   Semua orang berseru kagum melihat sinar terang menyilaukan mata ketika pedang itu tercabut dari sarungnya yang nampak butut.

   "Hem, pedang bagus!"

   Kata Bouw Ki.

   "Bagaimana pedang sebaik ini dapat berada di tangan orang tak percuma ini?"

   Kim Hong merasa curiga dan mengelebatkan pedangnya.

   Gerakannya cepat bukan main sehingga nampak sinar menyambar. Kui Lan terkejut dan hampir saja digerakkan tongkat di tangannya untuk melindungi pemuda itu.

   Akan tetapi ia menahan diri dan nampak pemuda itu berteriak ketakutan dan melindungi kepala dengan kedua tangannya.

   Sinar pedang itu membabat ujung bajunya sehingga terputus.

   "Aduhhhh...... celaka aduh, buntung.....!"

   Teriak Hui San yang berjingkrak seperti orang kesakitan.

   Gayanya demikian menyakinkan sehingga Kim Hong sendiri merasa terkejut,mengira bahwa sabetan pedangnya yang dilakukan untuk menguji kepandaian pemuda itu benar-benar telah melukainya.

   "Apanya yang buntung?"

   Bentak Bouw Ki.

   "Ini.... bajuku...."

   Kata Hui San dan kembali para perajurit tertawa. Beberapa orang di antara mereka mengatakan bahwa pemuda itu tentu miring otaknya.

   "Siapa bilang otakku miring?"

   Hui San yang mendengar ucapan itu menoleh, sikapnya marah.

   "Jangan sembarangan bicara, ya? Pedangku ini pemberian kakekku dan para pendekar besar di dunia ini adalah sahabat baiknya! Apa kalian tidak tahu siapa itu Pangeran Li Si Bin yang sakti?"

   Sikap Hui San demi kian congkak seolah-olah pangeran yang kemudian menjadi Kaisar Tang, yaitu Kaisar Tang Thai Cung pendiri Kerajaan Tang itu adalah kakeknya!

   "Dan apa kalian tidak tahu siapa itu guru besar Tat Mo Couw-su?"

   Semua orang terkejut mendengar pemuda itu menyebut-nyebut nama pangeran sakti itu dan pendeta Siauw-lim-pai yang juga amat terkenal sebagai pendiri pertama dari ilmu silat Siuaw-lim-pai yang amat terkenal, seolah pangeran sakti itu kakaknya dan pendeta sakti itu gurunya saja.

   Kim Hong juga terkejut. Apakah pemuda ini masih mempunyai darah bangsawan dari para kaisar Tang keturunan marga Li? Dan apakah pemuda ini seorang tokoh Siauw-limpai yang begitu berani menyebut-nyebut nama Tat Mo Coauwsu?

   "Hemm, memangnya siapa itu Pangeran Li Si Bin dan pendeta Tat Mo Couw-su? Apamu mereka itu?"

   Tanya Kim Hong ingin tahu sekali.

   "Aihh, nona! Engkau tidak tahu? Pangeran Li Si Bin adalah pendiri Kerajaan Tang yang kemudian menjadi kaisar ke dua berjuluk Tang Thai Sung, sedangkan Tat Mo Couwsu adalah pendiri aliran Siauw-lim-pai! Tentu saja mereka bukan apaapaku,aku hanya bertanya siapa mereka!"

   Semua perajurit tertawa. Lagak pemuda itu demikian congkak, dan ucapannya seperti yang sungguh-sungguh ternyata hanya berkelakar saja.

   "Sinting!"

   Bouw Ki memaki.

   "Tangkap dia!"

   "Suheng, untuk apa menawan orang sinting ini? Menjadi beban saja bahkan dia akan selalu menimbulkan keributan di jalan. Biarkan dia pergi,"

   Kata Kim Hong.

   Bouw Ki membenarkan pendapat sumoinya. Memang orang sinting ini tidak ada gunanya ditahan, tidak seperti nona cantik itu.

   "Nah, pergilah!"

   Bentaknya.

   Hui San memandang kepada pedang di tangan Kim Hong.

   "Apakah nona hendak merampas pedang pemberian kakekku? Aku akan kabarkan di seluruh penjuru dunia kangouw bahwa ada seorang nona muda yang cantik jelita, yang ada lesung pipit di pipi kirinya, dengan semena-mena telah merampas pedang pemberian kakekku, pedang keluarga yang turun temurun. Seorang nona yang cantik jelita dan gagah perkasa ternyata telah bertindak curang-tidak sesuai dengan watak para pendekar yang menjunjung tinggi kegagahan, pembela kebenaran dan keadilan."

   "Nih pedangmu! Siapa sih yang ingin merampok pedangmu? Menyebalkan !"

   Kata Kim Hong dan ia melemparkan pedang yang sudah berada dalam sarungnya itu kepada pemiliknya.

   "Tokk!"

   Oleh karena pemuda itu tidak mampu mengelak atau menyambut pedangnya, maka gagang pedang itu menimpa dahinya, mengeluarkan bunyi dan di dahi yang terketuk gagang pedang itu mendadak saja muncul sebutir telur ayam! Kembali para perajurit tertawa dan dengan bersungut-sungut Hui San meninggalkan tempat itu, membawa buntalan dan pedangnya.

   "Pendekar sinting!"

   Para perajurit berteriak mengejek.

   Hui San berhen melangkah, memutar tubuh dan mengamangkan tinju ke arah mereka.

   "Huh, orang gila itu tidak perlu dilayani!"

   Kata Bouw Ki.

   "Lucuti nona itu, cepat!"

   Dua orang perajurit yang tadi tercunda perbuatannya melucuti Kui Lan karena munculnya Hui San yang dianggap orang gila, kini melanjutkan lagak mereka.

   "Berikan buntalanmu, nona!"

   "Kesinikan pedangmu itu, nona!"

   Mereka berdua menjulurkan tangan hendak merampas buntalan dan pedang.

   "Pergilah!"

   Bentak Kui Lan dan sekali tongkatnya bergerak, entah bagaimana kedua orang perajurit itu terlempar jauh ke belakang dan jatuh berdebuk dengan keras, membuat mereka meringis kesakitan karena pinggul mereka menimpa tanah dengan kuatnya.

   Tentu saja semua orang terkejut. Para perajurit itu merupakan perajurit pilihan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.

   Bagaimana mungkin ketika gadis jelita itu menggerakkan ranting di tangannya, kedua orang perajurit itu terlempar begitu saja? Melihat betapa gadis cantik itu ternyata lihai, kecurigaan Bouw Ki semakin meningkat. Kalau gadis ini seorang yang lihai, jelas ada hubungannya dengan pusaka kerajaan itu, pikirnya.

   "Kepung, tangkap gadis mata-mata ini!"

   Bentaknya sambil mencabut pedangnya. Para perajurit bergerak dan mengepung.

   "Sungguh tidak malu, begini banyaknya laki-laki mengeroyok seorang gadis!"

   Terdengar bentakan nyaring dan muncul seorang pemuda yang berpakaian seperti pengemis dan memegang sebatang tongkat butut.

   Melihat pemuda yang wajahnya tampan, sikapnya gagah dan mata nya mencorong ini, Kim Hong dapat menduga bahwa pemuda jembel yang pakaiannya tambal-tambalan ini pun seorang yang mencurigakan dan agaknya, tidak seperti pemuda sint ing tadi, pemuda jembel ini bukan orang sembarangan dan memiliki ilmu kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, seperti gadis cantik itu.

   Dan iapun menduga bahwa tentu munculnya pemuda ini ada hubungannya dengan perebutan Mestika Burung Hong Kemala, maka sekali melompat ia sudah berada di depan pemuda itu.

   Kui Lan tentu saja mengenal suara kakaknya. Ketika ia menoleh, ia mengenal kakaknya walaupun kakaknya mengenakan pakaian tambal-tambalan. Tentu saja ia menjadi girang bukan main, akan tetapi ia bersikap pura-pura tidak mengenalnya karena ia maklum bahwa mereka harus merahasiakan keadaan keluarga mereka.

   Bouw Ki terkejut bukan main ketika dia menerjang maju dengan pedangnya. Gadis itu menggerakkan tongkatnya dan ketika pedangnya bertemu dengan tongkat, seperti ada getaran yang aneh dan amat kuat membuat telapak tangannya seperti lumpuh dan hampir saja pedangnya terlepas. Cepat dia menarik pedangnya, meloncat ke belakang dan membiarkan anak buahnya mengeroyok.

   Gadis itu memainkan ranting kayu secara dahsyat dan itulah Hong-in Sin-pang. yang disertai gin-kang yang membuat tubuh gadis itu seperti seekor burung walet beterbangan dengan amat gesitnya.
Sementara itu, ketika Yang Cin Han dihadang oleh gadis cantik itu, dia mengira bahwa gadis itu hanya gadis biasa saja.

   Maka, ketika gadis itu menerjang maju, Cin Han sudah menggerakkan tongkat bututnya untuk menotok dan membuat gadis itu tidak berdaya. Tadinya, Cin Han hanya ingin membayangi rombongan itu, untuk membiarkan mereka menemukan Mestika Burung Hong Kemala, kemudian dia akan mencoba untuk merampasnya.

   Akan tetapi melihat betapa rombongan itu bertemu dengan seorang gadis yang ternyata adalah adiknya, Yang Kui Lan, tentu saja dia tidak dapat membiarkan adiknya diganggu mereka.

   Dia sudah mendengar dari Ji-wangwe bahwa Bouw-ciangkun membawa seorang gadis yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tentu gadis yang menghadangnya itu yang dimaksudkan, akan tetapidalamhatinya, Cin Han tidak yakin bahwa gadis yang cantik itu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Karena itu, dia menggerakkan tongkatnya sekedar untuk menotok gadis itu tanpa menyakitinya agar gadis itu menjadi lumpuh dan menghentikan perlawanannya.

   "Wuuuut, plak-plak-plak.......!"

   Cin Han terkejut bukan main. Bukan saja gadis itu mampu menghindarkan diri dari totokan nya, bahkan tiga kali berturut-turut dia harus memutar tongkat menangkis ketika gadis itu, dengan gerakan aneh sekali, menyerang dengan tamparan bertubi-tubi dan setiap tamparan membawa angin pukulan yang amat dahsyat!

   Tentu saja kini Cin Han tidak berani memandang ringan.

   Dia lalu memutar tongkat bututnya dan memainkan Tai hongpang.

   Kini berbalk Kim Hong yang terkejut bukan main karena tongkat butut itu berubah menjadi sinar bergulung-gulung,seperti naga bermain di angkasa mengeluarkan angin badai yang amat dahsyat! Kim Hong menjadi kagum bukan main.

   Tak pernah disangkanya akan berhadapan dengan seorang lawan setangguh itu. Juga diakuinya bahwa melihat sepak terjang gadis cantik itu, ternyata gadis itupun lihai sekali.

   Suhengnya sama sekali bukan tandingan si gadis cantik, bahkan dikeroyok oleh demikian banyaknya lawan, gadis itu masih mampu membela diri dengan baik, walapun tentu saja ia terkurung rapat, ia sendiri harus mampu menandingi pemuda berpakaian pengemis itu kalau tidak ingin pihak rombongan suhengnya kalah.

   "Singg.....!"

   Nampak dua gulungan sinar berkelebat ketika ia mencabut sepasang senjatanya, yaitu sepasang pedang kecil bertali. Itulah Hui-siang-kiam (Sepasang pedang terbang) yang ia mainkan dengan hati-hati untuk mengimbangi permainan tongkat yang aneh dari lawannya.

   Cin Han terkejut dan kagum bukan main. Sepasang pedang kecil itu seperti hidup, menyambar-nyambar dahsyat seperti dua ekor burung rajawali beterbangan dan menyerangnya.

   Hanya dengan putaran tongkatnya seperti kitiran dia dapat melindungi dirinya. Kiranya benar apa yang dia dengar dari Jiwang we. Gadis itu memang lihai bukan main!

   Akan tetapi sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, Cin Han segera mendapat kenyataan bahwa seperti juga dia sendiri, lawannya itu tidak mempunyai niat untuk membunuhnya. Biarpun sepasang pedang itu menyambarnyambar dahsyat, akan tetapi yang menjadi sasaran utama adalah lengan tangannya yang memegang tongkat sehingga gadis itu agak nya hanya ingin membuat dia melepaskan tongkatnya, seperti juga dia selalu berusaha untuk menotok gadis itu, bukan untuk melukainya apa lagi membunuh nya.

   Entah mengapa, mendapatkan kenyataan ini, hatinya merasa girang bukan main.

   Dugaan Cin Han memang benar. Kim Hong sama sekali tidak bermaksud membunuhnya, apa lagi gadis yang lihai inipun dapat mengetahui bahwa pemuda bertongkat itu tidak berniat melukainya, hanya ingin membuat ia tak berdaya dengan totokan. Kim Hong tidak percaya bahwa pemuda tampan gagah ini seorang tokoh kangouw yang ingin memperebutkan Mestika Burung Hong Kemala untuk keuntungan dan kepentingan pribadi.

   Melihat pakaiannya,tentu dia seorang tokoh kaipang (perkumpulan pengemis) dan sangat boleh jadi pemuda ini seorang yang setia kepada Kerajaan Tang dan ingin merampas pusaka untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang. Kalau demikian halnya, maka pemuda ini merupakan orang segolongan dengannya, karena iapun menerima tugas dari suhunya untuk membantu Kerajaan Tang.

   Cin Han maklum bahwa kalau dia hanya dapat mengimbangi saja lawannya, sedangkan adiknya yang dikeroyok banyak orang itu nampak kewalahan juga dan dia tidak dapat membantunya, maka tiba-tiba dia meloncat jauh meninggalkan lawannya dan terjun ke dalam kepungan para pengeroyok. Kepungan itu membuyar dan Bouw Ki yang menyambut pemuda pengemis Itu terhuyung ketika ujung tongkat menotok pahanya.

   "Lan-moi, mari kita pergi!"

   Kata Cin Han.

   Adiknya maklum bahwa melawan terus tidak ada gunanya. Iapun sudah ingin sekali bertemu dan bercakap-cakap dengan kakaknya, maka iapun memutar ranting di tangannya sedemikian rupa sehingga empat orang pengeroyok terpaksa mundur. Di lain saat, kakak beradik itu sudah berlompatan jauh dan melarikan diri.

   "Kejar mereka!"

   Bentak Bouw Ki.

   "Tahan!"

   Kim Hong berseru dan para perajurit yang memang sudah gentar menghadapi dua orang yang lihai tadi, meragu.

   "Suheng , untuk apa mengejar mereka? Kita datang ke sini bukan untuk menangkap orang. Pula, mereka itu lihai sekali. Lebih baik kita melanjutkan perjalanan."

   Bouw Ki menyadari kebenaran ucapan sumoinya. Kalau tadi tidak ada sumoinya yang menahan pemuda berpakaian pengemis, agaknya dia dan anak buahnya akan menderita rugi besar. Tugas yang paling penting adalah mengambil benda pusaka itu. Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukannya dan mereka melanjutkan pendakian.

   Setelah mereka t iba di depan tebing yang terdapat banyak guhanya, Bouw Ki lalu memerintahkan anak buahnya untuk membentuk penjagaan rapat di depan guha ke tujuh.

   Setelah melihat tidak ada tanda-tanda adanya orang lain di sekitar tempat itu, dia dan Kim Hong memasuki guha. Bouw Ki yang tergesa-gesa dan ingin sekali menemukan benda pusaka itu, langsung saja masuk ke dalam guha. Akan tetapi Kim Hong lebih waspada dan meneliti tempat itu. Karena itu, ia dapat melihat adanya beberapa buah bekas tapak kaki di lantai guha! Masih baru tapak kaki itu dan iapun tahu bahwa baru saja, paling lama kemarin atau kemarin dulu, ada orang lain memasuki guha ini!

   "Ini dia!"

   Terdengar suhengnya berseru girang. Suhengnya mengambil sebuah kotak hitam dari balik tumpukan batu-batu di sudut guha dan membawanya ke dekat sumoinya yang masih berada di mulut guha.

   "Hati-hati, suheng. Periksa dulu kalau-kalau benda itu mengandung alat rahasia atau racun!"

   Kim Hong mengingatkan. Mendengar ini, Bouw Ki terkejut dan meletakkan peti hitam itu ke atas lantai. Kim Hong segera mendekati nya dan memeriksa. Tak salah lagi tanda tapak kaki yang dilihatnya tadi. Ada orang yang mendahului mereka memasuki guha ini! Dan ketika ia memeriksa peti atau kotak hitam itu, terdapat bukti lain. Kalau kotak itu sudah lama disembunyikan orang di dalam guha itu, tentu kotak itu basah karena kelembaban guha, dan-tentu ada kotoran debu. Akan tetapi, kotak itu masih bersih sekali, dan inipun merupakan tanda bahwa kotak itu belum lama diletakkan orang di tempat itu.

   Akan tetapi, penemuannya ini tidak ia beritahukan kepada suhengnya. ia juga mempunyai kepentingan dalam urusan ini ia harus dapat menemukan benda pusaka itu untuk dikembalikan ke pada Kerajaan Tang.

   Dan melihat kenyataan betapa kotak ini baru saja diletakkan orang di tempat itu, pada hal menurut suhengnya, peta itu telah dibuat lama sebelum Menteri Yang Kok Tiong meninggal, maka ia hampir yakin bahwa semua ini merupakan tipuan belaka! Benda pusaka itu disangsi kan keaseliannya. Mungkin yang aseli tadinya berada di situ, akan tetapi jelas bahwa sebelum peta itu terjatuh ke tangan Bouw Koksu, telah ada orang lain yang mengetahui tempat bersembunyian benda itu dan mendahuluinya. ia bahkan meragukan apakah kotak hitam itu ada isinya!

   Dengan hati-hati, menggunakan u-jung pedangnya, Kim Hong mencokel kotak itu sehingga terbuka dan ternyata di dalamnya memang terdapat sebuah benda mengkilat.

   "Mestika Burung Hong Kemala....!"

   Kata Bouw Ki girang dan diapun mengeluarkan benda itu dari dalam kotak dan menelitinya. Sebuah benda yang amat indah, terbuat dari batu kemala dan di ukir seperti seekor burung Hong.

   "Suheng, kita telah berhasil,"

   Katanya hambar.

   Agaknya tidak mungkin kalau benda ini aseli, pikirnya. Dan iapun mencurigai gadis cantik dan pemuda tampan seperti pengemis yang amat lihai tadi, bahkan terbayang pula pemuda sinting dengan sikapnya yang aneh. Mengaku keturunan pendekar, membawa pedang yang baik, akan tetapi sama sekali tidak menguasailmu silat. Agaknya tidak mungkin! Siapakah di antara mereka yang telah mendahului suhengnya masuk ke dalam guha ini? Hanya dia yang telah mendahului mereka itu saja yang akan dapat menceritakan apakah benda pusaka itu benar palsu, dan di mana adanya mestika yang aselinya.

   "Sumoi, kita harus cepat membawa pusaka ini kepada ayah. Kita harus waspada, siapa tahu akan ada yang mengganggu kita,"

   Kata Bouw Ki dan diapun membawa kotak hitam itu yang dia sembunyikan di balik jubahnya.

   "Mari, suheng. Jangan khawatir, kukira tidak ada yang akan mengganggu kita dalam perjalanan purang."

   Rombongan itu segera meninggalkan pegunungan dan dengan hati gembira sekali Bouw Ki membawa benda pusaka itu dengan hati-hati. Dan memang benar dugaan Kim Hong. Tidak ada yang mengganggu mereka dalam perjalanan pulangtu.

   Rombongan itu sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang berdiri di puncak dan menertawakan mereka yang tergesa-gesa menuruni perbukitan. Orang itu adalah Souw Hui San. Pamannya memang seorang yang cerdik luar bisa, juga lucu. Mau rasanya dia tertawa terpingkal-pingkal membayangkan betapa Bouw Koksu tertipu, bersenang-senang dengan mestika yang palsu! Dia lalu memanjat pohon terbesar dari mana tadi dia meneliti sekeliling, dan mengambil kembali buntalan kuning terisi Mestika Burung Hong Kemala yang aseli, yang tadi dia simpan di pucuk pohon besar itu sebelum dia sengaja mengacaukan rombongan perajurit ketika mereka hendak menangkap Kui Lan.

   Setelah menyimpan benda pusaka itu ke dalam buntalan pakaiannya, Hui San lalu menuruni bukit dan kembali ke Tiang-an. Sekali ini dia tidak tergesa-gesa, karena dia tidak perlu lagi membayangi rombongan Bouw-ciangkun. Dia naik perahu dan per ahanlahan membiarkan perahunya hanyut di Yang-ce-kiang.

   "Han-ko......!"

   Kui Lan memegang kedua tangan kakaknya dengan wajah gembra sekali.

   "Lan-moi,"

   Cin Han merangkul adiknya, hatinya bangga.

   "Aku telah bertemu Kui Bi di Tiang-an dan ia telah menceritakan tentang pengalaman kalian. Sungguh aku ikut merasa gembira dan bangga bahwa kalian telah menjadi murid pendeta sakti Hong Hwi Hosiang, dan tadi aku sudah melihat kelihaianmu ket.ika dikeroyok banyak perajurit, Lan mo."

   "Engkau sendiri, ke mana saja se lama ini, Han-ko?"

   Tanya Kui Lan dan ia memandang pakaian kakaknya dengan hati terharu. Kakaknya, dahulu putera Menteri Utama yang dihormati semua orang, sekarang berpakaian seperti seorang pengemis! Melihat pandang mata adiknya yang memperhatikan pakaiannya, Cin Han tertawa geli.

   "Aih, jangan engkau mengira bahwa kakakmu ini sekarang telah menjadi seorang pengemis, Lan-moi. Ketahuilah, selama in aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong yang pernah melatihmu ilmu pedang itu. Karena kebiasaan meranta dengan suhu, aku sudah terbiasa memakai pakaian seperti ini. Apa lagi aku memasuki kota raja, harus menyamar dan dengan pakaian seperti ini tidak akan ada yang mengenalku."

   Dia lalu menceritakan betapa dia telah bertemu dengan Kui Bi dan kini adiknya itu dia titipkan di rumah Ji-wangwe, seorang hartawan yang memimpin para pendukung Kerajaan Tang.

   "Dari Ji-wangwe aku mendapat keterangan bahwa Bouw Kongcu tadi memimpin pasukan untuk mengambil Mestika Burung Hong Kemala yang disembunyikan di dadam guha di tebing gunung ini."

   "Ah, kalau begitu sekarang mereka tentu sedang mengambilnya, dan kita harus mencegah hal itu, koko! Kita harus merampas pusaka itu untuk dikembalikan kepada Kerajaan Tang!"

   "Tenanglah, Lan-moi. Gadis itu lihai sekali. Kalau kita menyerang mereka, sukar bagi kita untuk dapat memperoleh kemenangan. Yang penting, kita ketahui di tangan siapa Mestika Burung Hong Kemala itu berada. Agaknya seperti yang diduga Ji-wangwe, Bouw Koksu mungkin sekali hendak memiliki sendiri pusaka itu, entah apa maksudnya. Dia tidak melaporkan penemuan pusaka itu kepada An Lu Shan."

   "Sekarang engkau hendak ke mana, koko?"

   "Tentu saja kembali ke kota raja. Adik Bi juga di sana.Bukankah engkau juga akan bersamaku ke Tiang-an?"

   Kui Lan menggeleng kepalanya.

   "Aku sudah membagi tugas dengan Bi-moi. ia membantu perjuangan menentang pemberontak di kota raja, sedangkan aku akan menyusul ayah yang mengawal Sribaginda ke barat. Ah, ya, bagaimana dengan keadaan rumah kita di kota raja, Han-ko? Dan apakah ibu juga..,,.....eh, kenapa, koko?"

   Kui Lan bertanya cepat melihat perubahan pada wajah kakaknya.

   Sukar bagi Cin Han untuk menerangkan. Ketika adiknya yang bungsu, Kui Bi, mendengar tentang kematian ayahnya setelah mengetahui kematian ibunya, adiknya itu pingsan.

   Bagaimana nanti jadinya dengan Kui Lan kalau sekaligus mendengar bahwa ayahnya dan ibunya telah tewas?

   "Lan-moi, aku percaya bahwa engkau adalah adikku yang tenang dan tabah, dapat memaklumi akan kekua saan Tuhan yang Maha Pencipta, juga Maha Menentukan segalanya.Segala peristiwa yang menimpa diri kita, bahkan nyawa kita sekalipun, berada dalam kekuasaan Nya untuk menentukan.Bukankah engkau masih tetap adikku yang tenang itu, bahkan sekarang, setelah menjadi seorang pendekar wanita yang lihai, tentu akan lebih mampu menguasai hati dan perasaan sendiri, bukan?"

   Kui Lan menangkap lengan kakaknya.

   "Han-ko, tidak perlu berputar-putar. Aku bukan anak kecil lagi. Katakan, apa yang telah terjadi dengan ibu?"

   "Ibu kita telah t iada, Lan-moi."

   "Ibuu......!!"

   Kui Lan menahan jeritnya dan memejamkan kedua matanya untuk mencegah tangisnya, akan tetapi kedua mata yang dipejamkan itu tidak mampu menahan air matanya yang bercucuran. Cin Han merangkul adiknya dan Kui Lan menangis di dada kakaknya. Setelah mereda tangisnya, ia melepaskan diri dengan lembut.

   "Koko, ceritakan, apa yang telah terjadi dengan ibu kita."

   Dengan hati-hati dan tenang Cin Han menceritakan betapa pemberontak menyerbu kota raja dan ada anggauta pemberontak yang menyerbu rumah mereka. Ibu mereka tidak ikut ayah mereka karena ingin menanti di rumah sampai mereka bertiga kembali. Karena terancam bahaya diperhina para pemberontak, ibu mereka mengambil jalan terhormat, membunuh diri.

   "Ah, kasihan ibu!"

   Bisik Kui Lan.

   "Kita patut bangga, Lan-moi. Ibu kita telah tewas sebagai wanita terhormat dan dengan tidak menyerah kepada pemberontak, berarti ia tewas sebagai seorang pahlawan. Rumah kita dikuasai pemberontak dan sekarang menjadi tempat tinggal Bouw Koksu, yaitu ayah dari Bouw-ciangkun yang memimpin pasukan tadi."

   Kui Lan sudah dapat menenangkan diri.

   "Engkau benar Han-ko. Ibu kita tewas tidak sia-sia, dan kita harus membantu bangkitnya kembali Kerajaan Tang. Dengan cara demikian, kita berarti sudah dapat membalaskan dendam penasaran hati mendiang ibu kita. Yang kusayangkan, ketika ayah mengawal Sri-bagiada Kaisar, kenapa ayah tidak memaksa ibu agar ikut saja? Aku ingin menyusul ayah, koko."

   "Kuatkan hatimu, adikku. Ayah kita juga sudah tiada......"

   "Ahh.....?"

   Wajah gadis itu berubah pucat, akan tetapi perasaannya tidak begitu tertikam pedih seperti ketika mendengar ibunya terkasih sudah tiada.

   "Apa yang terjadi? Bukankah ayah kita mengawal kaisar melarikan diri mengungsi ke barat?"

   Dengan singkat Cin Han lalu menceritakan tentang pembunuhan terhadap ayah mereka yang dilakukan oleh para perajurit pengawal yang merasa tidak puas dan menganggap ayah mereka menjadi biang keladi kehancuran Kerajaan Tang.

   "Juga bibi Yang Kui Hui tidak lepas dari hukuman, ia menggantung diri di depan kaisar dan semua pasukan pengawal."

   Kui Lan menghela napas panjang.

   "Sudah kita khawatirkan semua hal ini akan terjadi juga. Kedudukan ayah yang tidak semestinya, karena pengaruh bibi Yang Kui Hui. Ah, sungguh kita harus merasa prihatin dan menyesal sekali, koko."

   "Tidak ada yang perlu disesalkan, adikku. Bagaimanapun juga, ayah kita telah memperlihatkan kesetiaannya kepada Kerajaan Tang. Dan semua sikap yang tidak benar dari ayah dan bibi, dapat kita tebus dengan kesetiaan kita terhadap Kerajaan Tang. Kita bertiga telah mempelajari ilmu dan kita dapat menyumbangkan tenaga kita demi jayanya kembali Kerajaan Tang. Mari kita ke kota raja, adikku. Di sana kita bersama Bi-moi dapat lebih banyak bekerja menentang pemberontak dan mempersiapkan diri untuk membantu pasukan Tang kalau saatnya tiba."

   Kui Lan mengepal tangannya.

   "Aku sudah siap untuk siap membantumu, koko."

   Kemudian ia bertanya.

   "Koko, apakah yang dilakukan rombongan tadi ke sini? Dan gadis itu sungguh lihai bukan main."

   "Mereka adalah rombongan dari kota raja yang dipimpin oleh Panglima bernama Bouw Ki seorang bersuku bangsa Khitan, dan aku sendiri t idak tahu Siapa gadis itu, hanya mendengar bahwa ia memang membantu pasukan itu. Tak kusangka ia selihai itu."

   "Apa yang mereka lakukan di sini?"

   "Mereka akan mengambil tempat disembunyikannya Mestika Burung Hong Kemala."

   "Ahh! Bukankah mestika itu merupakan pusaka kerajaan?"

   "Benar, kabarnya pusaka itu lenyap dan menjadi rebutan. Terakhir kalinya, pusaka itu disimpan oleh mendiang ayah, entah bagaimana dapat terjatuh ketangan mereka. Aku membayangi mereka untuk melakukan penyelidikan, tidak mengira akan bertemu denganmu. Tentu saja bagiku lebih penting menolong dan menyelamatkanmu dari pada menyelidiki tentang pusaka itu."

   "Ah, kalau begitu, tentu mereka sudah mengambil pusaka itu, koko! Sebetulnya, kita harus merampasnya."

   "Agaknya tidak mungkin, Lan-moi. Mereka terlalu kuat, apa lagi gadis itu. Bagaimanapun juga, kita sudah mengetahui bahwa Mestika Burung Hong Kemala terjatuh ke tangan Bouw Koksu."

   "Siapa itu Bouw Koksu?"

   "Dia ayah dari panglima Bouw Ki tadi,"

   Dan Cin Han lalu menceritakan keadaan pemerintahan baru yang dibentuk An Lu Shan.

   "Dan tahukah engkau siapa pemuda sint ing tadi, koko? Apakah engkau melihatnya?"

   Cin Han mengangguk.

   "Aku melihat dia akan tetapi aku tidak mengenalnya. Dia memang amat mencurigakan. Nampa knya tolol dan lemah, akan tetapi dia membawa sebatang pedang yang amat baik. Aku masih menduga-duga siapa gerangan pemuda itu dan sudah kuingat wajahnya. Akan kutanyakan kepada kawan-kawan kita di sana, mungkin ada yang mengenalnya. Kalau dia merupakan seorang pejuang yang setia kepada Kerajaan Tang, tentu kawan-kawan kita mengenalnya. Kalau tidak ada yang mengenal berarti dia bukan apa-apa dan memang eorang yang sint ing."

   "Akan tetapi aku mempunyai perasaan bahwa perbuatannya tadi disengaja untuk menolongku, koko."

   "Mungkin saja. Nah, mari kita kembali ke kota raja. Kita bekerja sama dengan Kui-moi dan dengan para pejuang. Di kota raja kita dapat mengikuti semua perkembangan dan mempersiapkan diri untuk membantu kalau pasukan Kerajaan Tang datang untuk merampas kembali kerajaan yang terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan."

   "Apakah ada harapan terjadi hal itu, koko?"

   "Tentu saja. Jaringan mata-mata para pejuang yang bergerak di kota raja mempunyai hubungan dengan rombongan Sribaginda yang melarikan diri ke Se-cuan dan sudah diperoleh berita bahwa Sribaginda yang dibantu oleh Panglima Kok Cu yang setia, sedang menyusun kekuatan di barat untuk merampas kembali tahta kerajaan.Mari kita pergi, Lan-moi."

   Kakak beradik itu lalu meninggalkan tempat itu, menuju ke kota raja.

   Souw Hui San mengelus-elus dahinya yang menjadi benjol sebesar telur ayam, tertimpa pedangnya sendiri yang tadi dilempar oleh Kim Hong.

   "Wah, gadis yang lihai, galak dan sadis!"

   Dia mengomel, lalu mengeluarkan seguci kecil arak dan menggosok-gosok benjolan di dahinya dengan arak. Tadi, ketika dia muncul dengan pura-pura menjadi seorang sinting, dia memang bermaksud untuk menolong gadis yang membuat jantungnya berdebar keras. Begitu melihat Kui Lan, seketika jantung di dalam dada Hui San jatuh bangun.

   Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis seperti itu! Cantik jelita,lemah lembut, dan perkasa pula.

   "Ku iLan, namanya Kui Lan......."

   Dia bicara seorang diri dan kalau ada yang melihatnya saat itu, tentu akan menganggap dia benar-benar sinting, bukan pura-pura seperti tadi.

   "Agaknya ia she Kui dan bernama Lan, nama yang ndah,secantik orangnya. Akan tetapi, ia mengenal aku sebagai orang sinting....."

   Dia tersenyum pahit, lalu mengelus benjolan di dahinya sambil menyebut-nyebut nama gadis itu.

   "Ahhh...... Kui Lan....... Kui Lan......"

   Hui San melamun sebentar, wajah Kui Lan terbayang-bayang dan akhirnya dia menarik napas panjang, mengikatkan buntalan pakaiannya di punggung, lalu mendaki bukit itu. Setelah berada di puncak bukit, dia melihat dari atas ke segenap penjuru.

   Dia tersenyum ketika melihat rombongan Bouw Ki menuruni bukit, kembali dari tebing karang penuh guha. Senyumnya menjadi tawa geli membayangkan betapa rombongan itu, dengan rasa puas dan menang, kini kembali ke kota raja sambil membawa Mestika Burung Hong Kemala yang palsu!

   Setelah merasa yakin bahwa di sekitar situ tidak terdapat orang lain, barulah Hui San memanjat pohon besar di mana tadi dia menelit i ke empat penjuru dan dia mengambil benda pusaka Gi ok-hong-cu itu dari puncak pohon.

   Dia tadi memang menyembunyikan pusaka itu di sana. Kalau tidak demikian,tentu dia tidak akan berani muncul untuk menolong Kui Lan. Ketika buntalannya digeledah, diapun tenang-tenang saja karena pusaka itu telah lebih dulu dia amankan di puncakpohon.

   Andaikata rombongan itu tadi bertindak kasar hendak menawan atau membunuhnya, tentu dia akan melakukan perlawanan.

   Dia tadi mengintai dan kagum melihat munculnya seorang pemuda menolong Kui Lan , bahkan dia membayangi ketika kedua orang itu menyelamatkan diri. Karena maklum bahwa mereka itu lihai, dia hanya mengintai dari jauh sehingga tidak dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas. Akan tetapi dia tahu bahwa pemuda itu ternyata kakak si gadis maka menguap dan lenyaplah perasaan tidak enak dan cemburu yang tadinya sudah mengusuk pe rasaannya. Setelah menyimpan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli, diapun menurun bukit itu dan menuju kembali ke kota raja.

   Dia merasa gembira melihat betapa kakak beradik itupun menuju ke kota raja karena dia mengharapkan sekali untuk dapat bertemu kembali dengan Kui Lan , gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.

   Ji Siok atau Ji-wangwe (Hartawan Ji) membelalakkan matanya memandang ke pada gadis yang duduk di depannya.

   Baru saja Cin Han meninggalkan mereka dan gadis ini, Kui Bi, menyatakan suatu keinginan yang membuat dia terkejut setengah mati dan terbelalak.

   "Nona, keinginanmu itu tidak mungkin! Terlalu berbahaya itu!"

   "Paman J i,"

   Kata Kui Bi dengan sikapnya yang tenang.

   "Kenapa tidak mungkin? Bukankah paman juga mengetahui bahwa mendiang Bibi Yang Kui Hui dahulu pernah saling menjalin cinta dengan An Lu Shan? Dan paman tahu bahwa wajahku mirip mendiang Bibi Yang Kui Hui. Dengan sedikit hiasan, aku akan menjadi Yang Kui Hui muda dan aku yakin An Lu Shan seolah menemukan kembali kekasihnya."

   "Akan tetapi itu berbahaya sekali! Bagaimana mungkin nona dapat membunuhnya lalu meloloskan diri? No... akan ditangkap, dan andaikan berhasi. membunuhnyapun, nona akan dihukum dan dibunuh pula."

   "Paman, mana ada perjuangan yang tidak mengandung bahaya? Perang hanyalah menang atau kalah. Orang tuaku tewas karena ulah An Lu Shan, bahkan Kerajaan Tang jatuh oleh pengkhianat itu. Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku membalas dendam? Dengan cara Itu, aku akan berhasil mendekatinya dan dapat membunuhnya. Kemudian, tentang aku akan berhasil meloloskan diri atau tidak merupakan masalah ke dua. Belum tentu aku tidak akan mampu meloloskan diri, paman!"

   "Tapi.... mengorbankan seorang gadis muda seperti nona...."

   Kata hartawan itu meragu.

   "Tidak ada kata pengorbanan bagi seorang pejuang, paman. Andaikata dianggap pengorbanan sekalipun, aku rela mengorbankan nyawa demi membalas kematian ayah ibuku dan demi Kerajaan Tang. Tidak perlu berpanjang kata, paman. Mau atau tidakkah paman membantuku agar aku dapat memasuki kalangan istana sehingga aku mendapat kesempatan untuk mendekati An Lu Shan?"

   Hartawan itu menghela napas panjang.

   "Sebaiknya kita menanti sampai kakakmu datang...."

   "Terlalu lama, paman. Dan Han-koko juga tidak akan dapat membantuku. Ini merupakan usaha pribadiku untuk bertindak.Kalau paman tidak mau membantu, biarlah aku mencari jalan lain."

   Menghadapi gadis yang bersikap keras itu, Ji-wangwe hanya menghela na pas dan mengangguk-angguk.

   "Baiklah,nona. Akan tetapi harus diatur sebaik mungkin. Kalau hendak mendekati An Lu Shan tanpa dicurigai, satu-satunya cara adalah menjadi seorang dayang istana. Dan kebetulan aku mempunyai hubungan dengan seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi kepala dayang. Kurasa dia akan dapat memasukkan nona ke istana sebagai dayang baru. Tentu saja kalau ada permintaan dayang baru dari istana."

   Ternyata secara kebetulan sekali, memang ada permintaan dari istana agar Gui-thaikam memasukkan lagi tujuh orang dayang baru untuk istana, atas permintaan permaisuri. Dengan sendirinya, tiga hari kemudian, Kui Bi telah berhasil diselundupkan sebagai seorang dayang baru.

   Ketika tujuh orang dayang baru itu dihadapkan kepada Kaisar An Lu Shan, di situ hadir pula Pangeran An Kong di samping permaisuri dan para selir kaisar.

   Juga ada beberapa orang panglima yang sedang menghadap untuk urusan tugas keamanan. Di antara para panglima itu terdapat Sia-ciangkun, yaitu Panglima Sia Su Beng yang pernah bertemu dengan Yang Kui Lan. Panglima inilah yang menjadi bengong dan jantungnya terasa berdebar-debar ketika ia ikut melihat masuknya tujuh orang calon dayang itu.

   Yang membuat dia terkejut bukan main adalah melihat dayang yang berjalan dalam urutan nomor tiga. Hampir dia berteriak memanggil.

   Bagaimana dia tidak akan terkejut melihat Kui Lan berada di antara tujuh orang dayang itu! Kui Lan,gadis perkasa yang katanya hendak menyusul ayahnya dalam rombongan Kaisar yang melarikan diri ke barat, gadis yang menjadi pejuang membela Kerajaan Tang, berada di sini sebagai calon dayang!

   Tentu saja ia merasa khawatir bukan main, maklum akan niat gadis itu. Gadis itu agaknya hendak nekat, hendak membunuh An Lu Shan dengan menyusup sebagai dayang! Dia harus mencegah ini, karena melakukan perbuatan itu sama saja dengan membunuh diri! Akan tetapi, apa yang dapat dia lakukan? Dia akan mencari jalan!

   Bukan hanya Sia Su Beng yang menjadi bengong ketika melihat Kui Bi yang disangkanya Kui Lan karena memang enci adik itu memiliki wajah yang mirip sekali. Juga An Lu Shan dan Pangeran An Kong memandang dengan mata yang tak pernah berkedip. An Lu Shan memandang dan jantungnya berdebar keras. Dia seperti melihat Yang Kui Hui hidup kembali, dalam tubuh yang jauh lebih muda.

   Namun tak salah lagi, wajah gadis dayang itu serupa benar dengan wajah mendiang Yang Kui Hui yang dahulu menjadi kekasihnya! Dia takkan pernah melupakan selir kaisar itu, karena harus diakuinya bahwa berkat bantuan Yang Kui Hui itulah dia mendapatkan kedudukan dan kepercayaan kaisar Kerajaan Tang dan akhirnya kini bahkan dapat merebut tahta Kerajaan Tang.

   Sementara itu, Pangeran An Kong yang terkenal mata keranjang, juga terpesona oleh kecantikan Kui Bi. Apa lagi ketika dengan sikap malu-malu, dengan kerling mata tajam dan senyum manis sekali Kui Bi yang melakukan penghormatan sambil berlutut kepada keluarga An Lu Shan,mengerling ke arah An Lu Shan dan Pangeran An Kong.

   Pangeran mata keranjang itu begitu tertarik oleh kerling mata dan senyuman Kui Bi sehingga dengan tak sabar dia lalu berkata kepada Permaisuri,

   "Ibunda, saya ingin agar calon dayang yang berbaju biru itu menjadi dayang saya!"

   Mendengar ucapan yang terang-terangan menunjukkan betapa pangeran itu terpikat oleh dayang itu, semua orang tersenyum, maklum akan watak mata keranjang pangeran itu.

   "Aih, engkau begitu tergesa-gesa! Akan tetapi bolehlah......"

   "Tidak!"

   Terdengar suara Kaisar menggeledek.

   Memang sudah timbul perasaan tidak senang antara ayah dan anak ini,pertama ketika mereka berdua saling memperebutkan seorang wanita istana Kerajaan Tang yang kemudian membunuh diri, kemudian sekali karena dengan dukungan banyak pejabat tinggi, Pangeran An Kong minta kepada ayahnya agar dia diangkat menjadi Pangeran Mahkota.

   "Engkau ini anak macam apa, An Kong! Para calon dayang ini dipesan Permaisuri atas perintahku dan begitu mereka muncul, enak saja engkau hendak memilih seorang di antara mereka? Akulah yang memutuskan, dan aku memerintahkan agar para calon ini menjadi dayang istana dan t idak boleh kau ambil begitu saja!"

   Wajah Pangeran An Kong menjadi merah sekali, matanya mencorong penuh kebencian kepada ayahnya. Hanya karena urusan seorang dayang saja, ayahnya tidak segan-segan menegurnya sedemikian kasarnya, di depan banyak orang pula. Ayahnya telah mempermalukan dia di depan orang banyak, seperti pernah dilakukannya ketika dia mohon diangkat menjadi pangeran mahkota. Kebencian menyesak dadanya, akan tetapi dia t idak berani banyak cakap lagi, hanya menundukkan mukanya, dengan hati panas seperti dibakar. Apa lagi ketika dia bertemu pandang dengan Bouw Koksu, yang memberi isyarat kepadanya dengan pandang mata, maka diapun tidak berani membantah lagi.

   Peristiwa kecil ini tidak luput dari pengamatan Kui Bi. Gadis yang cerdik ini segera dapat mengetahui bahwa terdapat ketegangan dan kebencian di qntara An Lu Shan dan An Kong, maka ia harus dapat memanfaatkan keadaan ini. Iapun mengerling ke arah pangeran itu yang kebetulan mengangkat muka memandang kepadanya dan sebuah kedipan halus diisyaratkan olehKui Bi kepada sang pangeran, disusul senyum manis sekali.

   Melihat keadaan yang tidak mengenakkan hati itu, sang permaisuri segera mengutus Gui-thaikam untuk menggiring tujuh orang dayang itu ke dalam istana.

   Semua yang terjadi itupun tidak luput dari perhatian mata Sia Su Beng.

   Bahkan dia melihat kedipan mata gadis yang disangkanya Kui Lan tadi. Dia merasa tidak enak sekali dan menduga-duga,apa yang akan dilakukan gadis itu. Kemudian dia teringat akan tekad Kui Lan untuk membantu Kerajaan Tang dan diapun mulai dapat menduga bahwa agaknya gadis pejuang itu sengaja menimbulkan ketegangan yang lebih hebat antara An Lu Shan dan An Kong, untuk mengacaukan istana melalui rusaknya hubunganl keluarga An Lu Shan. Dan dia merasa semakin tidak enak dan khawatir.

   Kui Bi menjadi dayang permaisuri dan ia pandai membawa diri, sehingga permaisuri merasa sayang kepadanya. Akan tetapi, diam-diam permaisuri juga khawatir kalau-kalau dayang baru ini akan dipilih suaminya untuk menjadi selir, ia tidak perduli kalau suaminya mengangkat selir baru berapa banyakpun akan tetapi ia tidak rela kalau An Lu Shan menarik Kui Bi sebagai selir, karena ia tahu bahwa puteranya, Pangeran An Kong, menghendaki gadis cantik ini.

   Maka,permaisuri sengaja memberi tugas pekerjaan kepada Kui Byang selalu menjauhkan dayang ini dari kaisar, bahkan sejak berada di istana, Kui Bi tidak pernah dapat bertemu dengan kaisar. Hal ini amat mengesalkan hatinya, karena kalau tidak dapat bertemu degan kaisar, tidak pernah dapat berdekatan, bagaimana mungkin ia mendapat kesempatan untuk membunuh An Lu Shan?

   Beberapa hari kemudian, setelah ia tidak mempunyai tugas apapun pada malam hari itu dari permaisuri sudah memasuki kamarnya, tidak membutuhkan tenaganya, Kui Bi menyelinap keluar dan memasuki taman istana yang luas dan indah.

   Wajahnya agak murung karena ia sama sekali tidak melihat kesempatan untuk melaksanakan niat hatinya, yaitu membunuh An Lu Shan.

   Untuk nekat saja mencari kamar kaisar baru itu dan mencoba membunuhnya, merupakan perbuatan yang nekat dan ia dapat mati konyol hasilnya belum tentu ada. ia teringat kepada Pangeran An Kong. Pangeran itu jelas tertarik kepadanya. Kalau saja ia dapat mendekati pangeran itu, mungkin akan terbuka jalan baginya untuk melaksanakan niatnya.

   Kui Bi melamun sambil berjalan-jalan di dalam taman yang hanya diterangi lampu-lampu gantung di sana sini. Malam itu langit gelap, dan penerangan seperti itu di taman membuat taman nampak semakin indah.

   Tiba-tiba pendengarannya menangkap gerakan orang, ia menahan langkah dan membalik ke kiri.

   "Siapa.....?"

   Tegurnya.

   "Sssttt....., siauw-moi..... ini aku, Sia Su Beng,"

   Terdengar suara pria lirih dan orangnya muncul dari baik semak.

   Sinar lampu yang lemah menerangi muka pemuda yang tampan gagah itu dan melihat pakaiannya, teringatlah Kui Bi akan seorang di antara para panglima yang hadir ketika ia dan para dayang lain dihadapkan kaisar dan keluarganya. Tentu saja ia terheran-heran mendengar suara yang nampak akrab itu, yang menyebutnya siauw-moi.

   "Kau.... siapakah dan ada apakah......?"

   Tanyanya gagap.

   "Aih, Lan-moi, lupakah engkau ke padaku? Aku Sia Su Beng dan kita pernah bertemu. Adik Kui Lan, sungguh aku amat mengkhawatirkan niatmu ini. Engkau hendak membunuh An Lu Shan, bukan? Jangan begitu gegabah, Lan-moi. Semua harus diperhitungkan baik-baik. Aku tidak ingin kehilangan engkau. Tunggulah saatnya sampai aku siap dengan pasukan ku. Aku sudah menghubungi para pejuang dan merekapun siap membantu. Kita akan serbu istana dan kita basmi keluarga An Lu Shan dan menguasai istana. Para pengikutnya akan kita buat tidak berdaya dengan kepungan pasukan.Percayalah, jangan sembarangan bertindak menyerangnya dan mengorbankan dirimu..."

   Kini mengertilah Kui Bi. Panglima ini juga seorang pembela Kerajaan Tang yang entah bagaimana telah berhasil menyusup menjadi seorang panglima pengikut An Lu Shan,dan agaknya panglima yang bernama Sia Su Beng ini telah bertemu dan berkenalan dengan Kui Lan, kakaknya! Panglima muda ini tentu mengira ia kakaknya. Sebetulnya, terdapat perbedaan antara wajah encinya dan wajahnya. Encinya, Kui Lan, yang wajahnya mirip sekali dengan mendiang Yang Kui Hui. Akan tetapi berkat usahanya untuk membuat wajahnya mirip Yang Kui Hui, maka dengan sendirinya kini wajah nya serupa dengan wajah encinya.

   "Maaf, ciangkun. Engkau keliru. Aku bukan Kui Lan......"

   Di bawah penerangan lampu yang suram, sepasang mata panglima itu terbelalak, akan tetapi dia tersenyum.

   "Aih, adik Kui Lan , harap jangan main-main. Ketika dihadapkan di depan keluarga kaisar, aku telah mengamatimu. Dan aku tahu pula bahwa engkau sengaja bermain mata dengan Pangeran An Kong. Tentu untuk mengadu antara ayah dan anak itu, bukan? Engkau harus berhati-hati, Lan-moi. Aku tetap yakin engkau Lan-moi, wajahmu, sinar matamu, suaramu, tidak dapat membohongaku. Jangan bermain api sendiri, Lan-moi, apa lagi terhadap Pangeran An Kong. Dia mempunyai pendukung yang amat kuat. Bouw Koksu dan banyak orang mendukungnya, banyak orang lihai di sekelilingnya. Agaknya dia sudah siap untuk menjatuhkan ayahnya sendiri dan merebut tahta."

   Kini Kui Bi tidak ragu-ragu lagii. Panglima ini bukan sedang menjebak nya, melainkan benar-benar seorang pejuang dan benar-benar telah mengenal aik encinya.

   "Kui Lan itu enciku, ciangkun. dan ia sedang pergi ke barat untuk menyusul rombongan Sribaginda Kaisar. Namaku Kui Bi dan aku ini adiknya."

   "Ahh......!Pantas saja kalau begitu. Lan-moi Silang bahwa ia hendak menyusul ayahnya yang ikut rombongan Sribaginda.Maka aku merasa terkejut dan heran sekali melihat engkau di antara tujuh dayang itu, heran mengapa Lan-moi yang pergi ke barat tiba-tiba muncul sebagai dayang di istana. Kiranya engkau adiknya?"

   "Aku senang sekali dapat bertemu denganmu, Siaciangkun....."

   "Adik Ku Bi, Kui Lan selalu menyebutku toako."

   "Baiklah, Sia-toako. Karena kita sepaham, maka aku merasa tenang dan tahu bahwa ada teman seperjuangan di dekatku. Aku tahu bahwa aku tidak boleh tergesa-gesa melaksanakan niatku. Aku harus menunggu kesempatan yang baik."

   "Bagus, Bi-moi. Aku akan selalu mengamati dan melindungimu. Jangan bergerak sebelum ada tanda dariku.Kalau semua telah dipersiapkan, barulah kita bergerak, dan engkau sebagai pelaksana dari dalam istana karena engkau yang paling mudah melaksanakannya. Akan tetapi.....eh, maaf, apakah engkau juga selihai encimu?"

   Kui Bi tersenyum, ia merasa suka sekali kepada panglima ini. Tampan, gagah dan tegas!

   "Jangan khawatir, toako. Enci Kui Lan itu juga kakak seperguruanku."

   "Bagus kalau begitu....."

   "Ssst......!"'

   Kui Bi memperingatkan dan Sia Su Beng cepat menyelinap di balik semak-semak tadi.

   Seorang thai-kam muda muncul dan tangannya membawa sebatang pedang. Dia termasuk thai-kam yang ditugaskan melakukan penjagaan dan dengan sendirinya dia bukanlah seorang yang lemah.

   "Hemm, kiranya engkau dayang baru itu! Di mana tadi pria yang bicara denganmu! "

   Bentak thaikam itu dengan nada bengs.

   "Pria? Apa yang kau maksudkan?"

   

JILID 10

Kui Bi berpura-pura dan sikapnya menjadi seperti orang ketakutan.

   "Tidak perlu berpura-pura dan berdusta! Aku sendiri melihatnya tadi ada bayangan seorang pria bercakap-cakap denganmu di sini! Hayo katakan, siapa dia dan di mana dia sekarang? Kalau tidak mengaku, engkau akan kuseret dan kulaporkan kepada komandan pasukan keamanan dan engkau akan disiksa agar mau mengaku! "

   Kui Bi merasa serba salah, akan tapi ia segera teringat bahwa Sia Sung merupakan seorang panglima yang tentu jauh lebih besar kekuasaannya di bandingkan seorang perajurit pengawal thai-kam biasa, maka iapun segera menjawab.

   "Ah, kau maksudkan Sia-ciangku tadi? Memang benar aku tadi bertemu dengan Sia-ciangkun di sini. Dia bertanya apa yang kukerjakan di sini dan ku jawab bahwa aku mencari hawa sejuk Dia lalu pergi dan......

   "Siapa Sia-ciangkun? Jangan bohong kau!"

   Pengawal itu melangkah dekat dengan sikap mengancam.

   "Aku tidak berbohong, yang bicara denganku tadi adalah Sia-ciangkun."

   Kata Kui Bi.

   "Sia-ciangkun adalah panglima yang terkenal."

   "Tidak mungkin. Engkau hanya seorang dayang baru, bagaimana mungkin panglima Sia bicara denganmu di taman Jangan melempar fitnah. Engkau harus kutangkap dan......"

   Tangan kiri Kui Bi bergerak cepat sekali dan tangan itu sudah menyambar ke arah dada thai-kam itu. Thaikam itupun lihai dan cepat meloncat ke belakang sehingga walaupun pukulan itu mengenai dadanya, namun tidaklah kuat benar, hanya membuat dia terhuyung.

   Akan tetapi, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan dengan cepat sinar pedang berdesing menyambar, maka robohlah thai-kam itu dengan dada tertembus pedang. Penyerangnya adalah Sia Su Beng. Pada saat itu, terdengar teriakan Gui-thai-kam dari pintu taman.

   "Nona Kui Bi, engkau di mana? Ke sinilah cepat,engkau dicari Yang Mulia Pangeran!"

   Wajah Kui Bi berubah agak pucat karena kalau sampai ketahuan thai-kam itu tewas di dekatnya dengan berlumuran darah, tentu ia akan celaka.

   "Tenang, kusembunyikan dia,"

   Terdengar Sia Su Beng berkata lirih. Panglima itu menyeret mayat thaikam itu ke balik semak-semak. Setelah panglima dan mayat itu tidak kelihatan lagi. Kui Bi menjawab dengan teriakan.

   "Aku berada di sini.....!"

   Dan iapun menghampiri ke arah pintu taman.

   Gui-thaikam nampak berlari-lari menghampiri.

   "Aih, apa saja yang kaulakukan malam hari di taman? Cepat, Yang Mulia Pangeran An Kong mencarimu, beliau akan marah kalau engkau tidak cepat menghadap."

   Mendengar ini, Kui Bi mengerling sekali lagi ke arah semaksemak.Tentu Sia Su Beng mendengar ucapan itu, pikirnya.

   Hatinya merasa agak lega karena ia tahu bahwa panglima itu tentu akan melindungi dan membantunya kalau ada bahaya mengancam, dan entah bagaimana, ia merasa bahwa bahaya itu datangnya dari sang pangeran yang secara berterang menyatakan terpikat olehnya dan menghendaki dirinya.

   "Aku hanya mencari hawa segar di taman,"

   Katanya dan iapun mengikuti thai-kam yang menjadi kepala dayang itu keluar taman menuju ke gerbang taman.

   Di sana telah menanti Pangeran An Kong bersama dua orang pengawal pribadinya. Kui Bi cepat maju dan meniru Gui-thaikam memberi hormat kepada sang pangeran yang tersenyum melihatnya.

   "Kui Bi, engkau memang cantik jelita,"

   Kata pangeran itu dengan kagum ketika dia memandang wajah manis itu di bawah sinar lampu gantung kemerahan.

   "Terima kasih, Pangeran. Hamba hanya seorang gadis dusun yang bodoh,"

   Kata Kui Bi merendah.

   "Aku mendengar engkau disia-siakan ayahanda kaisar,tidak pernah diperhatikan dan hanya mendapatkan tugas di luar kamar yang tidak penting. Hem, untuk apa ayahanda mempertahankan dari ku? Aku suka kepadamu. Kui Bi. Lebih baik engkau menjadi dayangku dan kalau engkau menyenangkan hatiku, engkau akan menjadi selirku."

   Berdebar rasa jantung Kui Bi, berdebar karena marah, juga karena khawatir. Tentu saja ia tidak ingin menjadi selir pangeran itu atau selir kaisar sekalipun, ia bersedia mengorbankan nyawa dalam perjuangan, akan tetapi mengorbankan kehormatannya? Tidak! ia akan mempertahankan kehormatannya, dengan nyawanya!

   "Ampun, Pangeran. Hamba tidak berani. Tanpa ijin Yang Mulia Sribaginda Kaisar, bagaimana hamba berani? Hamba akan menerima hukuman berat...."

   Katanya dengan nada ketakutan.

   Pangeran An Kong memberi isarat pada dua orang pengawalnya untuk meninggalkannya, demikian pula Gui thaikam karena ia ingin bicara berdua dengan Kui Bi dan tidak didengar orang lain. Dua orang pegawal itu meninggalkan mereka akan tetapi mengamati dari jauh untuk menjaga keselamatan sang pangeran, biarpun mereka maklum bahwa pangeran itu bukan orang lemah, bahkan ilmu silatnya lebih lihai dari pada mereka. Gui-thaikam juga meninggalkan tempat itu dengan taat, bahkan kembali memasuki bangunan belakang istana.

   "Nah, sekarang kita hanya berdua, Kui Bi. Katakanlah, bukankah engkau lebih suka menjadi dayangku dari pada menjadi dayang Sribaginda? Aku melihat kerling dan senyummu ketika itu "

   Kui Bi berlagak tersipu malu.

   "Ah, Pangeran. Tentu saja, hamba akan lebih suka kalau dapat menjadi dayang paduka...., akan tetap Sribaginda mengutuskan lain dan hamba t idak berani menentangnya."

   "Tidak ada yang menentang, tetapi katakan dulu, apakah engkau akan senang kalau menjadi selirku, bahkan mungkin kelak menjadi isteriku berarti engkau menjadi permaisuri kalau aku menjadi kaisar?"

   "Ahh..... tentu.... tentu saja Pangeran. Hamba akan..... senang sekali...."

   Kata Kui Bi walaupun di dalam hatinya ia memaki pangeran mata keranjang yang merayunya itu.

   "Dan engkau akan suka membantu melakukan apa saja untukku agar kelak engkau dapat menjadi permaisuriku?"

   Kui Bi memutar otaknya. Kalau pangeran ini menghendaki tubuhnya, tentu tidak demikian pertanyaannya. Pangeran ini tentu merencanakan sesuatu dan membutuhkan bantuannya!

   "Hamba akan berbahagia sekali, akan tetapi bagaimana mungkin hamba melayani paduka sebelum mendapatkan ijin Yang Mulia Kaisar dan Permaisuri? Atau kalau......."

   "Ya? Lanjutkan, jangan takut-takut."

   "Atau kalau paduka sudah menjadi kaisar tentu tidak ada yang akan membantah kehendak paduka."

   "Bagus, agaknya engkau cerdik seperti yang sudah kuduga. Kami membutuh bantuanmu, Kui Bi. Nanti pada saat akan kami beritahu, bantuan apa yang kami harapkan darimu. Tugas yang akann kami berikan itu teramat penting, kalau berhasil, sebagai imbalannya berjanji, engkau akan kami angkat jadi permaisuri kami."

   "Hamba siap membantu paduka, Pangeran,"

   Kata Kui Bi, hatinya lega karena jelas bahwa pangeran itu tidak menginginkan, setidaknya saat itu, tubuhnya melainkan tenaganya untuk membantunya melakukan sesuatu yang masih dirahasiakan.

   "Bantuan apakah yang dapat hamba lakukan? Apa yang harus hamba kerjakan? Mohon paduka memerntahkan sekarang juga."

   Pangeran itu tersenyum.

   "Tidak sekarang, Kui Bi. Aku hanya ingin mendengar kesanggupanmu dulu. Besok atau lusa, baru aku akan menjelaskan, apa yang harus kau kerjakan."

   Setelah berkata demikian, sang pangeran meninggalkannya.

   Kembali Kui Bi menoleh ke arah semak di tengah taman yang berada agj jauh dari situ. ia mengharapkan Sia Sun Beng sudah menyingkirkan mayat thai kamtadi.

   Ketika Gui-tahikam bertanya kepadanya apa saja yang dikehendaki Pangeran An Kong, Kui Bi tidak berani berterus terang, ia maklum bahwa thaikam yang menjadi kepala dayang ini mempunyai hubungan dengan Ji-wangwe, dan mungkin juga pendukung gerakan para pejuang pembela Kerajaan Tang. Akan tetapi ia tidak merasa yakin dan ia harus menimbulkan kesan baik kepada pangeran yang sudah menaruh kepercayaan kepadanya.

   "Ah, beliau tidak bermaksud apa apa, hanya karena memang sejak aku datang ke istana, beliau menaruh perhatian kepadaku, maka beliau bertanya apakah aku sudah senang tinggal di sini dan hanya itulah yang kami bicarakan pangeran An Kong itu baik sekali, beliau ramah dan sopan,sungguh aku amat terkesan dengan sikapnya."

   "Sstt, berhati-hatilah dengan beliau,"

   Kata Gui-thaikam.

   Kui Bi senang karena kepala dayang itu tidak mencurigainya, dan sejak malam itu, ia membicarakan dengan para dayang lain, juga dengan para thai-kam, memuji-muji keramahan sang sangeran.

   Tujuannya dengan puji-pujiannya ini ternyata berhasil karena di antara mereka yang mendengar pujiannya terdapat kaki tangan pangeran yang tentu saja menyampaikan hal itu kepada sang pangeran.

   "Paman Bouw Hun, kurasa gadis itu memang tepat untuk kita pergunakan,"

   Kata sang pangeran dalam suatu pertemuan rahasianya dengan Bouw Hun atau Bouw Koksu.

   "Kalau begitu, kita boleh melanjutkan rencana kita, pangeran. Kita hubungi pembantu kita di dapur istana, juga kepala pelayan di ruangan makan agar gadis itu dapat diperbantukan disana mulai sekarang. Setelah kesempatan tiba, kita suruh ia yang menaruh racun. Andaikata gagal dan ketahuan, gadis itulah yang dituduh dan kita boleh turun tangan membunuhnya karena ia berani mencoba meracuni Sribaginda."

   Kedua orang itu berbisik-bisik mengatur siasat yang mereka rencanakan masak-masak. Kemudian Bouw Hun melihat pintu ruangan yang sudah tertutup, memeriksanya kembali dan setelah yakin bahwa tidak mungkin ada orang lain dapat mengintai atau mendengarkan, dia berkata dengan wajah gembira.

   "Pangeran, kita telah berhasil. Bouw Ki telah berhasil mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu."

   "Bagus! Mana pusaka itu paman?"

   Bouw Koksu mengeluarkan sebuah bungkusan kain kuning dari balik jubah nya yang terisi sebuah kotak kecil berwarna hitam. Diletakkannya kota kecil itu di atas meja lalu dibukanya.

   "Inilah Mestika Burung Hong Kemala itu, pangeran."

   Pangeran An Kong menghampiri meja, mengambil benda pusaka itu dari dalamm kotak, mengamatinya dan tertawa gembira.

   "Ha-ha-ha, lambang kekuasaan Kaisar telah berada di tanganku. Paman, kita akan berkuasa. Sekaranglah saatnya kita merebut kekuasaan dari tangan ayah yang tidak adil, dan dengan pusaka ini, semua pejabat tinggi tentu akan tunduk kepada kita."

   "Benar, Pangeran. Akan tetapi, akan lebih baik dan tidak mendatangkan kekacauan kalau Sribaginda tewas karena sakit dan paduka menggantikan beliau sebagai puteranya."

   Kedua orang sekutu itu lalu mengatur siasat lagi. Akhirnya,pertemuan itu bubar ketika Bouw Koksu berpamit.

   "Sebaiknya kalau pusaka ini hamba yang menyimpan, Pangeran. Kalau paduka yang menyimpannya, amat berbahaya. Terlampau banyak orang di istana ini dan kalau ada yang tahu bahwa Giok-hong-cu berada di tangan paduka, tentu banyak yang ingin mencuri atau merampasnya. Kalau hamba yang menyimpan, takkan ada yang menduga dan akan lebih aman."

   Pangeran An Kong mengangguk-angguk.

   "Paman Bouw, percayalah, aku tidak akan melupakan semua jasamu kalau sampai usaha kita berhasil."

   "Hamba percaya-sepenuhnya kepada paduka, Pangeran.Dan sekarang, hamba sendiri yang akan membereskan urusan hamba dengan Souw Lok."

   "Benar, dia harus dibereskan agar tidak membocorkan rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala."

   Bouw Koksu memberi hormat lalu keluar dari kamar rahasia itu, meninggalkan Pangeran An Kong yang duduk termenung sambil tersenyum-senyum, membayangkan keberhasilan rencana siasatnya

   Souw Lok, pemilik toko Itu dengan tergopoh dan muka tersenyum cerah menyambut tamunya. Tamu agung yang turun dari keretanya itu adalah Bouw Koksu, guru negara yang tentu saja harus dihormatinya karena tokoh ini merupakan orang yang besar kekuasaannya, mungkin hanya di bawah kebesaran kekuasaan kaisar dan pangeran saja. Apa lagi Souw Lok maklum bahwa kunjungan orang penting ini mendatangkan rejeki kepadanya.

   Bukankah Bouw Koksu sudah berjanji bahwa kalau pusaka itu sudah ditemukan, dia akan memenuhi harga peta yang ditentukan? Dia baru menerima lima ribu tail, tentu sekarang pembesar itu datang untuk membayar kekurangannya yang lima ribu lagi.

   Keponakannya Souw Hui San, sebelum pergi mengambil pusaka itu berulang kali membujuk agar dia segera meninggalkan kota raja dan puas dengan hasil yang lima ribu tail itu saja.

   "Amat berbahaya berurusan dengan seorang seperti Bouw Koksu itu, paman,"

   Kata pemuda itu.

   "Bukankah sudah lumayan mendapatkan limaribu tail? Paman sudah berhasil meraih keuntungan karena kecerdikan paman, akan tetapi harap jangan terlalu murka untuk mendapatkan yang lebih banyak lagi."

   Dia menertawakan keponakannya itu.

   "Aih, Hui San,limaribu tail itu sudah berada di depan mata, seolah daging sudah berada di mulut, tinggal kunyah dan telan. Mengapa mesti ditinggalkan? Dia akan puas mendapatkan pusaka tiruan itu, dan akupun harus dapat menikmati hasilnya. Engkau saja yang berhati-hati dengan tugasmu, dan setelah berhasil, serahkan pusaka itu kepada seorang di antara putera Menteri Yang Kok Tiong seperti yang dipesankan beliau kepadaku. Dengan demikian, aku tetap setia kepadanya, tidak melanggar sumpahku kepadanya, dan akupun dapat menikmati hari tuaku."

   Hui San hanya menggeleng kepala saja lalu pergi. Ah, anak yang bodoh, pikirnya senang melihat Bouw Koksu turun dari keretanya. Kalau saja Hui San sudah pulang, dan melihat dia nanti menerima uang sebanyak limaribu tail dari Bouw Koksu, tentu dia akan dapat menggoda dan menertawakan keponakannyatu.

   "Selamat siang dan selamat datang, Tai-jin. Mari silakan, silakan masuk dan silakan duduk."

   Sambil berbongkok-bongkok Souw Lok mempersilahkan Bouw Koksu memasuki,tokonya.

   Bouw Koksu masuk lalu berkata.

   "Souw Lok, aku ingin bicara denganmu, di dalam saja agar tidak terdengar orang lain."

   Souw Lok mengangguk-angguk mengerti. Tentu saja pembayaran uang sebanyak limaribu tail t idak boleh dilihat orang lain karena akan menimbulkan keheranan dan kecurigaan.

   "Saya mengerti, Taijin, saya mengerti. Mari, silakan masuk, di dalam rumah tidak ada orang lain kecuali saya."

   Dia lalu menyuruh pembantunya berjaga toko sendirian, dan dia mengiring kan pembesar itu memasuki ruangan dalam rumahnya.

   "Souw Lok, engkau telah menipu kami!"

   Setelah beraba di ruangan dalam rumah itu, Bouw Koksu berkata, Seketika wajah Souw Lok berubah pucat karena dia mengira bahwa pembesar itu sudah tahu akan perbuatannya memalsukan Mestika Burung Hong Kemala.

   "Ehh? Apa..... apa..... maksud Taijin.....?"

   Katanya gagap.

   "Engkau telah memberikan peta yang palsu kepadaku! "

   Tentu saja Souw Lok menjadi semakin ketakutan.

   "Mana saya berani, Taj-jin? Mana saya berani menipu Taijin? Kalau saya menipu, tentu sudah melarikan diri, tidak tetap tinggal di sini. Saya menerima peta itu dari mendiang Menteri Yang sendiri., dan peta itu tidak pernah terpisah dari badan saya.Bagaimana mungkin bisa palsu?"

   "Hemm, benda pusaka itu tidak berada di tempat yang ditunjukkan peta! Engkau telah menipuku, karena itu, engkau harus mati di tanganku!"

   "Tidak..... ah, Taijin...... saya tidak menipu, saya hanya menerima peta itu dan...... dan Taijin boleh mengambil kembali semua milik saya....."

   "Hemm, mampuslah!"

   Bouw Koksu menggerakkan tangan kirinya ke arah dada Souw Lok.

   "Plakkk!!"

   Tubuh Souw Lok terjengkang dan dia tidak bergerak lagi, bahkan tidak sempat mengeluh. Pukulanlu merupakan pukulan beracun tangan kiri Bouw Hun Jan sekali pukul saja dia yakin akan mampu menewaskan Souw Lok.

   Dengan sikap tenang Bouw Koksu meninggalkan rumah itu.

   Dia tidak memperdulikan uang lima ribu tail yang sudah dipakai modal toko oleh Souw Lok. Dia membunuh Souw Lok untuk menutup mulut orang itu agar rahasia tentang Mestika Burung Hong Kemala tidak diketahui orang lain, bukan karena harus membayar lagi lima ribu tail.

   Bouw Koksu pergi naik keretanya dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tak lama setelah ia pergi, seorang pemuda tiba di toko Souw Lok itu. Pemuda itu, Souw Hui San, juga tidak tahu bahwa baru saja Bouw Koksu mengunjungi pamannya

   "Souw-kongcu, engkau baru pulang?"

   Tanya pembantu yang berjaga toko.

   "Di mana Paman Souw Lok"

   Tanya Souw Hui San yang tidak melihat pamannya berjaga toko.

   "Dia berada di dalam,"

   Kata penjaga itu dengan sikap dan suara wajar. Dia tadi melihat majikannya memasuki rumah bersama tamunya, dan melihat tamu itu baru saja pergi tadi.

   Tentu majikannya masih berada di dalam rumah karena dia tidak mel ihatnya keluar.

   Dengan gembira, bersiul-siul, Souw Hui San memasuki rumah. Hatinya gembira karena tugas yang dilaksanakannya berhasil baik dan dia yang dalam perjalanan selalu mencari keterangan, mendengar keterangan bahwa Kui Lan dan pemuda itu juga pergi ke kota raja. Ada harapan baginya untuk bertemu lagi dengan Kui Lan, gadis yang telah mencuri dan membawa lari hatinya itu.

   "Paman......! Di mana kau, paman?"

   Dia berseru memanggil dengan nada suara gembira.

   "Paman......!"

   Dia memasuki ruangan dalam dan tiba-tiba langkahnya tertahan dan matanya terbelalak memandang ke bawah. Di lantai ruangan itu nampak Souw Lok menggeletak,telentang dengan muka pucat.

   "Paman....., kau kenapa, paman?"

   Dia cepat meloncat mendekat dan berjongkok, memeriksa keadaan pamannya. Bukan main kagetnya ketika melihat napas pamannya sudah empas-empis dan ketika dia memeriksa dan menyingkap baju nya, di dada pamannya itu jelas nampak tapak tangan membiru. Pamannya telah terkena pukulan ampuh dan jelas tak mungkin dapat ditolong lagi.

   Tentu isi dada itu sudah remuk.

   "Paman, siapa yang melakukan ini?"

   Pemuda itu mengguncang pundak pamannya dan menotok beberapa jalan darah untuk memungkinkan pamannya memperoleh aliran darah ke kepala dan dapat bicara.
   
"Bouw Koksu.... dia.....dia...."

   Souw Lok terkulai dan tewas.

   Souw Hui San menggunakan tangannya untuk menutup mulut dan mata jenazah pamannya, kemudian dia bangkit berdiri dan mengepal tinju.

   "Jahanam engkau, Bouw Koksu! Tenanglah, paman, aku pasti akan membalaskan kematianmu!"

   Jenazah Souw Lok dimakamkan tanpa banyak ribut dan dikabarkan bahwa orang itu meninggal dunia secara mendadak karena penyakit berat yang menyerangnya secara tiba-tiba. Pada masa itu, orang yang meninggal secara mendadak seperti itu dikatakan masih angin duduk.

   Setelah pemakaman selesai, seluruh dan toko itu dijual oleh Souw Hui San dengan harga murah, kemudian tak ada orang melihatnya lagi. Pada hal San tidak pernah meninggalkan kota, bahkan dengan uang peninggalan pamannya, dia berhasil menyogok panglima pasukan istana dan masuk menjadi prajurit pasukan istana. Tentu saja ini dia lakukan dengan dua maksud, pertama agar dia dapat memperoleh kesempatan mendekati Bouw Koksu dan membalaskan kematiannya pamannya, dan ke dua, agar dia dapat membantu dari dalam kalau Kerajaan Tang datang menyerbu untuk merebut kekuasaan kembali dari tangan An Lu Shan.

   Yang Cin Han dan Yang Kui Lan masuki kota raja dengan menyamar. Kui Lan menyamar sebagai seorang pemuda dan mereka berdua mengenakan pakaian petani-petani muda yang sederhana. Untuk mengurangi ketampanan wajah Kui Lan, ia membuat sebuah tanda luka pipinya dengan campuran gandarukem dan malam sehingga wajah yang terlalu tampan itu kini berubah jelek.

   Ji Sok menerima kedatangan Cin Han dan Kui Lan pada malam hati itu dengan girang. Apa lagi ketika dia diperkenalkan kepada Kui Lan yang ternyata adalah puteri mendiang Menteri Ya Kok Tiong, pemimpin jaringan mata-mata mereka yang mendukung Kerajaan Tang itu merasa gembira sekali. Biarpun Menteri Yang Kok Tiong dahulu banyak musuhnya atau orang-orang yang tidak suka karena dia seorang penjilat kaisar namun pada akhirnya mereka semua harus mengakui bahwa Yang Kok Tiong adalah seorang menteri yang setia sampai mati kepada kaisarnya.

   Dan kini, melihat betapa tiga orang putera menteri itu menjadi orang-orang yang gagah perkasa dan bertekad untuk membantu Kerajaan Tang merebut kembali kekuasaan, tentu saja dia gembira dan kagum.

   "Bagaimana hasilnya dengan penyelidikanmu terhadap rombongan Bouw Ciangkun yang mengambil Mestika Burung hong Kemala itu, kongcu?"

   Tanya Ji-wangwe.

   Cin Han menceritakan semua yang dialami, tentang pertemuannya dengan adiknya dan betapa mereka berdua lolos dari ancaman bahaya di tangan rombongan itu.

   "Paman, aku ingin sekali mendapat keterangan tentang gadis yang ikut mengawal rombongan Bouw-kongcu itu. gadis itu penuh rahasia."

   "Saya mendengar bahwa ia bernama Kim Hong dan ilmu silatnya lihai bukan main, kongcu. Benarkah itu?"

   "Benar sekali. Tingkat ilmu silatnya hebat bukan main, bahkan aku sendiri merasa kewalahan menandinginya. Akan tetapi ada yang aneh, paman."

   "Apa maksud kongcu?"

   "Ketika kami bertanding, aku mendapat kesan bahwa ia tidak menyerangku dengan sungguh-sungguh. Hal ini sungguh mendatangkan perasaan aneh di curiga dalam hatiku. Oleh karena itu aku ingin paman menyuruh kawan kita yang bertugas di dalam rombongan mereka untuk menyelidiki siapa sesungguhnya Can Kim Hong itu, keterangan yang selengkapnya kalau mungkin, Ia puteri siapa dan murid siapa."

   "Itu mudah saja, kongcu. Akan saya minta keterangan dari kawan-kawan kita yang bertugas di sana."

   "Paman, di mana adik Kui Bi?"

   Tanya Kui Lan.

   Ji Sok lalu menceritakan perbuat un gadis itu yang nekat minta diselundupkan ke istana sebagai seorang dayang.

   "Ahhh......! Itu berbahaya sekali, paman!"

   Kata Cin Han.

   "Kenapa paman memperbolehkan ia mengambil tindakan senekat itu?"

   "Sudah, kongcu. Saya sudah mencegah dan menahannya, akan tetapi ia memaksa dan akhirnya saya tidak berani melarangnya."

   "Jadi sekarang ini adik Kui Bi tinggal di dalam istana sebagai seorang dayang?"

   Tanya Kui Lan.

   "Benar nona. Menurut berita yang kami peroleh, nona Kui Bi telah diterima dan menjadi dayang permaisuri. Bahkan ada berita bahwa ia diperebutkan oleh Kaisar An Lu Shan dan puteranya, An Kong."

   "Apa sih maksud sesungguhnya dari adik Kui Bi menyelundup ke dalam istana?"

   Tanya pula Kui Lan.

   "Aih, Lan-moi, apa engkau tidak mengenal watak Bi-moi? Tentu ia ingin langsung saja dapat membunuh An Lu Shan."

   "Itu berbahaya sekali!"

   Seru Kui Lan.

   "Andaikata ia berhasil membunuhnya, tentu ia akan dikepung dan dikeroyok, tidak mungkin dapat meloloskan diri dari istana ! "

   "Tenanglah, Lan-moi. Aku percaya bahwa Paman Ji akan dapat mengaturnya agar hal itu tidak akan teriadi,"

   Kata Cin Han.

   "Memang sebenarnyalah. harap kongcu dan siocia tenang, karena kami telah mendapat hubungan dengan seorang panglima yang diam-diam berpihak kepada Kerajaan Tang dan bahkan diam-diam dia sudah mempersiapkan diri,menghimpun pasukan yang setia kepada Kerajaan Tang dan sewak tu - waktu dia akan membasmi keluarga pemberontak An Lu Shan dan Penguasa istana. Menurut berita yang kuperoleh dari pembantu kami di istana, panglima itu sudah mengetahui akan rencana Nona Kui Bi yang hendak membunuh An Lu Shan, dan diapun sudah siap untuk melindungi nona Kui Bi."

   "Bagus sekali kalau begitu!"

   Kata Cin Han gembira.

   "Siapakah panglima Itu? Aku ingin mengenalnya, paman."

   "Dia adalah seorang panglima yang sejak dahulu bertugas di utara menjadi bawahan Jenderal An Lu shan. Akan tetapi,dia tidak setuju dengan t indakan An Lu Shan yang berkhianat dan membe rontak. Hanya karena dia menjadi bawahan maka dia tidak berdaya untuk mencegahnya. Kini, dia diam-diam menghimpun pasukan untuk kelak melawan An Lu Shan......"

   "Bukankah dia bernama Sia Su Beng?"

   Tiba-tiba Kui Lan memotong dan hartawan Ji terbelalak.

   "Ahh....., jadi nona sudah mengenalnya?"

   Katanya heran.

   "Lan-moi, benarkah engkau mengenal panglima itu?"

   Tanya pula Cin Han sambil mengamati wajah adiknya penuh selidik.

   "Peristiwa itu terjadi di kota Liu-ba,"

   Kata Kui Lan.

   "Dalam sebuah rumah makan aku diganggu tiga orang perwira yang kurang ajar. Kemudian, diluar kota itu, aku dihadang oleh tiga orang perwira itu bersama anak buahnya. Kami berkelahi dan aku dikeroyok kemudian muncul seorang perwira tinggi yang menghajar dan memarahi mereka. Orang itu berpakaian preman, akan tetapi para perwira mengenalnya dan dia bernama Sia Su Beng, seorang panglima muda yang ternyata mempunyai semangat dan tujuan yang sama dengan kita, yaitu mengusir An Lu Shan dan membantu kerajaan Tang berkuasa kembali."

   "Kalau begitu bagus sekali, Paman Ji!"

   Kata Cin Han.

   "Akan baik sekali kalau kami dapat, bertemu dengan panglima Sia,untuk membicarakan semua usaha perjuangan kita bersama.Tentang keadaan Sribaginda di barat, tentang Mestika Burung Hong Kemala yang terjatuh ke tangan Bouw-koksu."

   "Benar, paman. Kami harus dapat bertemu dan bicara dengan panglima Sia Su Beng. Akupun ingin bicara dengan ia tentang adikku Kui Bi."

   "Itu dapat diatur. Kongcu dan siocia Kami juga sedang menanti datangnya kawan-kawan yang bertugas melindungi Sribaginda di Se-cuan. Setelah mereka tiba, kita mengadakan rapat pertemuan dengan Panglima Sia agar lebih lengkap dan sekaligus kita mengatur rencana siasat yang akan kita ambil dalam perjuangan membantu Kerajaan ini, kalau saatnya tiba untuk merebut kembali kekuasaan."

   Ucapan Ji Sok itu melegakan hati Cin Han dan Kui Lan.

   Malam itu diantar oleh kakaknya, Kui Lan berkunjung ke tanah pekuburan di mana jenazah ibunya dikubur. Gadis ini menangis di depan makam ibunya dan dihibur oleh Cin Hari Setelah keduanya bersembahyang di depan makam ibu mereka, Cin Han mengaja adiknya untuk kembali ke rumah Jiwangwe,akan tetapi Kui Lan menolaknya.

   "Engkau kembalilah dulu, Han-ko Aku ingin berdiam lebih lama di depan makam ibu. Nanti aku akan menyusul kembali kesana."

   "Baiklah, memang tidak menguntungkan kalau kita berdua berada di sini, akan lebih mudah dilihat orang. Akan tetapi berhati-hatilah engkau dan jangan terlalu lama di sini."

   Cin Han lalu meninggalkan Kui Lan yang masih berlutut di depan kuburan ibunya yang amat sederhana itu. Setelah Cin Han pergi, kembali Kui ia menangis, meratapi ibunya yang tewas dalam keadaan amat menyedihkan dan kini dikubur secara sederhana seperti itu, seolah tidak terawat sama sekali.

   Bulan sudah naik tinggi dan cuaca cukup terang, bahkan sinar bulan yang sejuk mendatangkan suasana yang lndah sekali. Dengan bantuan sinar bulan, Kui Lan dapat membersihkan makam Ibunya dan mencabuti alang-alang liar yang tumbuh di situ. la mengerjakan ini sambil masih terisak menangis.

   "Malam-malam menangis seorang diri di sini sungguh menarik perhatian orang dan mencuriga kan."

   Kui Lan terkejut bukan main dan ketika dara ini memutar tubuh dan melihat sesosok tubuh seorang pria berdiri tidak jauh di belakangnya, iapun menerjang dengan dahsyat, menggunakan ginkangnya yang sudah tinggi tingkatnya tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu ia telah meloncat bagaikan terbang, tangannya mendorong ke arah dada orang itu.

   "Plakk!"

   Orang itu menangkis dan mereka berdua tergetar dan terdorong mundur.

   "Lan-moi, tahan dulu..... ini a....."

   Kata pria itu ketika Kui Lan hendak menyerang lagi.

   "Ahh.....! Kau Sia-twako!"

   Kata Kui Lan dan wajahnya berubah kemerahan. Kini ia mengenal pemuda itu yang berpakaian seperti seorang panglima, gagah dan tampan di bawah sinar bulan. Mereka berdiri saling pandang dan akhirnya Sia Su Beng yang berkata dengan lirih.

   "Lan-moi, sungguh berbahaya sekali engkau berani muncul di sini. Sejak tadi aku melihat dan mengintaimu dari jauh dan sekarang baru aku tahu bahwa engkau sesungguhnyalah adalah Yang uii Lan dan pemuda tadi tentu kakakmu Yang Cin Han, bukan?"

   Kui Lan melangkah menghampiri "Twako, engkau sudah tahu?"

   Panglima itu mengangguk,

   "Aku dah mendengar dari rekan kita, yaitu Ji-wan-gwe. Aku semakin kagum bahwa putera puteri mendiang Menteri Yang ternyata menjadi orang-orang muda yang gagah perkasa dan setia kepada Kerajaan Tang."

   "Twako, apakah engkau telah bertemu dengan adikku di istana?"

   "Ah, maksudmu adikmu Yang Ku Bi? Tentu saja sudah,bahkan tadi iapun mengaku bernama Kui Bi dan mengaku sebagai adikmu. Aku tadinya mengira bahwa kalian kakak beradik bermarga Kui, akan tetapi setelah aku teringat betapa wajah kalian mirip sekali dengan wajah mendiang selir Sribaginda Yang Kui Hui, dan akupun mendengar bahwa mendiang Menteri Yang Kok Tiong mempunyai dua orang anak perempuan, akupun dapat menduganya. Aku semakin yakin setelah aku mendapat keterangan dari J i-wan-gwe."

   "Bagaimana keadaan adikku, twako? Aku khawatir sekali mendengar ia begitu nekat."

   "Adikmu seorang pemberani yang amat mengagumkan,Lan-moi , dan aku yakin ia akan berhasil. Akan tetapi, harap engkau tidak khawatir karena ia tak akan bertindak gegabah,dan aku akan selalu melindunginya. Sudah kupesan kepada anak buahku yang bertugas istana agar selalu mengamati dan melindunginya kalau perlu."

   "Terima kasih, twako. Aih, hati ku menjadi lega sekali mendengar ucapanmu itu. Aku bersama Han-koko tinggal di rumah Ji-wangwe dan bukankah engkau akan mengadakan pertemuan dengan para rekan disana?"

   "Ssstt, Lan-moi. Sebaiknya kalau engkau sekarang segera pulang ke sana. Tidak baik terlihat orang di sini, apa lagi dengan aku, akan menimbulkan kecurigaan. Kita akan saling jumpa nanti dalam pertemuan itu. Nah, selamat malam, Lan moi,cepat kau pulang"

   Setelah berkata demikian, panglima itu menyelinap lenyap di dalam bayang-bayang pohon yang

   gelap.

   Kui Lan berdiri termenung, jantungnya masih berdebar keras. Ah, ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu Apa lagi setelah kini yakin bahwa pemuda yang mengagumkan hatinya itu ternyata adalah seorang tokoh yang akan berperan penting untuk menumbangkan kekuasaan An Lu Shan dan membangkitkan kembali kejayaan Kerajaan Tang.

   Iapun tesenyum-senyum bahagia ketika melangkah meninggalkan tanah kuburan, kembali ke rumah Ji Sok. Dalam keadaan segembira itu karena pertemuannya dengan Sia Su Jeng,lupalah sudah ia akan kedukaannya yang tadi di depan makam ibunya.

   Pikiran kita memang tiada henti-hentinya dipermainkan gelombang pertentangan antara suka dan duka, gembira dan sedih, puas dan kecewa, setiap saat berubah-ubah dipengaruhi keadaan yang kita nilai sebagai menguntungkan atau merugikan, menyenangkan atau menyusahkan.

   Tadi ketika ia menangis terisak-isak di depan makam ibunya, pikiran Kui Lan sepenuhnya membayangkan betapa dirinya ditinggal mati ibunya, betapa ia merasa kehilangan orang yang disayangnya, betapa orang yang disayangnya itu meninggal dunia dalam keadaan yang tidak menyenangkan dan sekarang dikubur dalam cara yang tidak menyenangkan pula.

   Kemudian, pemunculan Sia Su Beng bagaikan datangnya gelombang dari arah lain yang menelan gelombang pertama, membuat ia lupa akan keadaannya yang tadi, terganti oleh perasaan gembira karena munculnya pemuda yang dicintanya itu dirasakan amat menyenangkan. Setiap hari kitapun berada dalam keadaan yang sama dengan apa yang dialami Kui Lan.

   Kita lupa sudah bahwa benda apapun, orang manapun,peristiwa apapun yang terjadi, semua hanya selewat saja,hanya sementara saja, sama sekali t idak kekal.

   Karena itu,benda atau orang atau peristiwa yang hari ini mendatangkan perasaan suka, di lain hari mungkin akan menimbulkan perasaan duka, yang kemarin mendatangkan duka, mungkin hari ini mendatangkan rasa duka. Semua itu diukur dengan bagaimana kita menerimanya. Kalau kita merasa diuntungkan,kita senang, sebaliknya kalau dirugikan, kita susah!

   Yang menjadi biang keladi semua kesengsaraan, semua permainan suka duka, bukan lain adalah nafsu yang telah menguasai hati akal pikiran kita.

   Nafsu yang mendorong kita untuk mengejar kesenangan, dan sekali dikejar, maka takkan ada batasnya, takkan ada habis nya bahkan makin dituruti nafsu yang menguasai diri, semakin murka dan tamak.

   Nafsu bagaikan api, kalau terkendali, merupakan alat yang paling penting bagi kita. Sebaliknya, kalau tidak terkendali dan nafsu yang menguasai kita, bagaikan api yang liar, maka nafsu akan menelan segalanya, makin banyak yang dimakan, semakin laparlah dia!

   Namun, di samping merupakan pengoda terbesar yang akan menyeret kita lembah kesengsaraan, nafsu juga merupakan peserta yang mutlak perlu bagi kehidupan kita.

   Tanpa adanya nafsu, ka tidak akan menjadi manusia seperti sekarang ini.

   Nafsu adalah pemberian Tuhan yang diikutsertakan kita sejak kita lahir. Nafsu yang mendatangkan kenikmatan, melalui penglihatan, penciuman, pendengaran dan semua alat atau anggauta tubuh kita. Nafsu yang mendorong otak dan akal budi kita untuk membuat apa saja demi kenikmatan hidup di dunia ini, nafsu yang menimbulkan gairah dan semangat hidup, bahkan yang mendatangkan kemajuan-kemajuan seperti yang kita alami sekarang.

   Tanpa adanya nafsu, mungkin manusia masih hidup seperti binatang, tidak mengenal kenikmatan hidup melalui panca indera. Jelas bahwa kita tidak dapat meninggalkan nafsu.

   Nafsu adalah kawan terbaik, akan tetapi juga lawan terjahat. Lalu bagaimana ini? Dibuang t idak mungkin, dirangkul berbahaya. Pikiran hanya merupakan gudang berisi pengalaman-pengalaman masa lalu seperti pita yang penuh rekaman, yang kita namakan pengetahuan.

   Bagaimana mungkin pengetahuan dapat meredakan bersimaraja lelanya nafsu? Pikiran dan hati akal pikiran, batin ini sudah bergelimang nafsu, lalu bagaimana mungkin hati akal pikiran itu menguasai diri sendiri? Tidak mungkin sama sekali, dan kalaupun diusahakan, hasilnya hanyalah semu dan palsu.

   Nafsu yang mendatangkan amarah di dalam hati, mendorong kita untuk marah marah, melakukan pemukulan atau caci maki. Pikiran, pengetahuan dalam pikiran kita tahu belaka bahwa amarah itu tidak baik, namun, apakah pengetahuan Ini dapat meredakan amarah itu sendiri? Mungkin menekan dapat, namun, amarah yang ditekan dan disabar-sabarkan, bagaikan api yang ditutup sekam, nampaknya saja padam namun ternyata di sebeah dalam masih membara dan sedikit saja ada angin bertiup, akan bernyala lebih besar lagi dari pada sebelumditutup sekam.

   Pertanyaan abadi kita selalu bergema di sepanjang masa.

   Apa yang harus kita lakukan? Nafsu tak dapat dibuang, menyebabkan kematian. Nafsu tak boleh dibiarkan meliar, menyebabkan kesesatan. Juga hati akal pikiran tidak dapat mengen dalikannya. Lalu bagaimana? Seperrti buah simalakama, dimakan ibu mati tak dimakan bapak mati.

   Lalu bagaimana kita harus menghadapi nafsu kita sendiri yang oleh para bijak dinamakan musuh yang paling berbahaya?

   Seperti segala apapun di dunia ini, yang nampak ataupun tidak, segala sesuatu ini ada karena diadakan oleh kekuasaan Tuhan! Kalau kita sudah yakin akan hal ini, maka mengapa kita bingung menghadapi nafsu kita sendiri Kita serahkan saja kepada penciptanya Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan mampu menanggulangi nafsu, hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan dapat mengatur nafsu, seperti kekuasaan itu ia yang mengatur denyut jantung kita mengatur pergerakan bintang-bintang di langit, mengatur segala sesuatu, dari yang terkecil sampai yang terbesar!

   Kalau kita sudah menyerah kepada Tuhan dengan segala kepasrahan,kesabaran, keikhlasan, ketawakalan, secara mutlak, lahir batin, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dan tidak ada hal yang tidak mungkin kalau kekuasaan Tuhan sudah bekerja!

   Hanya kekuasaan Tuhan saja jalan yang akan dapat mengembalikan nafsu dalam kedudukannya semula, dari fungsinya semula, yaitu sebagai peserta dan alat dari kita untuk melayani kebutuhan hidup kita ini, menjadi abdi kita,bukan majikan kita.

   Cin Han meninggalkan kuburan ibu dan dengan hati-hati dia melangkah, hendak kembali ke rumah Ji Siok, melalui jalan yang sunyi agar tidak di kenal orang yang berlalu-lalang di jalan. Malam itu bulan hampir penuh, udara cerah dan hawanya sejuk, cuaca yang remang terang itu mendatangkan suasana yang romantis sekali. Cahaya bulan nampak kuning kehijauan, dan pohon-pohon nampak seperti raksasa di tepitepi jalan.

   Banyak orang keluar dari rumah malam itu untuk menikmati malam terang bulan. Kalau sang surya di siang hari bagi kebanyakan orang melambangkan kejantanan dan kegagahan, keperkasaan dan kekuasaan, bulan sebaliknya melambangkan kelembutan, keayuan dan keindahan. Surya selalu melotot marah, sebaliknya bulan selalu tersenyum ramah.

   Cin Han menyelinap ke jalan kecil di persimpangan, mengambil jalan agak memutar menuju rumah Ji Siok. Jalan kecil ini di kanan kirinya ditumbuhi pohon-pohon sehingga jalan itu sendiri lebih banyak digelapkan bayangan pohonpohon. Dia merasa lebih aman melalui jalan ini.

   Ketika dia berjalan dengan hati hati, mendadak dia menahan langkahnya dan tangan kanan yang memegang sebatang ranting pohon menggenggam ranting itu erat-erat. Sesosok bayangan berkelebat di arah kirinya.

   Akan tetapi karena tidak ada serangan atau gerakan lain, diapun melanjutkan langkahnya dengan penuh kewaspadaan.Mungkin dia salah lihat, pikirnya. Akan tetapi tiba tiba di sebelah kanannya ada pula bayangan berkelebat.

   Tempat itu sunyi tidak nampak seorangpun pejalan kaki maka dia tidak khawatir menunjukkan ketajaman matanya dan diapun berseru

   "Sobat manakah yang hendak bermain-main dengan aku?"

   "Seorang sobat lama,"

   Terdengar suara lirih dan lembut,suara seorang wanita dan muncullah seorang gadis yang bertubuh ramping Di bawah sinar bulan yang lembut, wajah itu nampak seperti wajah bidadari, karena kebetulan sekali sinar bulan tepat menimpa wajah yang berbentuk buiat telur.

   Rambut lebat berombak, matanya lebar dengan kedua ujungnya menjulang, mata itu sendiri nampak indah menantang dan mempunyai daya tarik yang amat kuat.

   Mulutnya tersenyum manis, dengan bibir yang merah sehat dan lesung pipit di belah kiri mulutnya.

   Senyum dan sinar matanya jelas membayangkan bahwa seorang gadis yang ramah, lincah Jenaka. Usianya sekitar sembilan belas tahun lebih.

   Begitu melihat wajah gadis itu, seketika Cin Han teringat, wajah itu bahkan selama ini tidak pernah meninggalkan benaknya, selalu terbayang. Wajah gadis cantik yang amat lihai, yang ikut dalam rombongan Bouw-cingkun yang mengambil Mestika Burung Hong Kemala tempo hari.

   Baru tadi diantar kepada Ji Siok untuk menyelidiki tentang gadis lihai yang tidak menyerangnya dengan sungguh-sungguh itu, dan kini dia sudah berhadapan dengan Jelas bahwa gadis inilah yang sengaja menghadangnya, berarti gadis ini yang mempunyai keperluan untuk bertemu dengan dia.

   "Ah, kiranya engkau, nona Can Kim Hong yang terhormat!"

   Kata Cin Han sambil tersenyum.

   Sepasang mata yang indah itu terbelalak dan Cin Han merasa betapa hati nya jungkir balik!

   "Eh, bagaimana engkau dapat mengetahui namaku?"

   Tanya gadis itu yang bukan lain adalah Can Kim Hong.

   Cin Han masih tersenyum dan ada kebanggaan dalam senyumnya itu karena keheranan gadis itu sama dengan kekaguman.

   "Nona, siapa yang tidak tahu akan keadaan diri nona yang amat lihai, bahkan merupakan pembantu utama dari pasukan istana? Nona telah membuat jasa besar kepada Bouw Koksu!"

   Akan tetapi, Kim Hong mengerutkan alisnya.

   "Tidak perlu menyindir!"

   Katanya galak.

   "Ketahuilah bahwa Bouw Koksu itu adalah bekas guruku, juga keluarganya yang merawatku sejak aku kecil. Sudah sepatutnya kalau aku membantu Panglima Bouw Ki yang terhitung kakak seperguruanku sendiri. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak membantu An Lu Shan."

   "Aku sudah dapat menduganya, nona karena kalau engkau benar-benar membantu An Lu Shan, tentu saat ini aku udah tidak ada lagi, sudah tewas ditanganmu. Akan tetapi apa bedanya, ai Biarpun engkau mengatakan bahwa engkau tidak membantu An Lu Shan, akan tetapi engkau sudah membantu dia mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala itu telah merupakan bantuan yang amat besar pula.'"

   "Hemm, engkau menyindir lagi, betapa sombongnya engkau. Apa kau kira di dunia ini hanya engkau saja yang setia pada Kerajaan Tang, Yang Cin Han?"

   Kini Cin Han yang terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada gadis itu.

   "Ehh.... dari mana kau tahu.."

   Gadis itu tersenyum dan untuk kedua kalinya hati Cin Han jungkir balik dibuat salto beberapa kali dan jatuh terbalik di tempatnya.

   "Hemm, kau kira hanya engkau saja yang pandai menyelidiki orang? Apakah setelah engkau muncul sebagai pengemis tempo hari, aku percaya begitu saja. Pakaianmu memang seperti pengemis, akan tetapi muka dan kulit lehermu, juga tanganmu terlampau bersih bagi seorang pengemis. Dan ilmu silatmu lihai sekali. Tadinya aku hanya menduga bahwa engkau tentulah seorang pendekar yang menyamar. Akan tetapi setelah aku melihat engkau dan adikmu bersembahyang di depan makam tadi, mudah saja mengetahui siapa engkau karena aku tahu bahwa makam itu adalah kuburan mendiang Nyonya Menteri Yang Kok Tiong."

   "Bukan main! Celakalah aku kalau engkau benar-benar antek pemberontak An Lu Shan!"

   Kata Cin Han, tidak main main lagi dan telah siap menghadapi serangan.

   "Tentu engkau akan menangkap ku, bukan?"

   "Salah! Aku hanya ingin memberi tahu kepadamu bahwa kalian anak-anak mendiang Menteri Yang Kok Tiong bermain dengan api yang amat berbahaya. Bukankah seorang lagi adikmu menyusup kedalam istana sebagai seorang dayang"

   "Nona, engkau tahu juga akan hal Itu? Sudahlah, aku takluk akan kecerdikanmu. Sekarang, apa kehendakmu menghadangku? Menangkapku, atau membunuhku?"

   "Kalau itu yang kukehendaki, sudah sejak tadi aku menyerangmu, bukan? atau kulaporkan saja kepada suhengku, Bouw-ciangkun dan engkau bersama dua orang adik perempuanmu dan juga Ji-Wangwe dan semua temannya akan ditangkap!"

   "Ahh..... kau... kau agaknya mengetahui segalanya!"

   "Kau kira kalian saja yang pandai? Kalian saja yang berhak membela Kerajaan Tang? Akupun menerima tugas dari guruku untuk membela Kerajaan Tang dan menentang An Lu Shan.'"

   Bukan main girangnya hati Cin Han mendengar ucapan ini.

   "Sungguhkah? Aih, betapa lega dan girang hatiku mendapatkan seorang teman seperjuangan sepertimu, nona Can Kim Hong! Akan tetapi...."

   Dia meragu.

   "kalau benar seperti yang kau katakan bahwa engkau juga membela Kerajaan Tang, kenapa engkau malah membantu mereka mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala, lambang kekuasaan kaisar?"

   "Yang Cin Han, tidak perlu engkau berpura-pura lagi.Engkau dan adikmu itulah yang sudah mendapatkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli dan menukar dengan yang

   palsu sehingga kini Bouw-koksu menemukan yang palsu, bukan? Engkau memang cerdik. Diam-diamaku kasihan sekali melihat mereka tidak menyadari bahwa mereka menemukan pusaka yang palsu."

   "Sungguh, aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan,nona. Kami tidak tahu menahu tentang pusaka itu, kami hanya mendengar bahwa peta penyimpanan pusaka itu terjatuh ketangan Bouw-koksu dan aku bertugas untuk membayangi dan menyelidiki pengambilan pusaka itu. Dalam tugas itu, aku bertemu adikku Yang Kui Lan dan bentrok dengan rombonganmu. Apa yang terjadi? Jadi rombongan Bouwciangkun mendapatkan pusaka yang palsu? Lalu, siapa yang mengambil pusaka aselinya?"

   Kini Kim Hong yang tertegun. Ada beberapa orang lewat dan Kim Hong memberi tanda kepada Cin Han agar mengikut inya. Mereka meninggalkan jalan kecil itu dan menyelinap ke dalam tanah kuburan yang sepi, diikuti oleh Cin lan. Mereka duduk di bangku yang berasa di luar sebuah makam yang mewah, dan bercakap-cakap.

   "Sekarang kita dapat bicara leluasa disini, nona......"

   "Kita adalah orang segolongan, tidak perlu engkau bernona-nona kepada. Atau engkau ingin kusebut tuan?"

   Kim Hong memotong sambil cemberut. Cin Han tersenyum.

   "Baiklah, Kim Hong, memang tidak ada gunanya berbasa-basi. Engkau tentu sudah tahu akan keadaan kami. Ayahku mengikut i Sribaginda Kaisar mengungsi ke barat. Ibuku tidak mau ikut dan menanti kami pulang akan tetapi ibu menjadi korban penyerbuan gerombolan An lu Shan. Ibu membunuh diri. Kami bertiga sedang pergi berguru, kedua orang adikku terpisah dariku dan baru sekarang kami saling jumpa kembali. Aku menjadi murid Sin-tung Kai-ong. sedangkan kedua orang adikku menjadi murid Kong Hwi Hosiang. Sekarang aku dan adikku Kui Lan tinggal di rumah Hartawan Ji, sedangkan Kui Bi, seperti telah kau ketahui, di luar pengetahuanku, telah menyusup ke dalam istana. Nah, semua sudah jelas, bukan? Sekarang aku ingin sekali mengetahui tentang dirimu agar tidak timbul kesalah-pahaman lagi di antara kita."

   Gadis itu menghela napas panjang.

   "Aku bukan keturunan bangsawan seperti engkau. Aku hanya orang biasa....."

   "'lhh! Kenapa kata-katamu begitu cengeng?"

   Cin Han mencela.

   "Aku bosan mendengar tentang bangsawan, dan aku dan kedua orang adikku sudah lama muak dengan kebangsawanan itu. Kami melihat segala macam kepalsuan di istana dan itulah yang mendorong kami untuk pergi merantau dan berguru. Bahkan aku dahulu sering ribut mulut dengan, mendiang ayah karena aku tidak suka dijadikan pejabat. Kami bahkan lebih senang memilih menjadi rakyat biasa, tidak terlalu banyak peraturan, tidak hidup dengan banyak adat istiadat palsu. Nah, lanjutkan keterangan tentang dirimu, Hong-moi (adik Hong). Aku tentu lebih tua darimu, maka aku akan menyebutmu Hong-moi."

   "Engkau seorang pemuda luarbiasa Han-ko. Engkau keturunan menteri besar, bangsawan tinggi akan tetapi lebih suka menjadi rakyat biasa, engkau lihai dan pandai bicara.Tidak ada yang istimewa dalam hidupku. Sejak kecil, aku dirawat dan dididik oleh guru , yaitu Bouw-koksu sekarang ini.Ibuku seorang suku bangsa Khitan..."

   Gadis itu berhenti dan mencoba untuk mengamati wajah pemuda itu dengan teliti dibawah sinar bulan yang tidak terhalang terang.

   "Kenapa berhenti, Hong-moi? Lanjutkan......"

   "Engkau tidak terkejut? Ataukah tidak jelas mendengar ucapanku tadi Ibuku seorang wanita Khitan....."

   "Habis, kenapa? Kenapa aku harus terkejut? Wanita Khitan itu seorang manusia, bukan? Kalau kau ceritakan bahwa ibumu seekor naga atau seekor burung Hong, barulah aku akan terkejut,'"

   Kata Cin Han sambil tertawa.

   Kim Hong tertawa juga, akan tetapi tawanya mengadung kepahitan.

   "Han-ko, bukankah kaum bangsawan bangsa Han selalu memandang rendah kepada suku bangsa lain yang dianggap sebagai bangsa liar? Engkau tidak memandang rendah kepadaku karena ibu seorang Khitan?"

   "Wah, kalau begitu engkau keliru menilai diriku, Hong-moi.Bagiku, bangsa apapun di dunia ini, asal dia manusia, maka dia sama saja dengan kita. Baik buruknya seseorang bukan dinil dari kebangsaannya, atau kepintarannya, kedudukannya atau kekayaannya, melainkan dari perbuatannya. Tidak Hong moi, aku t idak memandang rendah kepadamu atau ibumu!"

   "Terima kasih, Han-ko. Ibuku telah meninggal dunia dan ketika ibu masih hidup, ia pernah berpesan agar aku mencari ayah kandungku, seorang Han.. ayahku seorang perwira pasukan Tang yang pernah menyerbu ke daerah Khitan dan tertawan oleh bangsa Khitan. Ayah kemudian menikah dengan ibu dan lahir aku. Akan tetapi, ketika mendapat kesempatan, ayah kandungku itu melarikan diri dan kembali ke timur. Nah ibu memesan agar aku mencari ayah kandungku. Aku lalu meninggalkan Khitan dengan diam-diam. Akan tetapi guruku, dulu yang sekarang menjadi Bouw Koksu dan puteranya, suheng Bouw Ki mengejar. Aku tentu telah ditangkap dan dipaksa pulang kalau saja tidak ditolong seorang sakti yang kemudian menjadi guruku."

   "Siapakah penolong yang kemudian jadi gurumu itu, Hongmoi?"

   "Sebetulnya dia tidak ingin namanya kusebut, akan tetapi karena engkau sudah berterus terang mengenai dirimu, dan entah mengapa aku percaya kepadamu, maka biarlah kau ketahui. Guruku itu berjuluk Si Naga Hitam bernama Kwan Bhok Cu......"

   "Hebat! Aku pernah mendengar nama itu disebut-sebut suhu-ku. Bukankah gurumu itu mengasingkan diri di Bukit Nelayan?"

   "Benar, Han-ko. Setelah selesai mengajarkan ilmu kepadaku, suhu memberi tugas kepadaku untuk membantu Kerajaan Tang, dan terutama sekali mencari Mestika Burung Hong Kemala untuk diserahkan kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong. Aku menyelidiki ke kota raja dan bertemu dengan suhengku, Bouw Ki yang kini telah menjadi seorang panglima. Karena kuanggap dengan mendekati istana aku bahkan lebih dapat banyak membantu gerakan pendukung Kerajaan Tang maka aku mau diminta tinggal di rumah mereka."

   "Dan engkau ikut rombongan mengambil pusaka itu dengan maksud untuk merampasnya?"

   "Kalau ada kesempatan, mengapa tidak? Suhu menugaskan aku untuk mencari pusaka itu dan mengembalikannya kepada Sribaginda Kaisar."

   "Dan apa maksudmu dengan mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala. Yang didapatkan rombongan itu palsu?"

   "Aku sendiri selama hidupku belum pernah melihat pusaka itu, akan tetapi melihat peti kecil dan tanda-tanda yang kutemukan, aku yakin bahwa ada orang mendahului rombongan, mengambil barang aseli dan menukar dengan yang palsu. Hanya aku yang melihat adanya bekas tapak kaki di dalam guha, dan peti Itupun bersih, tidak berdebu dan tidak basah seperti yang seharusnya, tanda bahwa peti itu baru saja diletakkan orang di sana. Akan tetapi rahasia ini kusimpan sendiri dan tadinya kukira engkau yang telah mendahului rombongan"

   "Sama sekali tidak, hong-moi. Ah, kalau begitu ada orang lain yang telah menguasai pusaka aselinya. Ini jauh lebih sukar daripada kalau pusaka itu berada di tangan Bouw Koksu,karena setidaknya kita mengetahui di mana adanya pusaka itu. Sekarang, kita tidak tahu siapa yang memilikinya dan bagaimana mungkin kita dapat mencarinya?"

   Dalam suara Cin Han terkandung penyesalan.

   "Aku mendapat petunjuk, Han-ko. Ini hanya dugaan, akan tetapi tidak ada orang lain yang patut dicurigai."

   Ia lalu menceritakan tentang pemuda berotak miring yang muncul ketika rombongan Bouw Ki mengepung Kui Lan.

   "Baru setelah rombongan menemukan pusaka palsu, aku mengenang kembali pemuda itu dan sekarang aku mengerti.Kenapa seorang pemuda sinting berkeliaran di tempat kering kerontang seperti itu? Apa yang dicarinya? Dan ketika dia bicara ngacau tentang Kaisar Li Si Bin yang sakti, tentang Tatmo Couw-su, sekarang aku mengerti bahwa dia sengaja mempermankan rombongan Aku yakin bahwa dia seorang yang menentang An Lu Shan dan berpihak kepada adikmu Kui Lan itu. Akan tetapi dia hendak merahasiakan dirinya maka bersembunyi. Andaikata engkau dan adikmu terancam bahaya, aku yakin si gila itu akan muncul. Juga aku teringat sekarang. Wajahnya tampan dan sinar matanya mencorong.Siapa lagi kalau bukan dia yang telah mengambil pusaka aseli dan menggantikannya dengan yang palsu?"

   "Memang mencurigakan sekali dia. Apakah dia memiliki ilmu silat yang tinggi?"

   Kim Hong mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala penuh keraguan.

   "Aku sudah memeriksa buntalan pakaiannya,tidak menemukan benda pusaka. Aku sudah mengujinya dengan serangan, ternyata dia tidak dapat bersilat. Ketika aku mengembalikan pedangnya, aku sengaja melemparkan pedang itu sehingga pedang mengenai kepalanya dan dia tidak mampu mengelak, bahkan dahinya benjol."'

   "Pedang? Orang gila yang tidak pandai silat membawa pedang? Sungguh aneh."

   "Sekarang barulah hal itu nampak aneh. Betapa bodohnya aku! Kami semua memang curiga dan dia berkata bahwa pedang itu milik kakeknya yang katanya merupakan seorang tokoh besar dunai persilatan. Dia bilang kalau aku tidak mengembalikan pedangnya, dia akan menyiarkan di seluruh dunia persilatan bahwa pedangnya dicuri seorang gadis.... eh, jelita dengan lesung pipit d pipi kiri...."

   Kim Hong agak tersipu.

   "Dia memang benar!"

   Tiba-tiba Cin Han terkejut sendiri karena suara hatinya itu begitu saja tercetus keluar.

   "Apa maksudmu?"

   Kim Hong membelalakkan mata bertanya.

   "Maksudku.... eh, bahwa dia tdak bohong... eh, dia benar karena engkau memang jelita dan lesung itu..... eh, maksudku dia memang benar aneh."

   Cin Han benar-benar gagap dan salah tingkah menyadari kata-katanya yang seharusnya disimpan di hati saja menerobos keluar.

   Kim Hong merasa betapa wajahnya panas. Warna kemerahan naik memenuh leher dan mukanya. Dara ini merasa heran sendiri. Kenapa mendengar pujian kacau balau itu ia tidak merasa marah bahkan menjadi tersipu malu?

   Padahal biasanya, kalau ada pria memuji kecantikkannya, akan dianggapnya kurang ajar lala akan marah-marah.

   "Hemmm, apakah orang sintingnya sekarang menjadi dua?"

   Katanya mengejek dan Cin Han menjadi semakin gugup.

   "Ehh... ohhh...,maafkan, eh, maksudku, harap teruskan ceritamu, Hong-moi."

   "Sudah kuceritakan semua keadaan diriku, Han-ko.Sekarang, sebaiknya kita membagi tugas. Aku yang berada didalam, akan siap mengawasi adikmu Kui Bi dan kalau perlu membantunya, sedangkan engkau yang berada di luar menyebar kawan-kawan untuk menyelidiki tentang pemuda sinting itu. Kita harus menemukan pusakanya yang aseli dan membiarkan Bouw Koksu mempunyai suatu rencana gelap bersama Pangeran An Kong. Aku ingin melihat mereka berdua mengadakan pertemuan rahasia."

   

JILID 11

"Itu baik sekali, Hong-moi. Aku mendengar bahwa di antara Pangeran An Kong dan ayahnya, An Lu Shan, terdapat ketegangan. Dan engkau sendiri, bagaimana mungkin engkau menentang orang yang pernah menjadi gurumu, yang memelihara dan mendidikmu sejak kecil? Maafkan kalau aku tanyakan hal ini karena aku yakin seorang gadis yang gagah perkasa seperti engkau tentu tidak akan melakukan hal-hal yang melanggar kebenaran dan keadilan."

   Gadis itu menghela napas panjang.

   "Dahulu memang Bouw Koksu memang guruku yang amat sayang kepadaku sehingga akupun sayang dan taat kepadanya. Juga dahulu Bouw Ki merupakan suhengku dan kawan bermain. Akan tetapi semenjak aku meninggalkan mereka semua kesan baik atas diri mereka terhapus. Mereka hendak memaksa aku untuk menjadi selir Bouw Ki. Itulah sebabnya aku meninggalkan mereka dan mereka hendak memaksaku kembali, akan tetapi mucul suhu Hek-liong Kwan Bhok Cu yang menolongku. Sejak itu, aku tidak mengakui mereka sebagai guru dan suheng. Akan tetapi ketika aku bertemu Bouw Ki, sikapnya berubah dan mereka nampaknya tidak berani memaksaku, bahkan membantuku sehingga aku dapat bertemu dengan ayah kandungku."

   "Ahhh! Ayah kandungmu yang melarikan diri dari Khitan itu?"

   "Benar, ayahku bernama Can Bu dia adalah seorang perwira yang.... ah, hal inilah yang meresahkan aku. Ayahku menjadi anak buah Bouw Koksu dan agaknya dia setia pada bekas guru ku itu."

   "Apakah engkau tidak dapat menyadarkannya, Hong-moi? Bukankah dahulu dia seorang perwira kerajaan Tang. Apakah dia tidak dapat melihat bahwa Bouw Koksu dan An Lu Shan hanya pemberontak yang merampas tahta kerajaan?"

   "Sudah kucoba, akan tetapi agaknya tidak ada hasilnya.Sungguh hal ini sangat membingungkan hatiku. Aku harus menaati perintah suhu, yaitu membantu kerajaan Tang, akan tetapi ayah kandungku sendiri berpihak kepada An Lu Shan."

   Gadis itu menghela napas panjang, nampaknya bingung dan kecewa sekali.

   Cin Han dapat memaklumi halnya Kalau gadis itu menaati gurunya, membelia kerajaan Tang, hal itu berarti bahwa ia akan bertentangan dengan ayah kandung sendiri. Cin Han ikut merasa penasaran dan ingin rasanya dia bertemu dengan ayah kandung gadis ini, untuk mencoba ikut menyadarkannya.

   "Hong-moi, bagaimana engkau dapat bertemu dengan ayah kandungmu sedemikian mudahnya?"

   Gadis itu memandang kawan barunya dengan wajah muram.

   "Justeru Bouw Koksu, dan puteranya yang mencarikan ayahku itu dan menemukannya. Dia ternyata seorang perwira yang berada dalam pasukan yang dipimpin suheng Bouw Ki"

   "Hemm.... maafkan aku, Hong-moi bukan maksudku untuk menyinggung hatimu, akan tetapi bagaimana engkau mengetahui dengan pasti bahwa dia itu ayahmu, ayah kandungmu yang sedang kau cari ?"

   Mendengar pertanyaan ini, Hong nampak terkejut.

   "Wah, Han-ko engkau menyentuh hal yang selalu mengganggu hatiku! Aku sendiri, sejak bertemu ayah dan dia merangkulku,merasa seperti orang asing bagiku. Sering aku termenung dan menduga-duga apakah dia benar ayah kandungku, akan tetapi pikiranku membantah dan mengatakan bahwa tentu dia ayah kandungku karena hanya Bouw Koksu yang mengenalnya"

   "Jadi engkau hanya percaya akan keterangan Bouw Koksu dan pengakuan orang itu? Sama sekali tidak yakin karena tidak ada bukti?"

   "Tidak ada bukti memang, akan tetapi ada saksinya, yaitu

   bekas guruku, Bouw Hun atau Bouw Koksu."

   "Hemmm...."

   Cin Han meraba-raba dagunya, berpikir.

   "Engkau dipertemukan dengan ayah kandungmu oleh Bouw koksu, dan kebetulan ayah kandungmu itu menjadi anakbuah Bouw-ciangkun. Hemm, sungguh suatu kebetulan yang luar biasa....".

   Kembali dia menundukkan kepala, berpikir dan tanpa disadarinya meraba-raba dagu yang telah menjadi kebiasaannya. Pada saat yang sama, Kim Hong juga menundukkan muka dengan alis berkerut dan gadis ini meraba-raba dan menarik-narik telinga kirinya, suatu kebiasaan kalau ia sedang berpikir keras.

   Tiba-tiba Cin Han mengangkat muka dan berseru.

   "ahh...!"

   Dan pada saat yang sama gadis itupun mengangkat muka dan mengeluarkan seruan yang sama. Agaknya mereka berdua mendapatkan gagasan yang sama pada saat yang bersamaan pula. Mereka saling pandang dan Cin Han berkata,

   "Hong-moi, agaknya keadakan ayahmu itu meragukan sekali, belum tentu ia itu ayah kandungmu yang sebenarnya."

   "Mungkin sekali, akupun berpikir begitu. Coba katakan, Han-ko, apakah alasan keraguanmu sama dengan alasan dugaanku.

   "

   "Menurut ceritamu tadi, ayah kandungmu menjadi tawanan di Khitan sampai bertahun-tahun, dan tentu saja telah mengenal baik Bouw Koksu yang dahulunya menjadi kepada suku. Akan tetapi kenapa Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun tidak tahu bahwa ayah kandungmu menjadi perwira bawahan Bouw-kongcu? Mereka baru menemukan ayahmu setelah engkau datang mencarinya. Tentu mereka mengenal ayah kandungmu, sebaliknya ayahmu juga mengenal mereka."

   "Tepat sekali, Han-ko. Akupun berpikir demikian. Dahulu menurut ibu kandungku, ayahku itu seorang gagah yang tidak mau tunduk, bahkan berhasil melarikan diri dari Khitan. Kalau benar, yang diperkenalkan kepadaku itu ayah, tentu dia tidak akan sudi menjadi anak buah mereka."

   Kim Hong teringat akan sikapnya yang manis dan manja terhadap ayah yang telah ditemukannya itu. Kalau orang itu bukan ayahnya yang sebetulnya, berarti ia dipermainkan orang.

   "Hemm, kalau benar begitu, akan kuhajar orang yang berani mempermainkan aku itu!"

   "Sabarlah, Hong-moi. Sebaiknya kalau engkau pura-pura tidak mencurigainya. Pula, semua ini baru dugaan kita, belum jelas dan kita belum yakin benar. Dengan pura-pura tidak curiga engkau akan dapat melakukan penyelidikan lebih seksama. Aku akan minta kepada Ji Siok untuk melakukan penyelidikan, dalam waktu beberapa hari ini tentu kita sudah tahu dengan pasti siapa orang yang sekarang mengaku sebagai ayahmu itu."

   Kim Hong mengangguk setuju.

   "Sekarang aku harus pulang dulu, Han-ko. Kalau terlalu malam, tentu mereka akan mencurigai aku. Apa lagi kalau orang yang kuanggap sebagai ayahku itu adalah palsu. Tentu dia merupakan mata-mata mereka yang memata-mataiku"

   "Wah, kalau benar dugaan kita bahwa dia itu palsu, dan dia bersamamu serumah, sungguh berbahagia bagi Hong-moi"

   "Akan kuperhatikan dia aku akan berhati-hati. Untung bahwa selama ini aku masih merasa asing padanya sehingga aku tidak menceritakan isi hatiku. Dia tentu menganggap bahwa aku benar-benar membantu Pangeran An Kong membantu bekas guruku Bouw Koksu."

   "Bagus, tetaplah bersikap wajar sebagai anak yang baik, Hong-moi, sehingga bukan engkau yang membuka rahasia,bahkan dia sendiri yang akan terbuka kedoknya.'"

   Mereka lalu berpisah, masing-masing merasakan sesuatu yang aneh terjadi dalam hatinya. Terutama sekali Cin Han. Jantungnya berdebar penuh keriangan kalau dia teringat bahwa gadis yang sejak pertemuan pertama, ketika mereka bertanding, sudah amat menarik hatinya, akan tetapi yang membuatnya kecewa karena gadis itu menjadi pembantu Bouw Koksu, kini ternyata bahwa gadis itu sama sekali tidak membantu Bouw Koksu, bahkan menentangnya, menentang An Lu Shan, dan setia kepada kerajaan Tang.

   Berkat usaha Gui-thaikam, kepala dayang sahabat Ji Siok yang banyak makan suapan dari hartawan itu sehingga Kui Bi dapat menyusup sebagai dayang istana, maka dapatlah Kui Bi memenuhi panggilan Pangeran An Kong untuk mengadakan pembicaraan penting di pondok kecil dalam taman istana.

   Percakapan rahasia itu terjadi di malam hari, antara Kui Bi yang menghadap Pangeran An Kong, dan ditemani Bouw Koksu. Hanya singkat saja percakapan mereka.

   "Kui Bi, katakan terus terang bersediakah engkau kalau kusuruh mengerjakan suatu tugas penting untukku?"

   "Ampun, Pangeran. Harap paduka katakan dulu, tugas apakah itu dan apapula imbalannya."

   Kata Kui Bi dengan cerdk.

   Pangeran An Kong tersenyum dan saling pandang dengan Bouw Koksu.

   "Sudah kukatakan padamu, aku cinta pada mu, Kui Bi, dan kalau engkau berhasil melaksanakan tugas yang kuperintahkan padamu, aku akan mengambilmu sebagai isteri."

   "Akan tetapi, pernah paduka mengatakan bahwa paduka akan mengangkat hamba menjadi permaisuri kalau paduka kelak menjadi kaisar, Pangeran."

   Bouw Koksu mengerutkan alisnya dan matanya bersinar marah, akan tetapi pangeran itu memberi isyarat dengan kedipan mata sehingga Guru Negara ini t idak jadi memperlihatkan kemarahan hati nya.

   "Menjadi isteri berarti menjadi permaisuri, Kui Bi. Karena sekarang aku belum menjadi kaisar, maka tentu saja engkau belumdapat menjadi permaisuri."

   "Hamba akan melakukan perintah apapun dari paduka kalau paduka berjanji kelak setelah paduka menjadi kaisar,hamba diangkat menjadi permaisuri"

   "Bagus! Aku berjanji, Kui Bi. Paman Bouw ini yang menjadi saksi."

   "Terima kasih, Pangeran. Akan tetapi sebelum paduka menjadi Kaisar, hamba tetap menjadi dayang istana, hamba tidak berani meninggalkan tempat pekerjaan hamba.Sekarang, harap paduka jelaskan, tugas apakah yang harus hamba lakukan?"

   "Tugasmu adalah membunuh Sribaginda Kaisar."

   "Ihh.....!"

   Kui Bi pura-pura terkejut dan membelalakkkan matanya

   "Bagaimana......... bagaimana mungkin Hamba hanya seorang dayang lemah..... tak mungkin hamba dapat melaksanakan..!"

   "Kamipun tidak bodoh, Kui Bi. Bukan membunuh dengan kasar, engkau tidak harus menyerangnya, melainkan dengan cara halus. Engkau menyelundup ke dapur, mencampurkan bubukan merah ke dalam masakan kegemaran Sribaginda dan ketika engkau ikut melayani Sribaginda dahar, usahakan agar sayur itu dimakan olehnya. Mudah saja, bukan?"

   "Akan tetapi, bagaimana mungkin Pangeran? ! , Pertama,hamba tidak pernah mendapat tugas melayani Sribaginda makan. Ke dua, hamba tidak akan diperbolehkan memasuki dapur sehingga tidak akan ada kesempatan untuk mencampur racun dalam makanan, dan ke tiga, hamba takut karena hamba tentu akan di tangkap dan dijatuhi hukuman berat"

   Kui Bi berkata dengan meratap. Tentu saja tugas Itu malah menyenangkan hatinya karena tanpa diperintahpun ia ingin membunuh Kaisar baru yang tadinya berpangkat panglima itu.

   Kalau saja tidak ada Sia-ciangkun yang melarangnya, mungkin ia sudah mengambil jalan pintas, dengan nekat mendekati dan mencoba membunuh kaisar.

   Kalau sekarang ia berpura-pura ketakutan, hal itu dilakukan hanya untuk melihat apakah benar-benar pangeran ini merencanakan pembunuhan terhadap ayahnya sendiri, dan apa rencana mereka, ia harus yakin bahwa ia sendiri tidak terancam bahaya dalam pelaksanaan tugas itu.

   "Semua kesulitanmu itu dapat diatasi dengan mudah Kami akan mengatur agar engkau dapat diperbantukan ke dapur, kemudian ke ruangan makan melayani Kaisar, dan tentang kekhawa tiranmu ditangkap, jangan khawatir. Kami yang bertanggung jawab, karena kalau Kaisar tewas, akulah yang menggantikannya dan engkau dapat kuangkat menjadi permaisuri."

   "Aih, benarkah itu, Pangeran? Kalau begitu, harap berikan racun itu kepada hamba dan hamba akan melaksanakan sebaik mungkin!"

   Katanya dengan giang.

   Tiba-tiba Bouw Koksu berkata, suaranya garang penuh ancaman.

   "Akan tetapi ingat baik-baik, dayang. Kalau engkau membocorkan rahasia ini kepada siapa pun juga, kami berbalik akan menuduhmu sebagai mata-mata pemberontak yang akan membunuh kaisar dan engkau akan dihukum berat!'"

   Kui Bi memandang ketakutan dan sambil menerima bungkusan kecil dari pangeran An Kong, dengan gemetaran ia berkata lirih,

   "Hamba mengerti...... hamba akan melaksanakan perintah....."

   Setelah Kui Bi mengundurkan diri, Pangeran An Kong dan Bouw Koksu saling pandang. Wajah mereka berseri.

   "Hamba kira rencana ini akan berhasil baik, Pangeran,"

   Kata Bouw Koksu.

   "Selelah Kaisar tewas, paduka dapat mengangkat diri menjadi kaisar baru."

   "Akan tetapi bagaimana kalau gadis tadi gagal dan perbuatan itu ketahuan?"

   "Aih, itu perkara kecil. Kita tuduh ia mata-mata seperti yang hamba ancamkan tadi. Takkan ada orang yang lebih mempercayai omongan seorang dayang dari pada keterangan paduka dan hamba."

   "Bagaimana kalau para pejabat tinggi menolak aku menggantikan ayah?"

   "Ada Giok-hong-cu di tangan paduka, Pangeran. Mestika Burung Hong Kemala itu yang akan menentukan sebagai lambang kekuasaan seorang kaisar. Mereka pasti tidak akan ada yang berani menentang paduka kalau paduka memperlihatkan pusaka itu."

   Sang pangeran mengangguk-angguk dan sambil tertawa keduanya meninggalkan taman itu. Mereka tidak tahu bahwa sejak tadi, sepasang mata yang tajam mengintai tak jauh dari pondok itu di balik semak bunga. Mata itu adalah mata Sia Su Beng, panglima muda yang tampan dan cerdik itu.

   Di sudut taman itu, mereka bertemu. Sia Su Beng dan Kui Bi. Mereka bicara berbisik-bisik. Kui Bi menceritakan semua pembicaraan yang dilakukan dengan Pangeran An Kong dan Bouw koksu.

   "Ah, sungguh kebetulan sekali kalau begitu!"

   Kata Sia Su Beng.

   "Ini merupakan kesempatan baik sekali untuk membunuh An Lu Shan dengan aman. Sebaiknya kau laksanakan semua perintahnya membantu di dapur sampai di ruangan makan kaisar. Akan tetapi setelah engkau melihat kaisar makan sayur-beracun itu dan roboh, engkau harus cepat pergi dan memasuk taman ini."

   "Kenapa begitu?"

   "Bi-moi, apakah kau kira Bouw koksu demikian bodoh dan Pangeran An Kong benar-benar hendak mengangkatmu menjadi permaisuri kalau dia menjadi kaisar? Tidak, Bi-moi.Setelah engkau berhasil membantu mereka membunuh kaisar, engkau merupakan bahaya besar bagi mereka karena hanya engkau yang mengetahui rahasia mereka."

   Kui Bi mengangguk.

   "Tentu mereka lalu akan berusaha menyingkirkan aku, bukan? Engkau benar, twako. Akupun tidak sudi menjadi isteri pangeran yang begitu jahat hendak membunuh ayah kandungnya sendiri. Kalau sudah berhasil aku akan cepat datang ke sini."

   "Begitulah sebaiknya. Aku bakal menyembunyikanmu di antara pasukan mempersiapkan pakaian seragam untuk kau pakai agar engkau tidak dapat mereka temukan."

   Mereka tidak lama mengadakan pertemuan itu. Mereka harus bersikap hati hati dan waspada. Lenyapnya seorang thai-kam yang tempo hari dibunuh dan dibawa keluar dari taman oleh Sia Beng menimbulkan kecurigaan para pewira istana, akan tetapi karena thaikam itu tidak meninggalkan bekas, mereka menduga bahwa diam-diam thai-kam itu melarikan diri dan minggat dari istana, mungkin melarikan barang-barang berharga dari istana.

   Di dalam rumah Hartawan Ji, mereka mengadakan pembicaraan yang serius malam itu. Mula-mula Cin Han menceritakan tentang pertemuannya dengan Can Kim Hong yang ternyata bukan menjadi lawan yang berbahaya, bukan pembantu Bouw Koksu yang lihai, melainkan juga sorang pendekar wanita yang setia kepada Kerajaan Tang dan ditugaskan gurunya untuk membantu Kerajaan Tang,terutama mencari Mestika Burung Hong Kemala dan menyerahkan pusaka itu kepada baginda Kaisar Beng Ong.

   "Kalau benar demikian, sungguh menyenangkan dan menguntungkan perjuangan kita,"

   Kata Hartawan Ji dengan sikap ragu,

   "akan tetapi kalau ia hendak melaksanakan perintah gurunya itu, kenapa ia membiarkan saja Mestika Bung Hong Kemala terjatuh ke tangan Bouw Koksu? Kenapa tidak dirampasnya ketika mereka menemukannya?"

   "Akupun tadinya meragu dan menanyakan langsung kepadanya dan aku mendapatkan keterangan yang sama sekali t idak kita sangka, paman. Menurut Kim Hong, pusaka yang ditemukan Bouw-ciangkun itu adalah Mestika Burung Hong Kemala yang palsu."

   "Ahh........!!"' kata Kui Lan dan Hartawan Ji berseru kaget.

   "Ketika menemukan peti berisi pusaka itu, Kim Hong melihat bahwa peti kecil itu bersih tanpa debu dan tidak basah, tanda bahwa kotak itu baru saja ditaruh orang di sana,dan ketika memasuki guha sebagai orang terdepan ia melihat tapak kaki. Maka ia mengambil kesimpulan bahwa telah ada orang yang mendahului mereka memasuki guha mengambil pusaka aselinya dan menukarnya dengan pusaka yang palsu."

   "Aih, kalau begitu semakin sukar untuk mendapatkan benda itu, karena kita tidak tahu lagi siapa yang mengambilnya...."

   Kata Kui Lan kecewa.

   "Ada petunjuk dari Kim Hong. Gadis itu memang luar biasa sekali, cantik jelita, lihai sekali ilmusilatnya, cerdik bukan main, dan baik budinya, gagah perkasa......"

   "Aih, aihh..... kiranya kakak sedang dimabok asmara rupanya!"

   Kata Kui Lan sambil tersenyum.

   Cin Han menyeringai.

   "Mungkin.. mungkin sekali, Lanmoi."

   "Kongcu, petunjuk apakah yang diberikan gadis itu?"

   "Ketika rombongan hendak mengambil pusaka, di tengah jalan mereka bertemu Lan-moi dan hendak menangkapnya, muncul seorang pemuda yang seperti sinting. Orang itulah yang dicurigai keeas oleh Kim Hong, karena hanya dia yang nampak ketika itu dan diapun seorang yang aneh dan mencurigakan."

   "Ah, benar juga! Aku sendiri pun terheran-heran melihat betapa pemuda sinting itu mempermainkan rombongan dengan sikapnya yang gila-gilaan. Yang aneh adalah ketika buntalan pakaiannya digeledah,terdapat sebatang pedang yang baik. Bagaimana mungkin seorang gila membawa-bawa pedang? Akan tetapi ia kelihatan begitu lemah."

   "Pendapatmu itu tepat sekali demikian pendapat Kim Hong,Lan-moi. Akan tetapi ia tetap curiga dan ia menduga bahwa tentu pemuda itu berpura-pura saja. Apakah engkau tidak melihat sesuatu yang aneh pada diri pemuda itu, Lan moi?"

   Gadis itu menggigit-gigit bibir dan memejamkan mata, mengingat-ingat dan membayangkan kembali peristiwa ketika ia dikeroyok oleh rombongan Bouw-ciangkun itu.

   "Seorang pria yang masih muda, dan sinar matanya tajam mencorong, hemm......wajahnya tampan, dan memang dia tidak pantas menjadi seorang gila."

   "Nah, demikianlah, paman Ji. Sebaiknya kalau paman menyebar teman-teman kita untuk mencari pemuda yang berpura-pura gila itu. Lan-moi, engkau yang pernah melihatnya, coba gambarkan bagaimana wajah dan bentuk badannya."

   "Bentuk tubuhnya sedang dan tegap mirip tubuhmu, Hanko.Dan wajahnya.... eh, bulat cerah dan tampan, matanya mencorong dan mulutnya selalu mengarah senyum. Tidak nampak kegilaan pada wajahnya, hanya sikapnya yang membuat orang menganggapnya sinting. Suaranya lantang."

   Ji wan-gwe mengangguk-angguk.

   "Tidak begitu jelas gambar itu, akan tetapi kami akan coba mencarinya."

   "Aku mempunyai berita yang lebih penting lagi, Han-ko dan Paman Ji. Tadi ketika menuju ke sini, aku bertemu lembali dengan Sia Su Beng! "

   Cin Han nampak kaget.

   "Kau maksudkan panglima yang diam-diam berpihak kepada Sribaginda Kaisar Beng Ong itu?"

   "Benar, dan dia sudah tahu tentang Kui Bi di istana, dan dia berjanji akan mengamati dan melindungi Kui Bi"

   Ji Wan-gwe tersenyum.

   "Maafkan, tongcu dan nona, aku belum memberi tahu kepada kalian tentang dia, karena memang persoalan ini harus dirahasiakan benar, jangan sampai bocor. Panglima Sia Su Beng merupakan harapan kita semua karena pada saatnya yang tepat,dlialah yang akan dapat membantu Sribaginda merebut kembali tahta kerajaan karena kedudukannya yang penting. Dia seorang panglima yang dipercaya oleh An Lu Shan, dan mengepalai pasukan besar. Karena itu, pada saatnya yang tepat, dia dapat bergerak dari dalam dan dengan pasukannya dia dapat menguasa istana. Sukurlah kalau nona sudah mendapat penjelasan dari dia sendiri."'

   "Sekarang aku minta agar Paman Ji suka membantu nona Can Kim Hong gadis itu sejak kecil ditinggalkan ayah kandungnya, dan sekarang ia dipertemukan dengan ayah kandungnya oleh Bouw Koksu. Akan tetapi, ia merasa curiga dan sangsi apakah Can Bu yang menjadi perwira di bawah perintah Panglima Bouw Koksu."

   "Apa yang dapat kami bantu, kongcu?"

   "Coba selidiki siapa sebenarnya orang yang mengaku bernama Can Bu perwira yang kini t inggal bersama nona Can Kim Hong itu."

   Ji Wan-gwe mengangguk-angguk. Cin Han lalu berpamit kepada adiknya dan Hartawan Ji.

   "Lan-moi, engkau tinggal saja di sini membantu Paman Ji dan siap membantu kawan-kawan yang bergerak di kota raja. Aku sendiri akan pergi menemui Sribaginda Kasar di barat, menceritakan semua persiapan kita di sini agar pasukan beliau dapat dikerahkan untuk menyerbu dan merampas kembali tahta kerajaan."

   Pada hari itu juga, pergilah Cin Han meninggalkan kota raja, menunggang kuda dan melakukan perjalanan cepat kearah Barat.

   Beberapa hari kemudian, Hartawan Ji mendapat keterangan dari pembantu tentang orang yang bernama Can Bu kini tinggal bersama nona Can Kim yang membantu Bouw Koksu. Dia segera mengundang Kui Lan ke dalam ruangan tutup.

   "Nona, sayang sekali Yang-kongcu telah pergi. Kami telah mendengar berita tentang orang yang mengaku sebagai ayah kandung nona Kim Hong. Benar kecurigaannya, orang itu sama sekali bukan Can Bu, bukan ayah kandung gadis itu.Namanya CiangKui, seorang perwira yang tadinya merupakan seorang perampok tunggal dan ditarik oleh Bouw Koksu menjadi pembantunya."

   "Ah, kasihan Kim Hong........"
Kata Kui Lan.

   "Memang sayang sekali Han-ko telah pergi. Sebaiknya aku yang menggantikannya untuk memberitahu kepada Kim Hong."

   "Tapi, itu berbahaya sekali, nona."

   Kui Lan tersenyum dan menggelengkan kepalanya.

   "Tidak ada bahayanya, paman. Kim Hong sudah mengenal aku, pula,setelah aku mendengar tentang dari Han-koko, jelas bahwa ia ada teman seperjuangan kita, bukan lagi musuh."

   "Maksudku, berbahaya sekali kalau sampai ketahuan Bouw Koksu, Bouw ciangkun atau anak-buah mereka."

   "Aku akan berhati-hati, paman. Pula, Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun Pun tidak tahu siapa aku. Kalau aku tidak melakukan sesuatu yang merupakan pelanggaran, tentu merekapun tidak akan mengganggu aku."

   Pergilah Kui Lan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali meninggalkan rumah Hartawan Ji dan berjalan-jalan di jalan raya menuju ke rumah gedung yang menjadi tempat tinggal Bouw koksu. Tentu saja ia tahu benar di mana rumah itu, karena rumah itu adalah bekas rumah orang tuanya! Di rumah itulah Ia dilahirkan dan dibesarkan!

   Akan tetapi, ketika ia melewati jalan raya di depan rumah gedung itu, melihat betapa rumah itu dijaga ketat Seperti penjagaan di depan istana saja. lapun mengambil jalan memutar, melalui jalan kecil di samping gedung dan mendapat kenyataan bahwa di empat sudut tempat itu terdapat sebuah gardu tinggi di mana nampak para penjaga melakukan penjagaan. Bukan main! Akan sukarlah memasuki gedung itu di siang hari.

   Kui Lan berjalan-jalan mondar-mandir di depan gedung itu,mengharap Kim Hong akan keluar dari gedung dapat ia jumpai. Akan tetapi harapannya sia-sia dan terpaksa ia meninggalkan tempat itu, kembali ke rumah Hartawan Ji,mengambil keputusan untuk memasuki gedung bekas tempat tinggalnya itu malamhari untuk menemui Kim Hong.

   Dan malam hari itu bulan bersinar terang. Kui Lan mengenakan pakai-serba hitam sehingga gerakannya yang amat gesit itu membuat tubuhnya kelebatan dan sukar dilihat dalam bayang-bayang pohon itu ketika ia menghampiri gedung Bouw Koksu dari arah belakang. ia masih ingat benar bahwa di dekat pagar tembok sebelah kiri belakang tumbuh sebatang pohon yang cabang cabangnya terjulur dekat tembok seh ingga memudahkan ia memasuki kebun belakang melalui pohon itu.

   Ketika melihat bahwa bagian itu cukup gelap, Kui Lan mengayun tubuhnya meloncat ke atas pagar tembok. Hanya sekejap saja tubuhya hinggap di atas pagar tembok karena ia telah melanjutkan loncatannya kedalam pohon itu. Kalaupun ada penjaga di gardu atas, tentu dia tidak akan melihat jelas.

   Beberapa menit lamanya Kui Lan berada di pohon itu. Setelah yakin bahwa gerakannya meloncati pagar tembok tadi tidak menimbulkan akibat apa-apa berarti tidak ada orang melihatnya, ia pun meloncat turun, ia menyelinap antara pohon dan semak di kebun itu memasuki taman mendekati rumah gedung. Hatinya terharu karena ia merasa seolah kembali ke masa kanak-kanak ketika ia bermain-main dengan kakaknya dan adiknya.

   Mereka seringkali bermain-main di taman dan kebun ini, bersembunyi dan saling mencari, ia mengenal setiap se mak, setiap pohon di ta man itu.

   Akan tetapi, Kui Lan terlalu me mandang ringan Bouw Koksu. Kalau Bouw Hun bekas kepala suku Khitan ini tidak memiliki kecerdikan yang tinggi, tidak mungkin dia akan dipilih An Lu Shan menjad i seorang koksu (guru negara) yang selalu mengatur siasat untuk bekas panglima yang kini menjadi kaisar.

   Di antara para penjaga di gardu itu rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi, ada yang merasa curiga melihat kelebatnya bayangan hitam di atas pagar tembok. Akan tetapi, sesuai dengan perintah Bouw Koksu, mereka tidak membuat ribut mela inkan dia m-dia m mereka itu menga mati bayangan itu, membayangi dan melaporkan kepada Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun. Maka, kedatangan Kui Lan itu telah mereka ketahui dan d ia m-dia m Bouw Koksu bersa ma puteranya, para pembantunya, tidak ketinggalan Kim Hong yang mereka andalkan, telah keluar dan mengepung semak-semak di mana KuiLan bersembunyi.

   Dapat dibayangkan betapa kaget-hati Kui Lan ketika tiba"tiba saja dengar bentakan orang di belakang-.

   "Maling kecil, keluar engkau!"

   Ketika ia menoleh, ia melihat bahwa di belakangnya telah berdiri lima orang yang ia kenali sebagai Bouw-ciangkun dan Can Kim Hong, lalu seorang laki- laki besar hitam brewok yang tampak bengis dan usianya lebih dari lima puluh tahun yang ia duga tentu Bouw Koksu, bersama dua orang lagi yang berpakaian seperti panglima, Ia telah ketahuan!

   Maklum bahwa ia berhadapan dengan banyak orang lihai, maka Kui Lan segera meloncat keluar dan mempergunakan gin-kangnya untuk melarikan diri. Akan tetapi, agaknya Bouw Ki tidak ingin melihat ia lolos, apalagi setelah melihat bahwa orang yang memasuki taman itu adalah gadis yang pernah mereka jumpai ketika rombongannya hendak mengambil pusaka Mestika Burung Hong Kemala.

   "Kejar! Tangkap!"

   Teriaknya dan mereka semua, termasuk Can Kim Ho berloncatan dan mengepung sehingga kembali Kui Lan terkepung lima orang itu.

   "Ayah, inilah gadis yang kami temui itu ketika menga mb il pusa ka dahulu itu. Kita harus menangkapnya hidup"hidup!"

   Teria k Bouw Ki.

   Sejenak Kui Lan saling pandang dengan Kim Hong, kemudian iapun berseru dengan lantang.

   "Kim Hong, kakak Cin Han minta aku menyampaikan kepadamu. Orang yang mengaku ayah kandungmu itu adalah palsu, namanya Ciang Kui engkau telah ditipu mereka!"

   Ucapan itu mengejutkan Kim Hong juga mengejutkan Bouw Hun dan Bouw Ki. Rahasia mereka telah diketahui!

   "Maling betina, jangan bicara sembarangan! Engkau menghina kami dan harus mati!"

   Bentak Bouw Koksu dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya yang melengkung dan amat tajam,

   "Singgg.... ,!"

   Dengan mudah Kui Lan mengelak karena gadis ini telah memiliki keringanan tubuh yang luar biasa, berkat gemblengan Pek Lian Nikou kepala kuil Thian-bun-tang. Pedang yang melengkung itu menyambar luput dan pada saat itu, Bouw Ki juga sudah menyerang dengan sebatang pedang melengkung seperti yang dipegang ayahnya.

   "Tranggg..... !!"

   Kui Lan menangkis dengan pedangnya dan Bouw Ki merasa betapa telapak tangan kanannya tergetar hebat sehingga ha mpir saja pedangnya terlepas.

   Dua orang panglima pembantu Bouu koksu juga sudah menyerang dengan pedang mereka dan ternyata mereka itu juga lihai sehingga kini Kui Lan dikeroyok empat orang. Namun, gadis ini tidak merasa gentar dan ia sudah memainkan ilmu pedangnya dengan ilmu Hong-in-Sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) yang ia main kan dengan pedang. Ilmu ini merupakan ilmu silat tinggi yang ia pelajari dari Kong Hwi Hosiang, ditambah gin-kang yang membuat tubuhnya berkelebatan amat cepatnya.

   "Kim Hong, cepat bantu kami!"

   Bentak Bouw Koksu berulang kali, akan tetapi Kim Hong masih berdiri bengong, ia terlalu kaget mendengar keterangan Kui Lan tadi bahwa laki-"laki yang selama ini dianggap ayah kandungnya itu bernama Cing Kui berarti bahwa Bouw koksu telah menipunya!

   Iapun tidak ingin melihat adik dari Cin Han celaka tempat itu, maka tentu saja ia tidak mau membantu Bouw Koksu.

   Terdengar bunyi peluit dan kentongan, tanda bahwa akan berdatangan pasukan keamanan dan tentu Kui Lan akan dikeroyok banyak orang. Kui Lan mengamuk, pedangnya bergerak bagaikan seekor naga mengamuk di angkasa dan dua orang perwira yang tadi me mbantu Souw Koksu, telah roboh mandi darah.

   Akan tetapi, segera terdengar suara gaduh dan sedikitnya duapuluh lima orang penjaga berikut beberapa orang perwira datang mengurung lalu mengeroyok gadis perkasa itu. Biarpun ma klu m bahwa ia berada dala m bahaya maut, Kui Lan tidak menjadi gentar dan ia mengambil keputusan untuk melawan sa mpa i titik darah terakhir.

   Melihat ini, Kim Hong mengeluarkan, teriakan melengking panjang dan tubuhnya sudah berkelebat dan menerjang ke arah pertempuran. Ketika kedua tangannya bergerak, nampak dua sinar bergulung-gu lung dan terdengar teriakan disusul robohnya dua orang pengeroyok. Kiranya ia sudah menggerakkan sepasang pedang kecilnya yang lihai, yang ujung nya bertali. Melihat betapa gadis yangi dicinta kakaknya itu kini membantunya, bangkit semangat Kui Lan dan iapun mengga muk semakin hebat.

   "Kim Hong, engkau pengkhianat!"

   Bentak Bouw Koksu. Pedangnya meluncur dan menyerang gadis yang pernah menjadi murid dan anak ang katnya sendiri.

   "Trangggg!"

   Pedang itu terpental dan hampir terlepas dari tangannya ketika ditangkis pedang kiri Kim Hong.

   "Engkau telah men ipuku!"

   Bentak Kim Hong.

   "Tida k ada yang men ipu mu. Dia me ma ng ayah mu! Gadis in i yang menipumu!"

   Bentak pula Bouw Koksu, Tentu saja Kim Hong menjadi ragu. Ia hanya mendengar keterangan Kui Lan bahwa pria yang diperkenalkan sebagai ayahnya itu palsu, akan tetapi apa buktinya? Sementara itu, Bouw-ciangkun yang mengepung dan mengeroyok Kui Lan sudah berteriak memerintahkan anak buahnya untuk memanggil bala bantuan,

   Karena Kim Hong ragu dan menghentikan gerakannya, Kui Lan kini terdesak, dikepung ketat dan dihujani senjata. Biarpun gadis ini telah mewarisi ilmu silat yang tinggi dan hebat, namun ia masih kurang pengalaman dan pihak musuh terlampau banyak, ia sudah merobohkan enam orang pengeroyok, akan tetapi iapun menerima dua kali bacok pedang yang menyerempet paha dan pundaknya, biarpun tidak parah, namun paha dan pundaknya terluka dan berdarah!

   Tiba-tiba, seorang di antara para perajurit itu, yang tadi hanya menonton sambil mengacung-acungkan pedangnya, tiba-tiba saja menyerang Bouw Ki. Serangan pedangnya demikian cepatnya sehingga Bouw Ki hampir tertusuk lehernya dan ketika pemuda itu mengelak, pedang perajurit itu menya mbar ke bawah dan pahanya terbacok sehingga terluka dan membuat dia berteriak kesakitan dan cepat meloncat ke belakang.

   "Heii, gilakah kau??."

   Teriak Bouw Ki. Perajurit itu tidak perduli, bahkan kini membuang topi perajuritnya dan menga mu k dengan pedangnya me mbantu Kui Lan, me mbuat pengeroyokan ketat tadi menjadi buyar. Ketika Kui Lan memandang, jantungnya berdebar tegang karena mengenal mata yang mencorong itu bibir yang tersenyum-senyum itu. Taksalah lagi, dialah si pemuda sinting tempo hari!

   "Kau?"

   Serunya dan iapun putar pedang ke kiri, meroboh kan seorang pengeroyok dengan tusukan.

   "Nona, kita mundur.... cepat kau pergi dulu ke pagar tembok!"

   Kata perajurit itu yang bukan lain adalah Souw Hui San. Pemuda ini dengan cerdik ini, tentu saja dengan cara menyogok berhasil masuk menjadi seorang prajurit penjaga keamanan di rumah Bouw Koksu.

   Dengan demikian akan mudah baginya untuk menyelidiki keadaan pembesar ini dan mencari rahasia yang berguna bagi perjuangan para pendukung kerajaan Tang.

   Melihat Kui Lan dikeroyok dia merasa bimbang. Akhirnya dia tak tahan melihat gadis yang dikaguminya itu terluka. Terpaksa dia membuka rahasia dirinya dan membantu. Dengan ilmu pedang Gobi-pai yang lihai, ia mengamuk, membuat Kui Lan tidak terhi mpit lagi.

   Sementara itu, melihat munculnya pemuda yang juga dikenalnya sebagai pemuda sinting Kim Hong berkelebat meninggalkan tempat itu. ia percaya bahwa pemuda yang gerakannya amat lihai itu akan ma mpu menolong Kui Lan sendiri cepat me masu ki gedung dan menyerbu ke dala m kamar di mana ayahnya berada.

   Orang yang mengaku sebagai Bu itu terkejut ketika melihat putri nya masuk ke kamar dengan sepasang mata mencorong penuh kemarahan.

   "Kim Hong, apa yang terjadi,"tanyanya heran.

   Akan tetapi gadis itu melompat dan sekali tangannya bergerak, jari tangan kanannya telah mencengkeram pundak orang itu. Orang yang mengaku sebagai ayahnya itu terkejut karena cengkeraman itu membuat pundaknya seperti remuk rasanya.

   "Ada apa kenapa kau ini?"

   "Katakan, nama mu Ciang Kui, kan? Hayo mengaku terus terang atau akan kuhancurkan pundakmu!"

   Wajah itu berubah pucat.

   "Aku... aku "

   "Hayo katakan terus terang bahwa kau bukan ayahku, engkau bukan Can Bu. Awas, kalau membohong akan kusiksa sampai mati!"

   Cengkeram di pundak itu semakin kuat sehingga wajah yang pucat kini mandi peluh.

   "Aku.... aku.... hanya di perintah Bouw Koksu...,"

   Akhirnya orang berterus terang.

   "Keparat busuk!"

   Saking marahnya Kim Hong mengerahkan tenaga sin-kang yang didapatnya dari ular hita m kepa la merah. Hawa beracun yang amat dahsyat keluar dari tangannya memasuki tubuh orang itu dari pundak dan orang itu hanya menjerit satu kali lalu tewas dengan seluruh tubuhnya menjadi hitam.

   Kim Hong mengangkat mayat itu berlari keluar lagi me masu ki ta man melihat Kui Lan dan pe muda sint ing itu masih dikepung ketat walaupun keduanya sudah sampai di dekat pagar tembok.

   Agaknya tidak mudah bagi mereka untuk lolos karena kini sudah datang bala bantuan yang banyaknya tidakkurang dari limapuluh orang!

   Kim Hong mengeluarkan suara lengking panjang dan tubuh tak bernyawa yang sudah kehitaman itu ia lontarkan ke arah Bouw Koksu dan Bouw-ciangkun yang ikut mengeroyok Kui Lan dan Hui San.

   Bouw Koksu terkejut me lihat sosok tubuh melayang ke arahnya.

   Dia nyambut dengan bacokan pedangnya tubuh itu roboh. Ketika dia melihat melalui penerargan obor yang dibawa para perajurit, dia melihat wajah Ciang Kui yang mukanya berubah menghitam matanya terbelalak. Tahulah dia bahwa Kim Hong telah mengetahui rahasia kebohongannya.

   Kim Hong menga muk dengan sepasang pedangnya, sebentar saja sudah berhasil membuyarkan kepungan dan mendekati Kui Lan.

   "Kui Lan, engkau sudah terluka, cepat keluar dari sini, aku yang menahan mereka!"

   "Aku tidak mau meninggalkan engkau sendiri, Kim Hong!"

   Kata Kui Lan tegas. Dia m-dia m Kim Hong kagu m, senang sekali mempunyai sahabat seperti Cin Han dan Kui Lan ini, demikian gagah dan setia kawan.

   "Kalau begitu, mari kita lari bersama!"

   Katanya dan iapun mempercepat gerakan kedua pedangnya. Melihat betapa gadis perkasa itu kini membalik dan membantu musuh, anak buah Bouw Koksu yang sudah tahu akan kelihaiannya menjadi gentar. Kepungan melonggar dan kesempatan itu dipergunakan oleh Kim Hong, Kui Lan, dan Hui San untuk meloncat ke pohon itu dan dari situ meloncat ke atas pagar tembok dan dilanjutkan meloncat keluar.

   Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun mengerahkan para perajurit untuk melakukan pengejaran, akan tetapi tiga orang itu sudah menghilang dan beberapa menit kemudian mereka bertiga sudah berada di dalam rumah Hartawan Ji, dengan aman mereka duduk di dalam ruangan rahasia di mana mereka bicara dengan Hartawan Ji. Souw Hui San tanpa diminta sudah mengeluarkan obat luka dan menolong Kui Lan yang terluka pundak dan pahanya, dibantu oleh Kim Hong yang me mba lut lu ka di paha gadis itu.

   Biarpun tiga orang muda itu baru kali ini berkenalan, namun hubungan mereka sudah akrab sekali, mereka merasa cocok dan seolah sudah saling berkenalan bertahun-tahun lamanya. Setelah luka-luka di pundak dan paha Kui Lan diobati, luka yang tidak parah, mereka duduk menghadapi meja dan sa mbil ma kan hidangan mala m yang dikeluarkan pembantu Hartawan Ji, mereka bercakap-cakap.

   "Kiranya benar seperti dugaanku tempo hari, engkau hanya berpura-pura sinting,"

   Kata Kim Hong kepada Sui San yang tersenyum.

   "Akupun sudah merasa curiga. Mana ada orang sinting membawa-bawa pedang yang bagus?"

   Kata pula Kui Lan.

   "Dan engkau yang melemparkan pedangku membuat dahiku benjol menyempurnakan penyamaranku, nona Can Kim Hong,"

   Kata Hui San tertawa.

   "Dengan peristiwa benjolnya clahiku itu, Bouw ciangkun clan yang lain-lain percaya bahwa aku aclalah seorang sinting, ha ha!"

   "Siapakah sebenarnya engkau ini Dan mengapa engkau clapat muncul mengacau rombongan Bouw-ciangkun ketika mereka mencari pusaka, kemuclian bagaimana pula tiba-tiba engkau menjadi seorang perajurit anak buah Bouw-ciangku dan tadi menolongku?"

   "Wah, ceritanya panjang, nona Yang Kui Lan"

   "Engkau mengenal kami semua, akan tetapi kami tidak mengenalmu! Ini tidak adil. Perkenalkan dulu dirimu baru kita bicara lagi,"

   Kata Hartawan Ji yang bagimanapun juga masih menaruh perasaan curiga kepacla pemucla yang ticlak dikenalnya itu.

   "Paman Ji Siok, apakah paman dan semua kawan paman tidak clapat mengetahui siapa aku? Dan paman juga ticlak mengenal mencliang Paman Souw Loki"'

   "Souw Loki Bukankah pemilik toko yang baru saja meninggal clunia secara aneh tanpa acla yang mengetahui sebabnya itu?"

   Hartawan Ji memanclang penuh perhatian.

   "Orang muda, agaknya engkau mengetahui tentang diriku dan tentang teman-teman, akan tetapi kami belum mengetahui siapa engkau."

   "Paman, dia ini jelas orang yang telah mengambil Mestika Burung Hong Kemala dan menukarnya dengan yang palsu. Ticlak benarkah dugaanku itu sobat?"

   Tanya Kim Hong.

   Kini Souw Hui San tertegun dan memandang kagum.

   "Eh, bagaimana engkau dapat mengetahui hal itu, nona?"

   "Ticlak perlu bertanya, yang penting sekarang, kami telah tahu bahwa engkau yang mengambil Mestika Burung Hong

   Kemala, karena itu engkau harus menyerahkan kepada kami atau terpaksa kami akan menganggap mu sebagai musuh,"

   Kata pula Kim Hong.

   "Bersabarlah, Kim Hong. Aku yakin bahwa saudara ini bukan seorang musuh, dan tentu dia mengambil pusaka itu dengan maksud baik. Bukankah engkau juga seperti kami, menentang pemberontak An Lu Shan dan mendukung Kerajaan Tang, sobat?"

   Kata Kui Lan.

   "Yang penting, perkenalkan dulu dirimu, orang muda,"

   Kata pula Hartawan Ji.

   Souw Hui San tertawa.

   "Aih, kalian sungguh-sungguh mendesakku. Tiga orang dengan tiga maca m tuntutan, akan tetapi hanya nona Yang Kui Lan yang bersikap baik kepadaku. Teri ma kasih nona"

   Wajah Kui Lan menjadi kemerahan dan iapun merasa perlu untuk me mbela diri agar tidak disangka yang bukan bukan.

   "Tentu saja aku bersikap baik kepadamu, sobat, karena bukankah enkau sudah berulang kali berusaha menolongku? Tempo hari, dengan berpura-pura sinting engkau mencegah rombongan Bouw-ciangkun mengeroyokku, kemudian tadi kalau tidak ada engkau yang menolong, mungkin aku sudah tewas di tangan mereka,"

   "Baiklah, akupun tidak merasa perlu merahasia kan diriku. Namaku Souw Hui San dan mendiang Souw Lok yang ma terbunuh adalah pamanku. Sejak kecil aku berada di pegunungan, menjadi murid para suhu di Gobi-pai. Baru beberapa bulan aku datang ke kota raja, ke rumah paman dan aku melihat bahwa paman Souw Lok yang dahulu bekerja menjadi pembantu Menteri Yang Kok Tiong, sudah berada di kota raja dan menjadi orang kaya yang membu ka sebuah toko."

   "Bukankah Souw Lok ikut pula dengan Menteri Yang mengawal rombongan baginda Kaisar yang mengungsi ke ba

   rat?"

   Tanya Hartawan Ji yang banyak mengetahui keadaan di kota raja.

   "Benar, paman menceritakan kepadaku bahwa diapun sampai ke Secuan. Akan tetapi, di tengah perjalanan itu, paman Souw Lok membantu Menteri Yang menyembunyikan Mestika Burung Hong Kemala, bahkan peta dari tempat penyimpanan itu oleh Menteri Yang diserahkan pada Paman Souw Lok dengan pesan bahwa kalau terjadi sesuatu dengan beliau, peta itu harus diserahkan kepada seorang diantara puteranya."

   "Ah, agaknya ayah telah merasakan sesuatu, seolah dia telah merasa bahwa dia akan tewas dalam perjalanan itu, maka dia menyerahkan peta kepada orang kepercayaannya,"

   Kata Kui Lan dengan suara sedih.

   "Mungkin juga,"

   Kata Ji Siok "Ayahmu adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Tang, nona. Sekarang harap lanjutkan ceritamu, Souw-taih iap."

   "Wah, sebutan tai-hiap (pendek besar) itu hanya membuat kepalaku mekar, paman. Sebut saja namaku, Hui San tanpa embel-embel pendekar segala macam. Nah, setelah tiba di kota raja paman Souw Lok mempunyai pendapat yang amat berani. Dia pikir bahwa biarpun kecil, terdapat kemungkinan bahwa rahasianya diketahui orang, yaitu bahwa dia telah menerima peta penyimpanan pusaka itu dari Menteri Yang. Oleh karena itu, sebaiknya kalau dia mengakuinya saja, bahkan berusaha untuk mendapatkan harta dari rahasia itu, Maka dia lalu menjual peta itu kepada Bouw Koksu."

   "Ihh!"

   Kim Hong dan Kui Lan berseru.

   "Ahh....!"

   HartawanJi juga mengeluarkan seruan kaget dan tak senang mendengar tentang peng khianatan Souw lok itu.

   "Kenapa pa man mu melakukan itu ?"

   "Sabar, paman, dan harap mendengarkan dulu, nona-nona yang kuhormati! Sungguh aku berani mengatakan bahwa paman bu kanlah seorang pengkh ianat. Dia mela kukan penjualan peta itu dengan dua perhitungan. Pertama untuk menghilangkan dugaan bahwa dia yang menetahui rahasia penyimpanan pusaka itu, dan ke dua, dan hal ini akhirnya menjerumuskan nya ke tangan maut, dia ngin mendapatkan harta agar di hari tuanya dia hidup santai dan Cukup. Dia memang menjual peta Itu seharga sepuluh ribu tail kepada Bouw Koksu dan setelah menyerahkan peta dia menerima uang muka limaribu tail yang dia pergunakan membeli rumah dan membuka toko yang limaribu tail lagi akan dia terima setelah pusaka itu dapat dia mbil, Akan tetapi, yang dia berikan adalah peta palsu! Diapun diam-diam membuat kan pusaka tiruan. Kemudian, ketika aku datang dan dia mengetahui bahwa aku memiliki kepandaian silat, dia menyuruh aku menga mbil pusaka yang aseli dan menaruh pusaka tiruan ke dalam guha yang d isebutkan da la m peta palsu itu."

   "He mm, ternyata cerdik sekali pa man mu itu, Hui San!"

   Kin i hartawan Ji memuji. Dengan perbuatan itu, selain semua orang akan tahu bahwa pusaka berada di tangan Bouw Koksu, juga dia berhasil menyembunyikan pusaka aselinya tanpa ada yang mengetahui, dan dia masih mendapatkan banyak uang lagi!"

   "Sayang, paman Souw Lok tidak tahu betapa licik dan curangnya orang macam Bouw Koksu itu. Setelah semua berhasil baik dan pusaka itu dapat diambil Bouw Koksu, dia datang mengunjung paman, bukan untuk membayar yang lima ribu tail lagi seperti yang diharapka paman, melainkan membunuh paman untuk menutup rahasia bahwa Mestika Buru Hong Kemala berada di tangannya. Aku datang terlambat beberapa jam saja. Akan tetapi paman masih sempat mengatakan siapa yang me mbunuhnya, dan suatu saat, jahanam Bouw Koksu itu pasti akan tewas di tanganku!"

   Hening sejenak. Semua orang agaknya tercekam oleh kisah yang diceritakan pemuda itu.

   "Ah, aku mengerti sekarang. Engkau tentu telah mendahului rombongan, mengambil pusaka aseli, lalu memasukan pusaka palsu ke dalam guha seperti disebutkan dalam peta palsu, kemudian engkau menyembunyikan pusaka itu entah dimana, dan ketika kami bertemu dengan enci Kui Lan, engkau keluar dan pura-pura sinting untuk mengganggu kami, bukankah begitu?"

   Kata Kim Hong.

   Hui San tertawa.

   "Ha-ha, semua itu benar. Pusaka itu memang lebih dulu aku sembunyikan dalam sebuah pohon besar. Karena melihat engkau demikian cerdik, maka aku lalu pergi dan tidak berani sembarang main-main. Orang seperti engkau terlalu berbahaya untuk dipermainkan. Tentu saja aku tidak tahu bahwa engkau sebenarnya segolongan dan seperjuangan denganku, nona."

   "Souwtoako, kalau begitu pusaka itu sekarang berada di tangan mu?"

   Tanya Kui Lan yang agak ragu ketika menyebut pemuda itu, akan tetapi melihat sikap yang polos dan bersahaja itu, diapun menyebutnya toako, sebutan yang akrab.

   Hui San tersenyum dan matanya bersinar-sinar memandang kepada Kui Lan.

   "Benar, non.... eh, siauw-moi (adik), boleh aku menyebutmu Lan-moi (adik Lan)? Engkau puteri Menteri dan aku anakgunung"

   "Ah, perlukah kita merendahkan diri dan menggunakan banyak peraturan yang tidak layak lagi itu, twako? Kata kanlah, sekarang Mestika Burung Hong Kemala itu berada di mana?"

   "Kusimpan baik-baik, Lan-moi. Andai kata aku ditawan musuh, disiksa dan dibunuh sekalipun, jangan harap musuh akan dapat me maksa aku menyerahkan pusaka itu kepada mereka. Tak seorangpun akan tahu di ma na pusaka itu kusembunyikan. Akan tetapi setelah aku bertemu dengan engkau, aku siap me menuhi pesan mendiang Pa man Souw Lok untuk menyerahkan pusaka itu kepada seorang diantara para putera mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Apakah engkau bersedia rnerima pusaka itu dariku?"

   "Ah, aku.... apa bedanya kalau berada di tanganmu, twa ko?"

   Hartawan Ji segera berkata.

   "Mengapa tidak ada bedanya. Kita semua mempunyai kesetiaan yang sama, dan tentu semua bermaksud untuk menyerahkan pusaka itu kembali kepada Sri baginda Kaisar. Karena itu, kuusulkan, biar pusaka itu tetap disimpan oleh Hui San, dan tetapi dia harus memberitahukan tempat penyimpanannya kepada nona Kui Lan. Kita semua sedang berjuang, tidak tahu apakah kita akan dapat lolos dari kematian. Karena itu, sebaiknya kalau penyimpanan itu se lalu d iketahui dua rang "

   "Maksudmu agar kalau yang seorang meninggal, yang lain memberi tahukan kepada seorang sahabat lain lagi?"

   Tanya Hui San.

   "Apakah tidak sebaiknya kalau sekarang juga diantarkan ke barat dan serahkan kepada Sri baginda Kaisar? Pusaka itu amat dibutuhkan untuk mendatangkan kepercayaan mereka yang mendukung beliau, bukan?"

   Tanya Kim Hong.

   "Dugaanmu tadi benar. Hui San Pusaka itu amat penting, karena itu harus selalu kita ketahui di mana tempat penyimpanannya. Dan saat ini tidak perlu kita antarkan ke barat, nona Kim Hong, karena ka mi telah mendengar bahwa Sri baginda berhasil membujuk para kepala suku di barat untuk membantu pasukan beliau dengan memperlihatkan Mestika Burung Hong Kemala. Agaknya, Sri baginda yang kehilangan pusaka itu telah me mbuatkan pula tiruannya. Jadi sekarang ada tiga buah pusaka, dua yang palsu dipegang Bouw Koksu dan Sri baginda, sedangkan yang aseli kita simpan Kalau saatnya tiba, kita akan serahkan kepada Sri baginda Kaisar."

   Semua orang merasa setuju dengan pendapat ini dan Hui

   San lalu menuliskan beberapa huruf di atas kertas, memberikan tulisan itu kepada Kui Lan yang membacanya. Membaca isi tulisan ini Kui Lan tertegun. Betapa berani dan cerdiknya pemuda murid Gobi-pai itu Dia telah menyimpan pusaka itu di tempat yang takkan pernah disangka Siapapun juga, terutama sekali tidak oleh pihak musuh karena pusaka itu berikut petinya ditanam di bawah pohon dekat pagar tembok di kebun belakang gedung yabg kini ditinggali Bouw Koksu Pantas pemuda itu dapat menolongnya. Kiranya sedang mencuri masuk dan menanam pusaka itu di bawah pohon yang ia pergunakan untuk memasuki kebun pada mala m hari itu.

   Memang kelihatan mengkhawatirkan menyimpan pusaka di sana, akan tetapi justeru di tempat yang begitu dekat dengan Bouw Koksu, merupakan tempat yang aman karena tidak akan disangka, sama sekali. Gedung itu boleh jadi dapat diserbu orang dan isinya di rampok habis, bahkan gedung itu sendiri dapat saja dibakar habis. Akan tetapi siapa yang mau mengganggu sebatang pohon di sudut kebun? ia memandang pemuda yang tersenyum itu dan mengangguk, la lu ia merobek-robek kertas itu sampai menjadi potongan kecil kecil.

   Kim Hong yang teringat akan ayah kandungnya yang belum juga dapat ia temukan, segera bertanya kepada Hartawan Ji.

   "Paman Ji, engkau telah dapat menyelidiki dan mengetahui bahwa orang yang mengaku ayahku itu adalah pa lsu Dapatkah engkau menolongku memberi tahu siapa sebenarnya ayah kandungku yang bernama Can Bu itu dan apakah dia masih hidup? Kalau dia masih hidup, di mana dia sekarang?"

   "Ketika Yang-kongcu minta kepada kami untuk menyelidiki tentang Ciang Kui yang mengaku sebagai Can Bu, dengan sendirinya kami juga menyelidiki tentang ayah kandung nona itu. Kami bertanya-tanya kepada para perajurit dan perwira yang dulu berada dalam satu kesatuan dengan perwira Can Bu."

   "Dan bagaimana hasilnya, paman"

   Tanya Kim Hong penuh harap.

   "Ternyata bahwa ayahmu itu, perwia Can Bu, setelah berhasil lolos dari Khitan dan kembali ke kota raja, Dia diangkat menjadi seorang panglima yang membantu Panglima Besar Kok Cu It dan tentu saja dia ikut pula mengawal Sri baginda Kaisar ke barat. Apa lagi karena ayahmu sudah mengenal daerah barat dengan baik, maka tenaganya amat dibutuhkan Kaisar"

   "Jadi ayahku mengawal Sri baginda kaisar ke barat? Jadi benar ayah kandungku masih ada?"

   Wajah gadis itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

   "Kalau begitu, aku akan menyusulnya dan mencarinya ke sana, dan aku akan membantunya memperkuat pasukan Sribaginda"

   Hartawan Ji mengangguk-angguk. Hartawan ini dahulu sebelum An Lu Shan merebut tahta Kerajaan Tang, telah bekenja sebagai seorang penyelidik yang cerdik. Karena itu, dia kini dapat bekerja dengan tenang tanpa takut dikenal orang karena dahulupun tidak ada yang tahu bahwa dia adalah seorang perwira tinggi yang memiliki jaringan penyelidik. Banyak anak buahnya disebar ke mana-mana sehingga dia dapat mengetahui dengan baik keadaan di dalam dan di luar istana,

   "Memang sebaiknya begitu, nona Kami kira Sri baginda membutuhkan banyak pembantu yang lihai seperti nona dan besar sekali harapannya nona akan dapat bertemu dengan perwira Can Bu sana."

   "Kebetulan sekali, kakakku Yang Cin Han juga baru saja berangkat ke sana, adik Kim Hong,"

   Kata Kui Lan kalau engkau melakukan perjalanan dengan cepat, mungkin engkau akan dapat mengejarnya dan lebih menyenangkan kalau kalian melakukan perjalanan bersama, kan?"

   Wajah gadis itu berubah kemerahan, akan tetapi tak dapat disangkal di dalam hatinya ia merasa girang sekali, Sejak tadipun ia sudah bertanya tanya di dalam hatinya mengapa ia tidak melihat Cin Han di situ.

   "Aku akan melakukan perjalanan seepat mungkin,"

   Katanya dan iapun tidak menolak ketika Hartawan Ji menyerahkan seekor kuda kepadanya, berikut berapa potong perak untuk bekal perjalanan.

   Gadis ini meninggalkan rumah gedung Bouw Koksu tanpa membawa apapun sehingga pakaianpun hanya yang berada di tubuhnya. Iapun menerima ketika Kui Lan memberi beberapa potong pakaian untuknya, dan memang bentuk tubuh mere ka seukuran.

   Setelah Kim Hong berangkat meninggalkan kota raja dengan cara sembunyi-sembunyi, yaitu melalui pintu gerbang selatan dengan menyamar sebagai seorang nenek- nenek, diantar oleh Ji Siok yang telah menyogok para penjaga agar diperbolehkan keluar mengantar bibinya yang tua dan sakit"sakitan ke desa maka Hui San juga meninggalkan rumah Hartawan Ji, Diapun menyamar karena kini dia juga menjadi seorang buronan.

   Dia menghubung i seorang tetangganya dan minta bantuan tetangga itu untuk menjualkan rumah dan toko pamannya. Karena mendapatkan keuntungan besar, tetangga itu dengan senang hati mela kukannya dan da la m waktu beberapa hari saja rumah itu telah terjual dan Hui San mempunyai uang dua ribu tahil hasil penjualan itu. Dia pun seperti KUi Lan, tinggal, di rumah Hartawan Ji.

   Pada keesokan harinya, Hartawan Ji menerima seorang tamu dan setelah tamu itu pergi, dia mengumpulkan para pembantunya di mana hadir pula Hui San dan Kui Lan. Dari wajah pemimpin jaringan mata-mata itu dapat dlduga bahwa ada masalah penting.

   "Ada berita penting sekali dari Sia-ciangkun,"

   Kata hartawan itu.

   "Dari toako Sia Su Beng? Berita apakah itu, paman?"

   Tanya Kui Lan penuh ga irah, ia tidak tahu betapa diam dia m Hui San mengerling kepadanya dengan penuh perhatian menatap

   wajahnya dalam kerlingan itu.

   "Sia-ciangkun memberi kabar bawa usaha nona Kui Bi di istana berhasil mengadu-domba antara An Lu Shan dan puteranya, An Kong. Bahkan AnKong yang disebut pangeran itu mempercayai nona Kui Bi dan minta kepada nona Kui Bi untuk meracuni An Lu Shan..'

   "Ah, berbahaya sekali itu, Bagai mana kalau ketahuan?"

   Kata Kui Lan, mengkhawatirkan adiknya.

   "Semua telah diatur oleh Bouw Koksu yang mendukung Pangeran An Kong. Mala m in i nona Kui Bi berhasil diselundupkan ke dapur dan di tunjuk sebagai seorang dayang melayani kaisar An Lu Shan makan malam menggantikan seorang dayang lain yang sakit. Saat inilah akan dipergunakan oleh nona Kui Bi untuk meracuni ma kanan yang akan dimakan kepala pemberontak itu."

   

JILID 12

"Akan tetapi, tentu akan ketahuan dan adikku akan terancam bahaya,"

   Kata pula Kui Lan.

   "Menurut pesan Sia-ciangkun, bahaya yang datang bukan dari pengikut An Lu Shan, melainkan dari Pangeran An Kong, dari Bouw Koksu yang mendukungnya. Dari mereka inilah datangnya bahaya yang mengancam nona Kui Bi"

   "Akan tetapi bagaimana mungkin Itu, paman?"' tanya Hui San.

   "Bukankah nona Yang Kui Bi hanya melaksanakan perintah Pangeran An Kong?"

   "Itulah sebabnya, menurut Sia ciangkun, keadaan nona Kui Bi terancam maut. Setelah perbuatan itu dilaksanakan dan An Lu Shan mati keracunan, tentu para pejabat tinggi ingin mencari siapa pelakunya. Dan untuk menutupi kenyataan bahwa An Kong yang meracuni ayahnya maka tentu mereka itu akan berusaha untuk menangkap nona Kui Bi dan menuduh nona itu sebagai pelakunya. Akan tetapi harap jangan khawatir. Sia ciangkun sudah mengatur kesemuanya Dia yang akan melindungi nona Kui Bi dan menyelundupkannya keluar dan kita yang harus membantunya, menerima nona Kui Bi dan membawanya ke sini dengan cepat."

   "Akan tetapi, peristiwa itu tentu akan men imbu lkan geger di istana pa man. Apakah tidak akan terjadi keributan yang ditimbulkan oleh mereka yang setia kepada An Lu Shan?"

   "Inipun akan ditanggulangi oleh Bouw-ciangkun yang sudah mempersiapkan pasukannya di luar istana, dan dibantu oleh Sia-ciangkun yang akan bergerak ke dala m istana."

   Kui Lan membelalakkan matanya.

   "Paman Ji, benarkah itu? Rasanya tidak mungkin Sia-toako akan bekerja sama dengan Bouw Koksu, apa lagi membantunya."

   "Nona, ini merupakan siasat Sia-ciangkun yang baik sekali. Menghadapi Pangeran An Kong yang didukung Bouw Koksu tidaklah seberat kalau menghadap An Lu Shan. Karena itu, sengaja di biar kan ayah dan anak pemberontak itu saling hantam, dan Sia-ciangkun memang sengaja berpihak kepada Pangeran An Kong. Kalau An Lu Shan sudah tewas, dan para pengikutnya dapat dilumpuhkan akan kelak menghadapi Pangeran An Kong tidaklah terlalu berat."

   Kui Lan mengerti, akan tetapi tetap saja ia mengkhawatirkan keselamatan adiknya, ia tahu bahwa Kui Bi bermain api. Amat berbahaya tugas yang hendak dilaksanakan adiknya ma la m ini. Meracuni An Lu Shan. Membayangkan saja Kui Lan sudah merasa ngeri dan jantungnya berdebar keras.

   Bagaimana kalau ketahuan sebelum An Lu Shan makan hidangan beracun itu? Bagaimana kalau hidangan itu tidak dimakan atau dimakan orang lain sehingga orang lain yang mati, bukan An Lu Shan? Apa yang dapat dilakukan Kui Bi kalau sa mpai ketahuan? ia tahu akan keberanian dan kenekatan adiknya itu.

   Kalau sampai ketahuan sebelum hidangan dimakan, Kui Bi pasti akan bertindak nekat dan mencoba untuk membunuh saja An Lu Shan. Dan tanpa bantuan, agaknya mustahil adiknya akan mampu meloloskan diri dengan selamat keluar dari istana kalau ia dikejar-kejar sebagai pembunuh.

   Biarpun ia tahu di sana terdapat Sia Su Beng pria yang dikaguminya itu, tetap saja ia masih merasa gelisah. Ketika Ji Siok mengatakan bahwa pertemuan berakhir dan semua orang sudah bangkit, ia sendiri berdiri dan menuju ke ka marnya dengan tubuh lemas.

   Karena memang sudah diatur oleh kaki tangan Bouw Koksu, maka dengan mudah Kui Bi mendapat kepercayaan membantu di dapur, kemudian menggantikan seorang dayang pelayan di ruangan makan yang sedang sa kit. Se mua ini sudah diatur oleh Bouw Koksu, melalui kaki tangannya yang banyak terdapat di dalam istana. Mudah sekali bagi Kui Bi untuk mengetahui, sayur masakan yang mana menjadi kesukaan An Lu Shan dan mudah pula ia membawa hidangan itu menuju ke ka mar makan, menaruh bubu kan racun di dalam masakan. Racun itu tidak mengeluarkan bau, juga tidak ada rasanya, maka tidak akan diketahui bahwa masakan itu mengandung racun.

   Akann tetapi ketika An Lu Shan yang berpaka ian sebagai raja itu memasuki ruangan makan dan ia duduk menghadapi semeja besar penuh masakan yang masih mengepulkan uap yang sedap, ditamani tiga orang selir dan lima orang dayang, hati Kui Bi berdebar juga. ia melihat selosin perajurit pengawal pribadi yang membawa tombak, berdiri berjajar di pintu ruangan. Dan ia tahu bahwa di luar pintu terdapat pula banyak perajurit pengawal.

   Hal Ini tidak mengejutkan hatinya karena me mang sebelu mnya Bouw Koksu telah me mberi tahu padanya dan mengatakan bahwa mereka itu adalah pasukan pengawal yang telah menjadi anak buahnya! Yang menjadi pengawal setia dari An Lu Shan hanya selosin orang pengawal pribadi saja. Menurut petunjuk Bouw Koksu, kalau nanti An Lu Shan sudah makan dan keracunan ia harus cepat menerobos keluar melalui pintu, kalau perlu merobohkan para pengawal pribadi yang mengha langi dan kalau sudah tiba di luar, pasukan anak buah Pangeran An Kong atau Bouw Koksu akan melindunginya. Akan tetapi Kui BI telah mendapat pesan dan petunjuk lain dari pang lima muda yang di kagu minya, yaitu Sia Su Beng.

   Menurut Sia Su Beng, setelah ia berhasil, harus melarikan diri melalui jendala ruangan makan itu yang terbuka dan tiba di ta man di luar ruangan makan, ke mudian mengambil jalan melalui atas wuwungan menuju ke dalam taman istana yang besar. Di sana, Sia Su Beng dan pasukannya akan menyambut dan menyembunyikannya. Tentu saja ia memilih untuk menaati pesan pujaan hatinya itu, karena menurut Sia Su Beng, kalau ia menaati petunjuk Bouw Koksu, ia seperti seperti burung masuk kurungan, akan ditangkap dan besar sekali kemungkinan dituduh sebagai pembun uh tungga l An Lu Shan dan d ijatuhi hukuman berat.

   Ruangan makan itu luas sekali. disudut ruangan, dekat dinding para dayang ahli musik telah memainkan yangkim dan suling, dan ada pula yang bernyanyi dengan suara lembut dan merdu. Meja makan itu sendiri berbentuk bundar dan An Lu Shan duduk di atas kursi istimewa, dikelilingi para dayang dan tiga orang selirnya duduk di kanan kiri dan depannya.

   Masakan kegemarannya ialah masakan kaki biruang dimasak dengan rebung (bambu muda). Inilah masakan kege marannya ketika dia menjadi panglima pasukan di utara, di mana terdapat banyak biruang. Biarpun sekarang dia berada di selatan dan kaki biruang merupakan bahan masakan yang langka dan karenanya mahal sekali, dia tetap minta dicarikan kaki biruang. Masakan inilah yang tadi oleh Kui Bi dihidangkan di atas meja, paling dekat dengan kursi sang kaisar baru.

   Dalam kesempatan ini, agar tidak menarik perhatian, Kui Bi tidak berdandan. ia hanya berperan sebagai pelayan yang mengambilkan masakan dari dapur dan ketika sang kaisar makan bersa ma selirnya dan dilayani lima orang dayang, tugasnya hanya berdiri di sa mping bersa ma tiga orang

   rekannya, dan menanti perintah para dayang pelayan kalau"kalau dibutuhkan bumbu atau masakan tambahan.

   An Lu Shan nampak gembira ketika duduk di depan meja makan. Perutnya rasa semakin lapar ketika dia mencium bau masakan khas kegemarannya yang ada paling dekat di depannya. Dia merima suguhan arak dari selir yang duduk di sebelah kanannya, minum dengan sekali tuang dari cawannya, kemudian menerima sumpit yang disodorkan selir yang berada di sebelah kirinya. Kui Bi mengikuti semua gerakan kaisar itu dengan jantung berdebar tegang.

   Akan berhasilkah usahanya melaksanakan perintah Pangeran An Kong? ia tidak menyesal sedikitpun melaksanakan perintah meracuni An Lu Shan, karena andaikan tidak ada perintah itu, dengan segala kenekatannya ia akan mencari kesempatan untuk membunuh orang ini, orang yang telah mengakibat kan ayah ibunya meninggal, menyebabkan keluarganya berantakan dan Kerajaan Tang jatuh.

   Agaknya perhitungan Bouw Koksu dan Pangeran An Kong memang tepat. Tanpa ia melihat ke arah masakan lain, sepasang sumpit di tangan An Lu Shan langsung saja menuju ke arah masakan kaki biruang itu, dan sepasang sumpit itu menjepit sepotong daging kaki biruang, lalu dimasukkan ke dalam mulutnya.

   Nampak sedap dan nyaman sekali dia mengunyah daging kaki biruang yang bergajih itu, dan memang tukang masak mendapat pesan dari Pangeran An Kong sendiri agar hari itu memasak kaki biruang yang seenak"enaknya. Bahkan diapun memerintahkan mencarikan kaki biruang yang masih muda agar terasa lebih luna k dan lezat.

   Makin tegang rasa hati Kui Bi ketika An Lu Shan terus saja makan masakan itu dengan sumpitnya, hanya di selingi minum arak sekali dua kali tegukan. Agaknya tidak ada pengaruh apa"apa dan dia makan dengan lahapnya, belum menyentuh masakan lain. Timbul perasaan gelisah dalam hati Kui Bi dan ia mengingat-ingat. Tidak salahkah ia tadi menaruhkan racun

   itu? Jangan-jangan ia keliru memasukkan ke dalam masakan lain! Akan tetapi rasanya tidak mungkin ia yakin benar telah menuangkan racun itu ke dalam masakan kaki biruang itu

   Suara mussik masih terdengar mengiringi suara nyanyian merdu. Tiga orang selir seperti berebut menarik perhatian kaisar dengan ucapan manis dan menyuguhkan arak, ada pula yang karena desakan kaisar mulai ikut makan. Akan tetapi melihat betapa lahapnya kaisar makan masakan kaki biruang, mereka tidak berani ikut mengambilnya.

   Kalau An Lu Shan tidak mengambilkan untuk mereka, tiga orang selir itu tidak akan berani lancang mengambil sendiri hidangan yang menjadi kegemaran An Lu Shan itu. Bekas panglima yang kini mengangkatdiri menjadi kaisar ini memang terkenal gala k dan keras kalau ada orang berani mendahului kehendaknya, apa lagi menentangnya. Karena itulah, ketika pangeran An Kong mohon agar diangkat menjadi putera mahkota, dia marah dan membenci puteranya sendiri, karena merasa di dahului!

   "Ah, aku haus, araknya!"

   Kata An Lu Shan dan tiga orang selir itu seperti berebut memegang guci arak menuangkan arak ke dalam cawan arak dari emas yang telah kosong. An Lu Shan mengambil cawan itu, menuangkan isinya ke dalam mulutnya yang ternganga dan tiba-tiba cawan kosong itu terlepas dari tangannya dan diapun terkulai!

   "Dukk!"

   Kepalanya terantuk meja dan tubuhnya berkelojotan. Tiga orang selir itu menjerit, diikuti lima orang dayang dan semua orang yang berada disitu terkejut. Para pemain musik menghentikan permainan mereka dan dengan muka pucat mereka mrmandang terbelalak ke arah kaisar. Selosin orang pengawal pribadi berloncatan mendekat.

   Kui Bi maklum bahwa racun itu telah bekerja, lapun menyelinap dan mendekati jendela, terus me lompat keluar.

   "Heii , tahan! Semua orang tidak boleh me ningga lkan tempat ini!"

   Seorang pengawal pribadi berteriak dan ketika melihat Kui Bi tidak berhenti diapun mengejar, diikuti oleh sembilan orang pengawal lain, sedangkan dua orang tinggal di situ, menolong kaisar dan mengamati setiap orang.

   Kui Bi berlari ke dalam taman kecil di luar ruangan makan itu, dan ketika pengawal pribadi kaisar itu yang ternyata me miliki gin-kang ynng cu kup hebat berloncatan mengejarnya, tiba tiba Kui Bi membalikkan tubuhnya. Tadi ia menya mbar sebatang ranting kayu taman itu dan kini, tiba"tiba ranting itu mencuat dan dengan dahsyat menyambut pengejarnya dengan tusukan kearah kedua matanya.

   Melihat ranting itu menusuk ke arah matanya dengan kecepatan kilat, pengawal itu terkejut dan cepat menggerakkan tombaknya menangkis melindungi matanya. Akan tetapi, ilmu Hong in Sin- pang dari Kui Bi memang helbat sekali. Ranting yang menusuk mata itu tidak menanti sa mpai ditangkis tombak tahu-tahu telah meluncur ke bawah dan menotok dada lawan.

   "Tukk!"

   Biarpun hanya sebatang ranting sebesar ibu jari, akan tetapi di tangan Kui Bi menjadi senjata ampuh. Pengawal itu roboh dengan tubuh kaku!

   Kui Bi tidak menanti lebih lama terus berloncatan melintasi taman dan meloncat naik ke atas genteng seperti petunjuk yang didapatnya dari Sia Beng. Di belakangnya, sembilan orang pengawal mengejar dan ternyata mereka memang merupakan orang-orang pilihan yang memiliki kepandaian tinggi.

   Kalau yang pertama tadi sampai dapat dirobohkan Kui Bi, karena dia memandang rendah kepada seorang gadis dayang, apalagi kalau yang dipergunakan menyerangnya hanya sebatang ranting. Karena memandang rendah, dia lengah dan dapat dirobohkan dengan sekali totokan.

   Ketika melihat betapa sembilan orang pengawal itu dapat terus mengejarnya dengan berlompatan ke atas wuwungan pula, Kui Bi me mpercepat lari dan a khirnya ia dapat me loncat turun ke dalam taman istana, tetap dikejar oleh sembilan orang itu.

   Hati Kui Bi menjadi lega ketika lihat pasukan yang puluhan orang banyaknya berbaris di taman itu. Cepat ia me loncat dekat dan tangannya segera ditarik Sia Su Beng dan ia sudah menyusup masuk ke dalam barisan itu, tergesa-gesa ia mengenakan pakaian seragam perajurit yang diberikan oleh seorang prajurit, menutupi pakaian wanitanyanya beberapa detik saja Kui Bi telah menjadi seorang di antara pasukan itu, berpakaian perajurit berikut topinya yang khas.

   Sia Su Beng menyambut sembilan orang pengawal pribadi kaisar itu di bawah sinar lampu-lampu gantung taman itu dia menegur.

   "Bukankah kalian ini perajurit perajurit pengawal pribadi Yang Mu lia Kaisar? Kenapa mala m-ma la m berlari ke sini? Apa yang telah terjadi?"

   "Ah, kiranya Sia-ciangkun dan pasukannya. Kenapa pula ciangkun membawa pasukan memasuki taman istana?"

   Pemimpin pasukan pengawal itu bertanya. Para perajurit pengawal pribadi kaisar adalah orang-orang kepercayaan kaisar maka biarpun hanya perajurit, mereka berani bersikap angkuh terhadap panglima yang berada di luar istana.

   "Kami menerima perintah Bouw Koksu untuk berjaga-jaga karena ada desas desus bahwa mata-mata musuh hendak menyerang Yang Mulia. Apakah yang terjadi maka kalian berlarian ke sini?"

   "Kami mengejar pembunuh! Apakah pasukanmu tadi me lihat seorang gad is yang berlari ke dalam taman ini?"

   "Tidak, kami tidak melihatnya,"

   Kata Sia Su Beng.

   "Mustahil,"

   Para perajurit pengawal pribadi kaisar itu berseru heran, 'kami mengejarnya dan kami melihat jelas meloncat turun dari wuwungan dan masuk ke taman ini!"

   "Hemm, apakah itu berarti kalian tidak percaya kepada keterangan kami? kalau begitu, silakan menggeledah dan periksa sendiri apakah gadis yang kalian cari itu berada di antara kami ataukah tidak!"

   Kata Sia Su Beng dengan suara keren.

   "Maafkan kami, ciangkun. Telah terjadi peristiwa hebat, terpaksa kami akan melakukan penggeledahan, ini tugas kami!"

   Sembilan orang itu lalu menyusup-nyusup ke dalam pasukan itu, akan tetapi tentu saja mereka tidak menemukan seorang gadis dayang di antara mereka.

   Semua adalah pasukan yang berpakaian seragam. Kalau ada gadis dayang, tentu akan mudah kelihatan di antara mereka yang seragam itu. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada gadis yang mereka cari, mereka kembali berhadapan dengan Sia Su Beng.

   "Sebetulnya, apa yang terjadi? Siapa gadis dayang itu dan mengapa kalian mengejarnya?"

   "la telah melarikan diri setelah melihat Yang Mulia keracunan! Kami mencurigai ia mempunyai kaitan dengan peristiwa itu."

   "Yang Mulia keracunan? Lalu... bagaimana keadaan beliau?"

   Tanya Sia Su Beng, pura-pura kaget.

   "Kami tidak tahu, sekarang juga kami akan ke sana!"

   Kata sembilan orang itu dan merekapun berserabutan lari meninggalkan taman. Pada saat terdengar bunyi canang dipukul bertalu talu, tanda bahaya sehingga seluruh isi istana menjadi gempar. Dala m waktu beberapa men it saja semua orang tahu bahwa kaisar telah tewas keracunan hidangan makan malam!

   Pasukan yang dipimpin Bouw Ki telah dipersiapkan dan telah berada diluar istana, sedangkan pasukan yang di pimpin

   Sia Su Beng juga sudah siap dan berada di sebelah dalam, mengepung istana dan menguasai semua tempat. Melihat ini, para panglima yang setia kepada An Lu Shan tidak dapat berbuat sesuatu apa lagi karena ke matian An Lu Shan karena keracunan makanan. Mereka hanya dapat segera datang ke ruangan makan dan menahan semua dayang, selir, dan thai"kam, termasuk se mua juru masak yang mala m itu bertugas memasak makanan dan melayani keluarga kaisar makan malam.

   Ketika Bouw Koksu tergesa-gesa datang bersama Bouw"ciangkun, juga Pangeran An Kong, dan kemudian menyusul pula Sia Su Beng dan para panglima dan menteri yang memenuhi ruangan makan, tubuh kaisar An Lu Shan sedang diperiksaa dengan teliti oleh tiga orang tabib istana.

   Akan tetapi, semua usaha tiga orang tabib itu melalui pengurutan, tusuk jarum, dan ce kokan obat anti racu n sia-sia belaka karena memang ketika tiga orang tabib itu datang, An Lu Shan telah putus nyawanya. Jerit tangis para isteri dan selir memenuhi ruangan itu, akan tetapi Bouw Koksu dengan cekatan lalu mengatur agar jenazah kaisar segera diangkat keruangan dalam untuk dirawat sebagaimana mestinya.

   Bouw Koksu sendiri yang memeriksa para pembantu yang masih ditahan ruangan makan untuk ditanya. Akan tetapi, dia dan Bouw Ki merasa heran sekali tidak melihat Kui Bi. Dari para petugas di luar ruangan makan mereka mendengar bahwa gadis itu tidak lari melalui pintu. Padahal sudah direncanakan bahwa kalau ia keluar dari pintu para petugas akan menangkap dan rnenahannya.

   Kemudian terdengar keterangan para pengawal pribadi kaisar bahwa gadis dayang itu melarikan diri melalui jendela dan biarpun mereka telah berusaha mengejarnya, namun gadis yang amat lihai itu berhasil melarikan diri. Mendengar ini, Bouw Koksu mengerutkan alisnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa dayang baru itu memiliki ilmu silat tinggi.

   Tentu ia lihai sekali sehingga mampu meloloskan diri dari pengejaran para pengawal pribadi kaisar yang lihai itu.

   Karena khawatir gadis itu membocorkan rahasia bahwa Pangeran An Kong yang melakukan rencana pembunuhan terhadap ayahnya, Bouw Koksu lalu memerintahkan para panglima untuk menangkap dayang itu. Juga Panglima Sia Su Beng diminta untuk menggeledah seluruh kota untuk menang kapnya.

   "la pasti masih berada di kota raja. Geledah semua rumah dan tangkap gadis itu! Tentu ia yang membunuh dan meracuni Sribaginda!"

   Perintahnya.

   Semua panglima, termasuk Sia Su Beng, meninggalkan istana. Kalau para pangIima memerintahkan anak buah mereka untuk melakukan pencaharian, Sia Su Beng sendiri cepat menuju rumah Hartawan Ji. Tak lama kemudian dia sudah berada di kamar rahasia bersa ma Hartawan Ji, Kui Lan, Kui Bi, dan Hui San.

   Begitu melihat Sia Su Beng muncul, Kui Bi segera lari menya mbutnya dan bertanya.

   "Twako, bagaimana? Berhasilkah kita sesuai rencana? Apakah dia sudah tewas?"

   Gadis itu merasa tegang dan saking tegangnya, ia memegang kedua lengan panglima itu.

   Sia Su Beng tersenyum dan mengangguk.

   "Berhasil baik sekali, Bi-moi Engkau memang tabah dan cerdik. An Lu Shan telah tewas, dan tentu An Kong yang akan mengangkat diri menjadi gantinya seperti mereka rencanakan, akan tetapi sekarang timbul masalah baru. Engkau berada dalam bahaya, Bi-moi !"

   "He mm, aku tidak takut, twako"

   Kata gadis itu dengan sikap gagah.

   "Aku percaya engkau tidak takut akan tetapi aku yang tidak mau melihlat engkau ditangkap. Kau tahu, Bouw Koksu berusaha keras untuk mencari dan menangkapmu. Tepat seperti kuduga, tentu dia ingin menangkapmu agar dapat menjatuhkan se mua kesalahan kepadamu, menceritakan bahwa engkau yang meracuni kaisar sehingga dia dan An Kong bebas dari tuduhan."

   "Akan tetapi, aku dapat membantah dan mengatakan bahwa mereka yang menyuruhku. Aku tidak takut, twako. Selama engkau di sampingku, aku tidaktakut apapun!"

   "Aku berjanji akan membantumu dengan taruhan nyawaku, Bi-moi. Akan tetapi sungguh tidak bijaksana kalau harus menggunakan kekerasan melawan musuh yang jauh lebih kuat dari pada kita. Sekarang belum tiba saatnya kita lawan dengan kekerasan. Kita tunggu saatnya. Setidaknya sekarang musuh yang paling berbahaya, An Lu Shan, telah tidak ada. Kurasa untuk menghancurkan kekuatan Pangeran An Kong dan Bouw kokssu bukan hal yang terlalu sulit kalau kita sudah menyusun kekuatan."

   Sejak tadi Kui Lan melihat sikap adiknya dan sikap panglima itu dan ia merasa hatinya tertusuk.

   Tahulah ia bahwa adiknya amat mencinta panglima itu dan agaknya Sia Su Beng juga rnencintai adiknya, ia harus melepaskan harapannya, ia harus mengalah terhadap adiknya.

   "Bi-moi, ucapan Sia-ciangkun itu benar sekali. Kita tidak boleh hanya mengguna kan kekerasan dan nekat tanpa perhitungan. Kita harus menaati semua petunjuk Sia-ciangkun yang lebih berpengalaman dan lebih mengetahui keadaan. Katakanlah, ciangku n, apa yang harus ka mi la kukan sekarang?"

   Sia Su Beng memandang kepada Souw Hui San. Dia tentu saja mengenal Kui Lan dan Ji Siok dan percaya kepada mereka, akan tetapi baru sekarang dia melihat pemuda yang tersenyum-senyum itu. Melihat pandangan mata Sia Su Beng, Souw Hui San melangkah maju.

   "Ciangkun, sudah lama aku mendengar nama besarmu dan mengagumimu. Namaku Souw Hui San dan Paman Ji maupun nona Yang Kui Lan tentu berani menanggung bahwa aku adalah seorang rekan seperjuangan dan tidak perlu kau curigai."

   "Benar sekali, Sia-ciangkun, Souw-toako ini adalah sahabat baik yang sudah berka li-kali menyela matkan nyawaku dari tangan Bouw Ki dan kaki tangannya,"

   Kata Kui Lan.

   "Ka mi juga berani bertanggung jawab bahwa dia adalah seorang pejuang sejati, ciangkun,"' kata pula Ji Siok.

   "Dia murid Gobi-pai yang berilmu tinggi,"tambah pula Kui Lan.

   Sia Su Beng mengangguk-angguk.

   "Bagus kalau begitu, hatiku lebih tenteram karena baik Lan-moi maupun Bi-moi mendapatkan pengawa l yang dapat di andalkan. Ma la m ini juga kalian bertiga harus Keluar dari kota raja, karena mulai besok, seluruh rumah di kota raja akan digeledah. Bouw Koksu bersikeras untuk menangkap Bi-moi."

   "Akan tetapi, bagaimana kami dapat keluar dari kota raja, ciangkun?"

   Tanya Hui San.

   "Dengan terjadinya peristiwa ini, tentu Bouw Koksu akan mengerahkan pasukan untuk menjaga semua pintu gerbang dan akan memeriksa setiap orang yang lewat, apa lagi yang akan ke luar pintu gerbang."

   Panglima itu menunjuk buntalan yang tadi dibawanya dan yang diletakan di atas meja.

   "Aku sengaja membawa tiga stel pakaian tentara, tadinya kubawakan untuk nona Yang Kui lan, Bi moi dan Paman Ji Siok untuk mereka pakai. Aku yang akan mengatur kalian keluar kota raja dengan aman. Aku tidak tahu bahwa di sini terdapat Saudara Souw Hui San."

   "Ciangkun, sebaiknya kalau saya berada di sini saja. Saya mempunyai hubungan baik dengan para panglima dan pejabat. Andaikan mereka melakukan penggeledahan di sinipun, mereka tidak akan mene mukan apa-apa. Tidak seorang pun yang dapat menduga bahwa kedua orang nona

   ini pernah berada di rumah ini, ciangkun. Karena itu, sebaiknya kalau pakaian untukku itu dipakai oleh Hui San dan saya akan tetap tinggal disini menjadi penghubung bagi para kawan dan melihat keadaan."

   "Baiklah kalau begitu, Pa man Ji Akan tetapi berhati-hatilah, karena Bouw Koksu adalah seorang yang lihai cerdik dan kejam,"

   Kata Sia Su Beng Sementara itu, tanpa diperintah lagi Kui Lan, Kui Bi dan Hui San sudah mengena kan pakaian tentara. Yang dipakai kedua orang gadis itu pas, hanya kebesaran sedikit karena memang Sia Su Beng sudah memilihkan yang paling kecil, akan tetapi yang dipakai Hui San agak kekecilan, terutama di bagian dada.

   Tak lama kemudian, Sia Su Beng sudah memimpin dua losin perajurit berkuda menuju ke pintu gerbang sebelah barat. Para penjaga berikut komandan mereka tentu saja tidak berani menghalangi , bahkan memberi hormat kepada Sia Su Beng, apa lagi ketika dengan singkat Sia Su Beng memberi tahu bahwa ia dan pasukannya akan melakukan pengejaran ke luar kota terhadap kawanan pembunuh kaisar, mereka semua bergembira karena merasa yakin bahwa kalau langlima yang lihai ini yang melakukan pengejaran, tentu akan berhasil.

   Pasukan itu terus menja lankan kuda sa mpai jauh meninggalkan kota raja. Setelah malam lewat dan matahari mulai memuntahkan cahayanya di ufuk timur, barulah Sia Su Beng memberi isarat agar pasukannya berhenti dan beristirahat juga membiarkan kuda mereka makan dan minum.

   Dia sendiri mengajak Kui Lan, Kui Bi dan Hui San menjauhkan diri dan mengajak mereka berca kap-cakap.

   "Nah, sekarang kurasa kalian bertiga sudah aman untuk melanjutkan perjalanan ke barat, menyusul rombongan Sri baginda Kaisar Beng Ong di Secu-an."

   "Terima kasih, ciangkun. Engkau memang hebat dan cerdik sekali. Biar mulai sekarang aku yang akan mengawal kedua enci adik Ini sampai mereka tiba di Se-cuan dengan selamat,"

   Kata Hui San penuh semangat.

   "Akupun mengucapkan terima kasih kepadamu, Sia "ciangkun,"

   Kata Kui Lan, sengaja kini menyebut ciangkun kepada panglima itu. ia tidak dapat lagi bersikap akrab kepada panglima yang pernah dikaguminya itu setelah mengetahui bahwa panglima itu akrab sekali dengan adiknya.

   "Engkau telah menyelamatkan adikku, juga berhasil membawa kami bertiga keluar dari kota raja dengan selamat."

   "Tidak, aku tidak mau pergi!"

   Tiba-tiba Kui Bi berkata sambil mendekati Sia Su Beng.

   "Twako, bagaimana mungkin aku pergi kalau engkau masih tinggal di kota raja? Tidak, aku bukan pengecut yang meninggalkan begitu saja. Aku tidak mau pergi. Kalau engkau kembali ke kota raja, akupun harus kembali ke sana!"

   "Bi-moi, jangan bicara begitu", kata encinya.

   "Kita bukan pengecut kalau pergi dari kota raja. Kita bukan sekedar melarikan diri karena takut akan tetapi kita akan bergabung dengan kakak Cin Han di sana. Sia-ciangkun harus kembali ke kotaraja di mana dia bertugas dan kita membagi pekerjaan yaitu kita membantu pasukan Sribaginda dan Sia-ciangkun me mbantu dari dalam."

   "Benar, Bi-moi. Jasamu sudah cukup besar dengan membunuh An Lu Shan dan sementara ini engkau harus meninggalkan kota raja."

   "Sekali lagi tidak, twako. Aku harus ikut engkau kembali ke kota raja untuk membantumu. Bahaya kita tempuh bersama. Kalau engkau tidak mau menyelundupkan aku ke dalam kota raja, aku dapat menyusup sendiri,"

   Kata Kui Bi dengan nekat.

   Gadis yang keras hati ini tahu benar bahwa kalau ia harus berpisah dari pria yang dikasihinya, hati nya akan selalu merasa sengsara karena pria itu berada di kota raja, tempat yang amat berbahaya dengan segala pergolakannya.
Sia Su Beng menghela napas panjang, bukan karena penyesalan, melainkan karena lega dan senang. Dia sendiri sudah jatuh cinta kepada Kui Bi dan ia sedang merencanakan cita-cita besar. Akan lebih mantap hatinya kalau dia dekat dengan gadis yang dikasihinya, apa lagi dia me mbutuhkan tenaga orang gadis perkasa seperti Kui Bi.

   "Baiklah, Bi-moi.

   Kalau itu kehendakmu, engkau boleh ikut aku kembali ke kota raja dengan menyamar sebagai perajurit."

   Bukan main girangnya hati Kui Bi sambil memegangi kedua tangan panglima itu, ia berseru.

   "Koko, terima kasih! Aku akan membantumu dengan taruhan nyawaku!"

   Kemudian ia mengha mp iri dan merang kul encinya.

   "Enci Lan, kalau engkau bertemu kakak Cin Han, ceritakan semuanya dan bahwa aku berada di kota raja membantu perjuangan dari da la m bersa ma Sia-koko."

   Kemudian ia menambahkan bisikan di dekat telinga encinya.

   "Enci, aku cinta padanya."

   Kui Lan mencium pipi adiknya dan matanya menjadi basah, ia terharu dan juga berbahagia bahwa adiknya telah menemukan cintanya, ia mengenal adiknya orang yang berhati keras dan sekali jatuh cinta, ia akan mempertahankannya mati-matian.

   "Pergilah, adikku. Kita akan berkumpul kembali dalam keadaan yang lebih baik."

   Sia Su Beng lalu membawa pasukannya kembali. Pasukan itu kini berkurang dua orang, tinggal duapuluh dua orang. Akan tetapi, Sia Su Beng tidak membawa pasukannya langsung pulang ke kota raja, melainkan mengajak mereka menyerbu sebuah bukit kecil penuh hutan yang dia tahu benar merupakan sarang gerombolan perampok.

   Gerombolan perampok itu diserbu dengan tiba-tiba, menjadi panik dan mencoba melakukan perlawanan. Akan tetapi, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi mengamuk sehingga para perampok terdesak, banyak yang tewas atau terluka dan sisanya melarikan diri. Sia Su Beng menawan empat orang anggauta perampok yang terluka dan bersama Kui Bi dia mengajak empat orang ini ke pinggir.

   "Sekarang terserah kalian, masih inngin hidup ataukah memilih mati. Kalau ingin hidup, kalian harus menaati perintahku setelah tiba di kota raja,"

   Kata Sia Su Beng.

   Empat orang perampok yang luka-luka ringan itu tentu sudah menganggap bahwa mereka akan dibunuh, kini mendengar bahwa ada harapan bagi mereka untuk tinggal hidup, tentu saja mereka cepat menyambar harapan itu, betapapun kecilnya.

   "Kami minta hidup, ciangkun!"

   Kata mereka.

   "Baik, mulai sekarang kalau ada orang bertanya, siapa saja dia, kalian harus mengakui bahwa kalian adalah kaki tangan Bouw Koksu dan kalian mendapat perintah dan tugas Bouw Koksu untuk membunuh kaisar."

   "Wah, kalau begitu kami tentu akan dihukum berat ! "

   "Tidak, kami yang akan melindungimu dan membebaskan kalian dari hukuman. Akan tetapi kalau kalian tidak mau, sekarang juga kalian akan ka mi bunuh. Baga imana?"

   Terpaksa empat orang itu menyanggupi dan Sia Su Beng memberi tahu apa yang harus mereka jawab kalau datang pertanyaan-pertanyaan tentang usaha pembunuhan kaisar An Lu Shan. Mereka di beri tahu nama-nama kaki tangan Bok Koksu yang bekerja di dapur dan yang menjadi dayang sampai yang menjadi thai-kam. Mereka harus menghafalkan semua jawaban itu.

   Dalam perjalanan menuju ke kota raja, Sia Su Beng diam"diam menyuruh beberapa orang perajuritnya menguji empat orang itu, mengajukan pertanyaan di luar tahu Sia Su Beng. Ada yang bertanya sambil menggertak dan mengancam, ada pula yang bertanya dengan bujukan dan janji hadiah dan kebebasan.

   Dan di antara empat orang itu, ternyata yang tetap mengatakan bahwa mereka adalah kaki tangan Bouw Koksu hanya dua orang. Yang dua orang lagi ragu-ragu dan tanpa banyak cakap lagi, di depan dua orang yang lain, Sia Su Beng membunuh mereka dengan pedangnya! Hal ini tentu saja membuat dua orang anggauta perampok menjadi semakin ketakutan dan mereka bertekad untuk menaati perintah panglima Itu, apapun yang terjadi nanti pada diri mereka.

   Kui Bi dapat mema klu mi kekeja man Sia Su Beng membunuh dua orang perampok itu karena kalau mereka dibebaskan, mereka tentu akan membocorkan rahasia siasat yang sedang dilakukan Sia Beng.

   Pasukan yang membawa dua tawanan itu memasuki pintu gerbang pada sore harinya dan Sia Su Beng segera mengundang para panglima ke markasnya. Dia mengadakan pertemuan rahasia dengan para panglima, baik para panglima yang mendukung An Lu Shan maupun para panglima yang dia m-dia m secara rahasia mendukung Kerajaan Tang. Hanya para panglima yang menjadi kaki tangan Bouw koksu dan Pangeran An Kong saja yang tidak diundang dala m rapat rahasia itu.

   Karena semua orang masih dalam keadaan tegang dan panik dengan kematian An Lu Shan, para panglima itu bergegas datang karena mereka maklum bahwa tentu ada berita penting yang akan di sampaikan Panglima Sia Su Beng yang selain menjadi kepercayaan An Lu Shan juga agaknya dekat dengan Bouw Koksu itu.

   "Para rekan panglima yang terhomat, saya mengundang anda sekalian berkumpul untuk menyampaikan berita yang teramat penting dan juga tentu akan mengejutkan hati cu-wi (anda) sekalian. Berita itu ada hubungannya dengan kematian Sribaginda yang keracunan."

   Dia sengaja berhenti sebentar untuk memberi tekanan kepada kata-katanya tadi. Semua panglima yang ju mlahnya tujuh orang itu benar saja a mat tertarik dengan gaduh mereka bertanya apa yang telah terjadi dan apakah berita itu.

   "Ketika terjadi peristiwa kematian Sribaginda kemarin ma la m itu, saya mendapat keterangan dari penyelidik saya bahwa pelaku pembunuhan dapat melarikan diri keluar kota raja. Mereka bergabung dengan kawan-kawan mereka, itu gerombolan perampok di Bukit Bambu Kuning.

   Saya cepat membawa dua losin perajurit melakukan pengejaran malam tadi juga, dan tadi kami berhasil menyerbu, menewaskan beberapa orang dan menawan dua orang. Dua orang perajurit kami gugur. Dan dari pengakuan dua orang tawanan kami itu, ternyata bahwa mereka adalah kaki tangan Bouw Koksu dan Pangeran An Kong. Mereka hanya menerima perintah dari kedua orang itu yang mengatur semua rencana untuk meracuni kaisar."

   "Ahhh!!"

   Para panglima itu mengeluarkan seruan kaget dan juga heran.

   "Bagaimana mungkin itu? Bouw Koksu adalah seorang kepala suku Khitan yang berjasa dan mendapat anugerah Kaisar dengan pangkat tertinggi, sebagai Guru Negara. Dan Pangeran An Kong, untuk apa harus membunuh ayahnya sendiri? Bagaimanapun, kelak dia yang berhak menggantikan kedudukan ayahnya,"

   Beberapa orang meragu.

   "Kami sendiri kalau tidak mendengarkan tawanan anak buah gerombolan itupun tentu tidak akan percaya,"

   Kata Panglima Sia Su Beng.

   "Akan tetapi hendaknya diingat bahwa memang terjadi ketegangan antara Kaisar dan Pangeran An Kong. Pertama, urusan perebutan selir itu, dan kedua, permintaan pangeran yang tergesa ingin diangkat menjadi Pangeran Mahkota. Bagaimanapun juga, sebaiknya kalau kita bersama mendengarkan sendiri keterangan dua orang tawanan itu."

   Dia lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyeret kedua orang tawanan itu ke dala m ruangan rapat.

   Tak lama kemudian, dua orang tawanan itu didorong masuk dan mereka menjatuhkan diri berlutut dengan wajah pucat ketakutan melihat para panglima memandang kepada mereka dengan sinar mata penuh selidik.

   "Heii, sekarang di depan panglima, kalian berdua harus menjawab dengan benar, kalau tidak, kalian akan disiksa sampai mati!"

   BentakSia-ciangkun..

   "Coa-ciangkun, harap suka mengajukan pertanyaan kepada mereka,"

   Katanya kepada seorang panglima tinggi besar yang terkenal setia kepada An Lu Shan dan yang paling meragukan keterangannya tadi.

   Coa-ciangkun adalah panglima tinggi besar yang berwatak keras. Dia duduk menghadapi dua orang yang berlutut itu dan membentak.

   "Angkat muka kalian dan pandang padaku!"

   Dua orang anak buah gerombolan perampok itu mengangkat muka mereka memandang dan wajah mereka ketakutan, terbayang pada mata mereka yang terbelalak liar. Padahal, biasanya mereka adalah para perampok yang ganas, mudah menyiksa dan membunuh orang sambil tertawa.

   Kini nampaklah bahwa orang-orang yang suka berbuat kejam itu pada dasarnya merupakan orang-orang yang pengecut dan penakut kalau berhadapan denggan kekuasaan yang lebih besar, kalau berada dala m ancaman maut.

   "Ampun, ampunkan kami, thai-ciangkun...."

   Mereka meratap.

   "Ceritakan, apa yang telah kalian lakukan sehubungan dengan kematian Kaisar! Jawab sejujurnya atau kupatahkan kaki tanganmu!"

   Dua orang anggauta perampok itu ge metar. Mereka memandang kepada panglima Sia Su Beng dan panglima ini membentak.

   "Hayo cepat jawab dan ceritakan seperti yang kalian ceritakan kepadaku!"

   "Ampun, ciangkun kami.... kami hanya diperintah. Kami diperintah untuk menghubungi rekan-rekan kami di dapur istana, menyerahkan sebungkus racun dan menaruhnya di masakan khas kege maran Sribag inda.... ampun ka mi hanya melaksanakan perintah"

   "Perintah siapa?"

   Bentak Coa-ciang kun.

   "Perintah... perintah Bouw Koksu dan Pangeran"

   "Siapa saja rekan-rekan kalian yang menjadi anak buah Bouw Kokso yang bekerja di dekat Sribaginda? Jawab?"

   Kini Sia Su Beng yang membentak.

   Dua orang itu dengan bergantian menyebutkan nama beberapa orang dayang, thai"kam dan juru masa k yang menjadi kaki tangan Bouw Koksu dan diselundupkan ke dalam istana, seperti yang telah mereka hafalkan dari pemberitahuan Sia Su Beng.

   Para panglima menjadi marah sekali, dan keraguan mereka menipis.

   "Jahanam busuk! Kalian telah berani melaksanakan perintah Bouw Koksu dan Pangeran Untuk meracuni Sribaginda!"

   Sia Su Beng membentak, dan marah sekali.

   "Ampun.... hamba berdua hanya melaksanakan perintah.... hamba mohon ampun..."

   "Keparat!"

   Tiba-tiba tangan Sia Su Beng bergerak dan dua orang itu terpelanting roboh dan tewas seketika karena kepala mereka menerima pukulan maut panglima itu. Semua panglima terkejut.

   "Ah, kenapa engkau membunuh mereka, Sia-ciangkun? Bukankah mereka itu menjadi saksi dan bukti bahwa pembunuhan itu direncanakan oleh Bouw Kok dan Pangeran?"

   Para panglima menegur

   "Hemm, untuk apa menyiarkan rahasia busuk ini kepada orang luar? Bukankah itu hanya akan memalukan saja? Pangeran yang kita anggap sebagai pengganti Kaisar kelak, ternyata adalah orang anak yang tega membunuh ayah sendiri! Dan Bouw Koksu ternyata seorang hamba yang pengkhianat dan tidak setia. Bagaimana kita dapat membiar berita busuk ini terdengar orang?"

   "Akan tetapi besok pagi Pangeran An Kong akan mengumumkan bahwa dia menggantikan Sri baginda yang wafat menjadi Kaisar baru!"

   Kata Coa-cian kun.

   "Coa-ciangkun, haruskah kita biarkan saja hal itu terjadi? Bagaimana mungkin kita membela seorang kaisar yang tega me mbu nuh ayah kandung sendiri? Ka lau dia tega terhadap ayah kandung sendiri, apa lagi terhadap kita orang-orang lain. Selama kita dapat dipergunakan, dia bersikap baik, akan tetapi setelah kita tidak dibutuhkan tentu kitapun akan dibunuh dengan keja m seperti yang dia lakukan terhadap ayahnya."

   Mendengar ucapan Sia Su Beng itu, semua panglima tertegun. Mereke melihat betapa masa depan mereka suram kalau pangeran An Kong dibiarkan menjadi kaisar. Apa lagi di antara para panglima itu banyak yang berdarah Han. kalau pendukung uta ma Pangeran An Kong adalah Bouw Koksu, tentu orang Khitan ini yang akan memegang peranan penting dan mereka semua hanya akan menjadi bawahannya saja.

   "Kita tidak boleh membiarkan Pangeran durhaka itu menjadi kaisar!"

   Akhirnya Coa-ciangkun berkata.

   Semua panglima setuju.

   "Lalu apa yang harus kita lakukan, Sia-ciangkun?"

   "Kalau cu-wi ciang-kun percaya kepadaku, serahkan saja urusan ini kepadaku. Aku yang akan bertindak mencegah pangeran menjadi kaisar."

   "Tentu saja ka mi percaya kepadamu, Sia-ciangkun. Akan tetapi kalau pasukan pendukung pangeran menggunakan kekerasan?"

   "Kita hadapi mereka. Kita harus mempersiapkan pasukan kita secara diam diam, membuat barisan mengepung istana, menjaga kalau mereka menggunakan kekerasan,"

   Kata Sia"ciangkun dan semua orang setuju.

   Demikianlah, Sia Su Beng dengan cerdik seka li telah berhasil membuat para panglima menentang pangeran dan Bouw Koksu, dan menunjuk dia sebagai panglima pimpinan.

   "Ehh? Kenapa melamun dan terima saja memandang ke arah perginya Sia ciangkun dengan pasukannya? Wah, kau agaknya kehilangan setelah ditinggalkan panglima yang gagah itu, ya?"

   Hui San menggoda.

   Kui Lan membalik dan memandang pemuda itu dengan alis berkerut dan mata marah.

   "Souw-twako, aku tahu engkau main-main, akan tetapi jangan keterlaluan kalau main-main. Engkau tahu sendiri betapa adikku Kui Bi saling mencinta dengan Sia-ciangkun, bagaimana engkau sekarang berani menggoda ku seperti itu?"

   "Maaf, seribu kali maaf, Lan-moi.. Aku aku hanya main- main. Habis, engkau na mpa k mela mun seperti itu ih, tidak cepat-cepat kita mulai melakukan perjalanan kita yang amat jauh ke barat!"

   Karena pemuda itu minta maaf dengan wajah yang sungguh-sungguh menyatakan penyesalannya, Kui Lan yang lembut hati sudah melupakan singgungan itu.

   "Twako, aku tidak akan pergi ke barat."

   "Ehh ?"

   Wajah yang tadinya penuh senyum itu kini terbelalak dan melongo.

   "Apa maksudmu? Kenapa,. Lan-moi?"

   Dalam sinar mata pemuda itu timbul sesuatu yang membuat hati Kui Lan mengkal lagi. Pandang mata cemburu!

   "Kenapa kau tanya? Twako, bagaimana mungkin aku pergi dan membiarkan adikku sendirian saja kembali ke kota raja?"

   "Aihh, bukankah kita semua sudah membagi tugas, Lan"moi? Dan adikmu tidak kembali kesana sendirian, melainkan bersama Sia-ciangkun yang dicintanya. Sia-ciangkun akan me lindu nginya kukira engkau tidak perlu khawatir."

   "Bukan hanya karena adikku Kui Bi saja, twako. Juga kita tidak mungkin pergi ke barat dengan meninggal sesuatu yang teramat penting. Lupakah engkau bahwa Mestika Burung Hong Kemala masih berada di kebun rumah yang kini ditempati Bouw Koksu? Dan hanya kita berdua yang mengetahui tempat itu. Bagaimana mungkin kita berdua pergi meninggalkan pusaka itu di sana? Tidak twako. Sebaiknya kita membagi tugas lagi. Engkau saja ke barat dan melapor kepada kakakku Cin Han dan kepada Sri baginda, sedangkan aku akan kemba li ke kota raja. Kalau ada kesempatan, aku akan mengambil Mestika Burung Hong Kemala itu dan setelah aku mendapatkan pusaka itu, barulah aku akan menyusul ke barat. Apa artinya kita menghadap Sribaginda di barat kalau tanpa membawa pusaka itu?"

   Hui San mengerutkan alisnya, wajahnya yang tampan kehilangan kecerahnya, kemudian dia mengangguk-angguk.

   "engkau memang seorang gadis yang hebat, Lan-moi. Engkau cantik jelita,lembut, lihai dan juga cerdik bukan main. aku salut! Mari kita kembali ke kota raja. Engkau benar sekali!"

   "Kita? Maksud ku, kita membagi tugas, engkau melanjutkan perjalanan ke barat dan aku kembali ke kota raja...

   "

   "Tidak mungkin, Lan-moi. Aku membiarkan engkau kembali seorang diri ke kota raja? Aku belum sinting! Kemanapun engkau pergi, aku harus menemani, Lan-moi.... yaitu... kalau engkau suka tentu saja. Aku tidak ingin engkau terancam bahaya, hidupku tida k akan beres lagi kalau kita berpisah dan aku selalu meng khawatirkan keselamatan mu."

   Kui Lan menatap wajah pe muda itu. Wajah yang tampan dan selalu nampak riang, dengan senyum yang sukar meninggalkan bibir itu, dan mata yang lalu memandang Jenaka, wajah yang nampaknya tidak dapat susah, tidak dapat marah dan tidak dapat serius. Baru sekarang, atau semenjak hatinya melepaskan Sia Su Beng karena perwira itu mencinta dan dicinta adiknya, ia memperhatikan pemuda ini.

   "Souw-twako, kita baru saja berkenalan, kenapa engkau begini me mperhatikan aku?"

   "Baru berkenalan? Aih, Lan-moi semenjak aku berpura-pura sinting menganggu dahulu itu, aku sudah mulai mengenalmu dengan baik, dan biarpun akhirnya kita belu m berkenalan, namun clalam bathinku, engkau telah menjacli seorang sahabatku terbaik."

   "Tapi, kenapa engkau begini memperdulikan aku, meng khawatirkan keselamatanku? Kita ticlak me mpunyai kaitan apapun, orang lain clan ticlak acla hubungan apa-apa..."

   "Lan-moi, bukankah kita sama-sama memperjuangkan bangkitnya kembali kerajaan Tang? Kita seperjuangan! Dan biarpun bagimu cli antara kita ticlak acla kaitan apapun, bagiku acla kaitannya yang erat sekali. Lan-moi, maafkan aku kalau aku berterus-terang kepaclamu. Sejak aku melihatmu, aku aku tahu bahwa hiclupku ticlak acla artinya lagi tanpa aclanya engkau cli clekatku. Aku...... agaknya seperti inilah rasanya cinta seperti yang pernah kubaca clalam clongeng, yakni kalau boleh aku lancang mulut mengaku cinta padamu...

   "

   Pemuda yang biasanya lincah jenaka dan pandai bicara itu, kini mendadak saja menjadi gagap gugup dan salah tingkah, bahkan tidak berani memandang langsung kepada gadis itu!

   Melihat ini, Kui Lan tersenyum geli. Betapa muclahnya untuk menyukai pemuda ini, pikirnya.

   Memang tidak seperti Sia Su beng yang gagah clan berwibawa, juga memiliki kekuasaan. Akan tetapi Souw Hui San ini ticlak kalah tampan walau nampak ugal-ugalan dan seclerhana, dan juga ia merasa yakin bahwa dalam hal ilmu silat, pemuda murid Gobi-pai ini tidak kalah lihai dibandngkan Sia Su Beng. Akan tetapi baru saja ia seperti kehilangan Sia Su Beng, mengalah terhadap adiknya, bagaimana ia dapat begitu cepat membalas cinta seorang pemuda ini?

   "Souw-twako, engkau seorang yang gagah dan baik sekali, bahkan telah berulangkali menolongku. Terima kasih atas perhatianmu kepaclaku, akan tetapi, twako, dalam keadaan seperti seorang ini, di mana tugas menanti kita bagaimana kita dapat bicara tentang perasaan hati pribadi kita? Maafkan kalau aku belum dapat menanggapi dan jawabmu sekarang. Akan tetapi aku suka sekali bekerja sama denganmu twako dan kalau me mang engkau menghedaki kita kembali bersama ke kota raja, demi adikku, demi pusaka itu, akupun akan merasa senang sekali."

   Wajah itu menjadi segar kembali, matanya berkilat dan bersinar-sinar, mulutnya dih iasi senj u mnya yang ge mbira.

   "Wah, apa lagi yang kuinginkan? Ka lau engkau tidak marah oleh ucapanku tadi, kalau engkau membiarkan aku menemanimu, hal itu sudah merupakan berkah yang membahagiakan hatiku, Lan-moi. Engkau benar, aku yang lancang mulut, belum tiba saatnya kita bicara tentang.... eh, itu...! Mari kita kembali ke kota raja!"

   Akan tetapi tiba-tiba mereka menghentikan percakapan dan memandang arah barat. Telinga mereka menangkap derap kaki kuda yang datangnya dari arah barat. Tak lama kemudian, jauh di depan, muncul dari baliktikungan, tampak dua orang penunggang kuda membalapkan kuda mereka. Debu mengepul tinggi ketika dua ekor kuda besar itu semakin mendekat.

   "Heiii.. Itu Han-koko !"

   Kata Kui Lan.

   "Benar, dan bukankah itu nona Can Kim Hong??"

   Teriak pula Hui San. karena tadinya mereka sengaja bersembunyi ke balik pohon karena curiga dan belum tahu siapa yang datang, kini meeeka keluar dan berteriak-teriak memanggil.

   "Han-koko ! Heii, Han-koko..!!

   "Nona Kim Hong...!"

   Dua orang penunggang kuda yang tadinya sudah lewat itu, mendengar panggilan mereka dan menahan kuda yang sedang memba lap. Kuda berhenti dengan mengangkat kedua kaki depan keatas sambil meringkik karena penunggangn menahan kendali. Mereka membalik dan melihat Kui Lan dan Hui San.

   "Lan-moi...! Saudara Hui San... !!"

   Cin Han berseru gembira melihat mereka berdua.

   Dia dan Kim Hong segera berlompatan turun dari atas kuda, menambatkan kuda di pohon dan mereka lalu disambut oleh Hui Lan dan Hui San dengan gembira sekali. Lalu keempatnya duduk di atas batu di tepi jalan itu "Eh, kenapa kalian berdua berada di sini? Dan mana Kui Bi? Apa saja yang terjadi di kota raja?"

   Cin Han bertanya.

   Dihujani pertanyaan itu, Kui Lan tersenyum.

   "Wah, banyak sekali yang terjadi di sana, koko. Kini Bi-moi baru saja tadi ikut pasukan Sia-ciangkun kembali ke kota raja dan kamipun hendak kembali ke sana. Kau tahu, Han-ko, Bi-moi telah berhasil membunuh An Lu Shan!"

   "Ahhh...!!"

   Kim Hong dan Cin Han berseru hampir berbareng karena mereka terkejut dan juga gembira mendengar berita itu.

   "Bukan main adik kita itu! ia memang penuh keberanian. Ceritakan, bagaimana terjadinya, Lan-moi?"

   Tanya Cin Han.

   Kui Lan dan Hui San lalu menceritakan tentang semua yang terjadi, betapa Kui Bi berhasil menyusup sebagai dayang, kemudian ia malah dipergunakan oleh Pangeran An Kong dan Bouw Koksu untuk meracuni An Lu Shan. Kemudian mereka menceritakan betapa mereka semua dapat diselundupkan keluar dari kota raja dengan menyamar sebagai perajurit"perajurit dalam pasukan Sia Su Beng.

   "Ah, bagus sekali kalau begitu! dan sekarang, di mana Bi"moi? Aku ingin memberi selamat atas keberhasilannya!"

   Kata Cin Han gembira dan bangga bahwa adiknya berhasil membunuh An Lu Shan, hal ini merupakan suatu jasa yang amat besar.

   "Setelah pasukan yang dipimpin Sia Su Beng sampai di sini dan kami di anjurkan pergi ke barat, Bi-moi tidak mau ikut dengan ka mi dan me ma ksa ikut Sia Su Beng ke mba li ke kotaraja. Kau tahu, koko, aclik kita itu ticlak clapat berpisah clari Sia Su Beng, mereka sa ling mencinta."

   Cin Han mengangguk- angguk. Dia ticlak merasa heran. Sia Su Beng aclalah seorang pe mucla yang tampan dan gagah juga seorang penclekar dan seorang pejuang yang setia kepada Kerajaan Tang. Sudah sepatutnya kalau pemuda seperti itu mendapatkan kasih sayang Kui Bi.

   "Dan kalian hendak melakukan jalan ke barat?'"

   Tanyanya sambil memandang kepada Hui San.

   Kui Lan memandang kepada Hui San dan pemuda ini yang menjawab sambil tersenyum.

   "Tadinya memang kami akan menyusul ke barat, akan tetapi ka mi berclua menga mb il keputusan untuk kembali saja ke kota raja setelah keaclaan aman. Pertama, aclik Kui Lan tidak tega mening galkan adiknya di kota raja yang masih berbahaya, dan ke dua, kami juga tidak mungkin dapat meninggalkan Mestika Burung Hong Kemala yang kami sembunyikan itu. Kami harus mengambilnya dulu dan mengeluarkannya dari kota raja."

   "Kalau begitu, bagus sekali. Kami juga henclak ke kota raja. Kita haus membantu Sia-ciangkun dan juga aclik Kui Bi,"

   Kata Cin Han.

   "Koko, bagaimana sih engkau clan enci Kim Hong clapat cepat kembali ke sini? Bagaimana keadaan di barat sana?"

   Tanya Kui Lan dan kini giliran Cin Han dan Kim Hong yang menceritakan pengalaman mereka.

   "Di sana juga telah terjadi banyak hal, dan yang terpenting aclalah bahwa sekarang Sri bagincla Hsuan Tsung telah menyerahkan mahkota kepacla Pangeran Mahkota, sehingga yang menjacli kaisar aclalah Kaisar Su Tsung. Kami telah menghaclap kaisar dan bertemu dengan Panglima Kok Cu It. Kami melaporkan semua yang telah terjacli di kota raja Biarpun Panglima Kok Cu It juga suclah banyak menclengar laporan dari para mata-mata yang dikirim ke sana, namun laporan kami banyak gunanya, terutama tentang usaha Bi-moi menyusup ke istana untuk membunuh An Lu Shan. Kaisar dan panglima Kok menghargai sekali bantuan kita.

   "Bagaimana clengan kekuatan pasukan kerajaan Tang di barat?"

   Tanya Hu San.

   "Baik sekali, Panglima Kok Cu It dan Kaisar telah berhasil menghimpun kekuatan cli sana. Dengan memperlihatkan Mestika Burung Hong Kemala, yang kita ketahui aclalah palsu akan tetap ticlak cliketahui oleh para kepala suku cli barat, mereka berhasil menclapatkan bantuan rakyat berbagai suku. Baik pribumi Han sencliri, maupun suku-suku lain, dibantu pula oleh bangsa Turki bahkan ada pasukan yang dikirim oleh kepala bangsa itu, yaitu Caliph yang mengirimkan sepasukan bangsa Arab untuk membantu gerakan pasukan Kerajaan Tang yang henclak merebut kembali tahta kerajaan yang telah dirampas An Lu Shan."

   "Ah, bagus sekali kalau begitu, kapan mereka bergeraki"

   Tanya Hui San.

   "Mereka suclah siap bergerak, karena itu kami diperintahkan untuk menclahului clan mempersiapkan bantuan bersama S ia-ciangkun"

   "Enci Hong, bagaimana dengan usahamu mencari ayah kandungmu? Apakah berhasil?"

   Tanya Kui Lan.

   Kim Hong tersenyum manis dan mengerling kepada Cin Han.

   "Berkat bantuan kakakmu, aku berhasil bertemu dengan ayah kandungku yang aseli. Ayahku memang bernama Can Bu dan sampai kini ia masih seorang perwira kepercayaan Panglima Kok Cu It."

   "Wah, ayahnya seorang perwira yang gagah perkasa, sama sekali tidak seperti Ciang Kui yang mengaku-aku ayahnya itu!"

   Kata Cin Han tertawa.

   "Ayahnya seorang perwira yang lihai, juga setia kepada kerajaan. Aku ikut merasa bangga dan kagum bertemu dan berkenalan dengan ayahnya"

   "Maksumu dengan calon ayah mertuamu, koko?"

   Kui Lan menggoda.

   "Ihhh, Kui Lan!"

   Kim Ho mendengus dan mukanya berubah kemerahan.

   Cin Han hanya tersenyum dan mengeling ke arah Hui San. Biarpun dia belum jelas, namun dia dapat menduga bahwa adiknya inipun agaknya akrab dengan pendekar muda Gobi-pai ini. Namun, dia tahu bahwa watak Kui Lan halus dan pendiam, tidak seperti Kui Bi, maka tidak baik menggoda adiknya yang satu ini.

   "Sudahlah, sekarang kita berempat ke kota raja, akan tetapi harus diatur bagaimana baiknya karena setelah terjadi peristiwa pembunuhan An Lu Shan, tentu geger di sana dan kota raja tentu dijaga ketat,"

   Kata Cin Han.

   "Memang sebaiknya kita berhati hati,"

   Kata Hui San.

   "Kita bersembunyi di luar kota raja saja dan mencoba untuk menghubungi Sia-ciangkun. Hanya dia yang akan dapat mengatur apa yang harus kita lakukan untuk me mbantunya kota raja."

   "Benar, tanpa petunjuk Sia-ciangkun, sukar bagi kita untuk memasuki kotaraja,"

   Kata Kui Lan.

   Demikianlah, empat orang muda itu lalu menunggang kuda mereka, menuju kota raja. Akan tetapi mereka tidak langsung memasuki kota raja yang terjaga ketat seperti yang mereka sangka, melainkan berhenti di dusun yang berada sekitar duapuluh li dari kota raja.

   Laki-laki petani berusia Limapuluhan tahun itu tidak diganggu oleh para penjaga di pintu gerbang ketika dia memasuki pintu gerbang sambil memikul dagangannya, yaitu sepikul buah apel yang besar-besar dan menyiarkan bau harum.

   Para penjaga itu hanya memungut berapa butir buah apel sambil tertawa-tawa. Petani itu tidak perduli. Dia sudah biasa membawa barang dagangan buah-buahan atau sayuran ke dalam kota dan sudah biasa pula kalau ada anggauta penjaga yang mengambil beberapa butir buah atau beberapa ikat sayuran. Akan tetapi dia tidak diganggu dan pada pagi hari ini, hal itu amatlah di harapkan.

JILID 13

Tidak seperti biasanya, sekali ini diam-diam jantungnya berdebar keras karena tegangnya.

   Pagi ini si petani tidak seperti biasanya menjual buah-buahan, melainkan membawa tugas yang amat penting, tugas rahasia yang kalau sampai ketahuan penjaga di pintu gerbang kota raja, pasti akan mengakibatkan dia dihukum siksa sampai mati!

   Dia adalah seorang petani dusun di luar kota raja yang biasa berjualan sayur dan buah ke kota, akan tetapi biarpun dia hanya seorang petani biasa, namun dalam hatinya dia setia kepada Kerajaan Tang. Hal ini diketahui oleh Cin Han, Hui San, Kui Lan dan Kim Hong setelah empat orang muda ini tinggal agak lama beberapa hari di dusun itu.

   Setelah yakin bahwa A-cauw, petani itu, dapat dipercaya dan setia kepada Kerajann Tang, Cin Han lalu menitipkan sepucuk surat kepada A-cauw dengan pesan agar surat itu dapat disampaikan kepada Panglima Sia Su Beng. Dia harus menunjung i benteng dan minta bertemu dengan panglima itu, dengan alasan bahwa diaa mempunyai laporan penting yang harus disampaikan kepada panglima itu sendiri, mengenai keamanan kota raja, dan setelah berhadapan, menyerahkan surat titipan Cin Han itu.

   Biarpun beberapa kali ada orang hendak membeli buah"buahan yang berada dalam keranjang pikulannya, A-cauw tidak menjua lnya. Dengan pikulan keranjang penuh buah, tidak akan ada yang mencurigainya walaupun dia berjalan sampai ke depan benteng yang dima ksudkan. Dia sengaja menghampiri penjaga gardu depan pintu benteng dan menurunkan pikulannya.

   "Heii, penjual buah! Jangan menawarkan buah-buahanmu di sini, dan jangan berhenti di sini. Di larang!"' kata seorang penjaga kepadanya.

   A-cauw mengipasi tubuhnya yang berkeringat dengan capingnya yang lebar dan diapun berkata dengan sikap takut"takut akan tetapi hormat.

   "Saya mohon menghadap Panglima Sia Su Beng. Harap suka memperkenankan saya menghadap beliau.

   "

   Para penjaga memandangnya dengan alis berkerut.

   "Hemm, engkau ini petani penjual buah, mau minta bertemu dengan Panglima Sia ? Apakah hendak menghadiahkan dua keranjang buah itu? Jangan macam-macam engkau, atau kau akan di tangkap!"

   "Saya tidak berniat jahat, saya mohon menghadap karena saya ingin melaporkan sesuatu yang teramat penting dan yang boleh didengar hanya oleh bekiiau sendiri."

   "Hemm, jangan mengigau kau! Seorang petani seperti engkau ini bagaimana dapat menghadap Panglima? Kalau ada urusan, laporkan saja kepada kami dan ka mi yang akan meneruskan kepada beliau. Jangan kurang ajar kau!"

   Dibantah seperti itu, A-cauw tidak menjadi gugup karena sebelumnya dia sudah diperingatkan Cin Han kalau kalau dibentak seperti itu.

   "Harap saudara sekalian ketahui bahwa dahulu, Panglima Sia Su Beng adalah langganan saya, sering membeli sayur dan buah-buahan dari saya. Saya mengenal baik beliau dan apa yang akan saya sampaikan ini mengenai urusan keamanan di kota raja. Kalau kalian tidak mau menghadapkan saya kepada beliau dan kelak beliau mengetahui, tentu kalian akan mendapat kesalahan besar sekali."

   Digertak malah berbalik menggertak! Tentu saja kalau tidak mendapat pelajaran dari Cin Han, seorang petani seperti A"cauw mana berani menggertak para perajurit penjaga? Mendengar ucapan itu, para perajurit saling pandang dan merasa gentar juga.

   Mereka semua tahu betapa kerasnya Panglima Sia Su Beng terhadap ketertiban, dan panglima itu memang selalu menghargai rakyat jelata, tidak pernah congkak seperti para panglima lainnya. Oleh karena itu, dengan kasar mereka minta A-cauw menanti sebentar.

   Setelah ada yang melapor, A-cauw diperkenankan masuk. Petani itu dengan berterima kasih berkata.

   "Terima kasih atas kebaikan kalian dan untuk membalas kebaikan itu, silakan kalau ada yang mau mencicipi buah apel saya. Dihabiskan boleh!"

   Dia meninggalkan keranjangnya dan tanpa diminta untuk ke dua kalinya, para penjaga yang sedang keisengan itu lalu menyerbu dua keranjang apel. Kawan-kawan mereka yang berada di dalam ikut-ikutan keluar dan sebentar saja isi dua keranjang sudah habis!

   Panglima Sia Su Beng merasa heran bukan main menerima laporan bahwa ada seorang petani penjual apel bernama A"cauw yang mohon menghadap. Akan tetapi karena dia memang mempunyai hubungan dengan para pejuang, para pendukung kerajaan Tang dan menduga bahwa yang datang tentulah seorang kurir dari para pejuang yang berada di luar kota raja, maka dia bersikap biasa saja.

   "Suruh dia masuk ke sini."

   Ketika A-cauw memasuki ruang tertutup itu, A-cauw berkata lirih sekali, setelah melihat di situ tidak ada orang lain kecuali Panglima Sia SU Beng yang dikenalnya dari penggambaran Cin Han kepadanya.

   "Saya datang disuruh Yang-kongcu."

   Sia Su Beng terkejut, melihat ke sekeliling, lalu memberi isyarat kepada A-cauw untuk memasuki sebuah kamar samping di mana mereka dapat bicara dengan lebih bebas dan tidak khawatir di ketahui orang lain.

   A-cauw menyerahkan surat dari Cin Han yang disimpan dengan hati-hati di balik bajunya, Sia Su Beng membaca surat yang tidak ditandatangi itu. Hanya ditulis bahwa Han, Lan, San, dan Hong ingin dijemput. Hanya itu. Andai kata surat itu terjatuh ke tangan orang lainpun, tentu tidak akan tahu maksudnya karena tanpa tanda tangan juga tidak ditujukan kepada siapapun "Di mana mereka?"

   Tanya Sia Su Beng.

   "Di dusun sebelah timur kota ciangkun. Duapuluh li dari sini."

   "Baik, katakan aku akan segera datang."

   Ketika A-cauw hendak keluar, Sia Su Beng menahannya.

   "Kalau ada yang tanya, katakan saja bahwa engkau meelapor adanya gerombolan mencurigakan di sebelah selatan kota."

   A-cauw mengangguk, kemudian ke luar. Dia disa mbut seorang petugas jaga di luar dan penjaga ini me nga nta rka n nya kembali ke pintu gerbang benteng.

   "Heii, A-cauw, buah-buahan dalam keranjang itu telah habis kami makan!"

   Kata kepala jaga.

   "Tidak apa, ciangkun. Memang itu untuk kalian. Terima kasih, saya hendak pulang."

   "A-cauw, apa sih yang kau laporkan kepada komandan kami? Nampaknya rahasia benar!"

   "Ahh, sebetulnya bukan rahasia, hanya aku takut kepada gerombolan itu. Aku melihat gerakan mencurigakan dari segerombolan orang di selatan kota raja. Karena aku tahu bahwa langgananku Sia-ciangkun adalah seorang panglima, maka aku melaporkan hal Itu kepadanya. Aku takut kalau gerombolan tahu aku melaporkan, aku akan dibunuh. Sudah, aku ingin cepat pulang. Aku sudah mendapat hadiah dari Sia"ciangkun ,"

   Katanya dan diapun memikul keranjang kosongnya meninggal kan tempat itu.

   Tak lama kemudian, para penjaga pintu gerbang benteng melihat Sia-ciangkun memimpin kurang lebih limapuluh orang perajuritnya berserabutan naik kuda keluar dari benteng.

   Tanpa diberi tahu sekalipun, para penjaga itu dapat menduga bahwa ini tentu ada hubungannya dengan laporan A-cauw tadi dan agaknya sang panglima hendak memimpin sendiri pasukannya untuk menumpas gerombolan.

   Di pintu gerbang kota rajapun, para penjaga memberi hormat kepada Sia Su Beng yang bersama pasukannya keluar dari pintu gerbang. Kurang lebih limapuluh orang perajurit itu berkuda secara tidak teratur, bukan merupakan barisan rapi. Agaknya mereka tergesa-gesa dan tidak membentuk barisan sehingga sukarlah andaikata ada yang hendak menghitung berapa jumlah regu perajurit itu.

   Sia Su Beng sengaja keluar dari pintu gerbang selatan, akan tetapi setelah regunya meninggalkan pintu gerbang sejauh beberapa li, dia membelokkan pasukannya ke kanan, ke arah timur kota raja!

   Setelah tiba di luar dusun, empat orang muda itu sudah menghadang di tempa sepi.

   Sia Su Beng bersama seorang perajurit yang bertubuh kecil ramping melompat turun dari atas kuda dan menghampiri mereka. Kui Bi yang berpakaian perajurit itu langsung merangkul kedua orang kakaknya bergantian saking girangnya dapat bertemu kembali.

   "Bi-moi, kau hebat!"

   Kata Cin Han gembira. Kemudian kepada Sia Su Beng dia berkata,

   "Ciangkun, terima kasih atas segala kebaikanmu terhadap kedua adikku, terutama kepada Bi- moi."

   Pasukan itu adalah orang-orang kepercayaan Sia Su Beng, dan mereka semua adalah orang-orang yang setia kepada kerajaan Tang. Mereka semua mengetahui tentang rahasia Sia Su Beng, tahu siapa empat orang muda itu, maka mereka sengaja menjauhkan diri, membiarka pimpinan mereka bicara dengan para muda yang dijemput itu.

   Sia Su Beng mengeluarkan empat perangkat pakaian perajurit untuk dipakai oleh Cin Han, Kui Lan, Hui San dan Kim Hong. Satu-satunya cara menyelundupkan mereka ke kota raja hanyalah dengan menyamar sebagai perajurit dan membaur dengan pasukannya.

   Dan satu-satunya tempat aman bagi mereka untuk tinggal di kota raja adalah di dalam benteng pasukannya pula. Ji-wan-gwe sudah menutup rumahnya karena dia selalu diawasi oleh anak buah Bouw Koksu yang mencurigainya namun tidak menangkapnya karena tidak terdapat bukti.

   "Sebaiknya kita cepat kembali ke kota raja, di sana kita dapat bicara lebih leluasa. Di sini tidak enak kalau sampai terlihat orang lain,"

   Kata Sia-ciangkun.

   Mereka berempat segera mengenakan pakaian perajurit di luar pakaian yang menutupi tubuh mereka, kemudian sebagai anggauta pasukan mereka pun menunggang kuda mereka, sengaja mereka membaur di tengah dan pasukan itu kembali ke kota raja melalui pintu gerbang selatan dengan mengambil jalan memutar.

   Jauh lewat tenga hari mereka tiba kota raja dan Sia Su Beng sudah memerintahkan anak buahnya untuk menyebar berita bahwa mereka tidak berhasil menangkap gerombolan pengacau karena mereka telah melarikan diri.

   Mereka memasuki benteng dan tak lama kemudian Sia Su Beng sudah mengadakan pembicaraan dengan Cin Han, Hui San, Kim Hong, Kui Lan dan Kui Bi di dalam ruangan tertutup yang merupakan ruangan rahasia di mana mereka boleh cara sebebasnya tanpa khawatir diketahui orang lain karena tempat itu dijaga oleh para perajurit yang setia.

   Empat orang muda itu menceritakan pengalaman mereka masing-masing yang didengarkan penuh perhatian oleh Sia Su Beng dan Kui Bi. Ketika mendegar penjelasan Cin Han bahwa Kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada pangeran mahkota yang kin i menjadi Ka isar Su Tsu ng, Sia Su Beng berkata,

   "Hemm, kenapa Sri baginda begitu tergesa-"gesa menyerahkan mahkota kepada Pangeran? Kenapa tidak menanti sampai beliau kembali ke sini?"

   "Menurut keterangan Panglima Ko Cu It, Sri baginda Beng Ong merasa amat terpukul dan selalu berduka, merasa sudah tua dan kehilangan semangat untuk memimpin pasukan merampas kembali tahta kerajaan. Beliau sudah berusia tujuhpuluh tahun lebih, karena itu beliau menyerahkan tahta kerajaan kepada Pangeran dan hal ini didukung pula oleh Panglima Kok Cu It,"

   Kata Cin Han.

   "Perubahan apakah yang telah terjadi di sini setelah An Lu Shan tewas?"

   Tanya Cin Han sambil memandang kepada Kui Bi dengan kagum dan bangga seolah pertanyaan itu diajukan kepada adiknya. Akan tetapi Kui Bi memandang kepada Sia Su Beng, menyerahkan jawabannya kepada panglima itu.

   "Banyak sekali perubahannya. Kini para panglima sudah sepakat untuk menolak kalau Pangeran An Kong hendak mengangkat dirinya menjadi kaisar menggantikan ayahnya yang tewas. Semua panglima menyetujui pendapatku bahwa seorang pangeran yang telah membunuh ayahnya sendiri tidak pantas menjadi kaisar. Tentu saja hal ini hanya kujadikan alasan agar dia tidak naik tahta, agar di sini kehilangan pimpinan dan aku yang berkuasa di sini, mempersiapkan kembalinya Kerajaan Tang."

   "Bagus sekali kalau begitu! Panglima Kok Cu It juga sudah memperhitungkan siasat ini dan mengharapkan bantuanmu, Sia-ciangkun,"

   Kata Cin Han.

   "Akan tetapi, agaknya Pangeran An Kong hendak nekat. Dengan mendapat dukungan Bouw Koksu, dia sudah menentukan harinya, yaitu tiga hari lagi setelah seratus hari wafatnya ayahnya, dia hendak mengangkat diri menjadi ka isar atas nasihat dari Koksu. '"

   "Apakah pengangkatan macam itu dapat dianggap sah?"

   Tanya Cin Han.

   "Kalau Bouw Koksu masih dianggap sebagai Penasihat atau Guru Negara secara sah, tentu saja pengangkatan dapat disahkan, akan tetapi kami para panglima sudah siap untuk menolak. Bahkan para panglima sudah menyerahkan padaku untuk menjadi pemimpin dan wakil pembicara mereka."

   'Kenapa tidak pergi membunuh saja Bouw Koksu? Aku sanggup melaksanakan tugas itu. Dia amat jahat, apa lagi mengingat apa yang dia lakukan terhadap pamanku Souw Lok dan terhadap nona Kim Hong."

   "Benar apa yang dikatakan Souw twako itu,"

   Kata Kim Hong.

   "Aku sanggup melaksanakan tugas membunuh Bouw Ki kalau hal itu ada manfaatnya bagi perjuangan."

   "Usaha itu memang baik, akan tetapi tidak boleh sembrono. Bouw Koksu adalah seorang yang cerdik dan tentu dia tahu bahwa dirinya mempunyai banyak musuh, maka tentu dia sudah memelihara pengawal-pengawal tangguh, disamping dia sendiri juga lihai. Kalau memang akan dia mbil tindakan itu, biarlah kita beramai yang pergi, akan tetapi juga menanti saat yang baik. Setidaknya kita harus mencari kesempatan. Tidak boleh te rgesa -gesa.

   "

   "Benar apa yang dikatakan oleh Yang-kongcu itu,"

   Kata Sia Su Beng sambil mengangguk-angguk.

   "Juga tidak boleh dilakukan sebelum ada pengumuman pengangkatan diri An Kong sebagai kaisar, karena kalau didahului, tentu keadaan akan berubah dan siapa tahu para panglima berbalik dan berpihak Kepada An Kong untuk mencari kedudukan tinggi."

   "Sebaiknya kita berempat menyamar, aku, enci Hong, Han"koko dan Souw twako mengintai keadaan di rumah Bouw Koksu mencari kesempatan sambil menanti sampai selesai dan lewatnya urusan dalam istana,"

   Kata Kui Lan.

   "Bagaimana dengan Kui Bi?"

   Tanya Kim Hong.

   "Bukankah dengan berlima, kita menjadi lebih kuat?"'

   Pertanyaan Kim Hong ini hanya untuk menghilangkan perasaan tidak enak seolah Kui Bi seorang yang ditinggalkan, tidak diajak.

   "Tidak, Bi-moi sudah terlalu lama di sini, oleh orang luar, kecuali oleh anggauta pasukan yang setia kepadaku, ia sudah dianggap sebagai seorang perajurit pengawalku. Kalau ia muncul di luar akan menimbulkan kecurigaan, apa lagi kalau tidak kelihatan bersamaku."

   "Benar, sebaiknya kalau adikku ini tinggal di sini saja, membantu Sia ciangkun. Pula, jasanya sudah terlalu besar karena keberaniannya menyusup ke istana dan membunuh An Lu Shan."

   "Aih, Han-ko jangan terlalu memuji dan mengulang-ulang hal itu. Aku sendiri masih merasa malu membunuhnya tidak dengan tangan dan pedang, melainkan dengan racun dan sebagai kaki tangan Bouw Koksu,"

   Kata Kui Bi.

   "Selain itu, Yang-kongcu, dalam kesempatan ini, disaksikan pula oleh rekan seperjuangan, Bi-moi dan aku hendak membuat pengakuan yaitu bahwa kami berdua telah bersepakat untuk menjadi suami isteri dan dengan resmi, aku mohon persetujuan Yang-kongcu dan juga Nona Yang Kui Lan sebagai saudara-saudara tuanya."

   Sikap Sia Su Beng sungguh gagah dan jujur ketika mengucapkan kata-kata itu. Bahkan Kui Bi sendiri yang biasanya bersikap terbuka dan keras, merasa tersipu dan kedua pip inya ke merahan mendengar lamaran yang dilakukan secara terbuka itu. Hui San yang juga memiliki watak ugal"ugalan dan terbuka, tertawa gembira dan dia segera berkata,

   "Bagus, bagus! Dan sebelumnya aku mengucapkan kiong-hi (selamat) kepada calon sepasang mempelai yang berbahagia!"

   Ucapan ini membuat Kui Bi menjadi semakin tersipu.

   "Aih, Souw-twako. Pihak yang dilamar saja belum memberi jawaban, engkau sudah tergesa-gesa memberi sela mat!"

   Kui Lan mencela sambil tersenyum melihat ulah pria yang diam-"diam semakin menarik hatinya itu.

   "Jawaban apa lagi yang dapat kami berikan kecuali menerima pinangan itu dengan hati dan tangan terbuka!"

   Kata Cin Han tersenyum.

   "Aku dan adik Kui Lan sudah tahu akan hubungan antara Bi-mol dan Sia-ciangkun, dan Kami tentu saja merasa bersukur dan setuju sepenuhnya. Kami berdua mewakili mendiang orang tua kami menerima pinangan Sia"ciangkun dan biarlah ciangkun yang menentukan hari dilangsungkannya pernikahan antara kalian."

   "Ah, aku tidak akan mau melangsungkan pernikahan sebelum Han-Koko dan Lan-cici menikah lebih dulu atau setidaknya berbareng dengan aku, tentu saja kalau Lan-cici sudah mempunyai calon. Kalau Han-koko, aku tahu telah mempunyai calon, yaitu enci Kim Hong"

   Mendengar in i, se mua orang tersenyu m dan Hui San segera berkata dengan lantang,

   "Kalau aku tidak dianggap terlalu lancang dan terlalu rendah, aku mengajukan diri sebagai calon, untuk mendampingi adik Kui Lan dalam menempuh kehidupan ini. Aku cinta padanya dan kalau ia sudi menerima, aku siap untuk meminangnya."

   Kembali semua orang, kecuali Kui Lan, tersenyum mendengar pengakuan yang jujur ini. Mereka merasa berada antara dunia orang-orang gagah yang tidak membutuhkan lagi kepura-puraan.

   "Bagaimana, Lan-moi? Jawablah, agar kita semua merasa lega dan yakin. Kalau benar engkau dapat menerima cinta kasih saudara Souw Hui San, biarlah kita semua, ke tiga pasangan melangsungkan pernikahan di sini setelah semua urusan kenegaraan ini beres dengan berhasil baik."

   Kui Lan adalah seorang wanita yang halus perasaannya,tidak seperti Kui Bi dan Kim Hong yang menghadapi pembicaraan terang-terangan tentang perjoclohan mereka itu dengan tenang saja, bahkan dapat tersenyum gembira dan geli. Kui Lan tersipu clan tanpa berani mengangkat mukanya ia menjawab kakaknya.

   "Ah, urusan itu bagaimana nanti sajalah kalau suclah tiba saatnya. Bukankah kita semua mempunyai tugas lain yang teramat penting dan belum di laksanakan?"

   Mereka semua segera mengatur Siasat dan membuat persiapan untuk menyamar clan melakukan penyelidikan clilingkungan rumah Bouw Koksu. Adapun Sia Beng juga membuat persiapan dengan semua panglima yang mendukungnya, mengatur siasat apa yang akan mereka lakukan nanti kalau Pangeran An Kong dan Bouw Koksu henclak melaksanakan pengangkatan pangeran itu menjadi kaisar baru.

   Istana berada dalam suasana meriah akan tetapi juga menegangkan. Semua orang mengetahui belaka bahwa akan terjadi hal-hal yang menegangkan, karena hari itu akan ada pengumuman dari Bouw Koksu tentang pengangkatan Pangeran An Kong menjadi kaisar, menggantikan An Lu Shan yang tewas keracunan. Setelah lewat seratus hari kematian kaisar, barulah Bouw Koksu berani mengunclang semua menteri dan panglima untuk berkumpul diruang balairung, tempat yang biasa dipergunakan kaisar untuk persidangan.

   Sejak pagi, berdatanganlah para pembesar tinggi, para menteri dan panglima, dengan pakaian lengkap sehingga nampak suasana yang megah karena pakaiain lengkap para pembesar itu berkilauan dan gemerlapan. Bouw-ciangkun secara sengaja dan angkuh, clatang bersama para perwiranya, semua na mpa k gagah clan berwibawa, seolah dia merasa bahwa di antara semua panglima, dia lah yang paling berkuasa.

   Hal ini juga tidak mengherankan karena dia merasa bahwa ayahnya adalah Guru Negara dan bahwa ayahnya dan dia merupakan orang-orang paling dekat dengan Pangeran An Kong, calon kaisar! Kedudukan tertinggi di dalam pemerintahan jelas akan terjatuh ke tangan ayahnya, dan pangkat panglima tertinggi sudah pasti akan jatuh ke padanya!

   Sia Su Beng dan para panglima yang menjadi sekutunya nampak tenang-tenang saja dan merekapun tidak bergerombol, melainkan berdiri di tempat masing-masing seperti biasa sehingga tidak menimbulkan kesan bahwa mereka telah bersekutu.

   Akan tetapi diam-diam Sia Su Beng telah memerintahkan pasukannya untuk mengadakan pengepu ngan baik di istana maupun di markas pasukan Bouw "ciangkun dan pasukan yang jadi kaki tangan Pangeran An Kong dan Bouw Koksu. Semua telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya dan karena jumlah pasukan Sia Su Beng digabung dengan para panglima lain merupakan lebih tiga perempat jumlah seluruh pasukan, maka dengan sendirinya kekuatan pasukan mereka yang menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar ini amat besar kuat.

   Agaknya Bouw Koksu juga sudah membuat persiapan, tidak menduga sama sekali bahwa para panglima sudah bersekutu dan mempersiapkan pasukan, menghimpun semua anak buahnya untuk siap siaga di istana, karena dia memperhitungkan bahwa kalau ada menteri dan panglima yang menentang pengangkatan pangeran menjadi kaisar, dia akan memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penangkapan seketika itu juga. Dia mengerahkan semua tenaga sehingga rumahnya menjadi kosong, tidak ada perajurit menjaga rumah itu karena memang di anggap tidak perlu dijaga.

   Keadaan ini justeru membuat empat orang muda yang setiap hari sudah melakukan pengintaian itu menjadi girang bukan main. Dengan amat mudah Kui Lan yang mengenal seluruh keadaan rumah bekas tempat tinggalnya sejak ia masih kecil menjadi penunjuk jalan dan mereka berempat akhirnya berhasil memasuki taman di belakang gedung itu.

   Tidak nampak seorangpun penjaga sehingga dengan mudahnya mereka melaksanakan pekerjaan mereka. Souw Hui San dan Yang Kui Lan berdua yang melakukan penggalian di bawah pohon itu, sedangkan Yang Cin Han dan Can Kim Hong melakukan penjagaan kalau-kalau ada orang lain yang melihat perbuatan mereka.

   Karena dia sendiri yang menyimpan kotak kecil berisi Mestika Burung Hong Kemala itu, dengan mudah dan sebentar saja Hui San telah dapat menggali dan menemukan kembali pusaka itu. Dia memang sudah mempersiapkan sebelumnya, maka kotak itu lalu di bungkus kain kuning dan diikatkan pada tubuhnya di sebelah dalam baju, sehingga tidak nampak dari luar, hanya agak menonjol di bagian perutnya.

   Sementara itu, di istana suasana menjadi semakin tegang ketika Pangeran An Kong memasuki ruangan balairung di ikuti Bouw Koksu dan beberapa orang panglima pendukungnya.

   Pangeran itu mengenakan pakaian yang amat mewah gemerlapan, sedangkan Bouw Koksu berjalan dengan langkah tegap dan di depannya berjalan seorang pejabat tinggi tua kurus, yaitu pejabat yang tugasnya menyimpan pakaian kebesaran kaisar. Pembesar ini membawa sebuah peti yang mudah diduga isinya, yaitu pakaian kebesaran dan mahkota kaisar!

   Semua orang memberi hormat selayaknya kepada Pangeran An Kong, dan dengan sikap angkuh sang pangeran mempersilakan semua orang berdiri, sedangkan dia sendiri duduk di atas kursi gading. Kemudian dia menoleh dan mengangguk kepada Bouw Koksu yang membuka gulungan surat pengumunan dari kain sutera kuning, lalu membacanya dengan suara lantang.

   "Mengingat betapa akan lemahnya sebuah pemerintah tanpa kaisar, dan mengingat pula bahwa Sri baginda Kaisar An Lu Shan telah wafat seratus hari yang lalu, maka kami, Bou Hun, sebagai Koksu yang telah diberi wewenang oleh mendiang kaisar, menimbang bahwa tidak ada yang lebih tepat untuk diangkat menjadi Kaisar baru kecuali Pangeran An Kong. Oleh karena itu, hari ini di umumkan oleh kami, disetujui pula oleh Pangeran Mahkota An Kong dan para panglima, bahwa Pangeran An Kong dinobatkan menjadi Kaisar yang baru, menggantikan mendiang Kaisar yang wafat, dengan julukan Kaisar Su Tsung. Tertanda kami, Bouw Hun, Koksu dan para panglima yang namanya tersebut di bawah ini!"

   Koksu lalu membacakan nama semua pang lima yang hadir.

   "Tidak benar dan kami tidak setuju!"

   Terdengar suara lantang yang mengejutkan Pangeran An Kong, Bouw Koksu dan kaki tangan mereka.

   Semua orang menengok dan memandang kepada Panglima Sia Su Beng yang berdiri dengan tegap dan gagah, matanya mencorong memandang kepada Bouw Koksu.

   "Sia-ciangkun, engkau berani membantah keputusan yang telah di setuju Pangeran Mahkota dan para panglima?"

   "Kami berani membantah karena beberapa hal bertentangan dengan kenyataan. Keterangan Bouw Koksu banyak yang palsu."

   "Apa? Berani engkau menuduhku sekeji itu? Katakan, mana yang palsu dan mana yang bertentangan dengan kenyataan? Katakan!"

   Bouw Koksu me mbentak.

   "Dalam pengumuman tadi, Bouw Koksu mengatakan bahwa para panglima yang namanya disebut kan semua telah menyetujui pengangkatan kaisar itu. Pernyataan ini adalah bohong karena sebagian besar panglima, termasuk saya sendiri tidak menyetujui. Para rekan panglima yang tidak setuju, harap berani mengangkat tangan!"
Ucapan Sia Su Beng ini disambut para panglima yang mengangkat tangan kanan mereka. Wajah Bouw Koksu dan wajah Pangeran An Kong berubah agak pucat, lalu wajah Bouw Koksu menjadi merah karena marah. Matanya melotot memandang kepada Sia Su Beng.

   "Sia-ciangkun! Apa artinya ini ? Engkau menggerakkan para panglima untuk menentang pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar? Apakah ini berarti bahwa engkau hendak me mberontak?"

   "Sia-ciangkun, benarkah engkau hendak memberontak terhadap kami!"

   Pangeran An Kong juga berseru untuk menaikkan wibawanya.

   Sia Su Beng tersenyum.

   "Maafkan hamba, Pangeran. Dan dengarlah engkau Bouw Ko ksu. Kami sama sekali tidak hendak memberontak, juga tidak hendak menentang Pangeran dinobatkan menjadi kaisar. Kami hanya ingin menunda pengangkatan atau penobatan itu, karena ada suatu hal yang membuat kami merasa penasaran. Seperti kita semua mengetahu mendiang Sri baginda Kaisar tewas karena keracunan makanan. Jelas bahwa di dalam masakan beliau, ada orang menaruhkan racun. Dan kami telah mendapat keterangan bahwa dalam hal kejahatan meracuni Sri baginda. Kaisar itu, ada dua orang dalam terdekat Sri baginda Kaisar yang terlibat!"

   Berkata demikian, Sia-ciangkun menatap wajah Pangeran dan Bouw Koksu yang nampak kaget dan mereka saling pandang.

   Jelas bahwa Pangeran menjadi pucat sekali wajahnya, dan Bouw Koksu nampak tertegun dan memandang seperti orang tidak percaya Bouw-ciangkun juga berdiri gelisah, jelas nampak dari gerakan kedua kakinya yang tidak mau diam, seolah-olah dia sudah siap untuk lari.

   "Sia-ciangkun, apa yang kau katakan ini? Kami juga sudah melakukan penyelidikan dan kami tahu siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sribaginda itu!"

   Dua orang itu saling pandang dengan sinat mata menantang, seolah dua ekor ayam jago yang hendak berlaga. Sia Su Beng tersenyum.

   "Begitukah, Bouw Koksu? Kalau benar engkau sudah mengetahui siapa orangnya yang melakukan perbuatan jahat meracuni Sri baginda, kenapa tidak kau katakan itu. Nah, katakan siapa orangnya? Asal engkau jangan menuduh aku atau para panglima ini saja!"

   Terdengar suara tawa mengejek di sana sini.

   "Pelakunya adalah seorang dayang baru yang menaruh racun di dalam masakan kaki biruang, kemudian ia pula yang menghidangkan masakan itu kepada Sri baginda. Kalau kalian mau tahu siapa dayang itu, ia adalah Yang Kui Bi, puteri ke dua dari Mendiang Menteri Yang Kok Tiong, kakak mendiang selir Yang Kui Hui si iblis betina!"

   Semua orang terkejut, termasuk Sia Su Beng. Akan tetapi kalau para panglima yang mendengar tuduhan itu terkejut dan tidak percaya, Sia Su Beng benar-benar terkejut karena tidak menyangka bahwa Bouw Koksu benar-benar telah mengetahui hal itu! Akan tetapi, dia sengaja tertawa mengejek.

   "Ha-ha-ha, Bouw Koksu, siapa mau percaya bualanmu itu? Kalau betul seperti yang kau katakan itu, kenapa engkau tidak menangkap pembunuh itu agar ada buktinya?"

   "la terlalu licik dan berhasil meloloskan diri dari kota raja!"

   Kata Bouw Koksu gemas.

   Kembali terdengar suara tawa Sia Su Beng.

   "Ha-ha-ha, bagaimana mungkin ini? Bouw Koksu yang terkenal lihai dengan banyak sekali anak buahnya, tidak mampu menangkap seorang gadis dayang? Cu-wi ciangkun, apakah cerita ini dapat dipercaya?"

   Para panglima tertawa-tawa dan menggeleng kepala. Melihat ini, Bouw Koksu tidak dapat menahan sabar lagi

   "Sia"ciangkun dan para panglima yang telah dapat dihasut olehmu, apakah kalian semua tetap hendak rnemberontak dan menentang penobatan Pangeran menjadi Kaisar?"

   "Kami tidak memberontak, tidak pula menentang penobatan, akan tetap minta agar penobatan ditangguhkan sampai diketahui dengan tuntas mengenai pembunuhan terhadap Sri baginda Kaisar. Kalau Pangeran yang berdiri di belakang pembunuhan itu, dibantu oleh Bouw Koksu seperti yang telah kami dengar dengan mempergunakan seorang dayang maka tentu kami tidak setuju mengangkat seorang pembunuh ayah kandung sendiri menjadi junjungan kami!"

   "Yang Mulia Pangeran, mereka ini hendak memberontak! Sepatutnya mereka ditangkap! Harap paduka memberi perintah dan hamba akan menangkap mereka!"

   Bouw"ciangkun dengan marah, memberi tanda kepada para pendukungnya untuk siap bergerak.

   Pangeran An Kong sudah gemetar kedua kakinya mendengar ucapan Sia Su Beng yang agaknya mengetahui rahasia ia membunuh ayahnya. Diapun tidak melihat jalan lain kecuali mengguna kan kekerasan. Dia bangkit berdiri dan menudingkan tangannya ke arah Sia Su Beng,

   "Tangkap para pemberontak itu!"

   Akan tetapi, Sia Su Beng mengeluarkan suara melengking panjang dan dari semua pintu ruangan itu bermunculan pasukan yang siap dengan anak panah mereka. Tentu saja Pangeran An Kong dan Bouw Koksu, juga Bouw Ki menjadi pucat me lihat ini.

   "Pemberontakan!!!"

   Bouw Koksu berseru.

   "Sia-ciangkun, engkau mernberontak!"

   Kata pula Pangeran An Kong.

   "Pangeran, tidak ada yang memberontak terhadap mendiang Sribaginda kaisar! Mereka yang merencanakan kematiannyalah yang memberontak.. Untuk sementara ini, demi keamanan negara, kami yang akan memimpin dibantu oleh para panglima. Urusan pembunuhan ini akan kami selidiki sampai tuntas dan siapapun yang menjadi dalangnya, akan kami seret ke pengadilan. Untuk sementara ini, semua penghuni istana, terrnasuk paduka, pangeran, di larang meninggalkan istana. Semua pejabat, termasuk Bouw Koksu, dilarang meninggalkan kotaraja"

   Pangeran An Kong menjadi pucat dan dengan suara lemah dia lalu membubarkan persidangan dan mengundurkan diri kedalam ka marnya.Bouw Koksu memberi isarat mata kepada Bouw Ki dan keduanya cepat meninggalkan istana, menuju ke gedung mereka sendiri. Keduanya nampak cemas dan gugup.

   "Hemm, bagaimana sampai terjadi begini?"

   Bouw Hun mendesis marah kepada puteranya ketika mereka berada di luar istana.

   "Aku sudah mempersiapkan semua pasukan, ayah, akan tetapi agaknya diam-diam mereka juga sudah mengepung

   istana ini. Lihat di sana."

   Mereka melihat bahwa pasukan yang besar jumlahnya mengepung istana dan pasukan anak buah Bouw-ciangkun tidak nampak. Mereka itu tadi telah dilucuti dan ditawan di dalam benteng!.

   Bukan itu saja, bahkan juga benteng pasukan Bouw Ki telah dikuasai pasukan Sia Su Beng. Melihat ini, Bouw Ki menjadi pucat dan dia bersama ayahnya cepat pulang ke gedung mereka.

   "Celaka, kita terjebak!"

   Kata Bouw Hun.

   "Selagi masih ada kesempatan, kita harus cepat meninggalkan kota raja. Mari kita berkemas!"

   Tergesa-gesa mereka kembali ke gedung tempat tinggal mereka dan baru mereka ingat bahwa seluruh pasukan mereka tadi dikerahkan ke istana sehingga di rumah itu tidak tertinggal seorangpun perajurit penga mat, hanya tinggal para pe layan dala m gedung saja.

   "Cepatkan siapkan kereta dengan dua kuda terbaik!"

   Perintah Bouw Koksu kepada seorang pembantunya yang segera lari ke istana untuk mempersiapkan perintah majikannya.

   Ayah dan anak itu segera berkemas, mengumpulkan harta berupa emas dalam sebuah peti dan tidak lupa Koksu membawa pusaka yang masih simpan, yaitu Mestika Burung Hong Ke mala dalam kotak kecil hitam itu. Kotak ini dia bungkus dan dia ikatkan buntalan kain itu ke punggungnya. Kemudian sambil membawa pedang mereka, ayah dan anak ini berlari-lari menuju ke depan di mana kereta dengan dua ekor kuda sudah menunggu. Akan tetapi, tak nampak seorangpun pelayan, bahkan pelayan yang tadi mempersiapkan kereta dan kuda juga tidak nampak. Sunyi sekali pekarangan yang luas dari rumah gedung yang hendak mereka tinggalkan itu.

   Ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba dari dalam kereta itu muncul empat orang yang membuat ayah dan itu memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Heh-heh, Bouw Koksu, hendak pergi ke manakah?"

   Kata Hui San yang sambil tersenyum lebar.

   "Siapa.....siapa engkau?"

   Bentak Bouw Koksu yang sudah merasa gelisah dan terkejut melihat Kirn Hong bersama di antara mereka.

   "Aku bernama Souw Hui San. Aku di perintah oleh arwah pamanku Souw Lok untuk menagih nyawa kepadamu. Nah. serahkan nyawamu, Bouw Koksu!"

   Bukan main kagetnya rasa hati Bouw Hun, dan maklumlah dia bahwa dia telah terhalang dan agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri lagi.

   "Kim Hong, engkau yang pernah menjadi muridku dan pernah kami sayang seperti anak, balaslah budi kami dan singkirkan pemuda ini untuk kami!"

   Kata Bouw Hun.

   Kim Hong tersenyum mengejek.

   "Bouw Hun, engkau tidak pernah melepas budi kebaikan kepadaku, melainkan perbuatan keji dan jahat. Lupakah engkau tentang penipuanmu kepadaku, memperkenalkan Ciang Kui Sebagai ayah kandungku? Engkau hanya ingin memanfaatkan tenagaku, bukan benar-benar sayang kepadaku."

   "Engkau.... engkau manusia yang tak mengenal budi!"

   Bouw Hun memaki dan menerjang maju dengan pedang bengkoknya, menyerang gadis itu.

   Akan tetapi, sambil mengelak ke samping, sekali ia menampar sambil mengerahkan tenaganya, tubuh Bouw Hun terpelanting. Memang benar ketika masih kecil sampai dewasa, Kim Hong menjadi murid Bouw Hun. Akan tetapi setelah dara ini menerima gemblengan Hek liong Kwan Bhok Cu, ilmu kepandaiann meningkat dengan hebat dan tentu saja kini Bouw Hun sama sekali bukan tandingannya lagi.

   "Hemm, mengingat bahwa engkau pernah menjadi guruku, aku tidak akan membunuhmu dengan tanganku sendiri'"

   Setelah berkata demikian, gadis menghadapi Bouw Ki dan memandang dengan sinar mata marah.

   "Engkaulah, Bouw Ki, yang layak mati di tanganku."

   "Pengkhianat tak tahu malu!"

   Bouw Ki membentak dan dia menerjang gadis itu dengan pedangnya. Kim Hong menya mbut dengan elakan, mudah saja bagi nya untuk menghindarkan diri dari bacokan-bacokan pedang Bouw Ki yang di lakukan dengan membabi-buta saking marah, gentar dan putus asa.

   Sementara itu, Hui San menghadapi Bouw Hun dan dia mencabut pedangnya.

   "Nah, sekarang mari kita bertanding satu lawan satu untuk menyelesaikan hutang mu kepada mendiang Paman Souw Lok!"'.

   Seperti juga puteranya, Bouw Hun tidak melihat jalan keluar untuk meloloskan diri, maka diapun menjadi nekat dan sambil membentak marah, dia menggunakan pedang bengkoknya untuk menyerang Hui San.

   "Trang-trangg!"

   Dua kali Hui San menangkis serangan Bouw Hun ia lalu membalas dengan tusukan pedangnya yang dapat pula dih indarkan Koksu itu dengan tangkisan pedang bengkoknya. Terjadilah dua buah pertandingan yang berat sebelah, karena baik Bouw Ki pun Bouw Hun sama sekali bukan lawan setanding dengan Kim Hong dan Hui San.

   Sementara itu, Cin Han dan Kui Lan hanya menjadi penonton saja karena kedua orang kakak beradik ini maklum bahwa kekasih mereka tidak akan kalah. Mereka hanya berjaga-jaga kalau sampai kekasih mereka dikeroyok anak buah Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun. Tadi mereka berempat telah merobohkan para pembantu Bouw Koksu yang berada di luar gedung, termasuk kusir kereta dan mereka yang mempersiapkan kereta dan kudanya di depan pintu.

   Yang amat payah keadaannya dalam pertandingan itu adalah Bouw Ki. Pemuda Khitan yang semenjak An Lu Shan berhasil dalam pemberontakannya seolah-olah kejatuhan bintang dan diangkat menjadi panglima dengan pakaian yang rnentereng ini, tentu saja mencoba untuk dapat menang dalam perkelahian itu.

   Akan tetapi, harapannya ini tentu saja kosong belaka karena dahulupun, ketika mereka berdua masih menjadi murid Bouw Hun, di dalam latihan dia tidak pernah dapat menang melawan Kim Hong. Apa lagi setelah Kim Hong menjadi murid Hek-Hong Kwan Bhok Cu dan minum darah ular Hita m Kepala Merah, tingkat kepandaian gadis itu menjadi tinggi sekali, jangankan dia, bahkan ayahnyapun bukan tandingan Kim Hong sekarang.

   Tidak seperti Hui San yang suka main-main, Kim Hong langsung saja mendesak bekas suhengnya dengan tekanan"tekanan yang membuat Bouw Ki hanya manpu nengelak dan menangkis dengan pedang bengkoknya, sama sekali tidak dapat memba las. Bouw Ki merasa gentar sekali.

   Sepasang matanya yang biasanya tajam seperti mata burung rajawali itu kini terbelalak dan liar ketakutan, walaupun dia masih berusaha untuk menang, dengan sekuat tenaga setiap kali pedang di tangan Kim Hong menyambar. Ujung pedang itu sudah melukai bahu kirinya sehingga gerakannya menjadi sernakin kaku. Dengan sisa tenaga yang ada, ketika sinar pedang Kim Hong meluncur kearah kepalanya, dia menggerakkan pedang bengkoknya menangkis.

   "Trakkk! !"

   Patahlah pedang di tangan Bouw Ki dan di detik berikutnya, tahu-tahu sinar pedang di tangan Kim Hong berkelebat dan pedang itu telah menembus dada Bouw Ki. Hanya sekejap saja, bagaikan kilat menyambar pedang itu sudah masuk kembali ke dalam sarung pedang yang tergantung dipinggang gadis itu ketika tubuh Bouw Ki terjengkang. Dia mendekap dada kiri dengan tangan kanan dan tewas seketika karena jantungnya tertembus pedang.

   Bouw Hun yang sedang bertanding melawan Souw Hui San,melihat juga jatuhnya Bouw Ki. Tentu saja Bouw Hun menjadi terkejut dan duka, juga marah sekali. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau terluka pedang bengkoknya kini mengamuk, tetapi, karena tadi Hui San hanya main-main saja, tidak bersungguh-sungguh dan kini melihat Kim Hong telah merobohkan lawan dia lalu mempercepat gerakan pedangnya, maka amukan pedang bengkok di tangan Bouw Hun itu tidak ada artinya. Ilmu pedang Gobi-pai memang indah dan juga amat cepat gerakannya.

   "Orang she Bouw, pergilah engkau menyusul anakmu!"

   Bentaknya dan kini sinar pedangnya bergulung-gulung, mengurung lawan membuat Bouw Hun menjadi bingung. Terdengar bunyi kedua pedang itu saling bertemu berdentangan dan akhirnya sebuah sabetan pedang di tangan Hui San mengakhiri perlawanan Bouw Hun.

   Dia roboh terpelanting dengan leher hampir putus terbabat pedang. Tewaslah ayah dan anak itu. Pada saat Bouw Hun roboh, terdengar gerakan orang dan Sia Su Beng sudah tiba di situ, bersama Yang Kui Bi yang masih mengenakan pakaian perajurit, seperti juga empat orang muda itu yang kesemuanya menya mar sebagai perajurit.

   "Bagus sekali, mereka telah dapat ditewaskan,"

   Kata Sia Su Beng dan lapun cepat menghampiri mayat Bouw ki,

   merenggut buntalan yang berada di punggung bekas Koksu itu dan membuka kain buntalannya. Ternyata berisi sebuah kotak hitam dan ketika dibuka tutupnya, wajah panglima itu berseri dan matanya bersinar-sinar.

   "Mestika Burung Hong Kemala!"

   Sia Su Beng berseru dan diapun menutup kembali kotak itu, merapikan buntalan dan menggantungkan buntalan di pundaknya. Hui San dan Kui Lan. saling pandang, dan gadis itu melihat betapa pemuda itu sedikit menggeleng kepa lanya, tanda bahwa dia tidak boleh bicara tentang pusaka itu kepada Sia Su Beng. Biarpun ia merasa heran mengapa sikap kekasihnya seperti itu, namun Kui Lan tidak bertanya dan juga juga tidak bicara sesuatu. Kenapa Hui San membiarkan Sia Su Beng tertipu dan menyimpan pusaka palsu?

   "Kakak Cin Han dan Enci Kui Lan mulai sekarang boleh menempati kembali rumah yang sebetulnya memang milik keluarga Yang ini. Aku akan menyuruh seregu perajurit melakukan penjagaan, juga beberapa orang pelayan untuk mengatur rumah."

   Kui Bi merangkul encinya.

   "Enci lan, kalau saja ayah dan ibu masih ada alangkah akan bahagianya mereka melihat kita dapat merebut kembali rumah kita...."

   Kui Bi yang biasanya tabah dan lincah periang, itu kini menangis di pundak encinya.

   "Tenangkan hatimu, adik Bi. Biarpun sudah meninggal dunia, aku yakin mereka melihat peristiwa ini dan ikut berbahagia."

   Setelah Sia Su Beng pergi bersama Kui Bi yang agaknya tidak mau berpisah dari tunangannya itu, Kui Lan, Kim Hong, Cin Han dan Hui San mulai mengatur rumah gedung yang merupakan temyang amat dikenal oleh Cin Han dan Kui Lan karena di rumah inilah mereka lahir dan dibesarkan!

   Pangeran An Kong entah sudah keberapa ratus kali berjalan hilir mudik di dalam kamar itu, seperti seekor harimau dalam kerangkeng. Wajahnya yang tampan dan biasanya pesolek itu kini tak terawat, sudah beberapa hari tidak mandi dan bahkan tidak bergantii pakaian. Jarang pula dia dapat makan walaupun ada makanan dihidangkan deh pelayan.

   Dia menjadi orang tahanan. Tahanan rumah, atau lebih tepat lagi tahanan "kamar karena dia selalu berada di dalam ka marnya karena rumahnya telah dijaga oleh perajurit anak buah Panglima Sia Su Beng. Dia tidak diperkenankan keluar dari rumah itu, Apa lagi setelah dia mendengar bahwa Bouw Koksu dan Bouw Ciangkun tewas terbunuh, dan semua pasukan yang tadinya mendukung Bouw Koksu telah dilucuti dan ditundukan oleh Panglima Sia Su Beng, bahkan lampir semua panglima kini menakluk dan menyerah kepada Panglima itu, Pangeran An Kong menjadi putus asa dan bingung.

   Pada suatu siang, ketika dia sedang hilir mudik di dalam kamarnya seperti seekor harimau dalam kurungan, terdengar langkah kaki di luar kamarnya, Pangeran An Kong mengira ada penjaga atau pelayan yang memasuki ka mar, maka dia sudah siap untuk memaki dan mengusirnya. Akan tetapi, ternyata yang masuk adalah Panglima Sia Su Beng!

   Melihat munculnya musuh besar ini, An Kong segera bangkit berdiri mengambil sikap bermusuhan, berdiri tegak dengan membusungkan dada seperti sikap seorang atasan menghadapi seorang bawahannya.

   "Sia Ciangkun, apakah engkau datang hendak membebaskan aku?"

   Tanyanya dengan sikap angkuh.

   Di dalam hatinya pangeran ini menaruh dendam dan andaikata dia memperoleh kekuasaan tertinggi, perintah pertama yang akan keluar dari mulutnya tentulah menangkap menghukum berat panglima yang kini berdiri di depannya itu.

   "Pangeran. Kami datang untuk mempertemukan pangeran dengan wanita yang dulu kau suruh meracuni Sri baginda An Lu Shan."

   Sia Su Beng tidak memperdulikan perubahan wajah pangeran itu yang menjadi pucat, dan dia menoleh ke pintu. Dari pintu itu masuklah gadis cantik jelita dan membawa sebuah baki di mana dapat sebuah cawan emas.

   Pangeran An Kong terbelalak dan mukanya menjadi semakin pucat seolah dia melihat hantu, bukan melihat seorang gadis yang cantik jelita, yang dengan anggunnya melangkah ke dalam kamar membawa baki dengan kedua tangan didepan dada.

   Baki itu menambah indah gayanya berjalan karena ia harus mengatur keseimbangan langkahnya agar arak dalam cawan itu tidak tumpah, membuat langkahnya menjadi lenggang yang gemulai seperti seorang penari, ia melihat Kui Bi, gadis dayang itu, yang pernah menarik hatinya, memikat gairahnya, gadis yang kemudian ia peralat untuk menaruh racun kedalam hidangan ayahnya sehingga akhirnya ayahnya, An Lu Shan, tewas keracunan.

   Dan kini gadis itu dengan lenggang yang manis memasuki kamar membawa baki terisi cawan. Dengan gaya dan gerakan yang memikat, Kui Bi , yang kini mengenakan pakaian wanita, meletakkan baki dengan secawan emas arak itu ke atas meja, kemudian ia berdiri sambil memandang pangeran dengan senyum manis.

   "Kau??"

   Pangeran An Kong berseru keras karena timbul harapan untuk membersihkan diri dengan menangkap pelaku pembunuhan terhadap ayahnya Itu.

   "Engkau yang membunuh Sribaginda!"

   Senyum itu melebar sehingga nampak deretan gigi yang putih rapi seperti mutiara, menambah kuat daya tarik wajah gadis jelita itu.

   "Bukan yang membunuhnya, melainkan engkau yang menyuruh kaki tanganmu sebagai dayang, pekerja dapur dan thai-kam. Engkaulah yang membunuh ayahmu sendiri An Kong, dan bukan orang lain,"

   Kata Kui Bi dengan suara tenang dan merdu mengandung ejekan.

   "Engkau yang membunuh, keparat! Engkau harus ditangkap dan engkau harus mengaku!"

   Dalam keadaan yang putus asa dan nekat, Pangeran An Kong mengerahkan tenaganya dan meloncat, menubruk untuk menangkap gadis jelita itu untuk memaksanya mengakui sebagai pembunuh An Lu Shan. Namun, dia me ngalami kejutan yang lebih hebat lagi.

   Tubrukannya luput dan kaki gadis itu menyambar dari samping dengan amat cepatnya hingga dia yang menguasai ilmu silat yang cukup tangguhpun tidak mampu rnenghindar lagi.

   "Dukk! !"

   Perutnya tertendang dan diapun terpelanting keras, tentu saja dia terkejut setengah mati dan ketika dia dapat berdiri kembali, Ia memandang kepada Kui Bi dengan penuh keheranan. Gadis itu tersenyum ma nis dengan pandangan mata penuh ejekan padanya.

   "Kau.... kau... sebenarnya siapakah?"

   Tanyanya gagap.

   "Engkau tidak secerdik Bouw Hun yang dapat menduga siapa aku. Aku adalah Yang Kui Bi, puteri mendiang Menteri Yang Kok Tiong. Ayah Ibuku tewas akibat pemberontakan An Lu Shan.'"

   "Ahh! !"

   An Kong terperangah dan tahulah dia bahwa dia bahkan telah diperalat gadis itu yang hendak membalas dendam kepada An Lu Shan.

   "Lebih dari itu, An Kong. ia adalah calon isteriku!"

   Kata pula Sia Beng dan mendengar ini, An Kong menjadi sema kin putus asa.

   "Sia-ciangkun, lalu kau.... kau... mau apa? Apa artinya kalian membawa cawan arak itu?"

   Dia menuding ke arah cawan arak itu dan telunjuknya yang menuding gemetar.

   "Ada dua pilihan bagimu, An Kong. Engkau tidak akan terluput dari kematian, akan tetapi hukuman mati ini ada dua macam dan boleh kaupilih. Kalau engkau minum arak itu, engkau akan mati tanpa menderita badan dan hati. Akan tetapi kalau engkau menolak, engkau akan diseret sebagai seorang penjahat besar yang telah membunuh ayah sendiri dan engkau akan dihukum mati didepan rakyat, akan menjadi bahan ejekan dan penghinaan. Sekarang, engkau tinggal memilih,"

   Kata Sia Su Beng.


   Wajah bekas pangeran itu pucat seperti mayat. Dia maklum bahwa nekad melawan panglima itu tidak ada gunanya, apa lagi di situ terdapat Yang Kui Bi yang baru sekarang dia tahu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Juga dia tidak memiliki keberanian sebesar itu.

   Dia membayangkan dirinya diseret, di caci dan dihina sebagai seorang penjahat pembunuh ayah sendiri, kemudian disiksa sampai mati. Terbayang dia akan wajah ayahnya yang dilihatnya untuk terakhir kali sebelum dimasukkan peti, wajah yang menyeringai seperti orang kesakitan.

   Dia bergidik ngeri, lalu dihampirinya meja, disambarnya cawan emas dan tanpa berpikir panjang lagi, dalam keadaan orang yang berputus asa, dia lalu menuangkan isi cawan ke dalam mulutnya yang terbuka dan langsung menelannya.

   Dia tidak merasakan sesuatu yang aneh, maka dia masih disentuh harapan kalau-kalau Panglima Sia Su Beng hanya menggertak dan membohonginya saja. Dengan tenang dia meletakkan kembali cawan emas yang sudah kosong ke atas baki dan tertawa bergelak.

   Entah mengapa, dia merasa keadaannya amat lucu, dia digertak dan diancam, ternyata semua itu hanya permainan belaka. Dia terping kal dan menjatuhkan diri duduk lagi di atas kursinya.

   Panglima Sia Su Beng dan Yang Kui Bi memandang dengan sinar mata dingin. Bah kan wajah mereka tidak menunju kkan sesuatu ketika suara tawa dari pangeran itu tiba-tiba mulai berubah, dari tawa menjadi rintihan dan wajah yang tadinya tertawa itu berubah, menyeringai karena kesakitan. lalu pangeran itu terkulai dan terdengar bunyi berdetak ketika dia menjatuhkan dahinya ke atas meja. Sia Su Beng melangkah mendekati dan meraba nadi tangannya yang terkulai. Pangeran itu sudah tewas.

   Sia Su Beng mengangguk kepada Yang Kui Bi dan keduanya meninggalkan kamar itu dengan tenang. Panglima Sia Su Beng lalu menyiarkan kabar bahwa An Kong telah membunuh diri karena menyesali perbuatannya membunuh dan meracuni ayahnya sendiri.

   Berita itu diterima dengan sikap sangat dingin dan acuh oleh para panglima. Kini, sebagian dari para panglima merupakan mereka yang masih setia kepada Kerajaan Tang, sedangkan sebagian lagi merupakan pasukan yang sudah tunduk kepada Panglima Sia Su Beng dan akan menaati semua perintah panglima ini.

   Sia Su Beng berada di dalam ruangan tertutup, berdua saja dengan kekasihnya, Yang Kui Bi.

   "Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang, koko?"

   Tanyanya Kui Bi.

   "Hanya tinggal menanti kembalinya Kaisar, atau memberi kabar ke barat agar Sri baginda cepat pulang ke sini karena kita sudah menguasai keadaan di sini dan menundukkan semua bekas anak buah An Lu Shan?"

   Sia Su Beng yang duduk di kursi mengerutkan alisnya.

   "Memang, semua telah berjalan lancar sesuai dengan rencana kita. An Lu Shan dan An Kong telah tewas, semua anak buahnya dapat kita tundukkan tanpa pertempuran yang berarti, dan semua panglima dapat kupengaruhi dan kini mereka semua tunduk kepadaku. Mengembalikan tahta Kerajaan kepada Sri bag inda Kaisar hanya tinggal Melaksanakan saja. Akan tetapi, ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu. Sebelum aku membicarakan dengan para panglima siang hari ini. Mereka sudah kuperintahkan untuk berkumpul siang hari ini untuk kuajak berunding."

   Kui Bi memandang penuh perhatian.

   "Ada masalah pelik apakah. koko? Engkau kelihatan begini serius?"

   "Begini, Bi-moi. Engkau mengetahui sendiri betapa susah payahnya kita menghadapi An Lu Shan dan mengatur siasat, kemudian melaksanakannya dengan taruhan nyawa. Bahkan kalau saja tidak kebetulan, aku akan kehilangan engkau ketika engkau menyusup ke istana itu. Jelas bahwa kita telah mengorban kan segalanya untuk me lenyapkan kekuasaan An Lu Shan dan An Kong yang dibantu ayah dan anak she Bouw itu."

   "Memang benar, koko. Akan tetapi itu rremang sudah tugas kita, dan disamping itu, juga aku sendiri pribadi membenci An Lu Shan karena dialah penyebab hancurnya keluargaku, penyebab kematian ibu dan ayah. Dan bukankah sudah sepatutnya kalau kitabela Sribaginda Kaisar kerajaan Tang?"

   "Nah, itulah, Bi-moi! Andaikata Sribaginda Beng Ong masih tetap sebagai Kaisar Kerajaan Tang, akupun tidak akan meragu lagi untuk menyerahkan tahta kerajaan yang berhasil kita rampas dari An Lu Shan dan anak buahnya ini kepada beliau. Akan tetapi, yang membuat hatiku risau dan tidak rela adalah karena aku mendengar bahwa Sribaginda kaisar Beng Ong telah menyerahkan mahkota kepada Pang"ran Su Tsung yang kini menjadi kaisar! Aku tidak rela menyerahkan tahta kerajaan kepada pangeran yang lemah dan pengecut itu. Kita yang bersusah payah mempertaruhkan nyawa, eh, dia yang enak-enakan dan secara pengecut lari terbirit-birit ketika pasukan An Lu Shan menyerang kota raja, kini begitu saja mendapatkan tahta kerajaan ini. Aku tidak rela!"

   "Akan tetapi, koko kalau tidak kau serahkan kepada Kerajaan Tang, biar sekarang kaisarnya telah di ganti, lalu apa yang hendak kau lakukan?"

   Kui Bi memandang dengan penuh selidikdan heran.

   "Kui Bi, engkaulah satu-satunya orang di dunia ini yang kucinta dan kupercaya, maka akupun akan mengatakan terus terang padamu, dengan harap engkau akan mendukungku. Tanpa dukunganmu, aku akan merasa lemah. Kupikir kita telah banyak berkorban untuk merebut kembali tahta kerajaan ini. Kalau Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri, maka kita harus berhati-hati, tidak begitu mudah saja menyerahkan tampuk kerajaan kepada orang yang tidak sepatutnya menjadi junjungan kita. Oleh karena itu, aku akan menanti dan melihat apakah Pangeran Su Tsung itu pantas menerima tahta kerajaan ini.?"

   Kui Bi memandang ke sekeliling. Mereka berada di dalam sebuah ruangan dalam istana yang kini untuk sementara dijadikan tempat tinggal Sia Su Beng. Hal ini Sepatutnya dan disetujui Semua panglima dan pembesar yang berpihak padanya karena untuk menjaga agar Jangan ada kekuatan lain mempergunakan kesempatan selagi istana itu kosong tidak ada penghuninya lalu melakukan pemberontakan dan perampasan, ia seperti dapat meraba isi hati kekasihnya.

   "Akan tetapi, koko. Bukankah Pangeran Su Tsung yang berhak atas tahta kerajaan? Apa lagi dia diangkat oleh sribaginda Kaisar Beng Ong, dan...."

   "Tidak, Bi-moi. Pengangkatan itu tergesa-gesa dan tidak sah, karena dilakukan dalam pelarian dan tidak disetujui oleh para pejabat dan panglima, bagaimana mungkin tahta kerajaan yang menyangkut nasib seluruh rakyat dalam negeri diserahkan begitu saja? Kita harus mempertahankan tahta kerajaan ini dengan mengangkat seseorang yang benar-benar patut untuk menjadi pemimpin negara. Lihat saja apa yang terjacli dengan Kerajaan Tang karena kaisarnya lemah dan mudah dipermainkan selir, dipermainkan para penjilat sehingga sampai terampas, oleh An Lu Shan. Kerajaan ini harus menjadi besar dan jaya, dan tidak mudah diganggu pemberontak."

   

JILID 14



"Bagaimana kalau kemudian engkau menilai bahwa tidak acla orang yang patut menjadi kaisar, koko? Apakah engkau sendiri....... !"

   "Kenapa tidak ! Apa salahnya? ingat, Bi-moi, Kaisar Kerajaan Tang berikut seluruh keluarga dan pembantunya telah melarikan diri terbirit-birit dan siapakah yang merebut kembali tahta kerajaan dari tangan pemberontak An Lu Shan? Kita! Tidak ada usaha sedikit pun dari keluarga kerajaan yang sudah melarikan diri itu yang membantu tewasnya An Lu Shan dan An Kong, dan membantu terampasnya kembali kerajaan ini. Hanya kita dan para panglima yang membantu kita. Ticlakkah suclah sepatutnya kalau kita pula yang menikmati hasil nya? Dan kalau mereka semua itu memilih aku yang menjadi Kaisar, apakah engkau tidak suka menjadi Permaisuri ku?"

   Kui Bi terbelalak. Sama sekali tidak menyangka bahwa kekasihnya mempunyai ambisi sebesar itu. Menjadi permaisuri ! Hatinya merasa bimbang. Apakah ini suatu pengkhianatan? Akan tetapi, memang tidak dapat disangkal bahwa kekasihnya yang paling berjasa, dan orang-orang lain itu hanya membantunya, kemudian ia teringat kepada kakak-"kakaknya. Mereka Itu setia kepada Kerajaan Tang. Apakah mereka akan setuju?

   "Tapi.... engkau.... eh, kita akan berhadapan dengan mereka yang seta kepada Kerajaan Tang, koko dan..."

   "Itu resikonya, Bi-moi. Semua cita-cita yang besar tentu selalu bertemu clengan tantangan clan tentangan, clan kita harus clapat mengatasinya. Kalau aku menjanj ikan kedudukan tinggi, bahkan mulai sekarang membagi-bagikan kedudukan tinggi kepada para panglima dan para cerclik pandai yang kita butuhkan tenaga dan kepandaiannya untuk mengemuclikan pemerintahan, kurasa tidak akan ada yang akan mampu melawan kita. aku tahu, Bi-moi, beberapa orang kang-ouw, bahkan termasuk mungkin kakak-kakakmu dan teman-"teman mu, boleh jadi akan merasa ticlak setuju clan mereka tetap setia kepacla Kerajaan Tang. Nah, untuk ini, engkaulah yang kuharapkan clapat membantuku untuk membujuk mereka agar mau membantu kita, dan tentu kita akan mengangkat mereka menclucluki tempat yang terhormat dan mu lia."

   Kui Bi semakin bimbang. Menclengar ucapan kekasihnya itu, ia membayangkan kekasihnya menjadi kaisar dan ia menjadi permaisuri, timbul gairah nya, akan tetapi mengingat kakak"kakak nya, ia menjadi bimbang ragu dan khawatir.

   "Koko, bagaimana kalau mereka terutama Han-ko dan Lan"ci menolakuntuk membantu kita?"

   Sia Su Beng menghela napas panjang.

   "Kalau memang begitu, terserah kepadamu, Bi-moi. Engkau tahu bahwa aku cinta padamu dan ingat, perjuangan aku ini bukan demi kepentinganku sendiri, melainkan juga untuk masa depanmu dan masa depan anak-anak kita kelak maka engkaulah yang harus memilih antara cintamu kepadaku atau cintamu kepada mereka."

   "Koko!"

   Kui Bi mengerutkan alisnya dan menggigit bibir, dan Sia Su Beng cepat menghampiri dan merangkulnya.

   "Sudahlah, Bi-moi. Engkau seorang gadis yang gagah perkasa dan bijaksana, tentu mengetahui apa yang terbaik bagimu. Aku akan berangkat keruangan persidangan karena tentu mereka sudah berdatangan."

   "Yang kukhawatIrkan bukan hanya pendirian kakak"kakakku, koko, akan tetapi bagaimana kalau rakyat menolak Dan para pembesar di daerah-daerah yang begitu luasnya? Tanpa duku ngan rakyat dan para penguasa daerah, bagaimana engkau dapat berhasil?"

   Sia Su Beng tersenyum, lalu mengeluarkan sebuah kotak hitam dari dalam almari, membuka tutupnya dan memperlihatkan isinya kepada kekasihnya.

   "Lupakan engkau bahwa Mestika Burung Hong Kemala telah berada di tangan kita, Bi-moi? Pusaka in i adalah la mbang kekuasaan kaisar, maka kalau aku yang memilikinya, berarti kita mempunyai lambang kekuasaan tertinggi!"

   Sambil tersenyum, dia me masukkan kotak ini dala m buntalan kain dan mengikatkan di pinggang, di sebelah dalam baju panglimanya. Dia hendak mempergunakan benda pusaka itu

   untuk mempengaruhi para panglima dan calon pembesar. Setelah mencium dahi kekasihnya, diapun meninggalkan Kui Bi yang masih termenung.

   Tak lama setelah Sia Su Beng meningga lkannya, Kui Bi dalam keadaan risau keluar dari ruangan itu menuju ke kamarnya sendiri. Pada saat itu, ia melihat Kui Lan yang agaknya memang datang berkunjung kepadanya.

   "Enci Lan"

   Bukan main girangnya rasa hati Kui Bi melihat enci nya, seperti orang kehausan melihat air karena dalam keadaan risau seperti itu, ia membutuhkan orang yang dekat dengannya untuk menu mpahkan kerisauanya. Kui Lan agak heran dan bingung melihat adiknya langsung merangkulnya dan wajah adiknya demikian muram.

   "Eh, engkau kenapakah, adikku?

   "Mari kita bicara di dalam, enci,"

   Kata Kui Bi dan ia menarik encinya me masu ki ka mar dan menutup daun pintu ka marnya. Begitu mereka duduk di tepi pembaringan, Kui Bi menangis.

   "Ehh, kenapakah engkau ini?"

   Kui Lan merasa khawatir karena tidak biasa adiknya yang keras hati ini menangis. Setelah menghapus air matanya dan dapat menenangkan hatinya, Kui Bi lalu menceritakan se mua tentang cita-cita Sia Su Beng yang tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung, yaitu kaisar baru pengganti kaisar Beng Ong yang menyerahkan mahkota kepada puteranya itu.

   Mendengar ini, tentu saja Kui Lan terkejut bukan main. Akan tetapi ia bersikap tenang, sesuai dengan wataknya, apa lagi ia tahu benar bahwa adiknya amat mencinta panglima itu. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia dapat mengangkat diri menjadi kaisar? yang memiliki wewenang adalah Pangeran Su Tsung yang sekarang telah mewarisi mahkota ayahnya, yaitu Sribaginda Beng Ong. Para pejabat dan pejabat daerah, juga rakyat tentu akan menentangnya ! "

   "

   Dia me mpunyai lambang kekuasaan kaisar, yaitu Mestika Burung Hong Kemala, enci Lan."

   "Tapi itu adalah pusaka yang palsu!"

   Saking hanyut oleh kekhawatiran terhadap adiknya, ucapan ini keluar begitu saja dari mu iut Kui Lan. ia terkejut dan menyesal, namun terlambat karena sudah diucapkannya. Kui Bi mengangkat muka menatap wajah encinya.

   "Kalau begitu, di mana pusaka Mestika Burung Hong Kema la yang aseli enci Lan?"

   Terjadi perang dala m hati Kui Lan, hanya sebentar. Betapapun besar rasa sayangnya kepada Kui Bi, na mun kalau adiknya itu membantu Sia Su Beng yang jelas hendak melakukan pemberontakan, adiknya itu keliru. Segera dapat mengatasi keraguannya dan menggelengkan kepalanya sambil berkata,

   "Aku tidak tahu,"

   Ltu disa mbungnya cepat-cepat.

   "Bi"moi, kenapa dia hendak melaku kan ini? Eng kau harus mengingatkannya adikku. Dia telah bertindak keliru dan sesat! Engkau..... engkau tidak boleh membantunya, Bi moi!"

   "Enci Lan, engkau tahu bahwa aku sangat mencintanya dan aku siap mengorbankan nyawaku untuk Beng-koko. Dia itu calon suamiku, dan aku cinta padanya seperti dia mencintaku. Pula, setelah aku berbantahan dengan dia, aku melihat kebenaran dalam pendiriannya, Sri baginda Kaisar Beng Ong telah mengundurkan diri dan menyerahkan mahkota kepada Pangeran Su Tsung. Pangeran itu melarikan diri ketika bahaya datang, dan kita semualah yang telah bersusah payah menewaskan An Lu Shan dan An Kong. Kita semua, terutama sekali Beng - koko yang telah melum puhkan semua pengikut An Lu Shan dan merebut kembali tahta kerajaan dari pemberontak itu, Dan hasil semua ini akan diserahkan begitu saja kepada seorang pangeran penakut yang hanya enak-enak melarikan diri ke barat? Beng-koko tidak melihat harapan baik kalau kita di perintah seorang kaisar seperti itu. Oleh karena itu, enci Lan, marilah kau bantu kami. Mari kita bujuk Han-ko agar suka me mbantu, juga Souw Hui San dan Can Kim Hong.Aku yang menanggung bahwa kelak tentu kalian berempat akan menerima imbalan yang pantas, menjadi orang-orang yang mulia dan berkuasa dengan kedudukan tinggi."

   Kui Lan menggigit bibir. Adiknya ini mengingatkan ia kepada bibinya, rnendiang Yang Kui Hui, selir yang berambisi besar itu. Ingin ia menampar adiknya. Akan tetapi ditahannya karena ia segara menyadari bahwa ia dan Souw Hui San juga kakaknya Cin Han dan Kim Hong berada dalam bahaya kalau menentang Kui Bi dan Sia Su Beng.

   la menghela napas dan mengangguk.

   "Akan kubicarakan dengan Han-ko tentang semua ini, Bi-moi."

   Lalu ia luar dari dalam ka mar itu, hatinya perih dan seluruh tubuhnya lemas, ia seperti mendapat firasat bahwa ia tidak akan bertemu lagi dengan adiknya yang tersayang itu. Terlalu besar jurang yang memisahkan mereka. Bagaimana mungkin ia menjadi pengkhianat dan balik membantu pemberontak, walaupun pemberontakan itu dilakukan oleh adiknya sendiri dan kekasih adiknya?

   Ketika ia kembali ke tempat berempat tinggal, yaitu di gedung bekas tempat tinggal ayahnya, Kui Lan melihat Hui San, Cin Han dan Kim Hong sedang duduk di beranda depan, agaknya memang menanti-nanti kembalinya dari istana.

   "Mari kita bicara di dalam,"

   Kata Kui Lan kepada mereka dan mendengar suaranya yang lirih dan gemetar, juga wajah gadis itu yang mura m, sinar matanya yang mengandung kegelisahan, tiga orang itu cepat bangkit dan mengikutinya masuk ke dalam sebuah ruangan di mana mereka, dapat bicara tanpa didengar dan dilihat orang lain.

   "Ada apakah, Lan-moi? Engkau mendengar sesuatu di istana?"

   Tanya Cin Han, khawatir pula melihat sikap adiknya. Kui Lan menahan tangisnya, teringat kepada Kui Bi.

   "Celaka, Han-ko! Sia Su Beng merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan. Dia tidak mau menyerahkan tahta kerajaan kepada Kaisar Kerajaan Tang. bahkan agaknya hendak mengangkat diri sendiri menjadi penguasa, menjadi kaisar!"

   Tentu saja tiga orang itu terkejut sekali.

   "Aih, sudah kucurigai dia melihat sinar matanya ketika dia mengambil Mestika Burung Hong Ke mala dari tubuh Bouw Koksu!"

   Kata Hui San.

   "Lan-moi, apa alasannya?"

   Tanya Hui San.

   "Dia berpendapat bahwa Pangeran Su Tsung yang diangkat menjadi kaisar sekarang menggantikan Sri baginda Kaisar Beng Ong bukan merupakan orang tepat untuk menjadi kaisar."

   Lalu Kui Lan. menceritakan semua yang ia dengar dari Kui Bi, didengarkan oleh tiga orang itu dengan a lis berkerut.

   "Bahkan Kui Bi minta aku membujuk kalian bertiga agar suka membantu Sia Su Beng dengan janji kelak mendapat imbalan kedudukan tinggi."

   "Gila!!"

   Cin Han memaki marah sekali.

   "Sudah gilakah adik kita itu?"

   Kim Hong mencela kekasihnya.

   'Han-ko, kita tahu bahwa adikmu itu amat mencinta Sia Su Beng, dan demi cintanya, seseorang dapat melakukan apa saja."'

   "Han-koko yang penting sekarang adalah apa yang harus kita la kukan?"

   Kini Souw Hui San bicara. Biarpun dia seorang yang lincah jenaka dan kadang ugal-ugalan, akan tetap, sekali ini. dia berhati-hati karena ini menyangkut Kui Bi, adik kekasih hatinya. 'Kurasa, kita tidak dapat berbuat apa apa. Bagaimana mungkin kita berempat dapat menentang Sia Su Beng dengan pasukannya yang besar? Dialah yang memegang kekuasaan di sini dan kita tidak akan dapat berbuat apapun untuk mencegah kehendaknya itu. Apa lagi menurut Lan-moi sekarang dia sedang mengadakan perundingan dengan para panglima dan pejabat."

   "Lalu bagaimana dengan adikku Kui Bi?"

   Tanya Kui Lan bingung

   "Kurasa ia sudah dewasa dan dapat menentukan langkahnya sendiri. Kalau ia menganggap bahwa tunangannya itu benar, apa yang dapat kita lakukan?"

   Hui San bicara lembut, menghibur.

   "Yang penting, kita sekarang harus cepat meninggalkan tempat ini, meninggalkan kota raja demi keamanan pusaka itu."

   "Hui San bicara benar!"

   Kata Cin Han.

   "Engkau tadi sudah mengatakan bahwa engkau kelepasan bicara, Lan-moi"

   Mengatakan bahwa Mestika Burung Hong Kemala yang ditemukan Sia Su Beng "tu palsu. Kalau Kui Bi menyampaikan ucapanmu itu kepada Sia Su Beng, tentu dia akan curiga kepada kita dan akan mela kukan pertanyaan atau penggeledahan. Kita harus cepat meninggalkan kota raja, sekarang juga."

   "Kukira memang itu jalan satu-satunya'"

   Kata Kim Hong membenarkan kekasihnya.

   "Kita pergi ke barat, bergabung dengan pasukan kerajaan, dan kita laporkan semua ini kepada Sri baginda dan Panglima KokCu It."

   "Akan tetapi.... bagaimana dengan adikku? Tidak mungkin kita meninggalkan ia sendiri saja di sini bersama Sia Su Beng yang hendak memberontak... kata Kui Lan.

   "Lan-moi, jangan bicara demikian. Kui Bi memang adik kita, akan tetapi ia sudah dewasa dan ia berhak menentukan langkah hidupnya sendiri. Kalau memang ia mencintai Sia Su Beng dan menganggap bahwa tunangannya itu benar, itu adalah haknya. Ingatlah bahwa Sia Su Beng telah meminangnya dengan resmi dan kita sudah menyetujui, hal itu berarti bahwa yang berhak atas diri Kui Bi ada lah Sia Su Beng, calon suaminya, bukan kita. Kita tahu bahwa Kui Bi memiliki watak yang keras, kalau kita mencoba untuk membujuknya tidak akan ada gunanya, bahkan membahayakan kita. Mari, kita pergi sekarang juga meninggalkan kota raja.'"

   Kui Lan tidak dapat membantah dan berkemas sambil menangis, menangisi adiknya. Dan tak lama kemudian, empat orang muda itu sudah keluar dari pintu gerbang sebelah barat dari kota raja. Para penjaga sudah tahu siapa mereka, para pendekar, yang dekat dengan Panglima Sia Su Beng, oleh karena itu tidak ada yang berani bertanya, apa lagi menghalangi mereka keluar dari pintugerbang.

   "Coba saja kalian pertimbangkan baik-baik. Sri baginda Kaisar Beng Ong begitu saja menyerahkan mahkota Kerajaan Tang kepada Pangeran Su Tsung! Kita se mua tahu orang maca m apa pangeran itu. Seorang yang lemah dan penakut. Ketika An Lu Shan memberontak, sepantasnya dia membela kerajaan dengan mengerahkan pasukan dan mati-matian mempertahankan kota raja. Akan tetapi apa yang dia lakukan? Dia melarikan diri terbirit-birit, mengikuti Sribaginda mengu ngsi ke barat, menyela matkan diri dan tidak me mperdu likan penduduk yang terancam bahaya penyerbuan. Sribaginda Beng Ong telah bertindak tidak bijaksana, tergesa"gesa menyerahkan mahkota kepada pangeran Su Tsung tanpa minta pertimbangan kita semua. Kita yang bersusah payah di sini, kita yang merebut kembali tahta kerajaan dan sekarang kita harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang penakut yang melarikan diri dan enak-enak tinggal bersembunyi di barat sedangkan kita di sini berjuang mempertaruhkan nyawa. Ingat, saudara sekalian! Kita bukan memberontak. Andaikata yang kembali ke sini masih Sribaginda Ka isar Beng Ong, aku yang akan merupakan orang pertama menyerahkan kembali tahta kerajaan kepada beliau Akan tetapi kalau harus menyerahkan kepada Pangeran Su Tsung, aku tidak setuju! Bagaimana pendapat saudara sekalian?"

   Karena sebagian besar para panglima itu memang sudah berada di bawah kekuasaan Sia Su Beng dan mereka menganggap Sia Su Beng sebagai pimpinan, maka merekapun segera menyatakan tidak setuju kalau tahta kerajaan diserahkan kepada kaisar baru. Para cerdik pandai, yaitu bekas pejabat-pejabat tinggi yang mengatur roda pemerin tahan, ada yang juga menyatakan tidak setuju Beberapa orang di antara mereka, dengan hati-hati menyatakan pendapat mereka yang mengandung keraguan.

   "Akan tetapi, Sia-ciangkun. Kalau kita tidak menyerahkan tahta kerajaan kepada kaisar Su Tsung yang menjadi kaisar yang sah dan berwenang dari Kerajaan Tang, bukankah itu berarti bahwa kita memberontak terhadap pemerintah kerajaan yang sah?"

   Yang bertanya Itu adalah seorang pejabat tinggi yang pernah menjadi penasihat Kaisar Beng Ong, dan sudah berusia tujuhpuluhan tahun. Dengan sikap hormat Sia Su Beng menjawab, suaranya tegas.

   "Ciu-siucai tentu maklum bahwa kita semua telah merebut tahta kerajaan dan kekuasaannya dari tangan pemberon takAn Lu Shan. Kalau kita merebutnya dari tangan Kaisar, itu baru namanya pemberontakan. Kita yang merebut kekuasaan dari. pemberontak, dan sediri nya kita akan memberikan kembali, tahta kerajaan kepada Kaisar Beng Ong. Akan tetapi, beliau telah mengundurkan diri dan mengangkat seorang kaisar baru tanpaa sepengetahuan kita. Bukankah sudah menjadi ha k kita bersama untuk me mpertahankan apa yang telah kita rebut dari pemberontak dengan taruhan nyawa? seorang tokoh seperti Ciu-siucai sendiri misalnya, sudah sepatutnya kalau menjadi seorang pejabat tinggi, menjadi Guru Negara atau Panasihat atau setidaknya seorang Menteri, Dengan bantuan seorang seperti Ciu-siucai dan yang lain-lain, kita pasti akan mampu mengatur pemerintahan yang adil dan baik. Para ciangkun yang telah ikut merebut kekuasaan dari pemberontak, tentu akan memberi kedudukan yang sesuai dengan jasa masing-masing."

   Hampir semua yang hadir mengangguk- angguk. Memang demikianlah kenyataannya. Kebanyakan orang yang tadinya memiliki cita-cita yang nampaknya saja patriotik, bersikap sebagai pahlawan, yang pada saat perjuangan memang rela mengorban kan segalanya termasuk nyawa, setelah perjuangan itu berhasil, baru nampak apa yang sesungguhnya tersembunyi di bawah sadar masing-masing.

   Semua usaha itu ternyata merupakan selubung saja yang menyembunyikan hasrat nafsu yang selalu mementingkan diri sendiri. Betapa banyaknya pahlawan yang tadinya berjuang sebagai patriot patriot sejati, setelah berhasil, saling berebutan mendapatkan pahala, mendapatkan imbalan dan kedudukan. Yang tidak mendapat bagian akan merasa kecewa, bahkan mendendam kepada yang kebagian.

   Yang mendapat bagian kedudukan tinggi, dengan sekuat tenaga mempertahankan kedudu kannya agar tidak terlepas dan kalau perlu dia akan menyerang siapa saja yang berani mencoba untuk mengganggu dan menggoyahkan kedudukanya. Kini, mendengar betapa Sia Su Beng hendak membagi-bagi rejeki, membagi hasil kemenangan mereka atas kekuasaan An Lu Shan, tentu saja mereka merasa gembira sekali.

   "Maaf, Sia-ciangkun,"

   Kata seorang panglima yang dahulunya merupakan panglima yang setia kepada kerajaan Tang.

   "Ka mi dapat mengerti akan Kebenaran semua pernyataan ciangkun tadi. Akan tetapi hendaknya ciangkun ketahui bahwa kalau kita menentukan sendiri sebuah pemerintahan baru di luar kekuasaan Kaisar Kerajaan Tang. tentu kita akan menemui banyak rintangan dan tentangan. Para pejabat dan panglima di daerah-daerah, juga rakyat, tentu condong untuk mendukung Kerajaan Tang yang resmi.

   Bukankah semua tanda kebenaran berada di tangan Kaisar Kerajaan Tang?"

   "Tida k semua,"

   Kata Sia Su Beng dan diapun menuru nkan buntalan kain kuning yang diikat di pinggangnya.

   "Ada sebuah pusaka, lambang utama kekuasaan Kaisar, kini berada di tangan kita. tentu saudara sekalian mergenal pusaka ini!"

   Setelah berkata demikian, Sia Su Beng mengangkat tinggi"tinggi benda itu di atas kepalanya dengan kedua tagannya. Benda itu adalah sebuah ukiran batu giok berbentuk seekor burung Hong.

   "Mestika Burung Hong Kemala...!"

   Seru semua orang dengan kagum dan kini kepercayaan mereka terhadap Sia Su Beng semakin menebal. Dengan lambang kekuasaan kaisar itu, jelas bahwa Sia Su Beng berhak menjadi kaisar dan para pejabat daerah tentu akan mematuhinya!

   Mereka bersorak dan bertepuk tangan.

   Setelah kegaduhan mereda, Sia Su Beng dengan suara lantang berwibawa mengatakan,

   "Sukurlah kalau saudara sekalian telah menyetujui dan sependapat dengan kami bahwa kita harus mempertahankan hasil perjuangan kita ini. Akan tetapi, kita masih harus berjuang, karena tentu pasukan dari barat yang disusun oleh Panglima Kok Cu It akan berusaha merebut kekuasaan dari tangan kita. Untuk sementara ini, aku akan memimpin kalian semua sebagai seorang panglima tertinggi. Kelak,setelah semua rintangan dapat disingkirkan, baru kita akan membentuk suatu pemerintahan baru, suatu dinasti baru. Dan sementara ini, saudara sekalian akan saya tunjuk sebagai pembantu-pembantu saya di bidang masing-masing yang akan kami tentukan dalam beberapa hari ini."

   Kembali terdengar mereka bersorak dan pertemuan itu dibubarkan. Panglima Sia Su Beng segera menemui tunangannya di bagian dalam istana.

   Mereka bertemu dan Kui Bi merangkul tunangannya sambil menangis. Tentu saja hal ini mengejutkan hati Sia Su Beng. Setelah menghibur dan mengajak gadis itu duduk, diapun bertanya,

   "Bi-moi, kenapa engkau menangis? Aku bahkan membawa berita gembira yaitu bahwa semua panglima dan pejabat telah menyetujui rencanaku. Kalau tadinya ada beberapa orang yang menyatakan keberatan untuk mempertahankan hasil perjuangan kita, yaitu kekuasaan di kota raja, setelah aku memperlihatkan Mestika Burung Hong Kema la, mereka senua setuju."

   Kui Bi menghapus air matanya "Koko, tadi enci Lan datang...."

   "Ehh? Lalu apa yang kalian bicarakan? Engkau tentu sudah menceritakan rencana kita, bukan?"

   Kui Bi mengangguk.

   "Benar, dan hal inilah yang merisaukan hatiku. ia menentang, koko. seperti yang telah kuduga sebelumnya."

   Di dala m hatinya, Kui Bi tidak dapat menyalahkan enci-nya, karena andaikata ia bukan tunangan Sia Su Beng dan tidak saling mencinta dengan pria ini, besar kemungkinan iapunakan meno lak gagasan me mberontak itu.

   "Hemm, lalu bagai mana?"

   "Aku minta kepadanya untuk membicarakan urusan ini dengan kakak Yang Cin Han, dan juga dengan Can Kim Hong dan Souw Hui San."'

   "Kurasa mereka tentu akan berpikir panjang kalau mereka sudah mengetahui bahwa aku telah memiliki Mestika Burung Hong Kemala. Apakah engkau sudah menceritakan hal itu kepada enci-mu?"

   "Sudah, akan tetapi... enci Lan mengatakan bahwa pusaka yang berada di tanganmu itu adalah pusaka yang palsu, koko."

   Sia Su Beng terlonjak dari tempat duduknya, berdiri dan memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak dan muka kemerahan.

   "Apa? Benarkah itu, Bi-moi? Tidak bohongkah encimu itu?"

   Kui Bi menggeleng kepalanya,

   "Enci Kui Lan tidak pernah berbohong kepadaku, koko. Suaranya menunjukkan bahwa ia tidak berbohong, dan ketika aku bertanya di mana adanya pusaka yang aselinya, ia menjawab acuh, seperti hendak mengelak."

   "Kalau begitu, aku harus bertanya sendiri, dan sekalian membujuk mereka agar suka membantu"

   Setelah berkata demikian, Sia Su Beng keluar dari ruangan itu dengan langkah lebar. Dia segera memanggil pembantunya dan memerintahkan agar mengerahkan seregu pasukan yang pilihan dan kuat untuk mengepung gedung bekas tempat tinggal Bouw Koksu yang kini dijadikan tempat tinggal empat orang muda itu. Dia tahu betapa lihainya mereka, maka diapun harus membuat persiapan dengan pasukannya.

   Ketika Sia Su Beng setengah berlari tiba di ruangan depan istana, terdengar seruan di belakang,

   "Koko, tunggu dulu, aku ikut!"

   Ternyata Kui Bi yang mengejarnya dan mereka berdua lalu menunggang kuda keluar dari halaman istana menuju ke gedung tempat tinggal empat orang muda itu. Di sepanjang jalan, orang-orang memberi hormat kepada Panglima Sia Su Beng, akan tetapi panglima yang sedang gelisah hatinya ini seperti tidak melihatnya atau memperdulikan mereka.

   Setelah tiba di gedung yang dahulunya menjadi tempat tinggal Kui Bi itu, mereka melompat turun dari atas kuda dan Kui Bi mendahului tunangannya berlari memasuki gedung yang pintu depannya terbuka.

   "Enci Lan! Han-koko!!"

   Ia berteriak-teriak dan mencari-cari ke da lam gedung yang besar itu, Sunyi saja, tidak ada jawaban. Juga Sia Su Beng mencari-cari tanpa hasil. Kemudian nampak seorang laki-laki tua berlari-lari masuk dari belakang.

   "Ah, Ciangkun dan Siocia!"

   Kata bekas pelayan itu dengan gugup dan segera memberi hormat.

   Sia Su Beng sudah menghardik di memegang lengan orang itu.

   "Hayo cepat katakan, di mana mereka berempat?"

   "Ciangkun maksudkan..... kedua kongcu dan kedua siocia itu....?"

   
"Ya, di mana mereka?"

   Kui Lan juga bertanya.

   "Sejak pagi tadi mereka sudah pergi, tidak mengatakan kemana mereka pergi, hanya memesan agar kami semua menanti saja di rumah belakang...."

   "Keparat! Mereka membawa apa "bentak Sia Su Beng.

   Pelayan itu nampak ketakutan bingung.

   "Tidak membawa apa-apa, ehh. buntalan pakaian di punggung mereka. bahkan mereka tidak menunggang kuda, hanya berjalan kaki keluar dari gedung, na mpak tergesa-gesa."

   "Ah, mereka telah melarikan diri! Cepat, kita harus mengejar mereka"

   Sia Su Beng sudah meloncat keluar, diikuti oleh Kui Bi. Setelah tiba di luar gedung, Sia Su Beng bertepuk tangan dan bermunculanlah, para perajurit yang tadi telah mengepung gedung itu dengan bersembunyi.

   Baru sekarang Kui Bi melihat bahwa tunangannya itu tadi telah mengerahkan pasukan untuk mengepung gedung, ia mengerutkan alisnya melihat tunangannya memerintahkan para pembantunya untuk minta bantuan pasukan dan melakukan pengejaran terhadap empat orang muda itu ke empat penjuru!

   "Kejar dan cari mereka, melalui empat pintu gerbang!"

   Perintahnya dengan muka merah.

   Sebuah tangan dengan halus menyentuh lengan kiri Sia Su Beng yang sedang marah. Sia Su Beng menoleh dan ternyata kekasihnya yang sedang memandang kepadanya dengan wajah sedih.

   "Koko, ingat, mereka adalah kakak-kakakku,"

   Katanya lirih.

   Sia Su Beng menghela napas panjang.

   "Jangan khawatir, Bi-moi. Aku sudah memerintahkan para panglima untuk mengajak mereka kembali dengan halus, atau kalau mereka melawanpun hanya menangkap mereka, tidak melukai apa lagi membunuh. Kau tahu, aku tidak memusuhi mereka, tidak membenci mereka, akan tetapi mereka harus menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala yang aseli kepadaku."

   Hati Kui Bi terasa lega. ia percaya kepada kekasihnya, Iapun diam-dia m mengharapkan agar pasukan tidak akan mampu menangkap empat orang muda itu karena mereka sudah pergi lama, sejak pagi tadi dan mengingat bahwa mereka Itu tidak berkuda, dan memiliki ilmu kepandaian tinggi, akan sukarlah untuK melacak mereka. Dengan berjalan kaki mereka dapat mengambil jalan melalui dusun-dusun dan sawah ladang, melalui bukit-bukit sehingga tidak meninggalkan jejak.

   Apa yang diharapkan Kui Bi memang terjadi. Biarpun pasukan-pasukan berkuda yang kuat dan banyak mela kukan pengejaran ke empat penjuru, mereka tidak menemukan apa"apa. Akhirnya, para komandan itu memecah pasukan mereka merupakan regu-regu yang hanya terdiri dari dua belas orang setiap regu, menyusup-nyusup dan banyak pula yang melakukan pencarian dengan berjalan kaki.

   Cin Han, Kim Hong, Hui San dan Kui Lan memang tadi nampak tergesa-gesa ketika meninggalkan gedung dan keluar dari pintu gerbang kota raja, akan tetapi setelah mereka jauh meninggalkan kota raja, mereka berjalan santai saja. Mereka sengaja mengambil jalan melalui sebuah bukit di sebelah barat kota raja yang penuh hutan sehingga mereka tidak meninggalkan jejak dan akan menyukarkan mereka yang mungkin akan melacak mereka.

   Mereka sudah menduga bahwa kalau Sia Su Beng mengetahui bahwa mereka telah pergi tanpa pamit, tentu panglima yang cerdik itu akan cepat mengerahkan pasukan melakukan pengejaran. Kalau Kui Bi memberitahu bahwa pusaka di tangannya itu palsu, tentu Sia Su Beng akan mencurigai mereka dan bertekad untuk mendapatkan pusaka aselinya dengan menangkap mereka.

   Akan tetapi mereka berempat sama sekali tidak menduga bahwa usaha pelacakan yang dilakukan Sia Su Beng itu demikian bersungguh-sungguh sehingga setelah lewat tiga hari, mereka berempat sudah merasa lega dan sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan dapat disusul para pengejar.

   Setelah melarikan diri lewat tiga hari, empat orang itu berhenti di sebuah hutan kecil untuk beristirahat dan berlin dung dari terik matahari siang itu. Mereka membuka buntalan berisi makanan terdiri dari roti dan daging kering yang mereka beli da la m perjalanan melewati sebuah dusun kemarin sore.

   Kui Lan dan Kim Hong memasak air dan memanggang daging kering setelan tadi Hui San mendapatkan air jernih! Air di panci itu sudah mulai mend idil dan bau daging kering yang dipanggang sudah menimbulkan selera karena sedapnya ketika mereka tiba-tiba saja berhenti bergerak dan memperhatikan sekeliling karena mereka mendengar suara orang.

   Kiranya, api yang mereka buat untuk memasak air dan memanggang daging kering, ditambah bau sedap daging panggang, menarik munculnya delapan orang di tempat itu.

   Melihat delapan orang yang berpakaian preman itu, mengertilah empat orang pelarian ini bahwa mereka berhadapan dengan delapan orang jagoan yang menjadi anak buah Sia Su Beng karena empat orang di antara mereka adalah guru-guru silat yang melatih para perajurit pasukan khusus Sia-ciangkun.

   Dengan sikap tenang, Cin Han yang masih berjongkok lalu bangkit berdiri perlahan dan bertanya, suaranya tenang namun juga berwibawa.

   "Apa artinya ini? Ada keperluan apakah kalian datang menyusul kami?"

   Delapan orang itu juga bersikap tenang dan hormat. Mereka maklum bahwa dua orang pemuda dan dua orang. gadis ini bukanlah sembarang orang. Bahkan dua orang di antara mereka adalah kaka k-kaka k nona yang menjadi tunangan atasan mereka. Mereka sudah tahu bahwa keempat orang ini memiliki kepandaian tinggi dan tidak mudah ditundukkan.

   "Ji-wi kongcu dan ji-wi siocia,' harap maafkan kami. Kami diutus Sia-ciangkun untuk mengejar kalian berempat dan minta kepada kalian agar kembali ke kota raja karena Sia"ciangkun ingin bertemu dan bicara dengan kalian,"

   Kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam, seorang di antara empat guru silat pelatih pasukan khusus.

   "Begitukah?"

   Kata Cin Han.

   "Kalian delapan orang utusan, kembalilah ke kota raja dan katakan kepada Sia-ciang kun bahwa kami berempat sudah tidak mempunyai urusan apapun dengan dia lagi dan kami henda k me lanjutkan perjalanan kami, harap ka lian tidak meng ganggu ka mi lagi.',

   "Kongcu, kalau kami lakukan itu tentu kami akan menerima huku man dari Sia-ciang kun. Ka mi telah diberi tugas kalau ka mi tidak dapat melaksanakannya dengan baik, tentu ka mi mendapat kemarahan."

   "Hemm, bagaimana kalau kami menolak permintaan kalian untuk kembali ke kota raja?"

   Tanya pula Cin Han yang menjadi juru bicara mereka berempat.

   Si tingg i besar muka h itam mencabut pedangnya, diikuti tujuh orang rekannya dan dia berkata,

   "Tugas kami adalah bahwa kalau kalian menolak, kami harus memaksa dan menangkap kalian!"

   "Bagus! Hendak kulihat bagaimana kalian menangkap kami!"

   Kim Hong yang sudah marah sekali meloncat bangun dan ia sudah mencabut sepasang pedang terbangnya yang diikat tali. Kui Lan juga sudah menyambar sebatang ranting sebesar ibu jari kaki dan sepanjang lengannya. Hui San tertawa dan pemuda inipun sudah mencabut pedangnya.

   "Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa Sia Su Beng tentu akan mempergunakan kekerasan. Kami sudah siap menghadapi kalian!"

   Cin Han sendiri memegang sebatang tongkat yang memang sudah dia per siapkan dalam pelarian itu. Melihat betapa empat orang muda itu sudah bangkit dan mempersiapkan senjata mereka, si tinggi besar mu ka hita m berteriak me mberi aba-aba dan mereka berdelapan sudah mengepung empat orang itu.

   Souw Hui San yang masih tersenyum itu berseru.

   "Wah, mari kita berlumba. Seorang melawan dua orang dan kita lihat siapa di antara kita yang paling cepat mendapatkan kemenangan!"

   Setelah berkata demikian, dia sudah menerjang ke arah dua orang yang terdekat dengannya. Pedangnya yang digerakkan amat cepat itu sudah membentuk gulungan sinar yang dengan cepat sekali menyambar berturut-turut ke arah kedua orang yang dipilihnya.

   Tidak ada jalan lain lagi bagi kedua orang itu untuk menya mbut dengan tangkisan pedang mereka dan segera Hui San dikeroyokdua.

   Cin Han, Kui Lan, dan Kim Hong juga sudah menyerang masing-masing dua orang lawan dan terjadilah pertandingan amat yang seru di tempat itu. Teriakan Hui San tadi bukan sekedar main-main Dia melihat bahwa delapan orang itu agaknya memiliki ilmu barisan pat-kwa yaitu barisan pedang segi delapan dan kalau mereka diberi kesempatan membentuk pat-kwa-kiam-tin (barisan pedang segi delapan), maka akan merupakan lawan yang berbahaya.

   Maka, dia berteriak agar mereka masing-masing melawan dua orang musuh, dan hal ini jauh lebih ringan dibandingkan kalau mereka berempat menghadapi pat-kwa-kiam-tin.

   Memang Hui San ini orangnya lincah dan cerdik sekali. Karena mereka berempat sudah menyerang masing-masing dua orang, maka delapan orang itu tidak sempat lagi membentuk pat-kwa-kiam tin dan terpaksa harus membela diri dan pertandingan terpecah menjadi empat. Kim Hong sendiri tadi mendahului kekasihnya untuk menyerang si tinggi besar muka hitam. Gadis murid Si Naga Hitam ini merupakan orang yang paling lihai di antara mereka berempat.

   Hal itu adalah karena ia telah minum darah ular hitam kepala merah, yang selain mendatangkan tenaga sin-kang yang amat hebat, juga tubuhnya kebal terhadap segala macam racun, bahkan tubuhnya, kalau ia mengerahkan tenaga tertentu, dapat mengeluarkan hawa beracun yang mematikan! ia menduga bahwa si tinggi besar muka hitam yang memimpin delapan orang itu tentu yang terlihai, maka ia mendahului Cin Han, menyerang si tinggi besar dan seorang temannya yang berdiri di dekatnya. Melihat hebatnya dua sinar pedang terbang itu menyambar kearah mereka, si tinggi besar dan teman nya terpaksa harus menya mbutnya dan segera terjadi pertandingan yang amat hebat.

   Cin Han sendiri memainkan tongkatnya dengan ilmu silatnya yang dia pelajari dari gurunya, Sin-tung Kail ong, yaitu Tai-hong-pang. Ilmu tongkal Tai-hong-pang (Tongkat Angin Badai) ini memang hebat sekali, begitu digerakkan, nampak gulungan sinar tongkat yang mendatangkan angin menyambar-nyambar disertai suara yang bersiutan, membuat dua orang pengeroyoknya terkejut dan harus cepat memutar pedang melindung i tubuhnya.

   Permainan sebatang ranting di tangan Yang Kui Lan juga membuat dua orang pengeroyoknya sibuk sekali. Ranting itu, dimainkan dengan ilmu silat Hong-in-sin-pang (Tongkat Sakti Angin dan Awan) bergerak halus seperti dipakai menari saja, akan tetapi bagi kedua orang pengeroyoknya, ranting itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya yang menghujankan totokan-totokan ke arah jalan darah dan bagian tubuh yang berbahaya.

   Pertandingan itu tidak berlangsung terlalu lama karena delapan orang itu sama sekali bukan merupakan tandingan yang seimbang bagi empat orang muda itu. Apa lagi empat orang muda Itu terpengaruh oleh ajakan Hui San untuk berlumba siapa yang lebih dulu dapat mengalahkan dua orang lawan masing masing, maka mereka semua mengerahkan seluruh tenaga dan memainkan jurus-jurus mereka yang paling hebat.

   Belum sampai lima belas jurus, dua orang yang mengeroyok Kim Hong, yaitu si tinggi besar muka hitam dan seorang kawannya, roboh berturut-turut dengan luka terobek pedang di pundak dan paha mereka. Robohnya dua orang ini diikuti robohnya dua orang yang mengeroyok Cin Han.

   Tongkatnya merobohkan mereka dengan pukulan pada lambung dan totokan pada dada sehingga membuat yang dadanya tertotok tongkat itu menjadi pingsan. Setelah dua orang ini roboh, disusul roboh nya dua orang pengeroyok Kui Lan. Karena gadis ini hanya mempergunakan sebatang ranting biasa, maka setelah duapuluh jurus, baru ia berhasil menotok roboh dua orang peng royoknya yang menjadi lumpuh kaki tangannya.

   Kini mereka bertiga menoleh dari melihat betapa Hui San yang mengajak berlumba tadi masih menghadapi pengero yokan kedua orang lawannya. Akan tetapi, keclua orang lawan itu suclah ticlak utuh lagi. Mereka terpincang"pincang mengeroyok Hui San, clan pakaian mereka suclah robek-robek clengan luka-luka kecil merobek kulit mereka cli mana-mana. Jelaslah bahwa Hui San sengaja tak segera merobohkan mereka, hanya mempermainkan, membuat kaki mereka terpincang-pincang clan tubuh mereka luka-luka kecil akan tetapi ticlak sampai merobohkan mereka.

   Tentu saja Hui San ticlak berani menclahului Kui Lan merobohkan keclua lawannya, karena clia ticlak ingin melihat gaclis yang clipujanya itu merobohkan clua orang lawannya paling akhir!

   "San-ko, kenapa engkau masih mempermainkan mereka? Cepat hentikan, kita harus cepat pergi,"

   Kata Kui Lan.

   Menclengar ucapan kekasihnya itu, Hui San memutar peclangnya cepat-cepat, membuat keclua orang itu hanya ma mpu menangkis saja, clan clia berkata,

   "Kalian clengar? Hayo cepat roboh, atau harus aku yang merobohkan kalian dan melukai kalian?"

   Mendengar ini, dua orang yang melihat betapa enam orang kawan mereka suclah roboh semua dan mereka sendiripun jelas bukan lawan pemucla lihai itu, mengerti bahwa mereka akan terluka parah kalau ticlak menaati. Maka, merekapun segera melempar pedang dan melempar tubuh mereka ke belakang, terguling-gu ling dan tidak bangkit lagi!

   Hui San tertawa bergelak, akan tetapi Kim Hong cemberut.

   "Sialan sekali, claging kita hangus clan roti kita kotor semua!"

   Ia menenclang ma kanan yang tidak dapat dimakan lagi itu.

   "Dan airpun suclah tumpah habis,"' kata Kui Lan clan iapun mengambil panci kosong clan prabot lain untuk clibawa sebagai bekal.

   Cin Han menghampiri si tinggi besar.

   "Katakan kepacla Sia Su Beng bahwa hanya karena melihat clan mengingat aclikku Yang Kui Bi sajalah kami ticlak membunuh kalian!"

   "Terima kasih, kongcu"

   Kata si tinggi besar, maklum bahwa apa yang diucapkan pemuda itu me mang sebenarnya. Empat orang muda itu segera meninggalkan hutan dan melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat menuju ke barat.

   odwo

   Sia Su Beng merasa kecewa sekali karena pasukannya tidak berhasil menangkap empat orang muda itu. Akan tetapi, hal itu tidak membuat dia mundur dalam tekadnya untuk mempertahankan kekuasaannya atas kota raja. Bahkan dia lalu menghimpun kekuatan pasukannya untuk mengatur daerah dan memperkuat kubu pertahanan di bagian barat untuk menghadapi pasukan Kerajaan Tang yang tentu akan berusaha merebut kekuasaan kembali.

   Yang Kui Bi membantu kekasihnya dengan sepenuh hati. Ia amat mencinta dan dicinta Sia Su Beng, dan iapun terseret ke dalam ambisi kekasihnya yang ingin menjadi kaisar! Iapun tentu saja akan merasa bangga dan bahagia sekali kalau dapat menjadi permaisuri kaisar!

   Dan perang tentu saja tidak terelakkan lagi! Menurut catatan sejarah, ketika Pasukan Kaisar Su Tsung yang di pimpin oleh Panglima Besar Kok Cu It, dibantu oleh banyak pasukan dari suku-suku bangsa di utara dan barat, maka terjadilah pertempuran hebat di bagian barat. Kedua pihak tidak ada yang mau mengalah. Pasukan Kerajaan Tang bertekad merebut kembali kekuasaannya yang dahulunya terjatuh ke tangan pemberontak An Lu Shan dan sekarang terjatuh ke tangan Sia Su Beng, sedangkan Sia Su Beng dan kawan-kawannya juga bertekad mempertahankan kekuasaan mereka.

   Setelah Souw Hui San menyerahkan Mestika Burung Hong Kemala kepada Kaisar Su Tsung, dia tidak mau menerima imbalan jasa seperti yang ditekankan kepadanya oleh Yang Kui Lan. Bahkan dua pasang pendekar yang saling mencinta itu, yaitu Yang Cin Han dengan Can KimHong dan Yang Kui Lan dengan Souw Hui San, meninggalkan pasukan Kerajaan Tang dan tidak mau melibatkan diri ke dalam perang. Hal ini adalah karena Cin Han dan Kui Lan teringat akan adik mereka, Yang Kui Bi, yang mereka tahu membantu Sia Su Beng.

   Mereka berdua tidak tega memusuhi adik mereka, sedangkan kekasih mereka, Kim Hong dan Hui San, tentu saja mengikuti jejak mereka dan dua pasang pendekar itu lalu melangsungkan pernikahan secara sederhana, kemudian hidup sebagai rakyat biasa, tidak mau mencampuri perang saudara yang saling memperebutkan kekuasaan itu.

   Dan bagaimana dengan Sia Su Beng dan Yang Kui Bi? Kedua orang inipun menikah, dirayakan besar-besaran, dan keduanya juga mati-matian mempertahankan kekuasaan mereka. Menurut catatan sejarah, perang yang dilakukan oleh pasukan Kerajaan Tang untuk merebut kembali kekuasaannya itu berlangsung berlarut-larut sampai sembilan atau sepuluh tahun!

   Dapat dibayangkan betapa hebat pengorbanan yang terjadi dalam perang perebutan kekuasaan ini. Rakyat pula yang menderita. Para perajurit yang tewas sampai ratusan ribu orang banyaknya. Harta benda rakyat dirampok atau dibakar, banyak pula ra kyat yang tidak tahu apa-apa menjadi korban.

   Dalam tahun 766, kurang lebih sepuluh tahun kemudian, barulah pasukan Tang dapat merebut kembali kota raja, dan Kerajaan Tang dapat dibangun kembali di atas puing kehancuran akibat perang. Untuk pertahanan terakhir, Sia Su Beng dan Yang Kui Bi bertempur mati matian di kota raja, sampai keduanya gugur dan tewas seperti ribuan perajurit lain.

   Yang tidak dicatat sejarah, bahkan jarang ada yang mengetahui adalah bahwa sebelum sua mi isteri yang kukuh ini menyambut pasukan musuh yang sudah memasuki kota raja,mereka masih sempat menitipkan anak tunggal mereka, seorang putera, kepada seorang wanita pengasuh yang berhasil menyelundupkan anak itu keluar dari istana, kemudian melarikan diri bersama para pengungsi, anak laki"laki berusia lima tahun yang dapat diselamatkan dengan diakui sebagai anaknya sendiri.

   Sampai di sini, selesailah sudah kisah Mestika Burung Hong Kemala ini. Sesungguhnya, pusaka ini hanyalah sebuah benda mati, hanya sebagai lambang belaka, dan yang diperebutkan adalah kekuasaan itulah.

   Kenapa kekuasaan di perebutkan? Karena kuasa berarti menang, berarti selalu benar, selalu baik, selalu menang dan selalu enak!

   Semoga kisah ini ada manfaatnya bagi kita semua.

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PEDANG AWAN MERAH

KISAH SI PEDANG TERBANG